BAB
I
PEMBAHASAN
Menurut Muhammad Qutb, sejarah Islam yang berkembang dewasa
ini memiliki tiga corak, yaitu; pertama, sejarah Islam yang diwarnai oleh dan
diambil dari sumber-sumber Arab kuno. Kedua, sejarah Islam yang diambil dan
diwarnai oleh sumber-sumber Barat melalui formulasi para orientalis yang juga
menimba bahan-bahannya dari sumber Arab kuno. Ketiga, memutarbalikkan maksud
nash (teks) secara sengaja dengan tujuan membuat kesimpulan-kesimpulan yang
tidak ada hubungannya dengan nash tersebut atau dengan cara menambah atau
menghilangkan beberapa kalimat sehingga nash tersebut memberikan makna yang
tidak ada lagi kaitannya dengan nash itu sendiri. Di samping itu, mereka juga
mempergunakan riwayat-riwayat lemah yang tidak terdapat dalam referensi-referensi
Islam yang belum disaring, lalu dijadikan sebagai pegangan pokok sementara
riwayat lain yang kuat dikesampingkan.
Melihat fenomena sejarah Islam tersebut, Muhammad Qutb
mengungkapkan bahwa sejarah Islam perlu ditulis ulang. Alasannya agar sejarah
dapat direkonstruksikan dengan apa adanya. Dalam penulisan tersebut, al-Qur’an
dapat dijadikan sebagai titik berangkat dan paradigma. Menurut Mazheruddin
Shiddiqi, al-Qur’an mendasarkan konsep sejarahnya pada manifestasi sifat
individu dan sosial manusia dalam sejarah. Al-Qur’an tidak menelusuri evaluasi
suatu masyarakat atau Ibda`. Memisahkan fase-fase yang berbeda-beda yang telah
dilalui oleh masyarakat itu. Bahkan, Islam tidak memberikan kita suatu hukum
tertentu tentang pertumbuhan dan kehancuran kebudayaan, tetapi hanya
memperlihatkan dan menunjukkan fakta-fakta yang pasti tetap tentang sifat
manusia dalam aspek kelompoknya dan memberikan tekanan tertentu pada
faktor-faktor moral sosial yang mengakibatkan perusakan motivasi manusia dan
penghancuran masyarakat yang telah rusak.
Al-Qur’an sebagai paradigma untuk perumusan teori, baik
sejarah maupun ilmu pengetahuan yang lainnya juga diungkapkan oleh Kuntowijoyo.
Menurutnya, paradigma al-Qur’an berarti suatu konstruksi pengetahuan yang
memungkinkan untuk memahami realitas sebagaimana al-Qur’an memahaminya.3
Konstruksi pengetahuan itu dibangun oleh al-Qur’an pertama-tama dengan tujuan
agar memiliki hikmah yang atas dasar itu dapat dibentuk perilaku yang sejalan
dengan nilai-nilai normatif al-Qur’an, baik pada level moral maupun sosial.
Akan tetapi, konstruksi pengetahuan itu juga memungkinkan kita merumuskan
desain besar mengenai sistem Islam termasuk dalam hal sistem ilmu pengetahuan.
Jadi, di samping memberikan gambaran aksiologis, paradigma al-Qur’an juga dapat
berfungsi untuk memberikan wawasan epistemologis.
Salah seorang tokoh yang mampu memformulasikan konsep
al-Qur’an dalam paradigma yang jelas terutama berkaitan dengan filsafat sejarah
adalah Murtadha Muthahhari. Dia adalah ulama intelektual abad ke-20 yang
dijadikan sebagai salah seorang model sarjana Islam yang telah memenuhi tiga
syarat yang banyak diimpikan, tetapi jarang bertemu dalam satu pribadi, yaitu
akar yang kokoh pada studi Islam tradisional, penguasaan memadai atas ilmu-ilmu
nonagama, dan sebagai penulis prolifik yang memiliki karya-karya nyata di
bidang sosial. Selain itu, Muthahhari juga memiliki latar belakang yang kuat
dalam filsafat dan irfan (gnosis). Dia telah berupaya menerapkan kedua hal
tersebut pada tataran realitas sosial kontemporer.
Filsafat mendapat kedudukan khusus dalam diri Muthahhari
sejak masa remajanya.4 Bagi Muthahhari, filsafat jauh lebih daripada sekadar
alat polemik atau disiplin intelektual, melainkan juga suatu pola religiositas
dan suatu jalan untuk memahami dan merumuskan Islam.
A.
Pengertian
Sejarah dan Filsafat Sejarah
Sejarah berasal dari bahasa Arab “syajaratun” yang berarti
pohon. Kata ini memberikan gambaran pendekatan ilmu sejarah yang lebih analogis
karena memberikan gambaran pertumbuhan peradaban manusia dengan “pohon” yang
tumbuh dari biji yang kecil menjadi pohon yang rindang dan berkesinambungan.
Oleh karena itu, untuk dapat menangkap pelajaran atau pesan-pesan sejarah di
dalamnya memerlukan kemampuan pesan-pesan yang tersirat sebagai ibarat atau
ibroh di dalamnya.
Menurut Muthahhari, ada tiga cara mendefinisikan sejarah
dan ada tiga disiplin kesejarahan yang saling berkaitan, yaitu pertama, sejarah
tradisional (tarikh naqli) adalah pengetahuan tentang kejadian-kejadian,
peristiwa-peristiwa dan keadaan-keadaan kemanusiaan di masa lampau dalam
kaitannya dengan keadaan-keadaan masa kini. Kedua, sejarah ilmiah (tarikh
ilmy), yaitu pengetahuan tentang hukum-hukum yang tampak menguasai kehidupan
masa lampau yang diperoleh melalui Ibda`. Pendekatan dan analisis atas
peristiwa-peristiwa masa lampau. Ketiga, filsafat sejarah (tarikh falsafi),
yaitu pengetahuan tentang perubahan-perubahan bertahap yang membawa masyarakat
dari satu tahap ke tahap lain, ia membahas hukum-hukum yang menguasai
perubahan-perubahan ini. Dengan kata lain, ia adalah ilmu tentang menjadi
masyarakat, bukan tentang mewujudnya saja.
Pendapat lain tentang sejarah dikemukakan oleh Hugiono dan
Poerwantara bahwa dalam penulisan sejarah perlu dibedakan terlebih dahulu
antara sejarah dalam kerangka ilmiah, dan sejarah dalam kerangka filosofis.8
Sejarah dalam kerangka ilmiah adalah sejarah sebagai ilmu, artinya sejarah
sebagai salah satu bidang ilmu yang meneliti dan menyelidiki secara sistematis
keseluruhan perkembangan masyarakat serta kemanusiaan di masa lampau beserta
seluruh kejadian-kejadian, dengan maksud untuk menilai secara kritis seluruh
hasil penelitian dan penyelidikan tersebut, untuk akhirnya dijadikan pedoman
bagi penilaian dan penentuan keadaan sekarang serta arah program masa depan.
Sejarah dalam kerangka filosofis adalah sejarah dalam
pengertian sebagai filsafat sejarah. Filsafat sejarah mengandung dua
spesialisasi. Pertama, sejarah yang berusaha untuk memastikan suatu tujuan umum
yang mengurus dan menguasai semua kejadian dan seluruh jalannya sejarah. Usaha
ini sudah dijalankan berabad-abad lamanya. Kedua, sejarah yang bertujuan untuk
menguji serta menghargai metode ilmu sejarah dan kepastian dari
kesimpulan-kesimpulannya.
Dalam kajian-kajian modern, filsafat sejarah menjadi suatu
tema yang mengandung dua segi yang berbeda dari kajian tentang sejarah. Segi
yang pertama berkenaan dengan kajian metodologi penelitian ilmu ini dari tujuan
filosofis. Ringkasnya, dalam segi ini terkandung pengujian yang kritis atas
metode sejarawan. Pengujian yang kritis ini termasuk dalam bidang kegiatan
analitis dari filsafat, yakni kegiatan yang mewarnai pemikiran filosofis pada
zaman modern dengan cara khususnya, di mana si pemikir menaruh perhatian untuk
menganalisis apa yang bisa disebut dengan sarana-sarana intelektual manusia. Ia
mempelajari tabiat pemikiran, hukum-hukum logika, keserasian dan
hubungan-hubungan antara pikiran-pikiran manusia dengan kenyataan, tabiat,
realitas, dan kelayakan metode yang dipergunakan dalam mengantarkan pada
pengetahuan yang benar.
Dari segi yang lain, filsafat sejarah berupaya menemukan
komposisi setiap ilmu pengetahuan dan pengalaman umum manusia. Di sini
perhatian lebih diarahkan pada kesimpulan dan bukannya pada penelitian tentang
metode atau sarana-sarana yang digunakan seperti yang digunakan dalam metode
analitis filsafat. Dalam kegiatan konstruktif, filosof sejarah bisa mencari
pendapat yang paling komprehensif yang bisa menjelaskan tentang makna hidup dan
tujuannya. 9
Ada tiga hal yang dikritik oleh Muthahhari terhadap kaum
marxisme, yaitu sifat sejarah, hukum sejarah, dan perkembangan sejarah. Menurut
Muthahhari, sifat sejarah bukan hanya bersifat bendawi, melainkan ada wujud
yang bersifat nonbendawi dan suprabendawi. Nonbendawi adalah keberadaan sejati
manusia sebagai dirinya sendiri, sedangkan supra bendawi adalah apa yang ada di
atas diri manusia.
Hukum sejarah yang dianut oleh kaum Marxis termuat dalam
pandangannya tentang determinisme sejarah. Menurut kaum Marxis, hukum sejarah
adalah menentukan, ttdak dapat diganggu gugat dan di luar kehendak manusia.
Dengan kata lain, kaum Marxis memaknai hukum sejarah adalah hukum alam yang
menggunakan prinsip kemestian sejarah.
Sementara itu, menurut Muthahhari, ada tiga bentuk hukum
sejarah dari al-Qur’an. Pertama, hukum determinisme, yaitu hukum sejarah yang
berjalan menurut hukum-hukum umum dan secara natural tidak bertentangan dengan
kebiasaan di dalam alam. Teori ini merujuk kepada Al-Qur’an surat [35]: 43, [48]: 23, [17]: 77, [33]: 62,
dan sebagainya. Kedua, hukum ketuhanan, yaitu hukum-hukum sejarah terikat dan
terkait dengan Allah (sunnatullah). Hukum ini bertujuan untuk mengikatkan
manusia dengan Tuhannya dan manusia dapat mengambil manfaat dan meminta bantuan
untuk menyempurnakan perkembangan sejarah. Hal itu sesungguhnya merupakan
penampakan hukum Allah, kebaikan takdirnya, dan bangunan dalam perkembangan
sejarah. Ketiga, hukum ikhtiar manusia. Hukum ini berkaitan dengan konsep
al-bada’ (perubahan perjalanan hidup yang telah ditentukan). Maksudnya, Allah
tidak menentukan bentuk yang pasti dan final bagi perjalanan sejarah manusia.
Manusialah yang bertanggung jawab memenuhi ketentuan Tuhan, dapat memajukan
atau menghentikan perjalanan sejarah.10
Kritik ketiga dari Muthahhari terhadap kaum Marxis
berkenaan dengan perkembangan sejarah. Dalam pandangan Marx, keputusan manusia
tidak dibuat oleh pilihan dan keinginan bebas manusia karena manusia kebanyakan
dikuasai oleh kepentingan bebas. Oleh karena itu, keputusan-keputusan mereka
yang menyangkut kehidupan masyarakat merupakan hasil dari kelas mereka.
Sementara itu, Muthahhari mengakui adanya tahapan-tahapan perkembangan sejarah
yang terus berproses menuju kesempurnaannya. Ia menjelaskan bahwa masalah
perkembangan zaman adalah masalah yang tidak perlu diragukan lagi. Komunitas
manusia mirip dengan kafilah yang terus bergerak maju tanpa henti. Manusia dan
masyarakat tidak pernah tetap berada pada satu masalah. Kalau kita berusaha
menghentikan gerak manusia dan masyarakat dalam perjalanan sejarahnya, maka
berarti kita menentang hukum alam.11 Oleh karena itu, kata Muthahhari, dari
masa ke masa manusia dan masyarakat bergerak menyempurnakan dirinya, dan yang
menjadi titik awal penyempurnaannya adalah masa lampaunya. Islam tidak
menganggap masa lampau dengan pesimisme secara total.
B.
Tujuan
Sejarah
Penjelasan Muthahhari tentang tujuan sejarah diambil dari
al-Qur’an yang menjelaskan adanya dua eksistensi manusia, yaitu sebagai
individu, dan sebagai anggota masyarakat. Tindakan manusia sebagai individu
memiliki dua dimensi, yaitu sebab aktif, dan sebab material. Sebab material
(tindakannya). Meskipun ada dua eksistensi dan tindakan, namun al-Qur’an tidak
memisahkan secara objektif antara tindakan pribadi manusia secara individual
dengan tindakan manusia sebagai aktivitas masyarakat.
Tujuan-tujuan utama dalam kehidupan adalah satu-satunya
faktor yang menciptakan sejarah. Pada gilirannya, mereka memiliki pondasi yang
mendalam di dalam kandungan batin manusia, yakni cita-cita utama kehidupannya.
Cita-cita ini merupakan tiang utama semua tujuan yang menggerakkannya. Makin
tinggi dan luhur suatu cita-cita masyarakat, makin layak dan luas
tujuan-tujuannya atau sebaliknya. Oleh karena itu, cita-cita yang besar dari
suatu masyarakat adalah titik tolak dari pembentukan batin masyarakat manusia.
Cita-cita utama masyarakat bergantung pada konsepsinya tentang kehidupan dan
dunia.14 Dalam hal ini, Muthahhari meyakini benar perlunya mengenal masa depan
sebagai tujuannya. Sejarah bagi Muthahhari berperan untuk membuka jalan bagi
masa depan.
Jika manusia tidak mengenali masa depan dan tidak mempunyai
rencana tentangnya serta tidak memberikan perhatian pada tanggung jawabnya
untuk membuat sejarah, maka manusia berhak mendapatkan celaan dari generasi
mendatang. Sejarah dibuat oleh manusia dan bukannya manusia dibuat sejarah.
Jika manusia tidak mempunyai rencana tentang masa depan, tidak seorang pun
dapat menjanjikan bahwa bahtera ini akan mencapai tujuannya secara otomatis.
Selain tujuan sejarah untuk mengetahui masa depan, juga
bertujuan untuk membangun idealisme sejati. Idealisme sejati itu akan mampu
membuat perubahan pada proses perjalanan sejarah karena kemampuannya memberikan
kekuatan pada subjek sejarah. Semangat itu bukan berupa kekuatan fisik,
melainkan berupa spirit yang bergejolak dalam jiwa manusia sebagai penyebab
penggerak (active cause) untuk menghasilkan langkah-langkah konkrit dalam
memecahkan problematika manusia.
Perjalanan sejarah manusia untuk mencapai idealisme sejati
yang mampu menciptakan dinamika bentuk dan proses perjalanan itu sendiri sangat
bergantung pada beberapa prinsip sebgai berikut:
1.
Bergantung pada konsep yang jelas baik dilihat dari pikiran dan ideologinya
terhadap idealisme sejati;
2.
Harus mempunyai kekuatan spiritual yang bersumber pada idealisme itu agar
kekuatan spiritual ini bisa menjadi sumber motivasi abadi bagi tindakan manusia
dalam dinamika gerak sejarah;
3. Ia
harus berbeda dengan idealisme lain yang hanya bersifat siklus pengulangan.
Dengan dasar ideologi ini sebagai objek yang terlepas dari subjektivitas manusia,
bukan bagian dari manusia dan bukan pula hasil olah budi manusia, tetapi harus
memiliki benang merah yang menghubungkannya dengan manusia;
4.
Prinsip kelembagaan terhadap nilai-nilai yang telah dirumuskan oleh para Nabi
dalam berbagai bentuk pranata sosial kemasyarakatan.
C.
Gerak
Sejarah
Jiwa dari teori-teori sejarah beranggapan bahwa sejarah itu
merupakan suatu gerak yang tumbuh dan berkembang secara evolusi atau perubahan
secara alami.16 Menurut Muthahhari, pengertian evolusi secara sederhana dapat
diartikan sebagai kemajuan dan transformasi. Secara terminologi oleh sebagian
orang diartikan sebagai suatu proses yang di dalamnya terdapat suatu proses
pelipatgandaan bagian-bagian yang diikuti oleh pembagian yang ditandai oleh
suatu gerakan dari homogenitas ke arah heterogenitas.
Dalam proses evolusi sejarah, peran manusia sangat
menentukan sekali. Bahkan, manusia menjadi inti masalah dari gerak sejarah itu
sendiri. Oleh karena manusia eksistensinya begitu kompleks, maka para sejarawan
berbeda pendapat dalam menentukan gerak sejarah. Secara garis besar dan ringkas
konsepsi gerak sejarah dapat diterangkan sebagai berikut.
1.
Pandangan
sosial yang individualistis cenderung pada anggapan bahwa kerja individulah
yang menggerakkan perkembangan umat manusia. Pendapat ini menitikberatkan pada
karya pribadi yang menggerakkan atau mendorong gerak perkembangan masyarakat.
Individu-individu yang berbuat dan berlaku serta mencipta kebudayaan, sedangkan
masyarakat merupakan latar belakangnya dan bersifat abstrak.
2.
Gerak
sejarah merupakan kesadaran umat manusia. Manusia adalah makhluk budaya.
Pikiran dan kesadaran manusia berkembang dari tingkat yang bersahaja ke tingkat
yang tinggi. Perkembangan pikiran dan kesatuan manusia ini menjadi tenaga
penggerak kemajuan manusia.
3.
Pengaruh
alam terhadap kehidupan manusia. Perbedaan antara kebudayaan dapat dilihat dari
segi perbedaan tempat. Cara hidup ini membentuk corak kebudayaan. Gerak sejarah
dipersamakan dengan gerak kebudayaan.
4.
Kekuatan
penggerak sejarah berada dalam bangsa. Perbedaan ruhani ataupun watak di antara
bangsa-bangsa menimbulkan perbedaan cara berpikir dan perasaan, begitu pula
tingkah-laku dan perbuatan. Hasrat yang ada pada suatu bangsa menimbulkan daya
cipta, hasrat untuk mengubah dan mengambil alih dari bangsa lain. Aliran ini
membuka jalan bagi Cauvinisme.
5.
Teori
evolusionisme atau Darwinisme. Darwin
berpendapat bahwa setiap makhluk itu berkembang dan berubah secara alami dari
tingkat yang lebih rendah ke tingkat yang sempurna sesuai dengan alam
lingkungannya. Proses perubahan ini adalah proses penyesuaian diri, baik yang
bersifat ruhani maupun jasmaninya. Perubahan ini dapat diterapkan dalam
perkembangan bangsa dan negara.
6.
Teori
historis materialisme. Teori ini berdasarkan pada paham determinisme ekonomi. Gerak
sejarah ditentukan oleh cara-cara menghasilkan barang untuk keperluan
masyarakat. Cara produksi ini menentukan perubahan-perubahan dalam masyarakat
yang bertentangan satu sama lain. Tujuan gerak sejarah menurut paham ini adalah
mewujudkan masyarakat tanpa pertentangan kelas.
Dari berbagai pendapat tentang gerak sejarah, Muthahhari
memandang bahwa gerak sejarah dari arti active cause, yakni pemahaman tentang
determinisme sejarah dan arti ideal cause, yakni pandangan tentang masa depan
manusia. Bagi Muthahhari, determinisme sejarah dipahami dari dua makna yang
saling terkait. Makna ini diambil dari ayat al-Qur’an surat
[35]: 43 “Maka engkau sekali-kali tidak akan mendapatkan pergantian di dalam
sunnatullah”, dan di dalam al-Qur’an surat
[13]: 11 “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum
itu sendiri yang mengubah diri mereka sendiri”. Ayat pertama determinisme
sejarah dipahami sebagai “undang-undang hidup manusia yang tidak berubah”. Ayat
kedua determinisme sejarah dipahami bahwa “nasib perjalanan hidup manusia
berhubungan dengan kondisi jiwa, pikiran, dan akhlak manusia itu sendiri”.
Selagi semuanya belum berubah, maka mustahil keadaan mereka akan berubah.
Sementara itu, tentang pandangan masa depan manusia ada
yang bersifat pesimis, optimis, atomistik, dan sosialis. Bagi Islam, masa depan
manusia ditanggapi dengan dua sikap. Pertama, Islam tidak menganggap masa lalu
dengan pesimis secara total. Kedua, Islam tidaklah demikian sinis terhadap
watak manusia.19 Dengan kata lain, Islam memandang masa depan manusia dengan
sikap optimisme.
Pandangan masa depan ini sangat terkait dengan pemahaman
hukum-hukum sejarah. Hukum-hukum sejarah memiliki keterkaitan yang sangat erat
dengan Kitab Allah dalam kedudukannya sebagai petunjuk suci yang akan
mengantarkan manusia dari kegelapan menuju pada terangnya kebenaran.
Apabila pandangan tentang masa depan manusia dan
hukum-hukum sejarah yang mengitari proses dinamika sejarah ini diambil makna
esensialnya, maka akan terlihat secara jelas sifat-sifat dari gerak sejarah itu
sendiri, yakni bersifat progresif. Hal ini disebabkan adanya kepercayaan yang
tinggi kepada kebaikan esensial (fitrah) manusia. Meskipun demikian, kita tidak
mampu menentukan bentuk fisik masa depan sejarah manusia.
D.
Penggerak
Sejarah
Di dalam al-Qur’an surat
ar-Ra’du [13] ayat 11; “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah kondisi
(objektif) suatu bangsa, hingga bangsa tersebut mau mengubah kondisi
(subjektif) yang ada pada mereka sendiri” menggambarkan bahwa manusia memainkan
peran penting dalam gerak sejarah. Selain itu, dalam ayat tersebut juga
tergambar hubungan kausalitas dalam hukum sejarah, yakni antara perubahan yang
ada di dalam diri manusia dengan perubahan yang ada di luar manusia.
Konsepsi Islam dan al-Qur’an meyakini bahwa dua proses
perubahan ini harus berjalan beriringan. Proses pembangunan manusia terhadap
pribadi, semangat, dan pikirannya harus seiring dengan pembangunan fisik dan
sosial budayanya. Jika pembangunan mental berjalan jauh di depan pembangunan
fisik, maka yang akan terjadi adalah menara gading yang tidak berpondasi.
Demikian pula sebaliknya, jika pembangunan fisik meninggalkan pembangunan
mental, maka yang terjadi adalah istana megah yang kropos.
Penjelasan Muthahhari tentang peran manusia dalam menggerakkan
sejarah tidak hanya bersifat umum, tetapi beliau menjelaskan secara lebih rinci
terutama tentang kecenderungan yang dimiliki manusia. Penjelasan ini
dimaksudkan untuk melawan pendapat kaum Marxis yang mengatakan bahwa
kecenderungan pokok dalam diri manusia hanya satu jalan, yakni ekonomi.20
Muthahhari menyatakan bahwa Islam mengakui manusia pada
hakikatnya lebih komitmen kepada keimanan dan ideologi daripada kepada
kepentingan material yang cenderung buruk seperti kelemahan (Q.S. [4]: 20),
sentimentalisme (Q.S. [11]: 9-11), sifat membangkang (Q.S. [18]: 54), dan
tergesa-gesa (Q.S. [21]: 37).
Meskipun manusia memiliki seluruh kecenderungan ke arah
nafsu, hal-hal inderawi, korupsi dan kejahatan, wujudnya (manusia) dianugerahi
suatu percikan suci yang secara esensial menentang kejahatan, pertumpahan
darah, kepalsuan, korupsi, kehinaan, degradasi, dan penghinaan serta penekanan
dan kezaliman. Manusia memiliki kecenderungan kepada kesempurnaan.
Ada kecenderungan lain pada diri manusia selain dari
kecenderungan pada perbuatan baik, yaitu kecenderungan untuk tetap hidup,
menghilangkan rasa lapar, kecenderungan pada makanan dan kelezatan,
kecenderungan seksual, kecenderungan pada seni dan keindahan, serta
kecenderungan pada ilmu pengetahuan.
Kecenderungan yang beragam tersebut, menurut Muthahhari,
semuanya dapat dijadikan sebagai motor penggerak. Alasannya, dalam realitas
kehidupan manusia, segala macam bentuk pertentangan, perselisihan, dan tidak
adanya keserasian bersumber dari satu kenyataan bahwa dalam diri manusia tidak
hanya satu motor penggerak. Jika memang benar dalam masyarakat hanya ada satu
motor penggerak, maka mustahil akan timbul segala macam bentuk pertentangan dan
perselisihan dalam masyarakat. Penyebab paling mendasar bagi timbulnya
pertentangan dan perselisihan karena berbagai naluri dalam diri manusia selalu
berperang satu sama lain.21
Penjelasan Muthahhari tentang manusia sebagai penggerak
sejarah tidak hanya dilihat dari setting individual yang terpisah, melainkan
juga dari sisi masyarakat. Muthahhari membedakan secara jelas tindakan individu
dengan tindakan kolektif. Tindakan individu mengandung dua dimensi (sebab aktif
dan sebab material), sedangkan tindakan kolektif mengandung tiga dimensi (sebab
aktif, material, dan sebab akhir).
BAB
II
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah di atas maka penulis
dapat menyimpulkan bahwa : Melihat fenomena sejarah Islam tersebut, Muhammad
Qutb mengungkapkan bahwa sejarah Islam perlu ditulis ulang. Alasannya agar
sejarah dapat direkonstruksikan dengan apa adanya. Dalam penulisan tersebut,
al-Qur’an dapat dijadikan sebagai titik berangkat dan paradigma. Menurut
Mazheruddin Shiddiqi, al-Qur’an mendasarkan konsep sejarahnya pada manifestasi
sifat individu dan sosial manusia dalam sejarah.
filsafat sejarah menjadi suatu tema yang
mengandung dua segi yang berbeda dari kajian tentang sejarah. Segi yang pertama
berkenaan dengan kajian metodologi penelitian ilmu ini dari tujuan filosofis.
Ringkasnya, dalam segi ini terkandung pengujian yang kritis atas metode sejarawan.
Pengujian yang kritis ini termasuk dalam bidang kegiatan analitis dari
filsafat, yakni kegiatan yang mewarnai pemikiran filosofis pada zaman modern
dengan cara khususnya, di mana si pemikir menaruh perhatian untuk menganalisis
apa yang bisa disebut dengan sarana-sarana intelektual manusia.
Dalam proses evolusi sejarah, peran manusia
sangat menentukan sekali. Bahkan, manusia menjadi inti masalah dari gerak
sejarah itu sendiri. Oleh karena manusia eksistensinya begitu kompleks, maka
para sejarawan berbeda pendapat dalam menentukan gerak sejarah.
Konsepsi Islam dan al-Qur’an meyakini bahwa dua proses
perubahan ini harus berjalan beriringan. Proses pembangunan manusia terhadap
pribadi, semangat, dan pikirannya harus seiring dengan pembangunan fisik dan
sosial budayanya. Jika pembangunan mental berjalan jauh di depan pembangunan
fisik, maka yang akan terjadi adalah menara gading yang tidak berpondasi.
Demikian pula sebaliknya, jika pembangunan fisik meninggalkan pembangunan
mental, maka yang terjadi adalah istana megah yang kropos.
DAFTAR PUSTAKA
Algar,
Hamid. 1985. The Roots of the Islamic Revolution. London: The Open Press.
Bagir,
Haidar. 1988. Murthada Muthahhari, Sang Mujahid, Sang Mujtahid. Bandung: Yayasan
Muthahhari.
Hugiono
dan Poerwantara. 1992. Pengantar Ilmu Sejarah. Semarang: Rineka Cipta.
Kuntowijoyo. 1993. Paradigma
Islam. Bandung:
Mizan.
Muthahhari,
Murthada. 1984. Perspektif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama. Bandung: Mizan. Ibda` |
Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 165-180 11 P3M STAIN Purwokerto | Abdul Basit
______________.
1991. Menguak Masa Depan Manusia Suatu Pendekatan Filsafat Sejarah. Jakarta: Pustaka Hidayah.
______________.
1991. Kritik Islam terhadap Paham Materialisme. Jakarta: Risalah Masa.
______________.
1991. Falsafah Kenabian. Jakarta:
Pustaka Hidayah.
______________.
1996. Islam dan Tantangan Zaman. Jakarta:
Pustaka Hidayah.
Qutb,
Muhammad. 1992. Perlukah Menulis Ulang Sejarah Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Siddiqi,
Mazheruddin. 1986. Konsep Qur’an tentang Sejarah. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Suryanegara,
Ahmad Mansur. 1995. Menemukan Sejarah. Bandung:
Mizan.
Al-Sarqawi,
Effat. 1981. Filsafat Kebudayaan Islam. Jakarta:
Pustaka Hidayah.
Shadr,
Muhammad Baqir. 1992. Tafsir Modern. Jakarta:
Risalah Masa.
______________. 1993. Sejarah dalam Perspektif al-Qur’an
Sebuah Analisis. Jakarta:
Pustaka Hidayah.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !