BAB I
PEMBAHASAN
A. Biografi KH.
Wahab Hasbullah
Lahir di Tambakberas, Jombang, pada bulan Maret 1888 M.
Ayahanda KH Abdul Wahab Hasbullah adalah Kyai Said, Pengasuh Pesantren
Tambakberas Jombang Jawa Timur, sedangkan Ibundanya bernama Fatimah. KH Abdul
Wahab Hasbullah adalah seorang ulama yang berpandangan modern, da’wah beliau
dimulai dengan mendirikan media massa atau surat kabar, yaitu harian umum
“Soeara Nahdlatul Oelama” atau Soeara NO dan Berita Nahdlatul Ulama.Beliau juga
seorang pelopor dalam membuka forum diskusi antar ulama, baik di lingkungan NU,
Muhammadiyah dan organisasi lainnya. Ia belajar di Pesantren Langitan Tuban,
Pesantren Mojosari Nganjuk, Pesantren Tawangsari Sepanjang, belajar pada
Syaikhona R. Muhammad Kholil Bangkalan Madura, dan Pesantren Tebuireng Jombang
di bawah asuhan Hadratusy Syaikh KH. M. Hasyim Asy‘ari. Disamping itu, Kyai
Wahab juga merantau ke Makkah untuk berguru kepada Syaikh Mahfudz at-Tirmasi
dan Syaikh Al-Yamani dengan hasil nilai istimewa.
Kyai. Wahab merupakan bapak Pendiri NU setelah Hadratusy
Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Selain itu juga pernah menjadi Panglima Laskar
Mujahidin (Hizbullah) ketika melawan penjajah Jepang. Beliau juga tercatat
sebagai anggota DPA bersama Ki Hajar Dewantoro. Tahun 1914 mendirikan kursus
bernama “Tashwirul Afkar”.
Tahun 1916 mendirikan Organisasi Pemuda Islam bernama
Nahdlatul Wathan, kemudian pada 1926 menjadi Ketua Tim Komite Hijaz. Pada
perang melawan penjajah Jepang beliau berhasil membebaskan KH. M. Hasyim
Asy’ari dari penjara ketika ditahan Jepang. Kyai Wahab juga seorang pencetus
dasar-dasar kepemimpinan dalam organisasi NU dengan adanya dua badan, Syuriyah
dan Tanfidziyah sebagai usaha pemersatu kalangan Tua dengan Muda. Akhirnya KH.
Abdul Wahab Hasbullah dipanggil menghadap ke haribaan-Nya pada Rabu 12 Dzul
Qa’dah 1391 H atau 29 Desember 1971 tepat pukul 10.00 WIB, empat hari setelah
MUKTAMAR NU ke-25.
B. Perjuangan dan
Pemikiran tentang Islam
1. Pelopor
Kebebasan Berpikir
KH. A. Wahab Hasbullah adalah pelopor kebebasan berpikir
di kalangan Umat Islam Indonesia, khususnya di lingkungan nahdhiyyin. KH. A.
Wahab Hasbullah merupakan seorang ulama besar Indonesia. Beliau merupakan
seorang ulama yang menekankan pentingnya kebebasan dalam keberagamaan terutama
kebebasan berpikir dan berpendapat. Untuk itu kyai Abdul Wahab Hasbullah
membentuk kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) di Surabaya
pada 1941.
Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan
peserta yang terbatas. Tetapi berkat prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat
yang diterapkan dan topik-topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan
kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi sangat
populer dan menarik perhatian di kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam dari
berbagai kalangan bertemu dalam forum itu untuk memperdebatkan dan memecahkan
permasalahan pelik yang dianggap penting.
Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama
pesantren. Ia juga menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi
antar tokoh nasional sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasi muda
dan generasi tua. Karena sifat rekrutmennya yang lebih mementingkan
progresivitas berpikir dan bertindak, maka jelas pula kelompok diskusi ini juga
menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada pemikiran keilmuan
dan dunia politik.
Bersamaan dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten,
Surabaya, Kyai Abdul Wahab Hasbullah bersama KH. Mas Mansur menghimpun sejumlah
ulama dalam organisasi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang
mendapatkan kedudukan badan hukumnya pada 1916. Dari organisasi inilah Kyai
Abdul Wahab Hasbullah mendapat kepercayaan dan dukungan penuh dari ulama
pesantren yang kurang-lebih sealiran dengannya. Di antara ulama yang berhimpun
itu adalah Kyai Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), Kyai Abdul Halim,
(Leimunding Cirebon), Kyai Alwi Abdul Aziz, Kyai Ma’shum (Lasem) dan Kyai
Cholil (Kasingan Rembang).
Kebebasan berpikir dan berpendapat yang dipelopori Kyai
Wahab Hasbullah dengan membentuk Tashwirul Afkar merupakan warisan terpenting
beliau kepada kaum muslimin Indonesia. Kyai Wahab telah mencontohkan kepada
generasi penerusnya bahwa prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat dapat
dijalankan dalam nuansa keberagamaan yang kental. Prinsip kebebasan berpikir
dan berpendapat tidak akan mengurangi ruh spiritualisme umat beragama dan kadar
keimanan seorang muslim. Dengan prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat,
kaum muslim justru akan mampu memecahkan problem sosial kemasyarakatan dengan
pisau analisis keislaman.
Pernah suatu ketika Kyai Wahab didatangi seseorang yang
meminta fatwa tentang Qurban yang sebelumnya orang itu datang kepada Kyai Bisri
Syansuri. “Bahwa menurut hukum Fiqih berqurban seekor sapi itu pahalanya hanya
untuk tujuh orang saja”, terang Kyai Bisri. Akan tetapi Si Fulan yang bertanya
tadi berharap anaknya yang masih kecil bisa terakomodir juga. Tentu saja
jawaban Kyai Bisri tidak memuaskan baginya, karena anaknya yang kedelapan tidak
bisa ikut menikmati pahala Qurban. Kemudian oleh Kyai Wahab dicarikan solusi
yang logis bagi Si Fulan tadi. “Untuk anakmu yang kecil tadi belikan seekor
kambing untuk dijadikan lompatan ke punggung sapi”, seru kyai Wahab.
Dari sekelumit cerita di atas tadi, kita mengetahui
dengan jelas bahwa seni berdakwah di masyarakat itu memerlukan cakrawala pemikiran
yang luas dan luwes. Kyai Wahab menggunakan kaidah Ushuliyyah “Maa laa yudraku
kulluh, laa yutraku julluh”, Apa yang tidak bisa diharapkan semuanya janganlah
ditinggal sama sekali. Di sinilah peranan Ushul Fiqih terasa sangat dominan
dari Fiqih sendiri.
Kini, di tengah nuansa keberagamaan masyarakat yang
terjebak pada dogmatisme, kita merindukan hadirnya kembali sosok Kyai Wahab
Hasbullah dengan Tashwirul Afkar-nya yang telah mencerahkan dan mencerdaskan
umat dengan prinsip kebebasan berpikirnya.
2. Seorang
Inspirator GP Ansor
Dari catatan sejarah berdirinya GP Ansor dilahirkan dari
rahim Nahdlatul Ulama (NU). Berawal dari perbedaan antara tokoh tradisional dan
tokoh modernis yang muncul di tubuh Nahdlatul Wathan, organisasi keagamaan yang
bergerak di bidang pendidikan Islam, pembinaan mubaligh dan pembinaan kader.
KH. Abdul Wahab Hasbullah, tokoh tradisional dan KH. Mas Mansyur yang berhaluan
modernis, akhirnya menempuh arus gerakan yang berbeda justru saat tengah
tumbuhnya semangat untuk mendirikan organisasi kepemudaan Islam. Dua tahun
setelah perpecahan itu, pada 1924 para pemuda yang mendukung KH. Abdul Wahab
Hasbullah –yang kemudian menjadi pendiri NU– membentuk wadah dengan nama
Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air).
Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya
Gerakan Pemuda Ansor setelah sebelumnya mengalami perubahan nama seperti
Persatuan Pemuda NU (PPNU), Pemuda NU (PNU), dan Anshoru Nahdlatul Oelama
(ANO).
Nama Ansor ini merupakan saran KH. Abdul Wahab Hasbullah
—ulama besar sekaligus guru besar kaum muda saat itu, yang diambil dari nama
kehormatan yang diberikan Nabi Muhammad SAW kepada penduduk Madinah yang telah
berjasa dalam perjuangan membela dan menegakkan agama Allah. Dengan demikian
ANO dimaksudkan dapat mengambil hikmah serta tauladan terhadap sikap, perilaku
dan semangat perjuangan para sahabat Nabi yang mendapat predikat Ansor
tersebut. Gerakan ANO harus senantiasa mengacu pada nilai-nilai dasar sahabat
Ansor, yakni sebagi penolong, pejuang dan bahkan pelopor dalam menyiarkan, menegakkan
dan membentengi ajaran Islam.
Meski ANO dinyatakan sebagai bagian dari NU, secara
formal organisatoris belum tercantum dalam struktur organisasi NU. Baru pada
Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi, tepatnya pada tanggal 10 Muharram 1353 H atau
24 April 1934, ANO diterima dan disahkan sebagai bagian (departemen) pemuda NU.
Dimasukkannya ANO sebagai salah satu departemen dalam struktur kelembagaan NU
berkat perjuangan kiai-kiai muda seperti KH. Machfudz Siddiq, KH. A. Wahid
Hasyim, KH. Dachlan Kertosono, Thohir Bakri dan Abdullah Ubaid serta dukungan
dari ulama senior KH. Abdul Wahab Hasbullah.
Sementara itu, peran KH. Mohammad Chusaini Tiway
terlihat pada masa pendudukan Jepang, dimana pada saat itu
organisasi-organisasi pemuda diberangus oleh pemerintah kolonial Jepang
termasuk ANO. Setelah revolusi fisik (1945 – 1949) usai, tokoh ANO Surabaya,
Moh. Chusaini Tiway, mengemukakan ide untuk mengaktifkan kembali ANO. Ide ini
mendapat sambutan positif dari KH. A. Wahid Hasyim – Menteri Agama RIS kala
itu, maka pada 14 Desember 1949 lahir kesepakatan membangun kembali ANO dengan
nama baru, yakni Gerakan Pemuda Ansor, disingkat Pemuda Ansor (kini lebih
pupuler disingkat GP Ansor).
Kyai Wahab memang tokoh NU yang inspiring bagi siapa
saja yang mengenalnya. Ketokohannya sangat fenomenal dan membangkitkan semangat
terutama bagi kalangan kaum muda. Kita sebagai mahasiswa dalam konteks agen
perubahan sosial (agent social of change) dan generasi muda hanya bisa berharap
muncul Kyai Wahab-Kyai Wahab lainnya atau justru menggantikan peran Mbah Kyai
Wahab yang mampu mengawal kemajuan bangsa Indonesia untuk kepentingan Islam dan
kaum muslimin.
BAB II
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah tersebut diatas maka penulis
dapat menyimpulkan bahwa, Kyai. Wahab merupakan bapak Pendiri NU setelah
Hadratusy Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Selain itu juga pernah menjadi Panglima
Laskar Mujahidin (Hizbullah) ketika melawan penjajah Jepang. Beliau juga
tercatat sebagai anggota DPA bersama Ki Hajar Dewantoro. Tahun 1914 mendirikan
kursus bernama “Tashwirul Afkar”.
KH. A. Wahab Hasbullah adalah pelopor kebebasan berpikir
di kalangan Umat Islam Indonesia, khususnya di lingkungan nahdhiyyin. KH. A.
Wahab Hasbullah merupakan seorang ulama besar Indonesia. Beliau merupakan
seorang ulama yang menekankan pentingnya kebebasan dalam keberagamaan terutama
kebebasan berpikir dan berpendapat. Untuk itu kyai Abdul Wahab Hasbullah
membentuk kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) di Surabaya
pada 1941.
DAFTAR PUSTAKA
Yusran
Asmun, Drs., Pengantar Studi Sejarah
kebudayaan dan Pemikiran Islam, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta 1996.
WANT
ReplyDelete