BAB I
PEMBAHASAN
Akhir yang dapat dimungkinkan adalah tujuan dari
kesempurnaan penciptaan Allah SWT semata-mata bagi makhluq-Nya. Dimana dalam aktualisasinya seseorang beribadah pada Allah bukan
untuk Allah dan tidak sebagian kecilpun Allah diuntungkan dengan ibadah yang
mereka lakukan, tetapi keuntungan didapat bagi manusia itu sendiri. Juga halnya
dengan pengingkaran tidak sedikitpun telah menjadikan Allah SWT rugi atas
pengingkaran manusia itu sendiri.
Dalam
mazhab Asy’ari ketika menjelaskan aturan kesempurnaan ini tidak mendukung
kesimpulan diatas, sehingga aqidahnya menampakkan penyimpangan terhadap tujuan
kesempurnaan bagi makhluq Allah SWT. Aqidah yang mengilhami pandangan umumnya
ahlussunnah wal jama’ah dilandasi oleh hadits yang terdapat dalam shahih
Bukhari IV hadits ke 1775 hal : 80 sebagai berikut :
”Dari Abdullah ra. Katanya: Bercerita kepada kami
rasulullah saw. Seorang yang benar dan dibenarkan. Beliau bersabda “Seseorang
kamu ditempatkan selama empat puluh hari dalam peranakan ibu (berupa benda
cair) kemudian menjadi segumpal darah, selama itu pula, dan segumpal daging,
selama itu pula. Lalu Tuhan melalui malaikat menuliskan rezekinya, ajalnya,
malang (celaka) dan mujur (bahagia), kemudian dihembuskan roh (jiwa)
kedalamnya. Maka demi Allah sesungguhnya seseorang mengerjakan pekerjaan ahli
neraka, sehingga antara dia dan neraka hanya berjarak sehasta atau sedepa. Lalu
didahului oleh kitab (nasib)-nya, maka dikerjakannya pekerjaan ahli surga dan
karenanya ia masuk surga. Sesungguhnya seseorang mengerjakan pekerjaan ahli
surga, sehingga sehingga antara dia dan surga hanya berjarak sehasta atau
sedepa. Lalu didahului oleh kitab (nasib)-nya, maka dikerjakannya pekerjaan
ahli neraka dan karenanya ia masuk neraka”.[1]
Asy’ari dalam pandangannya tampak meniadakan nilai
tertinggi dari karunia Allah pada manusia yaitu ikhtiar (kehendak bebas) dalam
diri manusia. Pekerjaan apapun yang dilakukan manusia tidak lagi berarti. Yang
secara tidak langsung Asy’ari mengatakan kebebasan Allah untuk melakukan
kehendak telah memasung manusia seperti robot yang tidak bernilai. Robot dengan
pengertian, karena rezki, ajal, dan nasibnya telah dalam ketetapan baku yang
tak berubah, sehingga do’a-do’a dipandang sebagai upaya mempengaruhi Allah atas
ketetapan yang telah dibuat-Nya.
Pandangan Asy’ari terbantah dengan sendirinya
dengan seorang mursal yang berkata saya mursal karena menta’ati ketetapan Allah
yang diberlakukan pada dirinya. Hukum-hukumpun menjadi mandul dan sorga neraka
menjadi kehilangan nilai – serta anjuran berbuat baik pada manusia tak dapat
diterapkan pada pemikiran ini.
Bila sedilkit diperhatikan untuk mengenali
memotivasi dari pendiriannya, tampak dengan kehendak mempertahankan kekuasaan
tiran dimasa itu guna mendapat justifikasi agama dalam menutupi sikap lalimnya
dihadapan mereka yang lemah. Aqidah yang menguntungkan para tiran untuk
menindas. Mereka seolah berkata “kekuasaan ini adalah nasib mujur yang
diberikan Allah padanya dan penderitaan rakyat adalah nasib burujk yang harus
diterima karena ketetapannya juga”. Allah dalam pandangan Asy’ari tidak lagi
bersih – tangan allah berlumuran dosa dengan membela penguasa yang menindas. Maha
Suci Allah dari semua itu. Dia yang lebih dikenal dengan Tuhan yang melindungi
mereka yang mustadh’’fin (orang-orang tertindas).
Aqidah Asy’ari ini yang kemudian dirumuskan dalam
rukun Iman keenam yang sangat terkenal dengan:
“Dan segala baik dan buruk datang dari sisi
Allah”
Dengan sebuah ayat seluruhnya pandangan Asy’ari
telah terbantah – kejahatan menjadi tampak nyata posisinya – dan hancur seluruh
kebathilan ucapan-ucapan bathilnya.
Firman Allah :
Artinya : “Dan
apa yang baik menimpamu datang dari sisi Allah SWT. Dan apa yang buruk
menimpamu datang dari dirimu sendiri” (QS: 4:47)
Sementara
kaum mu’tazilah dengan kontroversial menolak pandangan Asy’ari yang telah
berposisi dalam titik ekstrem lainnya. Kaum mu’tazilah ini meyakini kebebasan
manusia berikhtiar. Namun dalam pada itu mereka secara tidak langsung menolak
pentadbiran (pengelolaan Allah SWT). Dengan anggapan bahwa manusia yang Allah
ciptakan telah diberi sarana, yang dengan itu Allah tidak lagi memerankan
apapun dalam kebaikan dan keburukan yang dikerjakan manusia. Secara sadara atau
tidak, aliran ini menjadikan akal mereka sebagai tuhanya sendiri, dengan
menganggap – terdapat posisi (tempat dan waktu) dimana Allah tidak sedikitpun
berperan kecuali pada awalnya saja dan tidak kemudian. Maha suci Allah dari sikap yang tidak peduli
seperti itu.
Semua yang disebut satu selain Dia adalah sedikit.
Semua yang disebut mulia selain Dia adalah hina. Semua yang kuat selain Dia
adalah lemah. Semua pemilik selain Dia adalah termiliki. Semua yang berkuasa
selain Dia adakalanya berkuasa adakalanya tak berdaya. Semua yang mendengar
selain Dia adalah tuli terhadap suara-suara yang lembut, amat keras, atau amat
jauh dari tempatnya. Semua yang melihat selain Dia adalah buta terhadap
warna-warna, amat lemah, ataupun benda-benda lembut. Semua yang dzahir selain
Dia adalah bathin dan semua yang bathin selain Dia tidak mungkin bersifat dzahir.
Tidak diciptakan-Nya makhluq-Nya dengan tujuan memperteguh kekuasaan atau
karena ketakutan akan akibat-akibat (pergantian) zaman atau demi membantu
melawan tandingan yang memerangi, atau seluruh yang berbangga akan kekayaan,
atau musuh menantang dengan besarnya kekuatan. Mereka semua adalah
makhluk-makhluk-Nya yang diperhambakan atau budak-budak-Nya yang hina dina.
Tiada Ia mendiami sesuatu sehingga dapat disebut Ia ada disana, atau Ia
berpisah dari sesuatu sehingga dapat disebut Ia tak ada disana. Tiada
menyulitkan bagi-Nya penciptaan yang dimulainya ataupun pengaturan apa saja
yang telah selesai dibuat-Nya. Tiada pernah Ia diliputi ketidakmampuan dalam
segala yang diciptakan-Nya dan tidak pernah Ia memasuki kebimbangan tentang apa
saja yang dilaksanakan-Nya. Semua itu bersumber pada ketetapan-Nya yang amat
teliti. Pengetahuan-Nya yang amat tepat dan urusan yang terikat kuat. Dialah
yang didambakan oleh setiap bencana yang mencekam, dan dari Dialah diharapkan
datangnya segala kenikmatan”. (Nahjul Balaghah I : 64)
Ucapan Imam Ali as. yang mengilhami pandangan
mazhab Ahli Bait dengan perbuatan baik itu muncul atas keterpaduan ikhtiar
manusia dan pertolongan Allah sebagai penentu kebaikan. Sedangkan hilangnya
pertolongan Allah pada diri manusia yang menyebabkan perbuatan manusia itu
buruk (hilangnya nilai ataupun esensialnya). Dalam menjelaskan hal itu, Allah
tetap dalam posisi yang muutlak kebebasan-Nya, dan ikhtiar manusiapun memiliki
nilai sebagai karunia ilahiyyah yang diberikan pada manusia. Dalam pada itu
doa, aturan, hukum serta muamalah manusia memiliki eksistensi yang dihormati
dalam kehidupan. Dalam pada itu Allah tetap mengelola ummat manusia,
mengawasinya dan menolongnya, yang keseluruhan perbuatan Allah tidak membuat
Dia menjadi terikat ataupun tergantung.
Allah adalah contoh utama dalam melakukan setiap
perbuatan baik-Nya. Dari ucapan Imam Ali as. ” Semua yang dzahir selain Dia
adalah bathin dan semua yang bathin selain Dia tidak mungkin bersifat dzahir”.
Menampakan tujuan aturan kesempurnaan yang dikehendaki-Nya.
Pada dasarnya Islam menolak kedua pengertian
ekstreem diatas. Islam memandang aturan dhohirnya sebnantiasa terselip aturan
bathiniyyah dan sebaliknya. Seperti yang dicontohkan dalam hukumhukum Isla,
misalnya hubungan seksual sepasang suami istri selintas aturannya bersifat
dhohir semata. Kebahagian didalamnya seakan merupakan kebahagian dhohir yang
tak terkait dengan hal-hal bathin. Namun Islam memandang hubungan intim dengan
istri merupakan ibadah yang besar disisi Allah. Sedangkan ibadah terkait erat
dengan hubungan bathiniyyah seorang hamba dengan khaliqnya. Sebaliknya aturan
puasa dalam Islam sekilas nampak berkaitan dengan hal-hal yang bersifat bathin,
namun Islam Islam memandang dengan berpuasa seseorang akan menjadi sehat
jasmaninya. Kesehatan yang bersifat dhohir.
Dari kedua contoh diatas dapat disimpulkan atauran
Islam yang satu menyentuh dua hal sekaligus, dan tidak dengan aturan yang
terpisah. Aturan dhahirnya terdapat dalam ujung jantung bathinnya, dan aturan
bathinnya terdapat pada ujung jantung dhohirnya. Selain dhohir dan bathin, kehidupan manusia
terkait dengan pekerjaan individu dan sosial. Sebagaimana aturan Islam terk
Manusia dalam kehidupannya terkadang menilai
perbuatan dirinya ataupun perbuatan manusia lainnya dengan kaca pandang
individual yang berangkat dari dalam dirinya. Adakalanya
penilaian berangkat dari pandangan sosial. Dengan dua pandangan ini berbagai
persoalan tidak dapat lagi dipertemukan kecuali, bertemu akhirnya saling
menghargai pendapat yang berbeda dengan membiarkan permasalahan tanpa solusi.
Belum lagi bila kedua titik pandang bertitik tolak dari disiplin keilmuan yang
beragam. Permasalan tampak semakin rumit. Senantiasa tampak para ilmuwan yang
berhasil dikemudian hari adalah mereka yang mampu memaparkan data-data
permasalahan tanpa solusi. Bagaimana dengan Islam ? adakah Islam sekadar
penyampaian persoalan tanpa solusi ?
Dengan
melihat aturan yang terdapat dalam Islam sebagaimana dicontohkan oleh Imam
Husein as. yang meninggalkan haji pada musim haji dan berangkat jihad. Yang
demikian karena keadaan saat itu jihad sekilas tampak merupakan urusan sosial,
namun Islam justru menjelaskan jihad al-Husein as. adalah puncak dari ibadah
yang tak terbandingkan. Bila Allah memuliakan ahli Badar dengan perbandingan
musuh 1.000 orang sedang pihak muslimin 313 orang, maka apa yang dapat
dikatakan dengan perlawanan 72 pasukan al-Husein dengan 10.000 bala tentara
iblis berwajah manusia. Dalam pada itu Islam memandang pekerjaan sosial
terkandung padanya nilai individu yang paling dalam.
Sholat selintas tampak menyangkut urusan yang
semata berkaitan dengan urusan individual semata, namun Islam memandangnya
memiliki dampak sosial. Dari itu syare’at Islam bukanlah aturan kesempurnaan
yang terpisahkan, tetapi aturan kesempurnaan yang satu didalamnya tercakup
nilai individual dan nilai sosial, dengan satu aturan “Islam”.
Setelah aturan kesempurnaan Islam menyangkut
dhohir dan bathin, individu dan sosial dengan segala aturan, adakah aturan
tersebut bersifat awal atau akhir? Pengertian akhir
adalah, jika seseorang sudah sekali melakukan sholat berarti telah sampai pada
pada tujuan kesempurnaan tersebut, yang mana sholat tak lagi diperlukan lagi
baginya. Jelas “tidak”, sehingga dapat dikatakan hal tersebut merupakan awal
dalam perjalanan manusia mencapai kesempurnaan yang lebih tinggi. Hal ini
sesuai dengan “segala sesuatu membutuhkan Allah”, dan kebbutuhan mencapai
kesempurnaan yang lebih tinggi senantiasa terdapat dalam ketaatan pada aturan
syare’at Islam ini.
Aturan
Islam dalam perwujudan kesempurnaan manusia tidak utopis, sekedar keindahan
yang dibenak tanpa dapat diaktualisasi. Dalam pada itu manusia mambutuhkan
selain aturan, adalah wujud manusia puncak kesempurnaan yang dapat ditauladani
dalam kehidupannya sehari-hari.
Ketauladanan
rasulullah telah dinyatakan oleh al-Qur’an, namun sepeninggal beliau
ketauladanan sebagaimana beliau tetap dibutuhkan dalam pengaktualan Islam
sesuai dengan yang dijanjikan dalam firman-Nya :
“Aku
berdamai pada mereka yang berdamai pada kalian (ahli bait), Aku berperang pada
mereka yang memerangi kalian (ahli bait)”
ANALISIS
Dalam mazhab Asy’ari ketika menjelaskan aturan
kesempurnaan ini tidak mendukung kesimpulan diatas, sehingga aqidahnya
menampakkan penyimpangan terhadap tujuan kesempurnaan bagi makhluq Allah SWT.
Pandangan Asy’ari terbantah dengan sendirinya
dengan seorang mursal yang berkata saya mursal karena menta’ati ketetapan Allah
yang diberlakukan pada dirinya. Hukum-hukumpun menjadi mandul dan sorga neraka
menjadi kehilangan nilai – serta anjuran berbuat baik pada manusia tak dapat
diterapkan pada pemikiran ini.
Pada dasarnya Islam menolak kedua pengertian
ekstreem diatas. Islam memandang aturan dhohirnya sebnantiasa terselip aturan
bathiniyyah dan sebaliknya. Seperti yang dicontohkan dalam hukumhukum Isla,
misalnya hubungan seksual sepasang suami istri selintas aturannya bersifat
dhohir semata. Kebahagian didalamnya seakan merupakan kebahagian dhohir yang
tak terkait dengan hal-hal bathin. Namun Islam memandang hubungan intim dengan
istri merupakan ibadah yang besar disisi Allah. Sedangkan ibadah terkait erat
dengan hubungan bathiniyyah seorang hamba dengan khaliqnya. Sebaliknya aturan
puasa dalam Islam sekilas nampak berkaitan dengan hal-hal yang bersifat bathin,
namun Islam Islam memandang dengan berpuasa seseorang akan menjadi sehat
jasmaninya. Kesehatan yang bersifat dhohir.
BAB II
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas maka penulis dapat
menyimpulkan bahwa : Dari Abdullah ra. Katanya: Bercerita kepada kami
rasulullah saw. Seorang yang benar dan dibenarkan. Beliau bersabda “Seseorang
kamu ditempatkan selama empat puluh hari dalam peranakan ibu (berupa benda
cair) kemudian menjadi segumpal darah, selama itu pula, dan segumpal daging,
selama itu pula. Lalu Tuhan melalui malaikat menuliskan rezekinya, ajalnya,
malang (celaka) dan mujur (bahagia), kemudian dihembuskan roh (jiwa)
kedalamnya.
Semua yang disebut satu selain Dia adalah sedikit.
Semua yang disebut mulia selain Dia adalah hina. Semua yang kuat selain Dia
adalah lemah. Semua pemilik selain Dia adalah termiliki. Semua yang berkuasa
selain Dia adakalanya berkuasa adakalanya tak berdaya. Semua yang mendengar
selain Dia adalah tuli terhadap suara-suara yang lembut, amat keras, atau amat
jauh dari tempatnya. Semua yang melihat selain Dia adalah buta terhadap
warna-warna, amat lemah, ataupun benda-benda lembut.
Allah adalah contoh utama dalam melakukan setiap
perbuatan baik-Nya. Dari ucapan Imam Ali as. ” Semua yang dzahir selain Dia
adalah bathin dan semua yang bathin selain Dia tidak mungkin bersifat dzahir”.
Menampakan tujuan aturan kesempurnaan yang dikehendaki-Nya.
Pada dasarnya Islam menolak kedua pengertian
ekstreem diatas. Islam memandang aturan dhohirnya sebnantiasa terselip aturan
bathiniyyah dan sebaliknya. Seperti yang dicontohkan dalam hukum hukum Islam,
misalnya hubungan seksual sepasang suami istri selintas aturannya bersifat
dhohir semata. Kebahagian didalamnya seakan merupakan kebahagian dhohir yang
tak terkait dengan hal-hal bathin.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas,
Siradjuddin, KH, I'tiqad Ahlussunah Waljama'ah, Pustaka Tarbiyah,
Jakarta, 2006.
Baehaqi,
Imam, Kontroversi Aswaja – Aula Perdebatan dan Reinterpretasi, LKIS,
Yogyakarta, 199
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !