BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum
muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh
dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah
dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum
mengerti. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum
muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup
beliau.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa sajakah
tasawuf yang dikembangkan oleh al-Ghazali ?
2.
Bagaimana
pandangan Al-Ghazali tentang Ma'rifat ?
BAB II
PEMBAHASAN
Beliau bernama Muhammad bin Muhammad
bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar
A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah
6/191). Para ulama nasab berselisih dalam
penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama
beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan
oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah
seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin
Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah
anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah
salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al
Ghazzali).[1]
Ayah beliau adalah seorang pengrajin
kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan
pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia
berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab)
dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini.
Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh
dihabiskan untuk keduanya.”
Pengaruh filsafat dalam diri beliau
begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat,
seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan
tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar.
Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian
dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar
meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena
itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya
sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’,
Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’
Fatawa 6/54).
Polemik Kejiwaan Imam Ghazali
Kedudukan dan ketinggian jabatan
beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya
berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu
kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas
dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan
mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.
Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal
beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke
Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk
di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang
sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al
Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan
mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
A.
Ajaran
Tasawuf Al-Ghazali
Ketertarikan
Al-Ghazali pada tasawuf tidak saja telah membuatnya memperoleh pencerahan dan
ketenangan hati. Lebih jauh lagi, justru dia memiliki peran yang cukup
signifikan dalam peta perkembangan tasawuf.
Jika pada awal
pembentukan tasawuf-berupaya menenggelamkan diri pada Tuhan-dimeriahkan dengan
tokoh-tokohnya seperti Hasan Basri (khauf), Rabi`ah Al-Adawiyah (hub al-ilah),
Abu Yazaid Al-Busthami (fana`), Al-Hallaj (hulul), dan kemudian berkembang
dengan munculnya tasawuf falsafi dengan tokoh-tokohnya Ibn Arabi (wahdat al-wujud),
Ibn Sabi`in (ittihad), dan Ibn Faridl (cinta, fana', dan wahdat at-shuhud) yang
mana menitikberatkan pada hakikat serta terkesan mengenyampingkan syariah,
kehadiran Al-Ghazali justru telah memberikan warna lain; dia telah mampu
melakukan konsolidasi dalam memadukan ilmu kalam, fiqih, dan tasawuf yang
sebelumnya terjadi ketegangan.
Kendatipun
sumbangan Al-Ghazali dalam tasawuf bisa dikatakan cukup besar dan telah
memberikan warna baru, dan berusaha merilis satu jalan ruhani menuju Tuhan
dengan mendasarkan Al Quran dan hadits, selain secara epistemologi berusaha
menemukan kebenaran dengan jalan intuisi (dzauqiyah), toh oleh banyak kalangan
(Barat) tasawuf tetap dianggap antirasionalitas. Bahkan yang lebih parah lagi
adalah adanya satu tuduhan di mana karena tasawuflah, umat Islam mengalami
kemunduran.
Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali
memilih tasawuf sunni berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Nabi ditambah dengan
doktrin Ahlu Al Sunnah wa Al-jama’ah. Corak tasawufnya adalah psikomoral yang
mengutamakan pendidikan moral yang dapat di lihat dalam karya-karyanya seperti
Ihya’ullum, Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al Hidayah, M’raj
Al Salikin, Ayyuhal Wlad. Al Ghazali menilai negatif terhadap syathahat dan ia
sangat menolak paham hulul dan utihad (kesatuan wujud), untuk itu ia
menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah
(taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya.
a.
Pandangan
Al-Ghazali tentang Ma’rifat
Menurut Al-Ghazali,
ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan
Tuhan tentang segala yang ada, alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada
sir-qolb dan roh. Pada saat sir, qalb dan roh yang telah suci dan kosong itu
dilimpahi cahaya Tuhan dan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, kelak
keduanya akan mengalami iluminasi (kasyf) dari Allah dengan menurunkan
cahayanya kepada sang sufi sehingga yang dilihatnya hanyalah Allah, di sini
sampailah ia ke tingkat ma’rifat.
ANALISIS
Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum
muslimin. Ayah beliau adalah seorang
pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi.
Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak
memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau
berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta
memberikan nafkah semampunya.
Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke
perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli
ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka.
Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan
memerintahkannya untuk pindah ke sana.
Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad
dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah
beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.
Ketertarikan Al-Ghazali pada tasawuf tidak saja
telah membuatnya memperoleh pencerahan dan ketenangan hati. Lebih jauh lagi,
justru dia memiliki peran yang cukup signifikan dalam peta perkembangan
tasawuf.
Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni berdasarkan
Al-Qur’an dan sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu Al Sunnah wa Al-jama’ah.
Corak tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral yang
dapat di lihat dalam karya-karyanya seperti Ihya’ullum, Al-Din, Minhaj
Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al Hidayah, M’raj Al Salikin, Ayyuhal Wlad.
BAB
II
KESIMPULAN
Dari pembahasan Makalah di atas maka penulis dapat menyimpulkan
bahwa : Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi,
Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323
dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).
Ketertarikan Al-Ghazali pada tasawuf tidak saja
telah membuatnya memperoleh pencerahan dan ketenangan hati. Lebih jauh lagi,
justru dia memiliki peran yang cukup signifikan dalam peta perkembangan
tasawuf.
Jika pada awal pembentukan tasawuf-berupaya
menenggelamkan diri pada Tuhan-dimeriahkan dengan tokoh-tokohnya seperti Hasan
Basri (khauf), Rabi`ah Al-Adawiyah (hub al-ilah), Abu Yazaid
Al-Busthami (fana`), Al-Hallaj (hulul), dan kemudian berkembang dengan
munculnya tasawuf falsafi dengan tokoh-tokohnya Ibn Arabi (wahdat al-wujud),
Ibn Sabi`in (ittihad), dan Ibn Faridl (cinta, fana', dan wahdat
at-shuhud) yang mana menitikberatkan pada hakikat serta terkesan
mengenyampingkan syariah, kehadiran Al-Ghazali justru telah memberikan warna
lain; dia telah mampu melakukan konsolidasi dalam memadukan ilmu kalam, fiqih,
dan tasawuf yang sebelumnya terjadi ketegangan.
Menurut Al-Ghazali, ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan
mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada, alat untuk
memperoleh ma’rifat bersandar pada sir-qolb dan roh. Pada saat sir, qalb dan
roh yang telah suci dan kosong itu dilimpahi cahaya Tuhan dan dapat mengetahui
rahasia-rahasia Tuhan, kelak keduanya akan mengalami iluminasi (kasyf)
dari Allah dengan menurunkan cahayanya kepada sang sufi sehingga yang
dilihatnya hanyalah Allah, di sini sampailah ia ke tingkat ma’rifat.
DAFTAR PUSTAKA
H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers (Eds), Shorter Encyclopadeia of Islam, E.J. Brill, Leiden, 195\61
Al-Syahrastani,
Nihayat al-Iqdam fi ‘Ilm al-Kalam, Diedit oleh Alfred Guillame Oxford
University Press, London,
1934
[1]Al-Syahrastani, Nihayat al-Iqdam fi ‘Ilm al-Kalam, Diedit oleh Alfred Guillame
Oxford University Press, London,
1934
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !