A. PERJANJIAN DALAM PERKAWINAN
Perjanjian dlaam pelaksanaan perkawinan diatur
dalam Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974, yakni sebagai berikut:
(1) Pada waktu atau sebelum
perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan
perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah
mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga
tersangkut.
(2) Pernjanjian tersebut tidak dapat
disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan
(3) Pernanjian tersebut berlaku sejak
perkawinana dilangsungkan
(4) Selama perkawinana berlangsung
perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada
persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Penjelasan Pasal 29 tersebut menyatakan bahwa
perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk taklik talak. Namun Pasal 11 dalam
Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975 menyebutkan suatu peraturan yang
bertentangan. Hal ini diungkapkan sebagai berikut:
(1) Calon suami istri dapat
mengadakan perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan hukum islam
(2) Perjanjian yang berupa taklik
talak dianggap sah kalau perjanjian itu diucapkan dan ditandatangi oleh suami
setelah akad nikah dilangsungkan
(3) Sighat taklik talak ditentukan
oleh Menteri Agama
Isi Pasal 11 tersebut, dirinci oleh Pasal 45
sampai Pasal 52 KHI, yiatu kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian
perkawinan dalam bentuk: a) taklik talak; dan b) perjanjian lain yang tidak
bertentangan dengan hukum Islam.
Perjanjian perkawinan yang dijelaskan oleh
Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974, telah diubah atau setidaknya diterapkan bahwa
taklik talak termasuk salah satu perjanjian perkawinan dalam Kompilasi Hukum
Islam seperti dijelaskan dibawah ini.
Pasal 46 KHI
(1) Isi taklik talak tidak boleh
bertentangan dengan hukum Islam
(2) Apabila keadaan yang disyaratkan
dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak
jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, istri harus mengajukan persoalannya ke
Pengadilan Agama
(3) Perjanjian taklik talak bukan
perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinana, akan tetapi sekali
taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
Ayat (3) KHI di atas bertentangan dengan Pasal 29 ayat 4 UU No. 1 Tahun 1974 yang
mengungkapkan bahwa selama perkawinan berlangsung, perjanjian tidak dapat
diubah kecuali ada persetujuan kedua belah pihak, dan tidak merugikan pihak
ketiga. Dari sinilah, maka dalam penjelasannya disebutkan tidak termasuk taklik
talak. Sebab, naskah perjanjian taklik talak, dilampirkan dalam salinan Akta
Nikah yang sudah ditandatangani oleh suami. Oleh karena itu, perjanjian taklik
talak tidak dapat dicabut kembali. Dapat dipahami bahwa sebelum pelaksanaann
akad nikah Pegawai Pencatat perlu melakukan penelitian mengenai perjanjian
perkawinan yang dibuat oleh kedua calon mempelai, baik secara material atau isi
perjanjian itu, maupun teknis bagaimana perjanjian itu telah disepakati mereka
besama. Selama perjanjian itu berupa
taklik talak, Menteri Agama telah mengaturnya. Sebagai ccontoh dapat
diungkapkan teks taklik talak sebagai berikut:
Sesudah akad nikah, saya … bin … berjanji
dengan sesungguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang
suami, dan akan saya pergauli istri saya bernama … binti … dengan baik (mu'asyarah
bil ma'ruf) menurut aaran syariat Islam.
Selanjutnya saya mengucapkan sighat taklik
talak atas istri saya itu seperti berikut:
Sewaktu-waktu saya:
(1) Meninggalkan istri saya tersebut
dua tahun berturut-turut
(2) Atau saya tidak memberi nafkah
waktu kepadanya tiga bulan lamanya
(3) Atau saya menyakiti badan/jasmani
istri saya itu
(4) Atau saya membiarkan (tidak
memperdulikan) istri saya itu enam bulan lamanya
Kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukan
halnya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak pengurus pengaduan
itu, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas
tersebut, dan istri saya itu membayar uang sebesar Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu
rupiah) sebagai iwad (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya
satu kepadanya. Kepada Pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan
untuk menerima uang iwad (pengganti) itu dan
kemudian memberikannya untuk keperluan ibadah sosial.
Palu,
28 September 2005
Suami,
...........................................
Tanda
Tangan dan Nama
Naskah taklik talak terseubt perlu
diperiksa secara teliti oleh Pegawai Pencatat Perkawinan berdasarkan Pasal 26
Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975. hal itu, diungkapkan sebagai
berikut:
(1)
Apabila pada waktu
pemeriksaan nikah calon suami istri telah menyetujui adanya taklik talak
sebagai dimaksudkan Pasal 11 ayat 3 peraturan ini, maka suami mengucapkan dan
menandatangani taklik talak yang telah disetujuinya itu setelah akad nikah
dilangsungkan.
(2)
Apabila dalam
pemeriksaan nikah telah ada persetujuan adanya taklik talak akan tetapi setelah
akad nikah suami tidak mau mengucapkannya, maka hal ini segera diberitahukan
kepada pihak istrinya
Ketika menerima gugatan perceraian dari pihak istri dengan alasan
pelanggaran perjanjian dalam taklik talak, Pengadilan Agama harus benar-benar
meneliti apakah sang suami menyetuji dan mengucapkan sighat taklik talak atau
tidak. Secara yuridis formal, persetujuan dan pembacaan sighat taklik talak
dapat dilihat pada akta nikahnya, meski tidak atau belum sepenuhnya dapat dijamin
kebenarannya.
Kalau suami menandatangi di bawah sighat taklik talak, ia dianggap
menyetujui dan membaca sighat tersebut, kecuali ada keterangan lain.
Apabila memperhatikan sighat taklik talak, dapat dipahami bahwa maksud
yang kandungannya amat baik dan positif kepastian hukumnya, yaitu melindungi
perempuan dari kesewenang-wenangan suami dalam memenuhi kewajibannya, yang
merupakan hak-hak sang istri yang harus diterimanya. Meskipun sang istri sudah
mendapat hak baik hak khulu' (gugat cerai) maupun hak fasakh. Oleh
karena itu, amat penting untuk memperhatikan persetujuan suami yang dibuktikan
dnegan membubuhi tanda tangan atau tidak setuju membubuhkan tanda tangan ada
sighat taklik talak. Hal itu dimaksudkan untuk menghindari terjadinya
kekeliruan dan kesulitan dalam menyelesaikan persoalan yang muncul dari sighat
dimaksud.
Selain itu, perjanjian perkawinan dapat juga dibuat oleh kedua belah
pihak mengenai harta bersama dan hal-hal lain sepanjang tidak bertentangan
dengan hukum Islam. Perjanjian perkawinan diatur oleh Pasal 47 s/d 52 KHI.
Pasal 47
(1)
Pada waktu atau
sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian
tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta
dalam perkawinan.
(2)
Perjanjian tersebut dalam ayat 1 dapat
meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian
masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam
(3)
Di samping ketentuan dalam ayat 1 dan 2 di
atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk
mengadakan ikatan atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.
Pasal 48
(1)
Apabila dibuat
perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat,
maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga
(2)
Apabila dibuat
perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada ayat 1 dianggap
tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban
suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga.
Pasal 49
(1)
Perjanjian
percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa
masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama
perkawinan
(2)
Dengan tidak
mengurangi ketentuan tersebut pada ayat 1 dapat juga diperjanjikan bahwa
percampuran harta pribadi hanya terbatas pada harta pribadi yang dibawa pada
saat perkawinan dilangsungkan, sehingga percampuran ini tidak meliputi harta
pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya.
Pasal 50 KHI
(1)
Perjanjian
perkawinan mengenai harta mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung
mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah
(2)
Perjanjian
perkawinan mengenai harta, dapat dicabut atas persetujuan bersama suami istri
dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan
dilangsungkan.
(3)
Sejak pendaftaran
tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami istri tetapi terhadap pihak
ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan oleh
suami istri dalam suatu surat kabar setempat.
(4)
Apabila dalam tempo
6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan, pendaftaran
pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga
(5)
Pencabutan
perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boelhmerugikan perjanjian yang telah
diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga.
Pasal 51 KHI
Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada
istri meminta pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alasan gugatan
perceraian ke Pengadilan Agama
Pasal 52 KHI
Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan istri kedua,
ketiga, atau keempat, boleh diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu
giliran dan biaya rumah tangga bagi istri yang akan dinikahinya itu.
B. PERKAWINAN WANITA HAMIL
Perkawinan wanita hamil adalah seorang wanita
yang hamil sebelum melangsungkan akad nikah, kemudian dinikahi oleh pria yang
menghamilinya. Oleh karena itu, masalah kawin dengan perempuan yang hamil
diperlukan ketelitian dan perhatian yang bijaksana terutama oleh Pegawai
Pencatat Nikah. Hal itu dimaksudkan adanya fenomena sosial mengenai kurangnya
kesadaran masyarakat muslim terhadap kaidah-kaidah moral, agama dan etika
sehingga tanpa ketelitian terhadap perkawinan wanita hamil memungkinkan
terjadinya seorang pria yang bukan megnhamilinya tetapi ia menikahinya. Pasal
53 KHI mengatur perkawinan, sebagaimana diungkapkan dibawah ini.
(1) Seorang wanita hamil diluar
nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang mengahamilinya
(2) Perkawinan dengan wanita hamil
yang disebut pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu
kelahiran anaknya
(3) Dengan dilangsungkannya
perkawinan pada saat wanita hamil tidka diperlukan perkawinan ulang setelah
anak yang dikandung lahir.
Dasar pertimbangan KHI terhadap perkawinan
wanita hamil adalah Surah An-Nur (24) ayat 3 yang berbunyi:
ÎT#¨9$# w ßxÅ3Zt wÎ) ºpuÏR#y ÷rr& Zpx.Îô³ãB èpuÏR#¨9$#ur w !$ygßsÅ3Zt wÎ) Ab#y ÷rr& Ô8Îô³ãB 4 tPÌhãmur y7Ï9ºs n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇÌÈ
Artinya:
"Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang
berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian
itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin"
Ayat
al-Qur'an diatas, menunjukkan bahwa kebolehan perempuan hamil kawin dengan
laki-laki yang menghamilinya merupakan pengecualian. Oleh karena itu, laki-laki
yang menghamili itulah yang tepat menjadi suaminya. Selain itu,
pengidentifikasian dnegan laki-laki musyrik menunjukkan keharaman wanita yang
hamil dimaksud menjadi syarat larangan terhadap laki-laki yang baik untuk
mengawininya. Persyaratan tersebut dikuatkan lagi dengan kalimat penutup pada
ayat al-Qur'an dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 221 (wahurrima dzalika 'ala
almu'minin) bahwa selain laki-laki yang menghamili perempuan yang hamil diharamkan oleh Allah untuk
menikahinya.
Yang
menjadi masalah dalam hal ini adalah seorang perempuan yang hamil sebagai
akibat zina dinikahi oleh seorang laki-laki yang bukan menghamilinya (dalam
bahasa Bugis disebut passampo siri). Ketentuan ini tidak diatur oleh UU
Perkawinan maupun KHI. Dengan demikian penulis berpendapat bahwa kalau hal ini
terjadi maka anak yang lahir adalah anak zina dan sesudah ibunya melahirkan
sebaiknya dinikahkan ulang dengan laki-laki yang mengawininya ketika ia hamil.
C. ALASAN, SYARAT DAN PROSEDUR
POLIGAMI
1. Alasan Poligami
Pada dasarnya seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang istri. Seorang suami yang ingin beristri lebih dari seorang
dapat diperbolehkan bila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan
Pengadilan Agama telah memberi izin (Pasal 3 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974). Dasar
pemberian izin poligami oleh Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 4 ayat 2 UU
Perkawinan seperti diungkapkan sebagai berikut:
Pengadilan Agama memberikan izin
kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila;
a. Istri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai istri
b. Istri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c. Istri tidak dapat melahirkan
keturunan
Apabila diperhatikan alasna permberian izin
melakukan poligami diatas, dapat dipahami bahwa alasannya mengacu kepada tujuan
pokok pelaksanaan perkawinan, yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan
kekal (istilah KHI disebut sakinah, mawaddah dan rahmah)
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila tiga alasan yang disebutkan di
atas menimpa suami istri maka dapat
dianggaprumah tangga tersebut tidak akan mampu menciptakan keluarga bahagia (mawaddah
dan rahmah).
2. Syarat-Syarat Poligami
Pasal 5 UU No 1 Tahun 1974 memberikan
persyaratan terhadap seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang
sebagai berikut:
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan
kepada Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 undang-undang
ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan dari
istri/istri-istri
b. Adanya kepastian bahwa suami
mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka
c. Adanya jaminan bahwa suami akan
berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka
(2) Persetujuan yang dimaksud pada
ayat 1 huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila
istri/istri-istri tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidakdapat menjadi
pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu
mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama
3. Prosedur Poligami
Prosedur poligami menurut Pasal 40 Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 menyebutkan bahwa apabila seorang suami bermaksud
untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan eprmohonan secara
tertulis kepada pengadilan. Hal ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 56, 57, dan
58 KHI sebagai berikut.
Pasal 56 KHI
(1) Suami yang hendak beristri lebih
dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama
(2) Pengajuan permohonan izin
dimaksud pada ayat 1 dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam BAB
VIII Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
(3) Perkawinan yang dilakuan dnegan
istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak
mempunyai kekuatan hukum
Pasal 57 KHI
Pengadilan Agama hanya membeirkan
izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan
kewajiban sebagai istri
b. Istri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c. Istri tidak dapat melahirkan
keturunan
Kalau pengadilan agama sudah menerima
permohonan izin poligami, kemudian ia memeriksa berdasarkan Pasal 57 KHI:
a. Ada atau tidaknya alasan yang
memungkinkan seorang suami kawin lagi
b. Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik
persetujuan lisan maupun tulisan,
apabila persetujuan itu merupakan persetuuan lisan, persetujuan itu harus
diucapkan di depan sidang pengadilan
c. Ada atua tidaknya kemampuan suami
untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak, dengan
memperlihatkan:
i.
Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh
bendahara tempat bekerja atau
ii. Surat keterangan pajak
penghasilan
iii. Surat keterangan lain yang dapat
diterima oleh Pengadilan
Pasal 58 ayat 2
KHI
Dengan tidak mengurangi ketentuan
Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 persetujuan istri atau
istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun
telah ada persetujuan tertulis persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan
lisan istri pada sidang Pengadilan Agama.
Adapun tata cara teknis pemeriksaannya menurut
Pasal 42 PP No. 9 Tahun 1975 adalah sebagai berikut:
(1)
Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41,
Pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan
(2)
Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya
30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat permohonan beserta
lampiran-lampirannya.
Apabila terjdai sesuatu dan lain hal, istri
atau istri-istri tidak mungkin diminta persetujuannya atua tidak dapat menjadi
pihak dlama perjanjian, UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 5 ayat 2 menegaskan:
Persetujuan yang dimaksud pada ayat 1 huruf a
pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istri tidak
mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian,
atau apabila tidka ada kabar dari istri-istrinya selama sekurang-kurangnya 2
(dua) tahun atua karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari
hakim Pengadilan (bandingkan
juga Pasal 58 KHI). Namun, bila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi
pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan
putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang (Pasal 43 PP No.
9 Tahun 1975).
Kalau sang istri tidak mau memberikan
persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang
berdasarkan salah satu alasan ynag diatur dalam Pasal 55 ayat 2 dan Pasal 57,
Pengadilan Agama dapat menetapkan pemberian izin setelah memeriksa dan
mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap
penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi (Pasal 59
KHI). Apabila keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, izin
pengadilan tidak diperoleh, maka menurut ketentuan Pasal 44 PP No. 9 Tahun
1975, Pegawai Pencatat Nikah dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan
seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin pegnadilan
seperti yang dimaksud dalam Pasal 43 PP
No. 9 Tahun 1975.
Ketentuan hukum yang mengatur tentang
pelaksanaan poligami seperti telah diuraikan di atas mengikat semua pihak,
pihak yang akan melangsungkan poligami dna pegawai pencatat perkawinan. Apabila
mereka melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pasal-pasal di atas dikenakan
sanksi pidana. Persoalan ini diatur
dalam BAB IX Pasal 45 PP No. 9 Tahun 1975:
(1) Kecuali apabila ditentukan lain
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka:
- Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, Pasal 10 ayat 3, 40 Peraturan Pemerintah akan dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah)
- Pegawai Pencatat yang melanggar yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat 1, 11, 12, dan 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah).
(2) Tindak pidana yang dimaksud dalam
ayat 1 diatas merupakan pelanggaran.
Ketentuan hukum poligami yang boleh dilakukan
atas kehendak yang bersangkutan melalui izin Pengadilan Agama, setelah
dibuktikan kemaslahatannya. Dengan kemaslahatan dimaksud, terwujudnya cita-cita
dan tujuan perkawinan itu sendiri, yaitu rumah tangga yang kekal dan abadi atas
dasar cinta dan kasih sayang yang diridai oleh Allah swt. Oleh karena itu,
segala persoalan yang dimungkinkan akan menjadi penghalang bagi terwujudnya
tujuan perkawinan tersebut, sehingga mesti dihilangkan atau setidaknya
dikurangi.
Status hukum poligami adalah mubah. Mubah
dimaksud, sebagai alternatif untuk beristri hanya sebatas 4 (empat) orang
istri. Hal itu ditegaskan oleh Pasal 55 KHI sebagai berikut:
(1) Beristri lebih dari satu orang
pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri
(2) Syarat utama beristri lebih dari
seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya
(3) Apabila syarat utama yang disebut
pada ayat 2 tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.
Dasar pertimbangan KHI adalah hadits Nabi
Muhammad saw yang diriwayatkan oleh Ahmad, at-Tirmizi dan Ibn Hibban yang
mengungkapkan bahwa sesungguhnya Gilan ibn Salamah masuk Islam dan ia mempunyai
10 (sepuluh) ornag istri. Mereka bersama-sama dia masuk Islam. Maka Nabi
Muhamad saw memerintahkan kepadanya agar memilih empat orang saja di antaranya
dan menceraikan yang lainnya.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !