BAB
I
PEMBAHASAN
Mengingat proses kependidikan adalah suatu proses pengembangan kemampuan
dasar atau bakat manusia maka dengan sendirinya proses tersebut akan berjalan
sesuai dengan hokum-hukum perkembangan, yaitu hokum kesatuan organis, yang
menyatakan bahwa perkembangan manusia berjalan secara menyeluruh dalam seluruh
organ-organnya, baik organ tubuhnya maupun organ rohaniahnya, bukan
perkembangan organis yang satu sama lain berdiri sendiri. Fungsi kejiwaan
manusia tidak berkembang terlepas antara satu fungsi dengan yang lain, melainkan
saling mempengaruhi antara fungsi yang satu dan yang lainnya. Demikian pula
fungsi-fungsi organ tubuhnya. Fungsi-fungsi kejiwaan manusia meliputi, antara
lain pikiran, kemauan, perasaan, ingatan dan nafsu-nafsu yang senantiasa
berkembang secara menyeluruh, tidak
terlepas antara yang satu dari yang lainnya atau tidak berdiri sendiri.
“Hukum tempo” menyatakan bahwa perkembangan manusia itu menurut tempo
(waktu) yang satu sama lain berbeda, pada saat tertentu mengalami perkembangan
cepat, tetapi pada saat lainnya mengalami perkembangan yang lambat. Pada saat
tertentu anak peka terhadap perasaan ketuhanan (agama), yaitu usia 10 tahun.
Pada usia ini anak mudah sekali dididik agama, tetapi pada tingkat usia
tertentu lainnya, pada saat puber, anak mengalami kemunduran perasaan ketuhanan
(agama). Atau pada waktu manusia berada pada masa pemuda sangat cerdas dan
terampil dalam belajar dan kreatif dalam ide-ide baru, tetapi pada usia dewasa
mengalami kemunduran. Sedangkan bagi masing-masing individu anak dapat pula
berbeda arah dan kecepatan perkembangannya. Seperti seorang anak A lebih cepat
perkembangan daya fantasinya dari anak-anak lain pada saat-saat tertentu. Akan
tetapi, dalam usia tertentu daya anak tersebut menurun, sedang anak lain bahkan
baru berkembang biak.
Hokum konvergensi adalah suatu pandangan bahwa perkembangan manusia itu
berlangsung atas pengaruh dari factor-faktor bakat/kemampuan dasar dan
factor-faktor lingkungan sekitar/factor yang disengaja. Dengan kata lain,
manusia ditentukan perkembangannya oleh factor dasar dan factor ajar, yang satu
sama lain saling mempengaruhi secara interaktif. Dalam hubungan proses
perkembangan tertentu, beberapa ahli psikologi dan pedagogi seperti M.J.
Languveld menemukan suatu pola perkembangan dalam diri manusia dalam empat
factor pengaruh, yatiu factor pengaruh dari pembawaan, factor pengaruh dari
lingkungan sekitar, factor emansipasi (kehendak untuk bebas dari orang lain),
dan factor pengaruh dari usaha eksplorasi (penjelajahan terhadap keadaan dunia
sekitar). Keempat factor tersebut mempengaruhi terbentuknya pola kepribadian
manusia di masa dewasanya.
Menurut ahli pedagogi Prof. Drs. A. Sigit, manusia dalam perkembangannya
mengalami proses dalam tiga factor perkembangan yang saling mempengaruhi, yaitu
factor pembawaan, factor lingkungan sekitar, dan factor dialektif (proses
saling pengaruh-mempengaruhi antara kedua factor tersebut).
Jadi, di sini tampaklah bahwa para ahli didik selalu menilai bahwa selain
factor pembawaan, factor lingkungan mempunyai dampak besar sekali bagi pembentukan pribadi
manusia, sehingga factor ini oleh aliran filsafat kependidikan, Empirisme,
dinyatakan sebagai factor yang paling dominant dampaknya terhadap proses
perkembangan manusia. Meskipun pandangan demikian kurang popular saat ini,
namun di masyarakat, misalnya di Negara komunis, factor yang disengaja (usaha
pendidikan) dalam proses pendidikan dipandang menentukan perkembangan manusia.
Lain halnya dengan pandangan aliran Nativisme yang menganggap factor
pembawaan atau bakat serta kemampuan dasar sebagai penentu dari proses
perkembangan manusia. Sehingga proses perkembangan hidup manusia ditentukan
oleh factor dasar ini. Akibatnya ialah bahwa factor-faktor eksternal seperti
pendidikan atau lingkungan sekitar serta pengalaman tidak ada artinya bagi
perkembangan hidup manusia. Paham ini sudah tentu kurang dapat
dipertanggungjawabkan bilamana dilihat dari realitas hidup mansuia sebagai
anggota masyarakat. Karena manusia sebagai makhluk social tidak dapat
menghindarkan diri dari pengaruh yang bersifat timbale balik (interaksi) antara
individu satu dari yang lainnya. Bukanlah manusia sebagai makhluk individual
pada hakikatnya juga dibentuk oleh lingkungannya di mana ia hidup dan
berkembangan, baik lingkungan yang berupa manusia maupun berupa alam?
Pendapat demikian dalam dunia kependidikan modern sekarang telah banyak
ditinggalkan, karena tidak sesuai dengna kenyataan hidup bahwa dimanapun
manusia berada, di situ pula memerlukan proses kependidikan, baik yang formal
maupun yang nonformal. Proses kependidikan pada hakikatnya adalah usaha ikhtiar
utnuk mempengaruhi, mengubah dan membentuk kepribadian dan tingkah laku,
sehingga sesuai dengan tujuan hidup manusia yang dicita-citakan.
Bila dibandingkan dengan pandangan konvergensi, yang menganggap bahwa
proses perkembangan manusia itu selalu ditentukan oleh perpaduan pengaruh dari
factor pembawaan (kemampuan dasar) dan factor lingkungan sekitar, baik yang
disengaja (seperti pendidikan) maupun yang tidak disengaja, seperti pergaulan
dan lingkungan alam maka kedua factor ini selalu berproses secara interaksi
dalam pembentukan watak dan kepribadian manusia. Hanya yang perlu diperhatikan
bagaimana proses tersebut dapat diarahkan kepada tujuan yang diinginkan oleh
peradaban masyarakat.
Di sinilah peranan lembaga pendidikan dengan segala kelengkapannya harus
benar-benar berfungsi dengan efektif dan efisien. Maka jelaslah kedua pandangan aliran tersebut, yaitu
Empirisme dan Nativisme, kecuali berat sebelah dalam melihat hakikat hidup
manusia, juga tidak menghargai harkat manusia yang pada hakikatnya berpusat
pada proses individualitas dan sosialitasnya secara naluriah, yang tidak
mungkin dihindarkan dalam perkembangan hidupnya. Individualitas dan sosialitas
manusia sebagai makhluk Tuhan baru terbentuk dengan utuh (integrated)
bila dilandasi dengan factor moralitas (kemampuan bersusila). Bukanlah hidup
bermasyarakat senantiasa diikat dengan norma-norma yang mengatur jalan hidupnya
agar teratur dan tertib, baik norma cultural maupun agama yang dipeluknya?
Pengaruh dari dalam (bakat) dan dari luar (pendidikan) berproses secara
interaktif menuju titik optimal perkembangan.
Berbeda dengan aneka pandangan diatas, Islam yang penuh dengan ajaran
etis dan normative yang bertolak dari asas hidup dalam perikeseimbangan sepenuhnya
menghargai potensi rohaniah dan jasmaniah manusia baik kehidupan di dalam nyata
ini. Islam telah memberikan konsep pandangan bahwa perkembangan mansuia
diletakkan pada posisi dua titik lingkaran, yaitu sebagai makhluk pribadi yang
selalu mempererat hubungan dengna Tuhan dan sekaligus menjalin hubungan dengan
masyarakatnya. Dengan ikatan dalam dua lingkaran hubungan inilah, manusia
menempuh rangkaian proses perkembangan yang menuju kearah martabat hidup
manusiawi sesuai dengan kehendak Tuhannya. Hubungan dua arah yang sekaligus
harus dibentuk itulah yang mampu menjadikan dirinya hamba Tuhan yang paling
mulia di antara makhluk Tuhan lainnya, karena mampu berkeimanan yang tangguh
dan mampu beramal saleh untuk masyarakatnya. Antara kedua kemampuan ini saling
mempengaruhi dalam pribadi manusia muslim yang hidup dinamis.
Pandangan Islam yang demikian lebih bercorak konvergensi daripada empiris
dan nativist karena mengakui adanya
pengaruh internal berupa keimanan dalam pribadi dan pengaruh eksternal
yang berupa kegiatan social dalam bermasyarakat.
Firman Allah berikut ini dapat dijadikan pegangan dalam menganalisis
hakikat manusia, yaitu:
ôMt/ÎàÑ ãNÍkön=tã èp©9Ïe%!$# tûøïr& $tB (#þqàÿÉ)èO wÎ) 9@ö6pt¿2 z`ÏiB «!$# 9@ö6ymur z`ÏiB Ĩ$¨Y9$# râä!$t/ur 5=ÒtóÎ/ z`ÏiB «!$# ôMt/ÎàÑur ãNÍkön=tã èpuZs3ó¡yJø9$# 4
Ï9ºs öNßg¯Rr'Î/ (#qçR%x. tbrãàÿõ3t ÏM»t$t«Î/ «!$# tbqè=çGø)tur uä!$uÎ;/RF{$# ÎötóÎ/ 9d,ym 4
y7Ï9ºs $yJÎ/ (#q|Átã (#qçR%x.¨r tbrßtG÷èt ÇÊÊËÈ
Artinya: “Mereka diliputi kehinaan di mana saja
mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali
(perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah
dan mereka diliputi kerendahan. yang demikian itu karena mereka kafir kepada
ayat-ayat Allah dan membunuh Para Nabi tanpa alasan yang benar. yang demikian
itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.” (QS. Ali Imran: 112)
Dan firman Allah yang menyatakan tentang harkat dan martabat manusia.
ôs)s9 $uZø)n=y{ z`»|¡SM}$# þÎû Ç`|¡ômr& 5OÈqø)s? ÇÍÈ ¢OèO çm»tR÷yu @xÿór& tû,Î#Ïÿ»y ÇÎÈ wÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏHxåur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# óOßgn=sù íô_r& çöxî 5bqãYøÿxE ÇÏÈ
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya . Kemudian Kami kembalikan Dia ke
tempat yang serendah-rendahnya (neraka), Kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.”
(QS. At-Tiin: 4-6)
Dalam pandangan Islam tersebut diatas jelaslah bahwa manusia tidak saja
dipadang sebagai makhluk ideal dan structural, tetapi juga diletakkan pada
posisi potensial dalam proses perkembangannya, di mana nilai etis dan normative
sangat menentukan keberhasilan proses tersebut. Manusia bukanlah makhluk
instrumental yang relativitas seperti robot.
Lain halnya dengan pandangan Pragmatisme dalam kependidikan, seperti yang
dikemukakan oleh beberapa pendidik di Amerika Serikat, misalnya John Dewey,
yang menyatakan bahwa: “Pendidikan adalah suatu proses yang tiada akhir” (Education
is the process without end) dan berbagai prose situ berlangsung dalam
berbagai tujuan, yaitu sebagai berikut:
- Proses transmisi dan transormasi cultural (kebudayaan) dari generasi ke generasi
- Proses komunikasi karena masyarakat terbentuk dalam system komunikasi. Demikian pula dalam proses pendidikan
- Proses direksi (pengarahan) terhadap lingkungan sekitar dan kemampuan dasar anak didik
- Proses konservasi dan progresif, yaitu mengawetkan kebudayaan dan memajukan kebudayaan masyarakat.
- Proses rekapitulasi dan rekonstruksi: proses pengulangan kebudayaan nenek moyang manusia dan sekaligus menyusun kembali (reorganize) pengalaman yang akan memperbesar abilitas (kecakapan) mengarahkan proses pengalaman berikutnya.
Education by process (pendidikan melalui proses) yang berlandaskan atas filsafat
Pragmatisme seperti dikemukakan oleh John Dewey di atas, bertujuan untuk
memberikan pengalaman empiris kepada anka didik sehingga terbentuklah suatu pribadi
yang “belajar dan berbuat” (learning by doing). Proses demikian, menurut
pandangan ini, terus berlangsung sepanjang hayat dengan dasar semboyan: Man
is in the making (manusia terus-menerus berada dalam proses menjadi). Hanya
nilai-nilai yang dijadikan ukuran aliran ini, bukan absolutisme seperti nilai
kewahyuan (nilai samawi) melainkan nilai yang relative, yaitu nilai-nilai
baik-buruk, berguna dan tak berguna dikaitkan dengan pertimbangan cultural
masyarakat yang sudah barang tentu bergantung pada tempat dan waktu. Bagi
masyarakat, nilai-nilai tersebut selalu berubah-ubah sejalan dengan persepsi
kebudayaan (kultur) masyarakat yang mengalami perubahan nilai-nilai berkat
pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi canggih yang semakin berkembang.
Pendidikan yang berlangsung melalui proses bagi pertumbuhan dan
perkembangan manusia dilihat dari prinsip pandangan Islam adalah bersifat tabi’iyah,
yaitu sesuai dengan tabiat hidup manusia, karena itu tidak bertentangan
dengan “sunnatullah” yang ditetapkan Allah atasnya.
Dari sisi lain, pandangan Islam bahwa dalam segala kejadian ini, termasuk
kejadian manusia, diberlakukan oleh Tuhan suatu proses kehidupan. Maka tak
dapat diingkari lagi bahwa implikasi pandangan Islam demikian mengandung
pemikian progresivisme, karena proses yang terjadi pada “kejadian” dalam
kehiduapn ini bertendensi kea rah kemajuan secara tahap demi tahap menuju
kearah kesempurnaannya sebagai titik optimalnya.
Firman Allah berikut ini dapat dijadikan sumber pandangan progresivisme
tersebut.
$¨B ö/ä3s9 w tbqã_ös? ¬! #Y$s%ur ÇÊÌÈ ôs%ur ö/ä3s)n=s{ #·#uqôÛr& ÇÊÍÈ
Artinya: “Mengapa kamu tidak percaya akan
kebesaran Allah? Padahal Dia Sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam beberapa
tingkatan kejadian” (QS. An-Nuh;
13-14)
Akan tetapi, progresivisme dalam Islam, tidak sama dengan progresivisme
dalam aliran Pragmatisme ala John Dewey yang menafikan/menghilangkan
nilai-nilai absolute, bahkan lebih bercorak sekularistis dalam nilai-nilai,
sehingga nilai-nilai cultural realtivisme menjadi dasar pegangan dalam proses
kependidikan. Sedangkan Islam mendasari proses tersebut dengan nilai-nilai
absolute yang bersifat membimbing pikiran/kecerdasan dan kemampuan dasar untuk
berkembang/bertumbuh. Dengan nilai-nilai absolute itulah, proses kependidikan
akan berlangsung secara tetap dan konstan kea rah tujuan yang tidak
berubah-ubah.
Suatu progresivitas yang pernah dialami oleh Nabi Ibrahim as dalam
mencari Tuhannya, sebagai yang dikisahkan dalam kitab suci Al-Qur’an, surah
al-An’am ayat 74-79, menjelaskan kepada kita bahwa Nabi Ibrahim dengan melalui
proses berpikirnya atas landasan keyakinan bahwa Tuhan pasti ada, tetapi belum
menemukan kebenaran hakiki tentang Tuhan. Untuk itu, ia menggunakan akal
pikirannya yang berproses secara interaktif antara dirinya dengan alam sekitar
yang ia saksikan. Mula-mula ia melihat bintang gemerlapan di langit, yang
ternyata hilang diwaktu siang hari, ia menyimpulkan bahwa bintang itu bukan
Tuhan yang ia cari. Kemudain ia melihat bulan yang bersinar di waktu malam,
tetapi kemudian juga tidak tetap bersinar di langit maka ia juga menganggapnya
bukan Tuhan yang ia cari. Terakhir ia melihat matahari di wkatu siang yang
bersinar dengan teriknya maka ia mengucapkan kata-kata: “Ha, inilah Tuhanku,
yang ini lebih besar”. Akan tetapi, setelah matahari itu juga tenggelam di
waktu sore dan malam hari maka kecewalah hatinya. Akhirnya, setelah tahap demi
tahap menyaksikan kenyataan alamiah tersebut, dengan akal pikirannya,
perasaannya, serta ingatannya bereaksi dengan ucapan lisan seperti kata-kata
yang ditujukan kepada kaumnya: “Hai kaumku, sesungguhnya aku bebas dari
segala apa yang kamu sekutukan.” Maka pada akhir dari proses kegiatan
mencari tuhan yang hakiki tentang Tuhannya, ia dapat menemukan Tuha yang haq,
yaitu Allah SWT dengan ikrar yang diucapkan melalui lisannya: “Sesungguhnya
aku menghadapkan wajahku kepada Zat yang menciptakan langit dan bumi seraya
cenderung hati dan pikiranku kepada agama yang benar dan aku bukan termasuk
orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”
Proses yang dilalui oleh Ibrahim di atas, dapat dikatakan sebagai proses
naluriah yang bercorak progresif, karena hal tersebut merupakan kecenderungan
manusia untuk mengetahui tentang hal-hal yang ingin diketahui tahap demi tahap
kea rah titik optimal kemampuan berpikirnya, yaitu suatu keimanan melalalui
akal pikirannya tentang adanya Allah Yang Maha Pencipta alam semesta.
Contoh-contoh lain dari proses manusia dalam kependidikan, menurut
Al-Qur’an dan sabda Nabi, masih banyak lagi dan perlu kita telaah kembali.
Namun, tidak perlu diuraikan di dalam makalah ini.
BAB
II
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah tersebut diatas maka penulis dapat menyimpulkan
bahwa, untuk mencapai titik optimal perkembangan dan pertumbuhan, manusia harus
menempuh proses kependidikan yang berlangsung secara progresif di atas
kemampuan dasar masing-masing. Proses ini diperlancar dan dipengaruhi oleh
factor lingkungan, baik yang disengaja seperti pendidikan maupun yang tidak
disengaja seperti alam sekitar atau pergaulan sosialnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Dr.Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam,
Jakarta:Pustaka Firdaus, 2004.
Dra. Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam,
Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
Prof.Dr.Harun Nasution, Falsafah Agama. Jakarta:
Bulan Bintang ,1985
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !