BAB I
PENDAHULUAN
Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin
Tsabit al-Kufiy merupakan orang yang faqih di negeri Irak, salah satu imam dari
kaum muslimin, pemimpin orang-orang alim, salah seorang yang mulia dari
kalangan ulama dan salah satu imam dari empat imam yang memiliki madzhab. Di
kalangan umat Islam, beliau lebih dikenal dengan nama Imam Hanafi.
Nasab dan
Kelahirannya bin Tsabit bin Zuthi (ada yang mengatakan Zutha) At-Taimi Al-Kufi Beliau adalah Abu Hanifah An-Nu’man
Taimillah bin Tsa’labah. Beliau berasal dari keturunan bangsa persi. Beliau
dilahirkan pada tahun 80 H pada masa shigharus shahabah dan para ulama
berselisih pendapat tentang tempat kelahiran Abu Hanifah, menurut penuturan
anaknya Hamad bin Abu Hadifah bahwa Zuthi berasal dari kota Kabul dan dia
terlahir dalam keadaan Islam. Adapula yang mengatakan dari Anbar, yang lainnya
mengatakan dari Turmudz dan yang lainnya lagi mengatakan dari Babilonia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
HANAFIYAH
Imam Abu Hanifah di lahirkan di Kota Kuffah pada tahun 80 H (699 M). Beliau
mula-mula mempelajari Ilmu Kalam, kemudian mempelajari Ilmu Fiqih dengan
seorang yang bernama Hamad Bin Sulaiman di Kota Kufah dan wafat pada tahun 150
H (769) di Baghdad.
Irak dimana Abu Hanifah dilahirkan suatu daerah yang penuh dengan
pergolakan politik dan letaknya jauh dari kota
Madinah yang tentunya jumlah hadits yang ada di daerah ini sangat sedikit dan
juga kalangan Khawarij dan Syi’ah yang berupaya menarik perhatian umat Islam
untuk memperkuat propaganda politik mereka.
Dasar-dasar Istidlal yang digunakan oleh Abu Hanifah adalah Al-Qur’an,
Sunnah dan Ijtihad dalam pengertian luas. Artinya jika Nash Al-Qur’an dan Sunah
secara jelas-jelas menunjukkan suatu hukum itu disebut, maka beliau mengambil
dari keduanya. Tetapi bila nash tersebut menunjukkan secara tidak
langsung/hanya memberikan kaidah-kaidah dasar yang menunjukkan moral, Illat
maka pengambilan hukum tersebut melalui Qiyas.
Dalam pernyataan tersebut Abu Hanifah tidak menyebutkan Qiyas dan
Ihtisshan kedalam dasar-dasar yang menjadi pijakan dalam berijtihad sebab yang
Beliau maksudkan ialah dasar Naqliyah sementara Qiyas dan Istihsan merupakan
metode Istidlal Aqliyah.
Masalah ini dapat dipahami dari pernyataan Abu Hanifah bahwa “Beliau
tidak merujuk pada pendapat sahabat kecuali apabila tidak ditemukan dalam
Kitabullah dan Sunnah Nabi. Demikian pula apabila tidak ditemukan dalam
pendapat sahabat dan masalahnya sampai pada tabi’in maka Beliau berijtihad
sebagaimana mereka berijtihad.
Dalam masalah ini sebenarnya belum ada perbedaan dengan para imam yang
lain. Semua imam sepakat tentang keharusan merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah.
Yang membedakan dasar-dasar pemikiran Abu Hanifah dengan yang lain sebenarnya
terletak pada kegemaran Beliau dalam menyelami suatu hukum, mencari tujuan
moral dan kemaslahatan yang menjadi sasaran utama disyari’atkannya suatu hukum.
Termasuk dalam hal ini adalah teori penggunaan qiyas, istihsan, urf (adat
kebiasaan), kemaslahatan dan lainnya. Perbedaan yang lebih tajam lagi bahwa Abu
Hanifah menggunakan teori-teori tadi dan sangat ketat dalam penggunaan hadits
ahad, tidak seperti para imam lainnya. Imam Abu Hanifah sering menafsirkan
suatu nash dengan membatasi konteks aplikasinya dalam kerangka, Illat, hikmah,
dan tujuan-tujuan moral dan bentuk kemaslahatan yang beliau pahami. Betapapun
Abu Hanifah terkenal dengna mazhab rasionalis yang acapkali menyelami dibalik
arti dan ilat suatu hukum dan sering mempergunakan Qiyas tetapi itu tidak
berarti beliau telah mengabaikan nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah. Tidak ada
riwayat shohih yang menyebutkan bahwa Abu Hanifah mendahulukan rasion daripada
sunnah. Bahkan jika beliau menemukan pendapat sahabat yang benar beliau menolak
untuk berijtihad. Dengan kata lain pemikiran fikih Abu Hanifah tidak berdiri
sendiri, tetapi malah berakar kuat pada pendahulunya di Irak dan juga para ahli
hadits di Hijaz.
Muhammad Bin Ahsan, seperti yang dikutip oleh Abu Zahrah membenarkan
dalam masalah hukum seseorang melakukan hubungan dengan istrinya sebelum Tawaf,
Abu Hanifah mengambil pendapat Ibnu Abbas seorang ulama’ Ahli Hadits Makkah dan
menolak pendapat Ibrahim yang dikenal banyak mewariskan pemikiran fiqih
rasional kepadanya.
Secara faktual pemikiran Abu Hanifah memang sangat mendalam dan rasional.
Beliau memberi syarat yang cukup ketat dan selektif dalam penerimaan hadits
ahad. Bagi Abu Hanifah ada 3 syarat yang harus di penuhi dialam penerimaan
hadits ahad sebagai berikut :
1.
Orang yang meriwayatkan hadits tidak
boleh berbuat/berfatwa yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan.
2.
Hadits ahad tidak boleh menyangkut
persoalan umum dan sering terjadi sebab kalau menyangkut persoalan umum dan
sering terjadi mestinya hadits tersebut diriwayatkan oleh banyak perawi tidak
seorang saja.
3.
Hadits ahad tidak boleh bertentangan
dengan kaidah-kaidah umum atau dasar-dasar kulliyah.
Abu Hanifah lebih mengutamakan hadits yang diriwayatkan oleh fuqoha’ dan
pada seorang ahli hadits kejujuran saja belum cukup unutk mengetahui seluk
beluk hadits apalagi yang menyangkut hukum.. Oleh karena itu Abu Hanifah lebih
mengutamakan hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang mengerti masalah
fiqih.
Kondisi sosiologis dimana Abu Hanifah dibesarkan tentu mempengaruhi cara
berfikir. Dengan sikap selektif dalam penerimaan hadits ahad Abu Hanifah dapat
lebih leluasa melakukan penafsiran hadits-hadits shahih, menyelami tujuan moral
dan banyak mempergunakan rasio sehingga mampu memberi jawaban perkembangan
terhadap berbagai perkembangan pada saat itu. Para
ahli fiqih diwilayah Kufah lebih banyak mengenal dan mengerti hadits dan fuqoha
bukan dan para muhaddisin. Sudah barang tentu Abu Hanifah dituntut untuk
menyeleksi hadits yang sampai ke Kufah atau minimal menyangsikan kesahihan
hadits atau perawinya yang tidak memenuhi persyaratan. Dan situ beliau
cenderung memakai rasio dan ijtihad.
Dr. Faruq Abu Zaid menyebut beberapa faktor lain yang melatar belakangi
kecenderungan dan metode rasional Abu Hanifah. Penduduk Kufah tempat Beliau
dilahirkan dan dibesarkan merupakan masyarakat yang sudah banyak mengenal
kebudayaan dan peradaban. Fuqoha’ daerah ini sering dihadapkan pada berbagai
pedoman hidup berikut problematikanya yang beranekaragam. Untuk mengatasi
persoalan-persoalan tersebut mereka terpaksa memakai ijtihad dan akal. Keadaan ini
berbeda dengan Hijaz. Masyarakat daerah ini masih diliputi oleh suasana kehidupan Badawah (sederhana) seperti keadaan pada masa
Nabi. Untuk mengatasi berbagai masalah dalam kondisi seperti ini para ahli
fiqih merasa cukup dengan mengandalkan Al Quran, Sunnah dan Ijma’ para sahabat.
Karena itulah mereka tidak merasaperlu berijtihad seperti fliqoha’ Irak.
Faktor lain yang menyebabkan Abu Hanifah menjadi
seorang rasionalis bahwa Beliau tidak Iangsung menggumuli Ilmu-ilmu syariat.
Pada awal kehidupan Iklmiahnya Beliau mempelajari Ilmu kalam kemudian belajar
Fiqih kepada Syeh Hammad Bin Sulaiman. Beliau juga seorang pedagang kain yang
menyebabkan Beliau mempunyai pengalaman yang luas dalam bidang perdagangan.
Studinya dalam Ilmu kalam membuatnya tampil dalam menggunakan logika untuk
mengatasi berbagai persoalan Fiqih.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah
di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin
Tsabit al-Kufiy merupakan orang yang faqih di negeri Irak, salah satu imam dari kaum muslimin, pemimpin
orang-orang alim, salah seorang yang mulia dari kalangan ulama dan salah satu
imam dari empat imam yang memiliki madzhab.
Imam Abu Hanifah di lahirkan di Kota Kuffah pada tahun 80 H (699 M).
Beliau mula-mula mempelajari Ilmu Kalam, kemudian mempelajari Ilmu Fiqih dengan
seorang yang bernama Hamad Bin Sulaiman di Kota Kufah dan wafat pada tahun 150
H (769) di Baghdad.
Dasar-dasar Istidlal yang digunakan oleh Abu Hanifah adalah Al-Qur’an,
Sunnah dan Ijtihad dalam pengertian luas. Artinya jika Nash Al-Qur’an dan Sunah
secara jelas-jelas menunjukkan suatu hukum itu disebut, maka beliau mengambil
dari keduanya. Tetapi bila nash tersebut menunjukkan secara tidak
langsung/hanya memberikan kaidah-kaidah dasar yang menunjukkan moral, Illat
maka pengambilan hukum tersebut melalui Qiyas.
Secara faktual pemikiran Abu Hanifah memang sangat mendalam dan rasional.
Beliau memberi syarat yang cukup ketat dan selektif dalam penerimaan hadits
ahad. Bagi Abu Hanifah ada 3 syarat yang harus di penuhi dialam penerimaan
hadits ahad sebagai berikut :
1.
Orang yang meriwayatkan hadits tidak
boleh berbuat/berfatwa yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan.
2.
Hadits ahad tidak boleh menyangkut
persoalan umum dan sering terjadi sebab kalau menyangkut persoalan umum dan
sering terjadi mestinya hadits tersebut diriwayatkan oleh banyak perawi tidak
seorang saja.
3.
Hadits ahad tidak boleh bertentangan
dengan kaidah-kaidah umum atau dasar-dasar kulliyah.
DAFTAR
PUSTAKA
indotopsite.com/search/sejarah+wahabi
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !