BAB I
PEMBAHASAN
Bangsa Indonesia telah melakukan kesalahan
besar, ketika para pendiri negeri ini menolak tunduk di bawah aturan Allah, dan
memutuskan untuk menyingkirkan Syari’at Islam. Kemudian, memilih jalan hidup
sekuler dalam menjalankan roda pemerintahan.
Falsafah Negara Pancasila dan UUD 1945 yang
dijadikan landasan formal-konstitusional dalam mengelola NKRI, memang tidak
secara spesifik menyebutkan perlunya menerapkan Syari’at Islam dalam
pengelolaan negara. Dan rupanya, pemeluk Islam yang kebetulan memiliki hak
formal dalam menentukan pengelolaan negara, seperti para anggota legislatif,
eksekutif, dan yudikatif, sejauh ini belum berhasil –atau memang tidak
berminat– untuk mengatur negara ini sesuai dengan Syari’at Islam.
Proses pengelolaan negara yang menyingkirkan
Syari’at Islam, hasilnya sudah dapat disaksikan semua orang. Bahwa, sebagai
bangsa dan negara yang penduduknya mayoritas mutlak beragama Islam, nasib Indonesia
terbukti semakin terpuruk. Penduduk miskin semakin banyak, kekayaan tanah air
semakin terkuras, hutang luar negeri kian menggunung, lingkungan kian tercemar
gas beracun, belum lagi ancaman disintegrasi dari kelompok separatis
non-Muslim.
A. Urgensi Syari’ah Islam Bagi Bangsa Indonesia
Pelaksanaan syari’ah Islam dengan
menggunakan kekuatan politik adalah sebagian dari wasilah dan solusi Qur’ani.[1]
Anjuran kepada Rasulullah Saw supaya berdo’a agar kekuasaan negara berada di
tangan penguasa Mukmin, sebagaimana tertera dalam Qs Al-Isra, 7:80 adalah di
antara hujjah yang terang mengenai hal ini:
“Katakanlah: Ya Rabbi,
masukkanlah aku lewat gerbang kebenaran dan keluarkan aku lewat gerbang
kebenaran pula. Dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang dapat
membantuku.”
Syeikh Abul A’la Al-Maududi menafsirkan ayat
tersebut sebagai berikut: “Anugerahkan kepadaku kekuasaan di muka bumi dan
jadikan semua kekuasaan yang ada, semua negara menjadi pendukungku, sehingga
dengan kekuatan aku dapat menegakkan kebajikan, membasmi kejahatan, mengakhiri
belenggu korupsi, narkoba dan berbagai penyakit masyarakat, memulihkan
akibat-akibat dari kejahatan, mengatur keadilan sesuai dengan hukum yang telah
Engkau turunkan.”
Al-Maududi menegaskan, inilah penafsiran
ayat tersebut menurut Hasan Basri, Qatadah, Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir.
Pemahaman seperti ini pula yang berkembang di kalangan tokoh-tokoh Islam dan
politisi Muslim di Indonesia sejak awal kemerdekaan, bahkan di semua negara
yang berpenduduk mayoritas Muslim. Setelah mereka meraih kemerdekaan, pada
umumnya penduduk negeri yang mayoritas masyarakatnya Muslim menuntut agar
mendasarkan tata politik kemasyara- katannya pada prinsip-prinsip dan tradisi
Islam, sebagai tuntutan keimanan dan kesadaran intelektualnya. Menuntut
syari’at Islam dilaksanakan secara kaaffah di negaranya masing-masing, sehingga
mereka dapat menjalani kehidupan di bawah sistem yang benar dan adil. Sebab,
ajaran Islam merupakan penjelmaan tuntunan Ilahi yang komprehensif dan
universal. Jika syari’at Islam diamalkan secara kaaffah, seluruh kepentingan
umat manusia akan terlindungi secara adil.
Ironisnya, di hampir semua negeri mayoritas
berpenduduk muslim, kendali kekuasaan berada di tangan orang-orang yang menolak
pemberlakuan syari’ah Islam, sehingga kerapkali bersikap phobi terhadap
syari’at Islam, ujung-ujungnya menjadi penentang paling keras terhadap
penerapan Syari’at Islam di lembaga pemerintahan. Mereka menjadi penguasa yang
paling berani mengintimidasi gerakan-gerakan Islam
yang menuntut berlakunya Syari’at Islam secara kaffah.
Tidak berhenti sampai di situ saja, usaha yang sungguh-sungguh di dalam menerapkan Syari’at Islam oleh sebagian kalangan justru ditafsirkan dengan menggunakan kacamata rasis, seperti munculnya sindiran atau cemoohan Arabisasi.
Tidak berhenti sampai di situ saja, usaha yang sungguh-sungguh di dalam menerapkan Syari’at Islam oleh sebagian kalangan justru ditafsirkan dengan menggunakan kacamata rasis, seperti munculnya sindiran atau cemoohan Arabisasi.
Dalam kasus RUU APP, Goenawan Mohamad jurnalis senior pendiri Tempo, mencurigai
kandungan RUU tersebut lebih bermuatan Arab. Melalui opininya di media cetak
yang ia kuasai, tepatnya Maret 2006, Goenawan tidak sungkan-sungkan menunjukkan
‘kebenciannya’ terhadap hal-hal yang berbau Arab. Sikap anti-Arab adalah sikap
yang dimiliki Yahudi alias Israel.
Maka, ketika media massa memberitakan tentang Goenawan Mohamad menerima
penghargaan Dan David Prize tahun 2006 oleh Universitas Tel Aviv (TAU), Israel,
kita semakin mengerti, keterkaitan antara keduanya.
Sindiran dan cemoohan seperti itu jelas mengingkari sejarah (a-historis).
Karena pada dasarnya masyarakat Nusantara sebelum wujud ke dalam NKRI telah
menerapkan syari’at Islam. Seperti dikatakan LWC Van den Berg (1845-1927) ahli
Hukum bangsa Belanda, Syari’ah Islam sudah diterapkan di banyak segi
kehi-dupan. Barulah ketika kolonialis Belanda bermaksud memangkas semangat
jihad ummat Islam, mereka melakukan de-Islamisasi dengan memberlakukan hukum
adat yang tidak jarang secara substansial bertentangan dengan Syari’at Islam.
Menurut catatan Alwi
Shahab , wartawan
senior Republika, antara 1795-1801 di
Betawi terbit koran umum yang oleh kolonial Belanda disebut koran inlander
(pribumi) dengan menggunakan bahasa Arab Melayu. Sebelum tahun 1872, hampir semua naskah di Nusantara ditulis dalam huruf
Arab, baik naskah berbahasa Sunda, Jawa, Melayu, maupun etnis lainnya.
Alwi menuliskan, “Begitu luasnya bahasa Arab jadi bacaan sehari-hari, hingga
mata uang yang dikeluarkan pemerintah kolonial bagian belakangnya tertulis
dalam bahasa Arab-Melayu. Ini terjadi bukan hanya di Indonesia,
tapi juga di negeri-negeri jajahan Inggris, seperti Singapura dan Malaya (kini Malaysia).
Kala itu, hampir seluruh masyarakat buta huruf Latin, tapi melek huruf Arab.”
Bahkan, kemampuan membaca huruf Arab-Melayu
saat itu juga bisa dilihat pada warga Cina peranakan, yaitu keturunan Cina yang
lahir di Indonesia.
Kini, amat langka menemukan keturunan Cina di Indonesia yang bisa membaca huruf
Arab-Melayu. Bahkan saat ini kita tidak pernah lagi menemukan media cetak untuk
umum yang berbahasa Arab. Artinya, proses
de-Arabisasi sebagai bagian dari de-Islamisasi ini sudah berlangsung amat baik,
tetapi tudingan yang dimunculkan justru adanya Arabisasi atau Islamisasi
misalnya atas sejumlah Perda Anti Maksiat yang diproduksi daerah tertentu
melalui mekanisme demokrasi sekuler. Ini jelas memutarbalikkan fakta.
Fakta sejarah menjadi bukti, apapun
kebijakan politik, ekonomi, sosial yang diambil pemerintah, tidak akan bisa
menolong memperbaiki kondisi negeri ini, selama para pemimpin meninggalkan
Syari’at Islam. Sebaliknya, keberkahan akan senantiasa menyertai negeri ini.
Suatu bangsa hanya bisa terbebas dari berbagai kemelut dan kehancuran bila
mereka kembali pada jalan Allah, tunduk pada Syari’ah-Nya, dan
bersungguh-sungguh dalam memberantas segala perbuatan yang menyalahi agama
Allah.
“Sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman
dan bertaqwa kepada Allah, niscaya Kami bukakan kepada mereka segala macam
barakah dari langit dan dari bumi. Namun karena mereka mengingkari ayat-ayat
Kami, maka Kami siksa mereka akibat perbuatan mereka sendiri.” (Qs. Al-A’raf,
7:96, baca hingga ayat 100).
B. Syari’ah Islam Dalam Konstitusi Indonesia
Islam mengajak umat
manusia untuk mengikuti aturan hidup yang lurus dan benar. Tujuannya, untuk
menyelamatkan umat manusia, baik sebagai individu maupun kelompok bangsa-bangsa, agar terhindar dari
kesesatan dan kerugian di dunia maupun di akhirat. Firman Allah Swt dalam Qs.
Ar-Rum, 30:30 yang artinya:
“Hadapkanlah dirimu pada dien (aturan kehidupan) yang lurus. Dien ciptaan Allah yang sejalan dengan fitrah manusia. Tidak ada sedikit pun perubahan pada ciptaan Allah. Itulah dien yang lurus, tetapi sebagian manusia tidak memahaminya” .
“Hadapkanlah dirimu pada dien (aturan kehidupan) yang lurus. Dien ciptaan Allah yang sejalan dengan fitrah manusia. Tidak ada sedikit pun perubahan pada ciptaan Allah. Itulah dien yang lurus, tetapi sebagian manusia tidak memahaminya” .
Arti kata fitrah adalah
bahwa manusia akan senantiasa baik kehidupannya jika ia berpijak pada jalan
yang memberi kehidupan kepadanya, manusia akan baik kehidupannya jika ia
berpijak pada syari’at Allah yang menciptakan umat manusia. Adapun syari’ah
menurut istilah berarti ketentuan hukum Allah yang diturunkan kepada para nabi
dan rasul untuk umatnya. Dari pengertian tersebut, syari’ah dapat dibedakan
dalam dua pengertian, yaitu:
- Syari’ah yang diturunkan Allah kepada para Nabi dan Rasul untuk umatnya, sebelum terutusnya Muhammad Rasulullah sebagai rasul terakhir. Kepada semua kitab yang diturunkan atas para Nabi dan Rasul sebelum Rasulullah Saw, umat Islam wajib mengimaninya.
- Syari’ah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, yang terkandung dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah sebagai Nabi dan Rasul terakhir. Syari’ah inilah yang diperintahkan kepada umat Islam untuk menegakkannya dan hukumnya wajib.
Setidaknya ada tiga
alasan mendasar, mengapa umat Islam menuntut formalisasi Syari’ah Islam di
dalam lembaga pemerintahan (politik), yaitu:
- Pelaksanaan Syari’at Islam secara kaffah merupakan ibadah sekaligus kewajiban kolektif umat Islam yang merupakan umat mayoritas negeri ini. Pelaksanaan Syari’ah Islam secara kaffah hanya dapat dilaksanakan melalui kekuasaan negara, tidak cukup dalam lingkup pribadi dan keluarga saja.
- Lembaga negara merupakan lembaga yang mempunyai otoritas dan kewenangan mengatur masyarakat untuk melaksanakan Syari’at Islam yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
- Formalisasi syari’ah Islam di dalam lembaga negara merupakan hak yuridis konstitusional umat Islam yang dijamin oleh UUD 45 pasal 29, ayat 1 dan 2 serta Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang hingga saat ini masih dinyatakan berlaku.
Persoalannya adalah,
bagaimana kita memahami pernyataan dalam pasal 29 ayat 2: “Beribadah menurut
agama dan kepercayaannya itu.” Apakah UUD 1945 emberi penjelasan mengenai definisi ibadah
yang dimaksud?
Terhadap pertanyaan ini,
diperlukan kesamaan persepsi, sehingga setiapkali umat Islam menuntut
berlakunya syari’at Islam, pemerintah tidak secara semena-mena menuduhnya menentang
dasar negara, melawan pemerintah yang sah dsbnya.
Mengapa Islam dianggap sebagai ancaman, sejak penolakan segelintir tokoh
nasional tentang realisasi UUD pasal 29 ayat1 tentang realisasi Syari’at Islam
melalui penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta? Hal ini dirasakana oleh
umat Islam sebagai proses diskriminasi yang kurang difahami oleh umat Non
Muslim, termasuk umat Islam yang masih berpandangan sekuler.
Menurut Prof. Dr. Hazairin, tafsir terhadap
pasal 29 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi:”Negara berkewajiban untuk mengatur dan
mengawasi agar warga negara Indonesia
menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agama masing-masing.” Maksudnya adalah,
pertama, di negara RI tidak
boleh ada aturan yang bertentangan dengan agama. Kedua, negara RI wajib melaksanakan Syari’at Islam bagi umat
Islam, Syari’at Nasrani bagi Nasrani dan seterusnya. sepanjang pelaksanaannya
memerlukan bantuan kekuasaan negara. Ketiga,
setiap pemeluk agama wajib menjalankan syari’at agamanya secara pribadi dalam
hal-hal yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara. (Demokrasi Pancasila,
Penerbit PT Rineka Cipta, Jakarta, 1970, hal. 33-34)
Pertanyaannya, apakah tafsir UU ini mengikat
secara nasional? Sejauh belum terdapat tafsir lain, seharusnya pemerintah
berpegang pada tafsir ini, sebuah tafsiran yang paling logis diterima akal
sehat. Negara RI membutuhkan Syari’at Islam untuk meraih
cita-cita kemerdekaannya. Fakta dan latar belakang historis sejarah
kemerdekaan, jelas pemeran utamanya didominasi umat Islam. Selain itu, legal,
formal dan konstitusional tidak bertentangan dengan undang-undang RI. Bahkan,
Syari’at Islam memberikan norma-norma dan nilai-nilai integral dan komprehensif
meliputi seluruh persoalan masyarakat, bangsa dan Negara/antar bangsa. Lebih
dari itu semua, secara substansial syari’at Islam dapat memenuhi harapan dan
cita-cita bangsa/kemerdekaan Indonesia
untuk kepentingan negaranya maupun bangsa lain di dunia.
Mengingat kondisi Indonesia
yang terus menerus dilanda bencana dan berbagai krisis, adalah mendesak untuk menerap-
kan Syari’at
Islam dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan pengelolaan Negara. Karena,
Syari’at Islam merupakan kebutuhan bersama bangsa Indonesia, berdasarkan alasan:
Pertama,
masyarakat/bangsa Indonesia
memerlukan satu sistem pengelolaan Negara yang dapat memberikan perlindung- an
hak-hak sipil dan memberi pengayoman kehidupan sosial mereka yang selama ini
tidak mereka dapatkan.
Kedua, ekonomi
yang dikendalikan oleh kapitalisme global tidak dapat dihadapi selain dengan
sistem ekonomi Negara yang tidak bergantung dengan regulasi mata uang asing dan
sistem ribawi yang hanya menguntungkan para pemodal saja.
Ketiga, syari’at
Islam mengatur keberagaman budaya dan keyakinan sebagai hak asasi setiap orang
yang tidak boleh memperlemah kepribadian, moral, dan intelektual sehingga harus
ada regulasi konstitusional untuk memperkuat kepribadi-an, moralitas dan
intelektual bangsa.
Keempat, secara
historis syari’at Islam telah menjadi perekat/penyatu rakyat Indonesia serta memberikan landasan
civil culture dan pembinaan moral bangsa, sebagaimana analisis historis yang
dikemukakan Kuntowijoyo di atas.
Persoalannya adalah, bagaimana kita memahami
pernyataan dalam pasal 29 ayat 2: “beribadah menurut agama dan kepercayaannya
itu.” Apakah UUD 1945 memberi penjelasan mengenai definisi ibadah yang
dimaksud?
Terhadap pertanyaan ini, diperlukan kesamaan persepsi, sehingga setiapkali umat Islam menuntut berlakunya syari’at Islam, pemerintah tidak secara semena-mena menuduhnya menentang dasar negara, melawan pemerintah yang sah dsbnya. Mengapa Islam dianggap sebagai ancaman, sejak penolakan segelintir tokoh nasional tentang realisasi UUD pasal 29 ayat1 tentang realisasi Syari’at Islam melalui penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta? Hal ini dirasakana oleh umat Islam sebagai proses diskriminasi yang kurang difahami oleh umat Non Muslim, termasuk umat Islam yang masih berpandangan sekuler.
Terhadap pertanyaan ini, diperlukan kesamaan persepsi, sehingga setiapkali umat Islam menuntut berlakunya syari’at Islam, pemerintah tidak secara semena-mena menuduhnya menentang dasar negara, melawan pemerintah yang sah dsbnya. Mengapa Islam dianggap sebagai ancaman, sejak penolakan segelintir tokoh nasional tentang realisasi UUD pasal 29 ayat1 tentang realisasi Syari’at Islam melalui penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta? Hal ini dirasakana oleh umat Islam sebagai proses diskriminasi yang kurang difahami oleh umat Non Muslim, termasuk umat Islam yang masih berpandangan sekuler.
Upaya penerapan syari’at Islam di Indonesia
tidak luput dari berbagai fitnah. Lihat penolakan terhadap UU anti pornografi
yang bertujuan melindungi rakyat Indonesia dari dekadensi moral, sampai
sekarang belum disyahkan karena masih terlalu banyak pihak yang keberatan, baik
pihak eksekutif, legislatif maupun organisasi masyarakat. Munculnya keberanian
daerah untuk membuat dan menerapkan Perda yang memerangi kemaksiatan dan
penyakit masyarakat perlu mendapat dukungan penuh dari seluruh bangsa indonesia.
Dan terbukti dengan berlakunya Perda Anti Maksiat ini, tingkat kemaksiatan di
masing-masing daerah menurun drastis.
Apa dasar orang menolak Syari’at Islam?
Sikap 51 anggota DPR yang menuntut dan mengajukan memorandum agar pemerintah
mencabut Perda-Perda, yang mereka sebut sebagai Perda Syariat. Mereka
menggunakan alasan yang sama sekali tidak mempunyai hubungan kausalitas.
Menurut mereka, Perda Syari’at bertentangan dengan Pancasila dan kebhinekaan.
Perda yang bernuansa primordial keagamaan dapat mengan- cam pluralitas
masyarakat, mengganggu iklim investasi dan tidak sesuai dengan kepentingan
publik (Media Indonesia 16/6/06).
Dalam rangka ini pula, kaum nasionalis
sekuler, terutama Non Islam, tanpa sungkan menjadikan Pancasila sebagai jimat
sakti untuk menjegal peluang berlakunya Syari’at Islam. Mereka lebih sibuk
menyerimpung umat Islam yang mau menjalankan Syari’at Islam, ketimbang misalnya,
menuntut hak beribadah dan menerapkan ketentuan agamanya.
Kala memperingati Harlah Pancasila, 4 Juni
2006 lalu di Bandung, tampil sejumlah tokoh nasional mengeksploitasi eksistensi
bangsa Indonesia yang bersifat Bhineka Tunggal Ika. Segala bentuk penyeragaman
yang berlandaskan agama dinilai melawan kebhinekaan. Padahal, jika jujur
berpegang pada asas kebhinekaan, hukum yang berlaku di Indonesia tidak boleh hanya satu,
tapi beragam guna menaungi berbagai golongan, agama, budaya dan adat istiadat.
Nyatanya, hukum pidana Islam tidak menjadi hukum positif di negeri ini.
Tidak itu saja. Upaya penyeragaman budaya dan moral, atas nama agama, dikaitkan dengan dukungan ormas Islam terhadap RUU APP, juga dikritik pedas. “Bhineka Tunggal Ika sebagai landasan awal bangsa Indonesia harus dipertahankan, sehingga tindakan menyeragamkan budaya itu tidak dibenarkan,” kata Megawati Soekarnoputri. Penyeragaman ideologi, budaya, dan seni, tidak pernah dipaksakan oleh umat Islam, justru paksaan datang dari penguasa. Di masa Bung Karno berkuasa, doktrin Nasakom dan seni Lekra dipaksakan berlaku secara zalim, sedang yang berjiwa keagamaan dinyatakan musuh revolusi. Rezim Soeharto setali tiga uang, memaksakan berlakunya asas tunggal pancasila. Sekarang, kaum sekuler memaksakan penyeragaman, yaitu negara steril dari pengaruh agama.
Tidak itu saja. Upaya penyeragaman budaya dan moral, atas nama agama, dikaitkan dengan dukungan ormas Islam terhadap RUU APP, juga dikritik pedas. “Bhineka Tunggal Ika sebagai landasan awal bangsa Indonesia harus dipertahankan, sehingga tindakan menyeragamkan budaya itu tidak dibenarkan,” kata Megawati Soekarnoputri. Penyeragaman ideologi, budaya, dan seni, tidak pernah dipaksakan oleh umat Islam, justru paksaan datang dari penguasa. Di masa Bung Karno berkuasa, doktrin Nasakom dan seni Lekra dipaksakan berlaku secara zalim, sedang yang berjiwa keagamaan dinyatakan musuh revolusi. Rezim Soeharto setali tiga uang, memaksakan berlakunya asas tunggal pancasila. Sekarang, kaum sekuler memaksakan penyeragaman, yaitu negara steril dari pengaruh agama.
Mengapa, upaya perbaikan masyarakat
menggunakan Syari’at Islam selalu direspon negatif? Bila Syari’at Islam memberi
solusi komprehensif terhadap problem sosial, politik, pertahanan keamanan, dan
moral, mengapa ditolak? Bukankah, demokrasi sekuler telah gagal menjadi solusi
alternatif membangun negara yang adil dan beradab? Karenanya, para penentang
Syari’at Islam jangan memprovokasi masyarakat yang akibatnya hanya memperparah
kerusakan bangsa.
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar syari’at Allah dengan kekafiran, dan menjerumuskan negerinya ke lembah kebinasaan?” (Qs. Ibrahim, 28)
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar syari’at Allah dengan kekafiran, dan menjerumuskan negerinya ke lembah kebinasaan?” (Qs. Ibrahim, 28)
Perda anti maksiat tersebut baru diterbitkan
di 22 kota dan kabupaten di seluruh Indonesia,
yang berjumlah sekitar 400 kota/kabupaten. Jadi, baru kira-kira 5% daerah
tingkat II yang menerapkan Perda yang dianggap berbau syari’at ini. Perda-perda
tersebut antara lain:
BAB II
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Syari’at Islam bersifat komprehensif dan
universal, pelaksanaan syari’at Islam secara kaffah akan membawa rahmat bagi
seluruh alam. Komprehensif artinya syari’at Islam mengatur sistem kehidupan
secara lengkap dalam setiap aspek kehidupan. Universal artinya syari’at Islam
bersifat dinamis, dapat diimplementasikan kapan saja, dimana saja.
Misi rahmatan lil alamin merupakan misi
universal, pelaksanaan syari’at Islam akan menciptakan kebaikan bagi seluruh
umat manusia. Karena sumber nilainya jelas, dan segala aspek yang menjadi
kebutuhan manusia jelas pula aturannya di dalam Islam, sehingga tidak perlu
bingung mencari rumusan mengenai perbuatan yang tercela dan terpuji, porno atau
tidak porno. Kini, tinggal kemauan politik pemerintah untuk mewujudkan Syari’ah
Islam sebagai Rahmatan lil Alamin.
B. Saran
Penulis mengharapkan kritik dan saran- saran dari
pembaca yang bersifat membangun dan penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini, semoga makaalah
ini bermanfaat bagi kita semua dan pembaca pada umumnya, penulis juga menyadari
akan keterbatasan bahan dan sumber didalam pembuatan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, UI-PRESS, Jakarta, 1986.
Harun
Nasution, Teologi Islam, UI Press.
Hal 128
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !