BAB I
PEMBAHASAN
Dalam pandangan al-Ghazali, pengenalan manusia terhadap dzat-Nya
(ma’rifatullah), adalah melalui hatinya. Hatilah yang dapat mengenal-Nya dan ia
pula yang dapat mendekatkan manusia kepada-Nya. Hati juga dapat berinteraksi
dengan Allah dan selalu berjalan menuju kepada-Nya. Hati merupakan media
penyingkap apa yang berada di sisi-Nya serta yang dimiliki-Nya. Fungsi dari
semua anggota tubuh manusia tidaklah lebih dari sekedar pengikut atau pembantu
hati dalam upaya menuju kepada-Nya. Hati akan memperoleh kemenangan dan
merasakan kesenangan jika selalu dekat dengan Allah sepanjang manusia menjaga
kebersihannya. Dalam keadaan lain hati akan menderita dan hilang harapannya
jika ia dalam keadaan kotor dan berlumuran najis. Ketaatan dan kemungkaran
kepada Allah adalah tingkah laku hati yang terefleksi dalam perbuatan lahir.
Kegelapan dan terangnya hati akan menampakkan bekasnya dalam bentuk amal
perbuatan baik dan buruk, seperti halnya setiap gelas akan memancarkan apa yang
ada di dalamnya.
Jika manusia telah mengenal hatinya, berarti dia telah mengenal
dirinya. Dan apabila seseorang telah mengenal dirinya sendiri, maka ia telah
mengenal Tuhannya. Dan bahwa Allah swt. bersemayam di antara diri dan hati
seseorang agar ia dapat menyaksikan-Nya, dapat mengenal sifat-sifat-Nya,
mengenal gerak-gerik hati mereka yang berada di antara dua jari Al-Rahman.
Selain itu manusia juga dikaruniai sifat-sifat ketuhanan seperti
senang berkuasa, keistimewaan, otoriter, ingin serba tahu dan yang lainnya.
Bersamaan dengan itu ia dikaruniai sifat-sifat binatang seperti emosi dan nafsu
syahwat. Kesemua karakter itu terdapat di dalam hati manusia.
Dengan demikian dalam diri manusia terdapat empat kombinasi unsur
pokok yaitu sifat ketuhanan, sifat setan, sifat kebuasan dan sifat
kebinatangan. Empat campuran ini bersenyawa dalam hati, sehingga di balik
penampakan luar manusia seakan terkumpul binatang babi, anjing, setan dan orang
bijak. Babi diibaratkan oleh al-Ghazali sebagai hawa nafsu, dan anjing
diibaratkan amarah; dimana keduanya memiliki kecenderungan berbuat aniaya dan
tercela. Setan adalah simbol yang senantiasa mengobarkan hawa nafsu,
membangkitkan keberingasan, dan rasa geram yang dimiliki oleh sifat babi dan
binatang buas.ia selalu membenarkan tindakan babi dan binatang buas.
Adapun orang bijak, ia adalah perumpamaan akal manusia yang
senantiasa berjuang melawan tipu daya setan serta menyingkap tipu muslihatnya
dengan pendangan batinnya yang tajam dan kebijakannya yang tegas. Ia bagaikan
seorang manajer dari kedua kekuatan anjing dan babi, sehingga apabila ia
berhasil mengelola keduanya dengan baik, maka akan terjadi keseimbangan dan
keadilan dalam kerajaan badan, hingga seseorang akan berjalan di atas jalan
yang lurus. Maka keberhasilan seseorang dalam mengekang syahwat dan amarahnya
itu akan memunculkan sifat-sifat pemberani, dermawan, penolong, pengendali hawa
nafsu, sabar, murah hati, tabah, pemaaf, tegar pendirian, ramah, cerdas,
berwibawa dan sebagainya.
Selain itu hati juga diibaratkan sepeti cermin yang dikelilingi
oleh hal-hal potensial yang mengelilinginya. Pengaruh kebaikan akan membuat
cermin tersebut semakin bersih, mengkilap, cemerlang dan bersinar. Dengan
demikian sinar kebenaran akan terpancar darinya, sehingga hakikat agama akan
tersingkap. Mengenai hal ini Nabi bersabda : “ Apabila Allah menghendaki
kebaikan bagi seorang hamba, maka Allah menjadikan hatinya sebagai
penasihatnya”.(H.R. ad-Dailami). Dan sabdanya : “ Barang siapa mempunyai
penasihat dari hatinya, niscaya ada penjaga dari Allah untuknya.” Hati inilah
yang selalu mengingat Allah (Q.S. Ar-Ra’du : 28).
Sebaliknya pengaruh keburukan bagi hati adalah ibarat cermin yang
diterpa asap hitam, sehingga cermin yang pada dasarnya cemerlang itu menjadi
menghitam dan pekat, hingga seluruh permukaannya tersekat dari Allah swt.
Inilah maksud firman Allah : “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang
mereka usahakan itu menutupi hati mereka”. (Q.S. Al-Muthaffifîn :14). Juga ayat
: “……….dan kami kunci mati hai mereka sehingga mereka tidak dapat mendengar
(pelajaran lagi)” (Al-A’raf : 100).
Apabila dosa telah bertumpuk-tumpuk, ia akan menutupi hati sehingga
hati tidak akan mampu mengetahui kebenaran dan kebaikan agama. Ia akan
meremehkan urusan akhirat dan mennganggap penting urusan dunia, hingga ia mencurahkan
segala pehatiannya pada urusan dunia. Maimun bin Mahran berkata : “Apabila
seorang hamba melakukan suatu dosa, maka noda hitam akan melekat di hatinya.
Apabila ia menghapusnya dan bertobat, hati terssbut akan mengkilap kembali. Dan
apabila ia mengulanng berbuat dosa, maka noda yang ditimbulkan lebih hitam dari
noda lama yang telah terhapus, sampai-sampai ia mampu mengalahkan hatinya”.
Pendapat ini diperkuat hadits Nabi : “Hati orang mukmin itu bersih, di dalamnya
terdapat pelita yang bercahaya. Sedang hati orang kafir itu hitam seluruh
permukaannya”. (H.R. Thabrani dan Ahmad).
Terangnya hati dan kemampuannya untuk melihat (ma’rifah) dapat
dicapai dengan berdzikir. Dan dzikir tidaklah mungkin dilakukan kecuali oleh
orang-orang yang berakwa. Maka taqwa dalah pintu dzikir, dan dzikir adalah
pintu tersingkapnya rahasia-rahasia ilahi (al-kasyf), dan al-kasyf adalah
kemenangan terbesar, yaitu pertemuan dengan Allah swt.
Perbuatan buruk yang diikuti perbuatan baik akan terhapus nodanya,
dan tidak menghitamkan hati. Akan tetapi ia akan dapat mengurangi cahaya hati.
Hal ini diibaratkan sepeti cermin yang ditiup kemudian diusap, lalu ditiup dan
diusap lagi, maka ia tetaplah keruh.
Adapun masuknya pengaruh-pengaruh yang muncul di dalam hati, dalam
keadaan apapun hanya akan muncul melalui sarana lahir yaitu panca indera, atau
melalui sarana batin seperti khayalan, syahwat, amarah, dan akhlak yang
terbentuk dari tabiat manusia. Manakala panca indera menangkap suatu objek,
kesan yang ditimbulkannya akan membekas di dalam hati. Demikian juga apabila
syahwat sedang berkobar lantaran terlalu banyak makan atau karena tabiat
syahwat memang kuat, maka bekasnya akan sampai pula dalam hati. Jadi hati itu
selalu berubah-ubah dan tepengaruh oleh sebab-sebab tertentu.
Dengan demikian menjaga dan memelihara kebersihan hati menjadi
sangat penting. Seseorang hendaknya menyibukkan diri menahan serangan-serangan
musuhnya (setan melalui was-was). Ia harus betul-betul mengetahui apa yang
harus dipersiapkan untuk itu, agar dapat menolak tipu daya setan dan gejolak
nafsu. Dari sini diketahui betapa pentingnya berbagai wiridan dan dzikir
sebanyak-banyaknya, I’tikaf, khalwat (mengasingkan diri dari hal-hal yang
berpretensi maksiat), takhannust (perenungan) dan lainya, sebagaimana Rasulullah
melakukannya di gua hira` menjelang wahyu pertama turun.
Mengenai berapa jumlah dzikir dan wiridan yang harus dibaca
seseorang (sâlik), para guru (mursyid) biasa menyesuaikannya dengan kondisi
rohani setiap orang. Keadaan hati yang sangat gelap tentu saja memerlukan lebih
banyak dzikir agar ia dapat segera berpindah dari sata khal (kondisi ruhaniah)
ke khal berikutnya yang lebih tinggi, hingga ia dapat segera mencapai tingkatan
makrifatullah.
Para pengamal sufisme yang melakukan perjalanan ruhaninya melalui tarekat biasa menyebut usaha menjaga kebersihan, kebeningan dan keselamatan hati ini dengan mujahadah (perjuangan di jalan Tuhan). Al-Hujwiri menyebut bahwa mujahadah adalah usaha bersusah payah dalam melakukan disiplin ibadah yang ketat dan berjuang keras melawan hawa nafsu untuk mencapai musyahadah (penyaksian). Mujahadah adalah bukti kekokohan cinta seorang sufi kepada Yang Satu.
Para pengamal sufisme yang melakukan perjalanan ruhaninya melalui tarekat biasa menyebut usaha menjaga kebersihan, kebeningan dan keselamatan hati ini dengan mujahadah (perjuangan di jalan Tuhan). Al-Hujwiri menyebut bahwa mujahadah adalah usaha bersusah payah dalam melakukan disiplin ibadah yang ketat dan berjuang keras melawan hawa nafsu untuk mencapai musyahadah (penyaksian). Mujahadah adalah bukti kekokohan cinta seorang sufi kepada Yang Satu.
Sebenarnya kemunculan
tasawuf sejalan dengan tabligh Nabi Muhammad saw kepada manusia di Arab.
Namun ajaran tasawuf
ini diajarkan Nabi Muhammad khusus kepada beberapa sahabatnya yang memiliki
tingkat spiritual yang lebih tinggi dibandingkan dengan sahabat lainnya,
seperti Ali kwh, dan sebagainya. Tidak semua sahabat beliau yang diajarkan
tentang ajaran tasawuf ini, mengapa? jawabnya adalah bukankah nabi Musa as
sebagai simbol eksoteris tidak dapat mengikuti “alur pikir” Khidr, simbol
pembawa pesan esoteris. Demikian juga dengan para sahabat nabi, tidak semua
dapat menjangkau ketinggian ajaran ini. Mungkin ini adalah salah satu alasan
mengapa ajaran tasawuf belum banyak diketahui saat itu.
Ada beberapa riwayat
yang menunjukkan bahwa tradisi tasawuf ini sudah ada sejak Nabi saw hidup,
misalnya:
1. Nabi Muhammad: Aku adalah orang ‘Arab dengan tanpa huruf ‘ayn (rab), dan
Ahmad dengan tanpa huruf mim (ahad). Barang siapa yang yang telah melihatku,
maka ia telah melihat Haqq.
2. Dalam suatu riwayat dikisahkan suatu ketika Aisyah memasuki kamarnya. Nabi
yang waktu itu di dalam, bertanya: “Siapa kau?”. “Putri Abu Bakar”, jawabnya.
“Siapa Abu Bakar?” tanya beliau. Saat itu barulah Aisyah menyadari bahwa Nabi
sedang dalam keadaan yang berbeda.
3. Nabi Muhammad: Seandainya Abu Dzar mengetahui apa yang tersembunyi di
hati Salman, maka dia pasti bakal membunuhnya.
4. Ali: “Aku mempunyai sejenis pengetahuan dalam batinku, yang bila saja
aku membukanya pada orang banyak, niscaya engkau akan gemetar seperti tali
panjang yang dijulurkan ke dalam sumur yang amat dalam“. Dalam riwayat lain
diriwayatkan melalui Abu Hurairah dengan perbedaan redaksi. Kemungkinan besar
Abu Hurairah tidak menyebutkan nama Ali sebagai narasumbernya sebagaimana yang
terjadi pada riwayat-riwayat dari Abu Hurairah biasanya.
5. Pada hari Thaif Rasulullah SAW berbicara berdua saja dengan Ali, maka
sebagian sahabat berkata “Lama sekali pembicaraan beliau dengan anak pamannya”.
Ketika disampaikan pada Rasul, Beliau SAW berkata “Bukan aku yang berbicara
dengannya tetapi Allah yang berbicara dengannya”.
6. Suatu hari sesudah menunaikan shalat, Nabi melihat seorang pemuda (Haritsah
bin Malik bin Nu’man al-Anshari?) yang lemah dan kurus, wajahnya pucat, matanya
cekung serta berjalan gontai dan susah payah. Nabi pun lantas bertanya:
“Siapakah engkau?” “Aku telah meraih tingkat keimanan tertentu,” jawabnya. “Apa
tanda-tandanya?” tanya Nabi. Dia menjawab, “Keimananku itulah yang membuatku
sedih, yang menyebabkanku bangun malam dan membuatku senantiasa haus di siang
hari (lantaran puasa). itulah yang membuatku lupa akan segala sesuatu di dunia
ini. Aku melihat seolah-olah Arsy Allah ditegakkan untuk menghitung amal-amal
manusia yang dikumpulkan di padang mahsyar dan aku termasuk salah seorang di
antara mereka. Aku melihat para penghuni surga bergembira dan berbahagia, dan
para penghuni neraka sedang diazab dan disiksa. bahkan, sekarang ini, telingaku
seakan-akan mendengar gelegak api neraka yang demikian dahsyat.” Nabi pun
berpaling kepada sahabat-sahabatnya dan bersabda, “Dia adalah salah seorang
yang hatinya telah diterangi Allah dengan cahaya keimanan.” Kemudian beliau
menoleh kepada pemuda itu dan bersabda, “Pertahankan keadaanmu seperti sekarang
ini, jangan sampai keadaan ini sirna.” Pemuda itu pun menyahut, “Wahai
Rasulullah! Tolong doakan aku agar Allah menganugerahkan kesyahidan kepadaku.”
Tak lama setelah pertemuan ini, terjadilah peperangan. Pemuda itu kemudian ikut
perang dan gugur sebagai syahid.
7. dan berbagai riwayat lainnya seperti percakapan Imam Ali dengan sahabatnya
Kumayl tentang Wali Tuhan yang ada di setiap zaman.
Tatkala Nabi saw wafat,
Saidina Abu Bakar meneruskan tali estafet spiritual sentral dari Nabi, meskipun
sahabat Nabi lain juga meneruskan dakwah Nabi. Tidak diragukan lagi bahwa Abu
Bakar memiliki keunggulan yang diakui oleh sahabat-sahabat lain. Abu Bakar
bukan hanya memegang kekhalifahan dunia akan tetapi juga kekhalifahan
kerohanian. Saidina Ali adalah sahabat Nabi yang juga meneruskan kepemimpinan
kerohanian dari Nabi. Keyakinan akan keunggulan dan afdhaliyah Imam Ali as. di
atas para sahabat lainnya telah diyakini sebagian sahabat besar seperti Salman
al-Farisi, Abu Dzar al-Ghiffari, al-Miqdad bin al-Aswad, Khabbab, Jabir ibn
Abdillah al-Anshari, Abu Said al-Khudri, Zaid bin Arqam, dkk.
Seiring dengan
berjalannya waktu, tasawuf mulai lebih dikenal pada masa para raja dinasti
Islam melakukan berbagai kemajuan dalam Islam, mulai dari penyebaran agama
Islam, kemajuan ekonomi, penyerapan ilmu pengetahuan, filsafat dan teknologi.
Beberapa latar belakang yang memungkinkan tasawuf mulai dikenal misalnya:
kebobrokan moral dan spiritual yang marak seiring dengan kemajuan ekonomi dan
kemaksiatan yang merajalela. Kekeringan spiritual tersebut semakin bertambah
parah sejalan dengan semakin eksisnya ajaran fiqih yang lebih menekankan pada
aspek-aspek lahiriyah dan saling menyalahkan dan memusuhi antar pemeluk mazhab.
Selain itu masalah lainnya adalah masuknya filsafat dalam tradisi Islam.
Wilayah Islam yang semakin luas menjadi jalan masuk bagi filsafat, cara
berpikir wilayah lain dalam tradisi pemikiran Islam. Filsafat Yunani, Persia
menjadi salah satu bagian ilmu pengetahuan dalam tradisi umat Islam sehingga
memunculkan para filosof Muslim dan ahli kalam yang pada akhirnya filsafat
menjadi bintang dalam tradisi Islam. Mereka menggunakannya untuk menjawab
segala persoalan yang ada, termasuk tentang Tuhan dan masalah yang berhubungan
dengan-Nya.
Pertumbuhan tasawuf
yang awal masih minim dengan istilah-istilah asing. Semua penjelasan tasawuf
masih sederhana. Namun tatkala filsafat mulai masuk dalam tradisi Islam,
istilah-istilah asing mulai dimunculkan. Istilah ini digunakan untuk
menjelaskan bagaimana jalan hidup bertasawuf, menjelaskan ‘perasaan’ para sufi
kepada para murid-murid yang baru memulai perjalanan mistik. Tasawuf juga
mengajarkan bahwa untuk ‘menjumpai’ Tuhan bukanlah dengan akal filsafat
sebagaimana yang marak saat itu. Tasawuf pulalah yang mengisi kekosongan aspek
moral spiritual yang tidak diajarkan dalam hukum fikih saat itu yang hanya
mengajarkan dan berdebat tentang aspek-aspek lahiriyah semata.
Namun diterimanya
tasawuf di tradisi Islam, bukan tanpa aral. Sebagian tokoh, terutama kalangan
ulama fikih menganggap tasawuf bukan dari ajaran Islam, tasawuf ajaran sesat,
meninggalkan syariat dan sebagainya. Namun semua tuduhan tersebut terbantahkan,
banyak ayat-ayat Qur’an yang menunjukkan kebenaran tasawuf. Semua para sufi
besar menempatkan al-Qur’an dan hadis Nabi sebagai landasan mereka. Hanya saja
mereka, kelompok penentang tasawuf tidak memahami ajaran tersembunyi dalam
al-Qur’an sehingga mereka menentang tasawuf. Bukankah Nabi pernah bersabda: “al-Qur’an
mempunyai makna lahir dan batin“. Rumi juga menuliskan bahwa: “al-Qur’an
adalah pengantin wanita yang memakai cadar dan menyembunyikan wajahnya darimu.
Bila engkau membuka cadarnya dan tidak mendapatkan kebahagiaan, itu disebabkan
caramu membuka cadar telah menipu dirimu sendiri, sehingga tampak olehmu ia
berwajah buruk. Ia mampu menunjukkan wajahnya dalam cara apapun yang
disukainya. apabila engkau melakukan apa-apa yang disukainya dan mencari
kebaikan darinya, maka ia akan menunjukkan wajah yang sebenarnya, tanpa perlu
kau buka cadarnya“.
Mengenai tuduhan bahwa
sufi meninggalkan syariat merupakan tuduhan yang tidak berdasar. Para tokoh
sufi memegang syariat dengan kuat, bahkan lebih teguh daripada para
penentangnya. Lihatnya saja bagaimana Abu Yazid al-Bustami – yang pernah
ekstase dan mengucapkan “Subhani, subhani, Sesungguhnya Aku adalah Allah,
tidak ada lagi tuhan selain Aku, maka menyembahlah kepada-Ku“,- tidak
pernah meludah di tanah di dekat Masjid, tidak pernah makan buah melon karena
ia tidak tahu bagaimana sunnah Nabi Muhammad saat memakannya, Bahkan salah satu
perintah Tuhan yang difirmankan kepadanya, “Untuk keluar dari keakuanmu,
ikutilah kekasih kita, Muhammad orang Arab. Lumurilah matamu dengan debu
kakinya dan teruslah mengikuti dia“.
BAB II
KESIMPULAN
Dari
pembahasan makalah tersebut diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa, Para sufi telah sepakat bahwa satu-satunya jalan untuk mencapai
penyaksian Tuhan (musyahadah) adalah dengan kesucian jiwa. Hati manusia
merupakan refleksi dzat Tuhan yang suci, dan karena itu hati manusia harus
mencapai tingkat kesucian dan kesempurnaan. Untuk mencapai hal itu setiap
muslim haruslah memiliki semangat dan ketekunan yang kontinu untuk dapat sampai
dan memperoleh hati yang bening, bersih dan selamat (qalbun salîm).
Menurut Imam Abu Hamid al-Ghazali, kemuliaan dan keutamaan manusia
terletak pada kesiapan manusia untuk mengenal (ma’rifah) Allah sang Pencipta.
Karena pengenalan manusia kepada Allah itulah manusia memperoleh keindahan,
kesempurnaan dan kebanggaan hidup di dunia, dan kelak di akhirat ia akan
memperoleh apa yang dijanjikan oleh-Nya.
DAFTAR
PUSTAKA
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !