BAB I
PEMBAHASAN
A. Merayakan Maulid Nabi
Muhammad SAW
Sekitar lima abad yang lalu,
pertanyaan seperti itu juga muncul. Dan imam Jalaluddin al-Suyuthi (849-911 H)
menjawab bahwa perayaan Maulid Nabi SAW boleh dilakukan. Sebagaimana dituturkan
dalam Al-Hawi li al-fatawi: “Ada sebuah pertanyaan tentang perayaan Maulid
Nabi SAW pada bulan Rabi’ul Awal, bagaimana hukumnya menurut syara’. Apakah
terpuji ataukah tercela? Dan apakah orang yang melakukannya diberi pahala
ataukah tidak? Beliau menjawab, “Jawabannya menurut saya bahwa asal perayaan
Maulid Nabi SAW, yaitu manusia berkumpul, membaca al-Qur’an dan kisah-kisah
teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan kehidupannya. Kemudian
menghidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya
itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu termasuk bid’ah hasanah. Orang yang
melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi SAW, menampakkan
suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammad SAW yang mulia” (Al-Hawi
li al-Fatawi, juz I, hal 251-252)
Jadi, sebetulnya hakikat
perayaan Maulid Nabi SAW itu merupakan bentuk pengungkapan rasa senang dan
syukur atas terutusnya Nabi Muhammad SAW ke dunia ini. Yang diwujudkan dengan
cara mengumpulkan orang banyak. Lalu diisi dengan pengajian keimanan dan
keislaman, mengkaji sejarah dan akhlak Nabi SAW untuk diteladani. Pengungkapan
rasa gembira itu memang dianjurkan bagi setiap orang yang mendapatkan anugerah
dari Tuhan. Sebagaimana firman Allah SWT:
ö@è% È@ôÒxÿÎ/ «!$# ¾ÏmÏFuH÷qtÎ/ur y7Ï9ºxÎ7sù (#qãmtøÿuù=sù uqèd ×öyz $£JÏiB tbqãèyJøgs ÇÎÑÈ
Artinya: “Katakanlah:
"Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka
bergembira. kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan". (QS. Yunus: 58)
Ayat ini, jelas-jelas menyuruh
kita umat Islam untuk bergembira dengan adanya rahmat Allah SWT. Sementara Nabi
SAW adalah rahmat atau anugerah Tuhan kepada manusia yang tiada taranya.
Sebagaimana firman Allah SWT:
!$tBur »oYù=yör& wÎ) ZptHôqy úüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
Artinya: “Dan
tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”
(QS. Al-Anbiyya’: 107)
Sesungguhnya, perayaan maulid
itu sudah ada dan telah lama dilakukan oleh umat Islam. Benihnya sudah ditanam
sendiri oleh Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits diriwayatkan: “Diriwayatkan
dari Abu Qatadah al-Anshari RA, bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang
puasa Senin. Maka beliau menjawab “Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu
diturunkan kepadaku”. (Shahih Muslim)
Betapa Rasulullah SAW begitu
memuliakan hari kelahirannya. Beliau bersyukur kepada Allah SWT pada hari
tersebut atas karunia Tuhan yang telah menyebabkan keberadaannya. Rasa syukur
itu beliau ungkapkan dengan bentuk puasa.
Paparan ini menyiratkan bahwa
merayakan kelahiran (maulid) Nabi SAW termasuk sesuatu yang boleh dilakukan.
Apalagi perayaan maulid itu isinya adalah bacaan shalawat, baik berjanji atau
diba’, sedekah dengan beraneka makanan, pengajian agama dan sebagainya yang
merupakan amalan-amalan yang memang dianjurkan oleh Syariah Islam.
Memang sudah sewajarnya
kalau umat Islam merayakan Maulid Nabi
SAW sebagai salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Dan juga
karena isi perbuatan tersebut secara satu persatu, yakni membaca shalawat mengkaji
sejarah Nabi SAW, sedekah, dan lain sebagainya merupakan amalan yang memang
dianjurkan dalam syariat Islam.
B. Perintis Perayaan Maulid
Nabi Muhammad SAW
Orang yang pertama kali
menyelenggarakan perayaan maulid Nabi SAW adalah Raja Muzhaffar Abu Sa’id
al-Kukburi bin Zainuddin Ali bin Buktikin. Imam Jalaluddin al-Suyuthi
mengatakan: “Orang yang pertama kali mengadakan perayaan Maulid Nabi SAW
penguasa Irbil, Raja Muzhaffar Abu Sa’id al-Kukburi bin Zainuddin ‘Ali bin
Buktikin salah seorang raja yang mulia, luhur dan pemurah..... Beliau merayakan
Maulid Nabi SAW yang mulia pada bulan Rabi’ul Awal dengan perayaan yang meriah”
(Al-Hawi li al-Fatawi, juz I, hal 252)
Beliau adalah seorang raja
yang shaleh dan bermadzhab Ahl Sunnah yang terkenal sangat pemurah dan baik
hati. Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman al-Dzahabi mengatakan: “Sultan
yang agamin, raja Muzhaffaruddin Abu Sa’id Kukburi bin Ali bin Buktikin bin
Muhammad al-Turkamani, penguasa al-Irbil ..... Beliau adalah seorang yang
rendah hati, baik budi, seorang sunni (termasuk golongan Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah) dan mencintai fuqaha dan ahli
hadits. Beliau wafat tahun 136 H pada usia beliau 82 tahun” (Tahdzib Siyari
A’lam al-Nubala’, Juz III, hal 224).
C. Mahal al-Qiyam (Berdiri
Ketika Membaca Shalawat)
Membaca shalawat kepada Nabi
Muhammad SAW merupakan ibadah yang sangat terpuji.
Tujuan membaca shalawat itu
adalah untuk mengagungkan Nabi SAW. Salah satu cara mengagungkan seseorang
adalah dengan berdiri. Karena itu boleh hukumnya berdiri ketika membaca
shalawat Nabi SAW, Sayyid Muhammad Alawi al-Makki al-Maliki menyatakan: “Imam
Al-Barzanji dalam kitab Maulidnya yang berbentuk prosa menyatakan,”Sebagian
para imam ahli hadits yang mulia itu menganggap baik (istihsan) berdiri ketika
disebutkan sejarah kelahiran Nabi SAW. Betapa beruntungnya orang yang
mengagungkan Nabi SAW, dan menjadikan hal itu sebagai puncak tujuan hidupnya.
Yang dimaksud dengan istihsan di sini ialah jaiz (boleh) dilihat dari aspek
perbuatan itu sendiri serta asal usulnya, dan dianjurkan dari sisi tujuan dan
dampaknya. Bukan istihsan dalam pengertian ilmu Ushul Fiqh”. (Al-Bayan wa
al-Ta’rif fi Dzikra al-Mawlid al-Nabawi, 29-30)
BAB II
KESIMPULAN
Dari pembahasan tersebut
diatas maka dapat disimpulkan bahwa, Orang yang pertama kali menyelenggarakan
perayaan maulid Nabi SAW adalah Raja Muzhaffar Abu Sa’id al-Kukburi bin
Zainuddin Ali bin Buktikin. Tujuan membaca shalawat itu adalah untuk
mengagungkan Nabi SAW. Salah satu cara mengagungkan seseorang adalah dengan
berdiri. Karena itu boleh hukumnya berdiri ketika membaca shalawat Nabi SAW
Memang sudah sewajarnya
kalau umat Islam merayakan Maulid Nabi
SAW sebagai salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Dan juga
karena isi perbuatan tersebut secara satu persatu, yakni membaca shalawat
mengkaji sejarah Nabi SAW, sedekah, dan lain sebagainya merupakan amalan yang
memang dianjurkan dalam syariat Islam.
DAFTAR PUSTAKA
A. Mujib, Dkk.
Entelektualisme Pesantren, PT. Diva Pustaka. Jakarta. 2004
Ensiklopedia
Islam, Departemen Agama, Jakarta 1993
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !