BAB
I
PENADAHULUAN
Diantara pembahasan-pembahasa ilmiyah yang harus kita
pelajari dengan seksama dan tekun ialah pokok-pokok pengajaran para imam madzhab
dan manhaj istimbat yang di gunakan para mujtahid dalam mengungkap hukum
syari’at. Dengan mendalam istimbat yan telah di lakukan para imam madzhab baik
dalam kalangan ahlusunah maupun dalam kalangan syariah bahwa semua mujtahid pada dasarnya menggali
hukum syariah dari sumber-sumber ulama yaitu kitabullah dan as-sunah Rasul. Mereka hanya berbeda pandangan dalam
cara menggali dan dalam cara menggunakan alat penggali serta dalam penentuan dasar-dasar
yang boleh dan tidak boleh di pakai setelah Al-Qur’an dan as-sunnah. Dengan
kita mendalami analisa-analisa terhadap sebab-sebab terjadi perbedaan pendapat
diantara para imam dapatlah kita mendekatkan pokok.” Peganggan itu hingga
dengan demikian terbentangglah jalan mendekatkan satu” maadzhab dengan madzhab
lain dan dapatlah kita menutup lubang-lubang yang meregangkan satu sama lain.
Demikian fiqih madzhab di amati oleh Muhammad Ibnu
Idris keunggulan Muhammad Ibnu Idris sebgai ulama fiqih, ushul fiqih dan hadits
dizaman di akui sendiri oleh ulama sejawatnya. Sebagai orang yang hidup di zaman merunan gaya pertentangan antara aliran ahlul hadits
dan ahlul ra’yi.. Muhammad Ibnu Idris , berupaya untuk mendekatkan pandangan
kedua aliran ini karenanya ia belajar pada imam Malik sebagi tokoh ahlul hadits
dan imam Muhammad Ibnu Hasan, Asy’syafi’i sebagai tokoh ahlul Ra’yi.
BAB
II
PEMBAHASAN
Muhammad Ibnu Idris (lengkapnya adalah al-Imam Asy-Syafi’i, Abu Abdilah as-Syafi’i,
al-Hijazi Al-Qurasyi al-Hasim at-muththalih (Gaza,Palestina, 150 H- 204 H / 819
M). adalah seorang mufti besar islam dan juga terolong saudara dari Rasululah yaitu
keterangan dari al-Muththalib saudara dari Hasim yang merupakan kekek Rasululah,
beliau di lahirkan di desa Gaza masuk
kota Saqolan pada tahun 150 H saat beliau di lahirkan kedunia oleh ibunya yang
tercinya. Ayahnya tidak sampai membuainya. Karena ajal Allah telah
mendahuluinya dalam usia yang masih muda kemudian setelah berumur 2 tahun paman
dan ibu membawa pindah kekota kelahiran Nabi Muhammd SAW. Makkah Al-Mukaromah saat
usia 20 tahu Muhammad Ibnu Idris pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama
besar saat itu Imam Malik dua tahun kemudian ia juga pergi ke Irak untuk
berguru pada murid-murid imam Hanafi disana.
Beliau wafat pada hari kamis diawal bulan syaban tahun
204 H dan umur beliau sekitar 54 tahun (syiah 10/76). Meski Allah memberi masa hidup beliau didunia 54 tahun, merurut
anggapan manusia umur yang demikian masih muda. Walau demikian keberkahan dan
manfaat dirasakan kaum mislimin di selantero belahan dunia. Hingga para ulama’
mengatakan imam Asy-Syafi’i di beri umur pendek namun Allah menggabungkan kecerdasannya dengan umurnya yang pendek.”
Dan sunah sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an segitu
juga sebelum imam Safi’i seperti imam Abu Hanifah yang menyetujui bahwa dalam
pengambilan hukum pertama harus dari Al-Qur’an, kemudian kalau tidak di peroleh
baru mengambil dari sunah, sama halnya juga dengan Mu’az bin Jabal ketika di
Tanya oleh Nabi” dengan apa kamu menemukan sesuatu ? kemuadian dia menjawab
saya memutuskan sesuatu dengan kitab Allah. Jika tidak di peroleh di dalamnya
maka dengan sunah Rasululah dan jika tidak didapatkan lagi maka saya berijtihad
dengan akal.
Syafi’I meletakan sunah sejajar dengan Al-Qur’an dalam
hal sebagai hujah karena sunah juga berasal dari wahyu, Safi’i tidak menyamakan
Al-Qur’an dan as-Sunah dalam segala aspek, menurutnya perbedaannya paling telah
tidak bahwa Al-Qur’an Mu’tawatir dan merupakan ibadah bagi yang membacanya
sedangkan kebanyakan sunah tidak mu’twatir juga membacanya tidak di nilai
pahala. Kedua, Al-Qur’an adalah kalam Allah, sedangkan sunah adalah perkataan
nabi Muhammad SAW.Safi’i juga menjelaskan bahwa sunah tidak semartabat dengan Al-Qur’an
dalam masalah aqidah.
AL-QUR’AN
Syafi’I tidak memberikan batasan definisi bagi Al-Qur’an
berdasarkan uraiannya, para pengikutnya lah yang memberikan definisi terhadap Al-Qur’an
Misalnya definisi yang di ungkapkan Taj Al Din Al-Subki, bahwa Al-Qur’an adalah
lafal yang di turunkan kepada nabi Muhammad SAW sebagai mujizat dan membacanya
merupakan ibadah.
Menurut Asy-Syafi’i Al-Qur;an itu maha dan lafdzan.
Seluruh Al-Qur’an terdiri atas bahasa arab, tidak satu katapun di dalamnya yang
bukan bahasa arab, dengan memperhatikan berbagai hal tentang hubungan ungkapan
dengan maknanya Syafi’i menjelaskan bahwa didalam Al-Qur’an terdapat lafad Am khas
muthlaq muqoyyad, haqiqah, mazaz, mustarak, mujmal, mubayyan dan sebagainya.
1. Sunnah
Meskipun Syafi’i tidak mengemukakan rumusan dalam
bentuk definisi dan batasan sunnah dapat di ketahui dengan jelas sunah menurut Ibnu
Adris yaitu perkataan atau taqlid yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW secara
umum batasan seperti ini di terima oleh para ulama yang datang kemudian.
Seseorang pembaca kitab-kitab imam Syafi’i
hampir dapat memastikan bahwa penegakan sunah sebagai sumber hukum merupakan
obsesi agenda pemikirannya, bahwa yan paling asasi , karena itu kita tidak lupa
dengan signifikan historis dan pemberian gelar nashir al-sunnah (pembela
tradisi) kepadanya.
Syafi’i menegaskan bahwa sumber merupakan hujah yang
wajib diakui bahwa sunah sebagai berikut :
Tentang hubungan antara sunah dengan Al-Qur’an Syafi’i
mengemukakan bahwa fungsi sunah sebagai berikut :
a.
Sebagai penguat dalil dalil dalam Al-Qur’an
b.
Sebagi penjelas dari ayat-ayat al-qur’an
yang masih global.
c.
Sebagai tambahan : artinya mengetur hukum
yang belum diatur dalam Al-Qur’an.
Syarat-syarat penerimaan sunah
Syafi’I membagi hadits menjadi 2 yaitu hadits mutawatir
dan hadits ahad. Persyaratan yang di tetapkan oleh Syafi’i agar suatu hadits
dapat di amalkan sama dengan yang di kemukakan oleh para ahli hadits dan ahli
ushul fiqih pada masa kemudian, yakni menyangkut tsiqah dan dhobith yang harus
terpenuhi pada setiap perawi dan kesinambungan sanat yang di riwayatkannya
serta tidak adanya cacat atau kelainan dalam hadits tersebut.
2.Ijma’
“Ijma’ adalah hujjah atas segala sesuatunya karena
ijma’ itu tidak mengkin salah “ (syafi’i)
Syfi’i menyepakati bahwa ijma merupakan hujjah agama
(hujjatd din) ijma merupakan Syafi’i adalah kesepakatan para ulama pada suatu
masa tentang hukum syara’ kedudukan ijma sebagai hujjah adalah setelah Al-Qur’an
dan assunah sehingga ijma di kahirkan dan pada Al-Qur’an dan sunah. Oleh karena
itu ijma’ yang menyelisihi Al-Qur’an dan sunah bukan merupakan hujjah dan dalam
kenyataannya tidak mungkin ada ijma’ yang menyelisishi Al-Qur’an dan sunah.
Rumusan idris berbeda dengan rumusan Imam Malik yang menggap kesepakatan
penduduk Madinah sebagi ijma’ dan rumusan madzhab zahiri yang membatasinya
hanya pada kesepakatan para sahabat. Ijma’ yang mula-mula mendapat I’tibar dari
Ibnu Idris ialah sahabat dan ia menerima ijma’ sebagi hujjah di tempat tak ada
nash. Kemuadian yang perlu diingatkan bahwa Ibnu Idris tidak menerima ijma’
sukuti.
3.Qoul Shohaby
Qoul Shohaby ialah fakta-fakta yang di keluarkian oleh
sahabat nabi SAW menyangkut masalah –masalah yang tidak di atur didalam nash
baik kitab maupun sunah.
Pada bagian kitab-kitab ushul dan madzhab Syafi’i mengatkan
bahwa imam mereka (imam Syafi’i) mengambil qoul shohaby dalam madzhab barunya
tetapi dalam kitabnya “risalah” bahwasanya imam Syafi’i mengambil qoul shohaby
oleh Karen aiut telah jelas bahwa imam Syafi’i menggunakan qoul shohaby sebagai
hujjah baik dalam madzhab lainnya maupun madzhab barunya Muhammad Ibnu Idris membagi
qoul shohaby menjadi 3 yaitu :
- Pendapat yang memperoleh kesepakatan (ijma’) diklangan mereka ini jelas mengingkat dan harus di jadikan hujjah.
- Pendapat yang bragam dan tidak mencapai kesepakatan tentang ini, menurut Ibnu Idris harus di lakukan tarjih dengan mempedamani dalil-dalil dari al-qur’an dan sunah yang harus di ambil ialah pendapat yang sesuai dengan kitab sunah atau ijma’.
- Pendapat yang di keluarkan oleh seseorang sahabat saja tanpa dukungan atuapun bantahan dari sahabat lainnya. Mengenai pendapat ini dalam kitabnya” risalah” idris menyatakan bahwa ia menetapkan dari ahli ilmu ada yang mengambilnya dan ada yang tidak mengembilnya ia mengambilnya jika telah di temukan dalam al-qur’an sunah maupun ijma’.
Penggunaan qoul shohaby sebagi hujjah oleh Syafi’i dapat
di jumpai beberapa kitabnya, seperti ketiak berbicara peperangan melawan kaum
musrik, ia mengatakan bahwa orang yang sembunyi di bawah biara tidak boleh di
bunuh karena mengikuti perkataan Abu Bakar ia mengatakan “ kami mengatakan ini
hanyalah karena ittibar “ (mengikuti pendapat Abu Bakar), bukan berdasarkan
qiyas.
4.Qiyas
Muhammjad Ibnu Idris adalaj mujtahid yang mula-mula
menggunakan dasar qiyas para fuqoha sebelumnya membahas tentang ar-ra’yu tanpa
menentukan batas-batas dan dasar-dasar penggunaannya tanpa menentukan nama-nama
ra’yu yang sahih dan yang tidak syahih.
Dengan demikian Muhammad Ibnu Idris adalah orang
pertama dalam meneranmgkan hakikat qiyas Ibnu Idris sendiri tidak membuat tariff
qiyas. Kan
tetapi penjelasan-penjelasnya contoh-contoh, bagian-bagian, dan
syarat-syarat menjelaskan hakikat qiyas,
yang kemuadian di buat di buat tarifnya oleh ulama’ ushul.
Pembagian qiyas
Qiyas di lihat dari kewtentuan illat yang terdapat
pada far dan ushl menurut idris di bagi menjadi tiga bentuk yaitu :
1.
qiyas yang illat hukum cabangnya (far’)
lebih kuat dari pada illat pada hukum ushul qiyas ini, oleh ulama’ ushul
fighiyah disebut sebagai qiyas awlawi. Misalnya mengqiyaskan memukul pada
ucapan “ah” keharaman pada perbuatan memukul libih kuat dari pada keharaman
ucapan “ah” karena sifat menyakiti yang terdapat pada memukul lebih kuat dari
yang terdapat pada ucapan” ah”.
2.
qiyas yang illat pada far’ sama keadaan
dan ketentuan dengan ilat yang pada ashl qiyas sepeti ini, di sebut oleh ulama
ushul syafi’iyyah dengan al-qiyas al-musawi.misalnya mengqiyaskan mebakar harta
anak yatim kepada memakannya secara tidak patuh dalam menetapkan hukum –hukum .
artinya membakar harta anak yaitu atau memakannya secara tidak patut adalah
sama-sama merusak harta anak yatim dan hukumnya sama-sama haram.
3.
qiyas yang iklat yang hukumnya (far) lebih
lemah dibandingka dengan iklat hukum ashl, qiyas seperti ini, disebut dengan
qiyas al- adna, seperti mengqiyaskan gandum dengan apel dalam berlakunya riba
dalam apel lebih rendah dari pada berlakunya hukum riba pada gandum karea illat
lebih kuat.
ISTIHSAN
Dalam pembahasan tentang istihan sebagai salah satu
dalil makhtalaf fi (yang tidak
disepakati). Nama Syafi’i selalu tampil dengan pendeknya yang tegas terhada
istihsan sebagai dalil hukum sikap itu di lakukan dalam sebuah kitabnya ibthal
al-istihsan yang kemudian di masukan sebagai sebian dan kitab induknya, al umm.
Menganai definisi istihsan para ulama berbeda dalam
membrikan tarif istihsan di kalangan Hanafiyah ialah seperti yang di terangkan
al-karakhi, yaitu berpalingnya mujtahid dari menetapkan hukum pada suatu
masalah dengan seperti hukum yang telah di tetapkan pada masalah-masalah yang
sepadan (qiyas) kepada hukum yang menyalahinya lantaran ada suatu jalan yang lebih
kuat yang menghendaki beralih dari yang pertama sedangakan istihsan dalam
pandangan melikiyah yang menurut ibnu araby ialah bermala dari yang lebih kuat
dari dalil itu.
Dalam mufaqat syatiby mengutip pendapat Ibnu Aroby tentang
istihsan yaitu mengutamakan meninggalkan suatu dalil sebagai penguwatiran dan
demi kebanggaan berdasarkan adanya dalil lain yang cukup kuat menentang
sebagaian. Tentunya setelah itu ia memberikan keterangan ibnu aroby,
selanjutnya.
Menurut kita (malikiyah) dan hanafiyah, istihsan
adalah mengamalkan yang terkuat diantara dua dalil Malik dan Abu Hanafi membenarkan
takhshisih terhadap keumuman suatu dalil dengan dalil lain, baik berupa
tunjukan dzohir maupun makna atas dasar istihsan Malik melakukan takhshish
dengan maslahah dan Abu Hanafiah melakukannya dengan pendapat shabat mereka
berdua menerima takhshih al-qiyas dan naqdh al-illah , tetapi Syafi’i berpendapat
bahwa illah syara’ yang telah tetap (tsabit) tidak dapat di takhshih lagi.
Alas an syafi’I menolak istihsan
- Firman Allah SWT dalam Surat Al-Qiyamah ayat 26
Mengambil istihsan sebagai hujjah agama artinya tidak
berhukum dengan nask makna beliau mewariskan kepada genarasi berikutnya sebagai
mana yang di wariskan oleh para nabi, yakni ilmu yang manfaat ilmu beliau
banyak di riwayatkan oleh para murid-muridnya dan tersimpan rapi dalam berbagai
disiplin ilmu bahkan beliau pelopor dalam menulis di bidang ilmu ushul fiqih
dengan karyanya yang momumental risdalah dalam bidang fiqih, beliau menulis
kitab al-umm yang di kenal oleh semua orang awamnya dan alirannya juga beliau
menulis kitab jima’ul ilmi.
BAB
III
KESIMPULAN
Muhammad Ibnu Idris merupakan seorang figur penting
dalam sejarah peradaban Islam khususnya pemikiran arab fiqih Muhammad Idris berpusat
pada lima
sumber sebagaimana yang tertulis dalam kitabnya Al-Um’ pertama, Al-Qur’an dan Sunah
kedua, Ijma’ jika tidak di lanjutkan dalam Al-Qur’an dan Sunah . ketiga,
perkataan sebagian para sahabat dan
tidak kita ketahui ada yang berbeda dari mereka. Keempat, ikhtilaf para sahabat
dan keliama, qiyas dan tidak ada sumber lain slain Al-Qur’an dan Sunah dalam segala
sesuatu dan sesungguhnya ilmu itu diambil dari yang paling atas. Sumber hukum tersebut menunjukan uruan
proiritas, artinya bahwa yang muncul belakangan senantiasa bersandar kepada
sumber yang mendahuluinya. Tingkatkan perama adalah nas-nas yaitu Al-Qur’an dan
sunah dan selain keduanya merupakan sumber turunan dari Al-Qur’an dan Sunnah termasuk
Ijma’ yang tidak mungkin keluar dari keduanya.
Oleh karena itu Ibnu Idris tidak sekedar mendasarkan
sunnah pada Al-Qur’an tetapi juga berupaya melakukan asumsi dasar bahwa sunnah
adalah bagian organik dalam struktur Al-Qur’an di tinjau dan sunnah menjadi
struktur organik semantik, maka Idris pun dapat membangun Ijma’ atas dasar
struktur tersebut hingga menjadi teks tasyri’ yang memperoleh segnufikansi dari
pengertian teks yang tersusun dari Al-Qur’an dan Sunah sumber ke empat dalam
fiqih Ibnu Idris adalah qiyas yang juga di ambil dari teks yang tersusun dari
ketiga dasar sebelumnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam. Jambi : Sinar
Grafika.
Bakry Nazar. 2003. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada.
Karim, Syafi’i. 2001. Fiqih Ushul Fiqih. Bandung : Pustaka setia.
Romli. 1999 .Muqaranah Mazahib Fil Ushul. Jakarta : Gaya
Media Pratama
Qattan, Manna’. 1973 . Mabahits Fi Ulumil Qur’an. Riyadh : Mansyuratul
‘Asril Hadits.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !