BAB I
PEMBAHASAN
A. A S W A J A
1.
Latar Belakang Lahirnya
Ahlussunnah wal jama’ah
Setelah Rasulullah
SAW wafat, bibit-bitit perselisihan diantara umat Islam mulai tampak
perselisihan dalam berbagai masalah menyebabkan timbulnya firqoh-firqoh atau
aliran-aliran seperti telah di ramalkan oleh Rasulullah SAW.[1]
Menurut para ahli
sejarah, firqoh-firqoh dalam Islam timbul pada akhir pemerintahan Sayyidina
Utsman bin Affan. Ketika itu, tampil Abdullah Ibnu Saba’ seorang pendeta Yahudi
asal Yaman yang mengaku Islam.
Ahlussunnah wal
jama’ah muncul pada abad ke tiga Hijriah. Yang di anggap berjasa mempopulerkan
kembali adalah Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansyur Al-Maturidi,
Imam Hasan lahir di Basrah (Iraq) pada
tahun 260 H/873 M dan wafat pada tahun 324/935 M.[2]
Sedangkan Imam
Maturidi lahir di desa Maturid Samarqan dan wafat pada tahun 333 H, seperti
Imam Al-Asy’ari. Maturidi juga mempunyai kajian tentang I’tiqad Ahlussunnah wal
jama’ah sebagai mana yang di ajarkan oleh Nabi SAW dan para sahabatnya.
2.
Ruang Lingkup Aswaja
Karena secara substansi paham Aswaja adalah Islam
itu sendiri, rnaka ruang lingkup Aswaja berarti ruang bngkup Islam itu sendiri,
yakni aspek akidah, flqh, dan akhlaq. Seperti disebutkan oleh para ulama
Aswaja, bahwa aspek yang paling krusial diantara tiga aspek diatas adalah aspek
akidah. Aspek ini krusial karena pada saat Mu’tazilah dijadikan paham keagamaan
Islam resmi pemerintah oleh penguasa Abbasiyah, terjadilah kasus mihnah yang
cukup menimbulkan keresahan ummat Islam. Ketika Imam al-Asyari tampil
berkhotbah menyampaikan pemikiran-pemikiran teologi Islamnya sebagi koreksi
atas pemikiran teologi Mutazilah dalam beberapa hal yang dianggap bidah atau
menyimpang, maka dengan serta merta masyarakat Islam menyambutnya dengan
positif, dan akhirnya banyak umat Islam menjadi pengikutnya yang kemudian
disebut dengan kelompok Asy’ariyah dan terinstitusikan dalam bentuk Madzhab
Asyari. Ditempat lain yakni di Samarqand Uzbekistan, juga muncul seorang Imam
Abu Manshur al-Maturidi ( W. 333 H) yang secara garis besar rumusan pemikiran
teologi Islamnya paralel dengan pemikiran teologi AsyTariyah, sehingga dua imam
inilah yang kemudian diakui sebagai Imam penyelamat akidah keimanan,karena
karya pemikiran dua imam ni tersiar keseluruh belahan dunia dan diakui sejalan
dengan sunnah Nabi SAW serta petunjuk para sahabatnya, meskipun sebenarnya
masih ada satu orang ulama lagi yang sepaham yaitu Imam al-Thohawi (238 H — 321
H) di Mesir, akan tetapi karya beliau tidak sepopuler dua imam yang pertama.
Akhirnya para ulama menjadikan rumusan akidah Imam Asyari dan Maturidi sebagai
pedoman akidah yang sah dalam Aswaja.
Secara materill banyak
produk pemikiran Mutazilah yang karena metodenya lebih mengutamakan akal
daripada nash (taqdimu al-‘Aql ‘ala
al-Nash), dinilai tidak sejalan dengan sunnah, sehQq sarat dengan bidah,
maka secara spontanitas para pengikut imam tersebut bersepakat menyebut sebagai
kelompok Aswaja, meskipun istilah ini bahkan dengan pahamnya telah ada dan
berkembang Dada masa-masa sebelumnya, tetapi belum terinstitusikan dalam bentuk
madzhab. Karena itu secara historis, term aswaja baru dianggap secara resmi
muncul dan periode mi.
Setidaknya dan segi
paham telah berkembang sejak masa ‘Ali bin Abi Thalib KW tetapi dan segi fisik
dalam bentuk madzhab baru terbentuk pada masa al-Asy’ari, al-Maturidi dan
al-Thahawi.
Dalam perkembangan
sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dan disiplmn
ilmu keislaman. Dalam hal akidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau
Maturidiyah, dalan fiqh adalah madzhab empat dan dalam tasawuf adalah
al-Ghozali dan ulama-ulama yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus Islam paham
Sunni.
Ruang Iingkup yang
kedua adalah syari’ah atau fiqh, artinya paham keagamaan yang berhubungan
dengan ibadah dan mu’amalah. Sama pentingnya dengan ruang lingkup yang pertama,
yang menjadi dasar keyakinan dalam Islam, ruang lingkup kedua ini menjadi
simbol penting dasar keyakinan. Karena Islam agama yang tidak hanya mengajarkan
tentang keyakinan tetapi juga mengajarkan tentang tata cara hidup sebagai
seorang yang beriman yang memerlukan komunikasi dengan Allah SWT, dan sebagai
makhluk sosial juga perlu pedoman untuk mengatur hubungan sesama manusia secara
harmonis, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Dalam konteks historis,
ruang Iingku yang kedua ini disepakati oleh jumhur ulama bersumber dan empat
madzhab, yakni Hanafi, Maliki, Syafil dan Hanbali. Secara substantif, ruang
Iingkup yang kedua ini sebenarnya tidak terbatas pada produk hukum yang
dihasilkan dan empat madzhab diatas, produk hukum yang dihasilkan oleh
imam-imam mujtahid lainnya, yang mendasarkan penggalian hukumnya melalui
al-Quran, Hadits, Jima dan Qiyas, seperti, Hasan Bashri, Awzai, dan lain-lain
tercakup dalam lingkup pemikiran Aswaja, karena mereka memegang prinsip utama Taqdimul al-Nash ‘ala al-‘Aql (mengedepankan
daripada akal).
Ruang lingkup ketiga
dan Aswaja adalah akhlak atau tasawuf. Wacana ruang Iingkup yang ketiga ini
difokuskan pada wacana akhlaq yang dirumuskan oleh Imam al-Ghozali, Yazid
al-Busthomi dan al-Junayd al-Baghdadi, serta ulama ulama sufi yang sepaham. Ruang flngkup ketiga mi dalam diskursus
Islam dinilai penting karena mencerminkan faktor ihsan dalam din seseorang.
Iman menggambarkan keyakmnan, sedang Islam menggambarkan syariah, dan ihsan
menggambarkan kesempurnaan iman dan Islam. Iman ibarat akar, Islam ibarat
pohon. Artinya manusia sempurna, ialah manusia yang disamping bermanfaat untuk
dirinya, karena sendiri kuat, juga memberi manfaat kepada orang lain. mi yang
sering disebut dengan insan kamil. Kalau manusia memiliki kepercayaan tetapi
tidak menjalankan syari’at, ibarat akar tanpa pohon, artmnya tidak ada gunanya.
Tetapi pohon yang berakar dan rindang namun tidak menghasilkan buah, juga
kurang bermanfaat bagi kehidupan. Jadi ruang Iingkup ini bersambung dengan
ruang lingkup yankedua, sehingga keberadaannya sama Dentinclnya dencian
keberadaan ruang lingkup yang pertama dan yang kedua, dalam membentuk insan
kamil.
Pada dasarnya tidak ada perbedaan secara prinsipil
diantara kelompok dan madzhab dalam Islam. Pertama, dalam hal sumber ajaran
Islam, semuanya sama-sama meyakmni al-Quran dan al-sunnah sebagai sumber utama
ajaran Islam.
Kedua, para ulama dan masing-masing kelompok tidak
ada yang berbeda pendapat mengenai pokok-pokok ajaran Islam, seperti keesaan
Allah SWT, kewajiban shalat, zakat dan lain-lain. Tetapi mereka berbeda daIan
beberapa hal diluar ajaran pokok Islam, lantaran berbeda didalam manhaj
bepikirnya, terutama diakibatkan oleh perbedaan otoritas akal dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Quran dan teks-teks sunnah.
Masing masing tirqah dalam pemikiran Islam,
memiliki manhaj sendmni-sendmni. Mutazilah disebut kelompok liberal dalam
Islam. Keliberalan Mutazilah, berpangkal dan paham bahwa akal sebagal anugerah
Allah SWT, memiliki kekuatan untuk mengetahul hal-hal yang berhubungan dengan
Allah SWT dan hal-hal yang dianggap baik dan buruk. Sementara bagi kelompok
Asy’ariyah, akal tidak sanggup untuk mengetahum hal tersebut, kecuali ada
petunjuk dan naqi atau nash. Kelompok Maturidiyah sedikit lebih “menengah°
dengan pernyataanya, bahwa perbuatan manusia mengandung efek
yang disebut balk atau buruk, apa yang dinyatakan oleh akal balk, tentu a
adalah balk, dan sebaliknya, akan tetapi tidak semua perbuatan manusia pasti
sesuai dengan jangkauan akal untuk
Jika manhaj-manhaj mi dihubungkan dengan akidah,
maka peran akal dan naqi berkaitan dengan masalah-rnasalah ketuhanan, jika
dikaitkan dengan masalah fiqh, maka peran akal dan naq berhubungan dengan
perbuatan manusia (mukallaf), dan jika dikaitkan dengan akhlaq atau tasawuf,
maka akal dan naqi berhubungan dengan hubungan spiritual antara manusia dengan
tuhannya. Baik dalam ruang lingkup akidah, fiqh dan tasawuf, Aswaja memiliki
prinsip manhaj taqdimu al-nash ‘ala alnaql. Maka paham keagamaan Aswaja dengan manhaj seperti
itu selalu berorientasi mengedepankan nash daripada akal. Berbeda dengan paham
Mutazilah, meskipun sama-sama mengacu pada nash, Aswaja tidak terlalu mendalam
dalam menggunakan pendekatan akal, sehingga tidak memberikan akses, bahwa nash dalam
agama hams sejalan dengan makna yang ditangkap oleh akal, tetapi akal hanyalah
menjadi alat bantu untuk memahami nash yang karena itu penafsiran nash agama
tidak selalu harus sejalan dengan akal. Meskipun dengan pertimbangan yang
matang sekalipun, akal seringkali salah daya tangkapnya.
3.
Bidang Istinbath Al-Hukm (Pengambilan Hukum Syari’ah)
Hampir seluruh kalangan Sunni
menggunakan empat sumber hukum yaitu:
1.
Al-Qur’an
2.
As-Sunnah
3.
Ijma’
4.
Qiyas
AI-Qur’an sebagai sumber utama dalam pengambilan hukum (istinbath ai-hukrn)
tidak dibantah oleh semua madzhab fiqh. Sebagai sumber hukum naqii posisinya tidak diragukan. A1-Qur’an merupakan
sumber hukum tertinggi dalam Islam.Sementara As-Sunnah meliputi al-Hadist dan
segala tindak dan perilaku Rasul SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh para Shabat
dan Tabi’in. Penempatannya ialah setelah proses istinbath al-hukm tidak
ditemukan dalam A1-Qur’an, atau digunakan sebagai komplemen (pelengkap) dan apa
yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an.AsSunnah sendiri mempunyai tingkat kekuatan
yang bervariasi. Ada yang terus-menerus (mutawatir), terkenal (masyhur) ataupun
terisolir (ahad). Penentuan tingkat AsSunnah tersebut dilakukan oleh Ijma’
Shahabah.Menurut Abu Hasan AU Ibn Ali Ibn Muhammad Al-Amidi, Ijma’ adalah
Kesepakatan kelompok iegislatjf (ahi al-haiti wa ai-aqdz) dan ummat Muhammad
pada suatu masa terhadap suatu hukurn dan suatu kasus. Atau kesepakatan orang-orang rnukailafdari ummat
Muhammada pada suatu masa terhadap suatu hukum dart suatu kasus. Dalam
AI-Qur’an dasar Ijrna’ terdapat dalam QS An-Nisa’, 4: 115 “Dan barang siapa
menentang rasul sesudah jetas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan
jalan orang-orang Mu/cp!j, Karni biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang
teiah dikuasainya itu dan Kami rnasukkan ia ke daiarn Jahannam, dan Jahannarn
itu seburuk-buruk tempat kembali” dan ”Dan demikian (pula) Kami telah
menjadikan kamu (umat Islam), umat yang
Menurut Syekh Abu at-Fad! ibn
Syekh ‘Abdus Syakur al-Senori dalam kitab karyanya “Al- Kawakib al-Lamma’ah fi
Tahqiqi al-Musamma bi Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah” (kitab mi telab disahkan
oleh Muktamar NU ke XXIII di Solo Jawa Tengah) menyebutkan definisi Ahlussunnah
wal jama’ah sebagi kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti
sunnah Nabi saw dan thoriqoh para sahabatnya dalam ha! akidah, amaliyah fisik
(fiqh) dan akhlaq batin (tasawwuf). Syekh ‘Abdul Qodir al-Jilani mendefinisikan
Ahlussunnah wal jama’ah sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan as-Sunnah adalah
apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, prilaku, serta
ketetapan beliau). Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian fama’ah adalah
sega/a sesuatu yang yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi SAW pada masa
Khulafa’ arRasyidin yang empat yang telah diberi hidayah Allah.”
Secara historis, para imam
Aswaja dibidang akidah telah ada sejak zaman para sahabat Nabi SAW sebelum
munculnya paham Mu’tazilah. Imam Aswaja pada saat itu diantaranya adalah ‘AN
bin Abi Thahb RA, karena jasanya menentang pendapat Khawarij tentang al-Wa’du
wa al-Wa’id dan pendapat Qodariyah tentang kehendak Allah dan daya manusia.
Dimasa tabi’in ada beberapa imam, mereka bahkan menulis beberapa kitab untuk
mejelaskan tentang paham Aswaja, seperti ‘Umar bin ‘Abd al-Aziz dengan karyanya
“Risalah Bali ghah fi Raddi Qodariyah”. Para mujtahid flqh juga turut
menyumbang beberapa karya teologi untuk menentang paham-paham diluar Aswaja,
seperti Abu Hanifah dengan kitabnya “Al-Fiqhu al-Akbar”, Imam Syafi’i dengan
kitabnya ‘Ti Tashihi alNubuwwah wa al-Raddi ‘ala al-Barohimah “.
Generasi Imam dalam teologi
Aswaja sesudah itu kemudian diwakili oleh Abu Hasan al-Asy’ari (260 H — 324 H),
lantaran keberhasilannya menjatuhkan paham Mu’tazilah. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa akidah Aswaja secara substantif telah ada sejak masa para
sahabat Nabi SAW. Artinya paham Aswaja tidak mutlak seperti yang dirumuskan
oteh Imam al-Asy’ari, tetapi beliau adalah salah satu diantara imam yang telah
berhasil menyusun dan merumuskan ulang doktrin paham akidah Aswaja secara
sistematis sehingga menjadi pedoman akidah Aswaja.
Dalam perkembangan sejarah
selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dan disiplin ilmu
keislaman. Dalam hal akidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau Maturidiyah.
Imam Ibnu Hajar al-Haytami berkata: Jika Ahlussunnah wal jama ‘ah disebutkan,
maka yang dimaksud adalah pen gikut rumusan yang di gagas oleh Imam Abu
al-Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Dalam fiqh adalah madzhab
empat, Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Dalam tasawuf adalah Imam al-Ghozali,
Abu Yazid al-Bisthomi, Imam al-Junaydi dan ulama-ulama lain yang sepaham.
Semuanya menjadi diskursus Islam paham Ahlussunnah wal jama’ah.
B.
D
A K W A H
1)
Pengertian Dakwah
Secara etimologi, kata dakwah sebagai bentuk mashdar dari kata do’a
(fi’il madhi) dan yad’u (fi’il mudhari’) yang artinya memanggil (to
call). Mengundang ( to in vite), menggaak (to summer), menyeru
(to propo), mendorong (to urge) dan memohon (to pray) (Warson Munawir,
1994:439). Dakwah dalam pengertian ini dapat dijumpai dalam Al Qur’an yaitu
pada surat Yusuf:33 dan Surat Yunus:25.
Secara termologis pengertian dakwah dimanai dari aspek positif ajakan tersebut, yatu ajakan kepada kebaikan dan keselamatan dunia dan akhirat.
Istilah dakwah digunakan dalam Al Qur’an baik dalam bentuk fi’il maupun dalam bentuk mashdar berjumlah lebih dari seratus kali. Dalam Al Qur’an, dakwah dalam arti mengajak titemukan sebanyak 46 kali, 39 kali dalam arti mengajak kepada Isalam dan kebaikan, 7 kali kepada neraka dan kejahatan.
Beberapa dari ayat tersebut :
Secara termologis pengertian dakwah dimanai dari aspek positif ajakan tersebut, yatu ajakan kepada kebaikan dan keselamatan dunia dan akhirat.
Istilah dakwah digunakan dalam Al Qur’an baik dalam bentuk fi’il maupun dalam bentuk mashdar berjumlah lebih dari seratus kali. Dalam Al Qur’an, dakwah dalam arti mengajak titemukan sebanyak 46 kali, 39 kali dalam arti mengajak kepada Isalam dan kebaikan, 7 kali kepada neraka dan kejahatan.
Beberapa dari ayat tersebut :
1.
1.Mengajak manusia kepada kebaikan dan
mencegah kemungkaran ( QS. Ali Imran:104)
2.
Mengajak manusia kepada jalan Allah (QS
an-Nahl:125)
3.
Mengajak manusia kepada agama Islam (QS
as-Shaf:7)
4.
Mengaak manusia kepada jalan yang lurus
(QS al-Mukminun:73)
5.
Memutuskan perkara dalam kehidupan umat
manusia, kittabullah dan sunnaturrasul (QS an-Nur:48 dan 51, serta QS Ali Imran:23)
6.
Menggajak kesurga (QS al-Baqarah:122)
Define dakwah didalam Islam dalah sebagai kegiatan “mengajak mendorong
dan memotivasi orang lain berdasarkan bashirah untuk meniti jalan Allah serta
berjuang bersama meninggikan agama-Nya. Kata mengajak, memotivasi, dan
mendorong adalah kegiatan dakwah dalam ruang lingkub tabligh. Kata bashirah
untuk menunjukan dakwah itu herus dengan ilmua dan perencanaan yang baik.
Kalimat meniti jalan Allah untuk menunjukan tujuan dakwah yaitu mardhatillah.
Kalimat istiqamah di jalan-Nya untuk menunjukkan dakwah itu harus
berkesinambungan. Sedangkan kalimat nerjuang bersama meninggikan agama Allah
untuk menunjukan dakwah bukan untuk menciptakan kesalehan pribadi. Untuk
mewujudkan masyarakat yang saleh tidak bias dlakukan sendiri-sendiri, tetapi
harus bersama-sama. (Muhammad Ali Aziz, 2004:4).
Sedangkan definisi dakwah menurut para pakar anatara lain:
1)
Syekh Ali Makhfudh dalam kitabnya
Hidayatul Muesyidin, mengatkan dawah adalah mendorong manusia untuk berbuat
kebajikan dan mengikuti petunjuk (agama), menyeru mereka kepada kebaikan dan
mencegah mereka dari perbuatan munkar agar memperolah kebahagiaan dunia dan
akhirat(11:17).
2)
Muhammad Kh dr Husein dalam bukunya
ad-Dakwah ila al-Islah mengatakan dakwah adalah upaya untuk memotivasi agar
orang berbuat baik dan mengikuti jalan petunjuk, dan melakukan amar ma’ruf nahi
munkar dengan tujuan mendapatkan kesuksesan dan kebahagian dunia dan akhirat
(tt, 17).
3)
HSM Nasarudin Latif mendefinisaikan
dakwah adalah setiap usaha aktivitas dangan lisan mupun tulisan yang bersifat
menyeru, mengajak, memanggil manusia lainnya untuk beriman dan mentaati Allah SWT sesuai dengan garis-garis akidah dan syariat serta akhlak
Islamiyah (tt, 11).
4)
Toha Yahya Oemar, mengatkan bahwa dakwah
adalah mengajak manusia kdengan cara bijaksana kepada kjalan yang benar sesuai
dengan perintah Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka didunia dan
akhirat (1981:1).
5)
Quarai Sihab mendefinisaiknnya sebagai
seruan atau ajakan kepada kainsyafan, atau usaha mengubah sesuatu yang tidak
baik kepada sesuatu yang lebih baik terhadap pribadi maupun masyarakat
(1992:194).
Definisi-definisi di atas mencakup pengerian-pengertian sebagai berikut:
1.
Dakwah adalah suatu aktifitas atau
kegiantan yang bersifat menyeru atau mengajak kepada orang lain untuk
mengamalkan ajaran Islam.
2.
Dakwah adalah suatu proses penyampain
ajaran Islam yang dilakukan secara sadar dan sengaja.
3.
Dakwah adalah suatu aktivitas yang
pelaksanaannya bias dilakukan dengan berbagai cara atau metode.
4.
Dakwah adalah kegiatan yang direncanakan
dengan tujuan mencari kebahagiaan hidup dunia dan akhirat dengan dasar
keridhaan Allah.
5.
Dakwah adalah usaha peningkatan pemahaman
keagamaan yang mengubah pandangan hdup, sikap batin dan prilaku umat yang tidak
sesuai dengan ajaran Islam menjadi sesuai dengan tuntunan syari’at untuk
memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Dalam proses pengertian yang integralistik, dakwah merupakan proses yang
berkesinambungan yang ditangani oleh para pengemban dakwah dalam rangka
mengubah sasaran dakwah agar bersedida masuk ke jalan Allah, dan secara
bertahap menuju perkehidupan yang Islami. Suatu proses yang berkenambungan
adalah suatu proses yang bukan insidental atau kebetulan, melainkan benar-benar
direncanakan, dilaksanakan, dilaksanakan dan dievaluasi secara terus menerus
oleh para pengemban dakwah dalam rangka mengubah perilaku sasaran dakwah sesuai
dengan tujuan-tujuan yang telah dirumuskan.
Sudah bukan waktunya lagi, dakwah dilakukan asal jalan, tanpa sebuah
perencanaan yang matang, baik yang menyangkut materinya, tenaga pelaksanya,
ataupun metode yang dipergunakannya. Memang benar, sudah menjadi sunnatullah
bahwa yang hak akan menghancurkan yang batil (QS. Al-Isra: 81), tetapi
sunnatullah ini berkaitan dengan sunnatullah yang lain, yaitu bahwasannya Allah
SWT sangat mencintai dan meridhai kebenaran yang diperjuangkan dalam sebuah
barisan yang rapi dan teratur. (QS. Ash-Shaf: 4)
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering sekali mendengar kata dakwah.
Dan itu sudah tidak asing lagi. Apalagi kita sebagai umat Muslim. Pastinya akan
lebih sering mendengar kata tersebut.
Dakwah bisa diartikan penyebaran ilmu agama Islam yang dilakukan oleh
seseorang atau suatu lembaga keagamaan kepada khalayak banyak. Akan tetapi,
dakwah tidak bisa hanya diartikan seperti itu saja. Karena pada dasarnya,
dakwah itu memiliki arti yang lebih luas dan cara penyampaian yang sangat
beragam. Karena ada beberapa cara yang bisa kita gunakan untuk berdakwah. Bisa
secara langsung atau tatap muka dalam artian seorang da’i atau penceramah
langsung berhadapan dengan pendengarnya untuk memberikan tausyiah-tausyiah
agama Islam dalam satu ruangan dan waktu. Atau bisa juga secara tidak langsung
atau yang biasa disebut dengan dakwah secara on line. Dakwah secara
on line bisa dilakukan dengan memanfaatkan jasa internet atau hand phone.
Dengan begitu, kita bisa berdakwah dimana saja dan kapan saja.
Kenapa kita begitu antusias membahas masalah dakwah ini? Seperti yang
telah kita tahu bahwa Allah SWT telah mewajibkan kita untuk berdakwah atau
menyebarkan agama Allah SWT. Allah SWT telah berfirman dalam
Al-Qur’an,”Sampaikanlah walau satu ayat.”
Oleh dasar itulah, apabila kita mendapatkan suatu ilmu baru dan kita
memiliki kesempatan, kita harus mengamalkan ilmu tersebut. Agar ilmu tersebut
berguna bagi kita semua baik di dunia maupun di akhirat.
Dakwah tidak hanya dilakukan oleh seorang da’i atau penceramah kondang.
Asal kita mau, kita juga bisa berdakwah. Dan dengan adanya dakwah on line
tersebut, kita bisa dengan mudah membagi ilmu kita kepada orang lain kapanpun
dan dimanapun kita berada. Karena caranya mudah, murah, cepat serta tidak
berbelit-belit.
Dakwah Islam adalah agama dakwah artinya agama yang selalu mendorong
pemeluknya untuk senantiasa aktif melakukan kegiatan dakwah. Kemajuan dan
kemunduran umat Islam sangat berkaitan erat dengan kegiatan dakwah yang
dilakukannya.
Karena itu, Al-Qur’an menyebutkan kegiatan dakwah dengan ahsanul qaula
(ucapan dan perbuatan yang paling baik) (Fushilat: 33). Predikat khaira ummah
(umat yang paling baik dan pilihan) hanyalah diberikan Allah SWT kepada
kelompok umat yang aktif terlibat dalam kegiatan dakwah (Ali Imran: 110)
pertolongan Allah SWT pasti diberikan kepada siapa saja yang patut
mendapatkannya, yaitu mereka yang dalam posisi, jabatan pekerjaan, dan keahlian
apapun selalu menegakkan shalat, mengeluarkan infak, zakat, aktif melakukan
kegiatan amar ma’ruf nahi mungkar atau dakwah (QS. Al-Hajj: 40-41).
Mengingat fungsi dan peran dakwah yang demikian penting dan menentukan,
maka pengertian dakwah dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya, harus
dipahami secara tepat dan benar, sejalan dengan ketentuan Al-Qur’an, Sunnah
Rasul dan sirah nabawiyah yang berisikan petunjuk bagaimana dakwah itu
dilakukan, sehingga menghasilkan pribadi-pribadi yang istiqamah dan tangguh,
dan melahirkan tatanan masyarakat yang Islami.
BAB II
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah di atas maka penulis dapat menyimpulkan
: Menurut para ahli sejarah,
firqoh-firqoh dalam Islam timbul pada akhir pemerintahan Sayyidina Utsman bin
Affan. Ketika itu, tampil Abdullah Ibnu Saba’ seorang pendeta Yahudi asal Yaman
yang mengaku Islam.
Ahlussunnah wal
jama’ah muncul pada abad ke tiga Hijriah. Yang di anggap berjasa mempopulerkan
kembali adalah Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansyur Al-Maturidi,
Imam Hasan lahir di Basrah (Iraq) pada
tahun 260 H/873 M dan wafat pada tahun 324/935 M
Karena secara
substansi paham Aswaja adalah Islam itu sendiri, rnaka ruang lingkup Aswaja
berarti ruang bngkup Islam itu sendiri, yakni aspek akidah, flqh, dan akhlaq. Seperti
disebutkan oleh para ulama Aswaja, bahwa aspek yang paling krusial diantara tiga aspek diatas adalah
aspek akidah. Aspek ini krusial karena pada saat Mu’tazilah dijadikan paham
keagamaan Islam resmi pemerintah oleh penguasa Abbasiyah, terjadilah kasus
mihnah yang cukup menimbulkan keresahan ummat Islam.
Define dakwah
didalam Islam dalah sebagai kegiatan “mengajak mendorong dan memotivasi orang
lain berdasarkan bashirah untuk meniti jalan Allah serta berjuang bersama
meninggikan agama-Nya. Kata mengajak, memotivasi, dan mendorong adalah kegiatan
dakwah dalam ruang lingkub tabligh
Dalam proses pengertian yang integralistik, dakwah merupakan proses yang
berkesinambungan yang ditangani oleh para pengemban dakwah dalam rangka
mengubah sasaran dakwah agar bersedida masuk ke jalan Allah, dan secara
bertahap menuju perkehidupan yang Islami.
DAFTAR PUSTAKA
Suyoto, 1998, Pendidikan Aswaja dan Ke-NU-an Jilid 2,
Lampung Tengah : PC. LP. Ma’arif NU.
Poerwadarmito,
W.J.S. 1984, Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Catatan Ke-IV. Jakarta : PN. Balai Pustaka.
Amirudin, dkk.
2008., Pendidikan Aswaja dan Ke-NU-an,
Lampung : DW Lembaga Pendidikan Ma’arif NU Lampung
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !