BAB I
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Kapitalisme
Kapitalisme adalah sistem perekonomian yang menekankan
peran kapital (modal), yakni kekayaan dalam segala jenisnya, termasuk
barang-barang yang digunakan dalam produksi barang lainnya (Bagus, 1996).
Ebenstein (1990) menyebut kapitalisme sebagai sistem sosial yang menyeluruh,
lebih dari sekedar sistem perekonomian. Ia mengaitkan perkembangan kapitalisme
sebagai bagian dari gerakan individualisme. Sedangkan Hayek (1978) memandang
kapitalisme sebagai perwujudan liberalisme dalam ekonomi.[1]
Menurut
Ayn Rand (1970), kapitalisme adalah "a social system based on the
recognition of individual rights, including property rights, in which all
property is privately owned". (Suatu sistem sosial yang berbasiskan
pada pengakuan atas hak-hak individu, termasuk hak milik di mana semua
pemilikan adalah milik privat).
Heilbroner
(1991) secara dinamis menyebut kapitalisme sebagai formasi sosial yang memiliki
hakekat tertentu dan logika yang historis-unik. Logika formasi sosial yang dimaksud
mengacu pada gerakan-gerakan dan perubahan-perubahan dalam proses-proses
kehidupan dan konfigurasi-konfigurasi kelembagaan dari suatu masyarakat.
Istilah "formasi sosial" yang diperkenalkan oleh Karl Marx ini juga
dipakai oleh Jurgen Habermas. Dalam Legitimation Crisis (1988), Habermas
menyebut kapitalisme sebagai salah satu empat formasi sosial (primitif,
tradisional, kapitalisme, post-kapitalisme).
Kapitalisme atau Kapital adalah suatu paham yang meyakini
bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan
sebesar-besarnya. Demi prinsip tersebut, maka pemerintah tidak dapat melakukan
intervensi pasar guna keuntungan bersama. Walaupun demikian, kapitalisme
sebenarnya tidak memiliki definisi universal yang bisa diterima secara luas. Beberapa
ahli mendefinisikan kapitalisme sebagai sebuah sistem yang mulai berlaku di Eropa pada abad ke-16
hingga abad ke-19, yaitu pada masa perkembangan perbankan
komersial Eropa
di mana sekelompok individu maupun kelompok dapat bertindak sebagai suatu badan
tertentu yang dapat memiliki maupun melakukan perdagangan benda milik pribadi,
terutama barang modal,
seperti tanah
dan manusia
guna proses perubahan dari barang modal ke barang jadi. Untuk mendapatkan
modal-modal tersebut, para kapitalis harus mendapatkan bahan baku dan mesin dahulu, baru buruh sebagai
operator mesin dan juga untuk mendapatkan nilai lebih dari bahan baku tersebut.
Kapitalisme memiliki sejarah yang panjang, yaitu sejak
ditemukannya sistem perniagaan yang dilakukan oleh pihak swasta. Di Eropa, hal ini dikenal
dengan sebutan guild sebagai cikal bakal kapitalisme. Saat ini,
kapitalisme tidak hanya dipandang sebagai suatu pandangan hidup yang
menginginkan keuntungan belaka. Peleburan kapitalisme dengan sosialisme
tanpa adanya pengubahan menjadikan kapitalisme lebih lunak daripada dua atau
tiga abad yang lalu.
B. Perkembangan Kapitalisme
Robert E. Lerner dalam Western Civilization (1988)
menyebutkan bahwa revolusi komersial dan industri pada dunia modern awal
dipengaruhi oleh asumsi-asumsi kapitalisme dan merkantilisme. Direduksi kepada
pengertian yang sederhana, kapitalisme adalah sebuah sistem produksi,
distribusi, dan pertukaran di mana kekayaan yang terakumulasi diinvestasikan
kembali oleh pemilik pribadi untuk memperoleh keuntungan. Kapitalisme adalah
sebuah sistem yang didisain untuk mendorong ekspansi komersial melewati
batas-batas lokal menuju skala nasional dan internasional. Pengusaha kapitalis
mempelajari pola-pola perdagangan internasional, di mana pasar berada dan
bagamana memanipulasi pasar untuk keuntungan mereka. Penjelasan Robert Learner
ini paralel dengan tudingan Karl Marx bahwa imperialisme adalah kepanjangan
tangan dari kapitalisme.
Sistem kapitalisme, menurut Ebenstein (1990), mulai
berkembang di Inggris pada abad 18 M dan kemudian menyebar luas ke kawasan
Eropa Barat laut dan Amerika Utara. Risalah terkenal Adam Smith, yaitu The
Wealth of Nations (1776), diakui sebagai tonggak utama kapitalisme klasik yang
mengekspresikan gagasan "laissez faire"1) dalam ekonomi. Bertentangan
sekali dengan merkantilisme yaitu adanya intervensi pemerintah dalam urusan
negara. Smith berpendapat bahwa jalan yang terbaik untuk memperoleh kemakmuran
adalah dengan membiarkan individu-individu mengejar kepentingan-kepentingan
mereka sendiri tanpa keterlibatan perusahaan-perusahaan negara (Robert Lerner,
1988).
Awal abad 20 kapitalisme harus menghadapi berbagai tekanan
dan ketegangan yang tidak diperkirakan sebelumnya. Munculnya kerajaan-kerajaan
industri yang cenderung menjadi birokratis uniform dan terjadinya
konsentrasinya pemilikan saham oleh segelintir individu kapitalis memaksa
pemerintah (Barat) mengintervensi mekanisme pasar melalui kebijakan-kebijakan
seperti undang-undang anti-monopoli, sistem perpajakan, dan jaminan
kesejahteraan. Fenomena intervensi negara terhadap sistem pasar dan
meningkatnya tanggungjawab pemerintah dalam masalah kesejahteraan sosial dan
ekonomi merupakan indikasi terjadinya transformasi kapitalisme. Transformasi
ini, menurut Ebenstein, dilakukan agar kapitalisme dapat menyesuaikan diri
dengan berbagai perubahan ekonomi dan sosial. Lahirlah konsep negara kemakmuran
(welfare state) yang oleh Ebenstein disebut sebagai "perekonomian campuran"
(mixed economy) yang mengkombinasikan inisiatif dan milik swasta dengan
tanggungjawab negara untuk kemakmuran sosial.
Habermas memandang transformasi itu sebagai peralihan dari
kapitalisme liberal kepada kapitalisme lanjut (late capitalism. organized capitalism,
advanced capitalism). Dalam Legitimation Crisis (1988), Habermas menyebutkan
bahwa state regulated capitalism (nama lain kapitalisme lanjut) mengacu kepada
dua fenomena: (a) terjadinya proses konsentrasi ekonomi seperti
korporasi-korporasi nasional dan internasional yang menciptakan struktur pasar
oligopolistik, dan (b) intervensi negara dalam pasar. Untuk melegitimasi
intervensi negara yang secara esensial kontradiktif dengan kapitalisme liberal,
maka menurut Habermas, dilakukan repolitisasi massa, sebagai kebalikan dari depolitisasi massa dalam masyarakat
kapitalis liberal. Upaya ini terwujud dalam sistem demokrasi formal.
C. Pokok Pikiran Kapitalisme
1. Tiga Asumsi Kapitalisme Menurut Ayn Rand
Ayn Rand dalam Capitalism (1970) menyebutkan tiga asumsi dasar
kapitalisme, yaitu: (a) kebebasan individu, (b) kepentingan diri (selfishness),
dan (c) pasar bebas.
Menurut Rand, kebebasan individu merupakan tiang pokok
kapitalisme, karena dengan pengakuan hak alami tersebut individu bebas
berpikir, berkarya dan berproduksi untuk keberlangsungan hidupnya. Pada
gilirannya, pengakuan institusi hak individu memungkinkan individu untuk
memenuhi kepentingan dirinya. Menurut Rand, manusia hidup pertama-tama untuk
dirinya sendiri, bukan untuk kesejahteraan orang lain. Rand
menolak keras kolektivisme, altruisme, mistisisme. Konsep dasar bebas Rand merupakan aplikasi sosial dan pandangan
epistemologisnya yang natural mekanistik. Terpengaruh oleh gagasan "the
invisible hand" dari Smith, pasar bebas dilihat oleh Rand
sebagai proses yang senantiasa berkembang dan selalu menuntut yang terbaik atau
paling rasional. Smith pernah berkata: "...free marker forces is
allowed to balance equitably the distribution of wealth". (Robert
Lerner, 1988).
2. Akumulasi Kapital
Heilbroner (1991) menelaah secara mendalam pengertian
hakiki dari kapital. Apa yang dimaksud dengan kapital sehingga dapat
menjelaskan formasi sosial tempat kita hidup sekarang adalah kapitalisme?
Heilbroner menolak memperlakukan kapital hanya dalam kategori hal-hal yang material
berupa barang atau uang. Menurutnya, jika kapital hanya berupa barang-barang
produksi atau uang yang diperlukan guna membeli material dan kerja, maka
kapital akan sama tuanya dengan peradaban.
Menurut Heilbroner, kapital adalah faktor yang mnggerakkan
suatu pross transformasi berlanjut atas kapital-sebagai-uang menjadi
kapital-sebagai-komoditi, diikuti oleh suatu transformasi dari
kapital-sebagai-komoditi menjadi kapital-sebagai uang yang bertambah. Inilah
rumusan M-C-M yang diperkenalkan Marx.
Proses yang berulang dan ekspansif ini memang diarahkan
untuk membuat barang-barang dan jasa-jasa dengan pengorganisasian niaga dan
produksi. Eksistensi fisik benda dan jasa itu merupakan suatu rintangan yang
harus diatasi dengan mengubah komoditi menjadi uang kembali. Bahkan kalau hal
itu terjadi, bila sudah terjual, maka uang itu pada gilirannya tidak dianggap
sebagai produk akhir dari pencarian tetapi hanya sebagai suatu tahap dalam
lingkaran yang tak berakhir.
Karena itu, menurut Heilbroner, kapital bukanlah suatu
benda material melainkan suatu proses yang memakai benda-benda material sebagai
tahap-tahap dalam eksistensi dinamiknya yang berkelanjutnya. Kapital adalah
suatu proses sosial, bukan proses fisik. Kapital memang mengambil bentuk fisik,
tetapi maknanya hanya bisa dipahami jika kita memandang bahwa benda-benda
material ini mewujudkan dan menyimbolkan suatu totalitas yang meluas.
Rumusan M-C-M (Money-Commodity-Money) yang
diskemakan Marx atas metamorfosis yang berulang dan meluas yang dijalani
kapital merupakan penemuan Marx terhadap esensi kapitalisme, yaitu akumulasi
modal. Dalam pertukaran M-C-M tersebut uang bukan lagi alat tukar, tetapi
sebagai komoditas itu sndiri dan menjadi tujuan pertukaran.
3. Dorongan Untuk Mengakumulasi Kapital (Heilbroner)
Analisis kapital sebagai suatu proses ekspansif seperti
yang diuraikan di muka, ditelaah lebih dalam lagi oleh Heilbroner melalui
pendekatan psikoanalisis, antropologis, dan sosiologis. Menurut Heilbroner,
gagasan kapital sebagai suatu hubungan sosial menyingkapkan inti hubungan itu,
yaitu dominasi. Hubungan dominasi memiliki dua kutub. Pertama, ketergantungan
sosial kaum yang tak berpunya kepada pemilik kapital di mana tanpa
ketergantungan itu kapital tidak memiliki pengaruh apa-apa. Kedua, dorongan
tanpa henti dan tanpa puas untuk mengakumulasi kapital.
Heilbroner melontarkan pertanyaan: Apakah alasan pembenaran
dari proses tanpa henti ini? Ia menyebutkan bahwa dorongan ini digerakkan oleh
keinginan untuk prestise dan kemenonjolan (realisasi diri). Dalam bahasa Abraham
Maslow, dorongan mengakumulasi kekayaan yang tidak puas-puas ini merupakan
manifestasi aktualisasi diri. Namun, Heilbroner mengingatkan bahwa kebutuhan
afektif ini hanyalah suatu kondisi yang perlu (necessary condition) namun belum
menjadi syarat cukup (sufficient condition) untuk dorongan mengejar kekayaan.
Lalu Heilbroner menemukan bahwa kekayaan memberikan pemiliknya kemampuan untuk
mengarahkan dan memobilisasikan kegiatan-kegiatan masyarakat. Ini adalah
kekuasaan. Kekayaan adalah suatu kategori sosial yang tidak terpisahkan dari
kekuasaan.
Dengan demikian, hakekat kapitalisme menurut Heilbroner,
adalah dorongan tiada henti dan tanpa puas untuk mengakumulasi kapital sebagai
sublimasi dorongan bawah sadar manusia untuk merealisasi diri, mendominasi,
berkuasa. Karena dorongan ini berakar pada jati diri manusia, maka kapitalisme
lebih merupakan salah satu modus eksistensi manusia. Mungkin inilah sebabnya
mengapa kapitalisme mampu bertahan dan malah menjadi hegemoni peradaban global.
BAB III
ANALISIS
Tinjauan kritis ini dibuat dengan asumsi bahwa analisis
sosial memiliki keterbatasan-keterbatasan skematisasi dinamika kehidupan
sosial. Tinjauan tentang kekuatan dan kelemahan kapitalisme lebih merupakan
hipotesa.
Kekuatan kapitalisme unsur-unsur apa yang dikandung kapitalisme sehingga ia saat ini tetap tangguh? Terdapat beberapa kekuatan yang memungkinkan kapitalisme masih bertahan hingga kini melalui berbagai kritikan tajam dan rintangan.
Pertama, daya adaptasi dan transformasi kapitalisme yang sangat
tinggi, sehingga ia mampu menyerap dan memodifikasi setiap kritik dan rintangan
untuk memperkuat eksistensinya. Sebagai contoh, bagaimana ancaman pemberontakan
kaum buruh yang diramalkan Marx tidak terwujud, karena di satu sisi, kaum buruh
mengalami pembekuan kesadaran kritis (reifikasi), dan di lain sisi, kelas
borjuasi kapital melalui negara memberikan "kebaikan hati" kepada
kaum buruh dengan konsep "welfare state". Pada gilirannya, kaum
kapitalis memperoleh persetujuan (consent) untuk mendominasi masyarakat melalui
apa yang disebut Gramsci sebagai hegemoni ekonomi, politik, budaya; atau
seperti yang disebutkan Heilbroner bahwa rezim kapital memiliki kemampuan untuk
memperoleh kepatuhan massa dengan memunculkan "patriotisme" ekonomik.
Kedua,
berkaitan dengan yang pertama, tingginya kemampuan adaptasi kapitalisme dapat
dilacak kepada waktu inheren pada hakekat kapitalisme, yaitu dorongan untuk
berkuasa dan perwujudan diri melalui kekayaan. Atas dasar itulah diantaranya,
maka Peter Berger dalam Revolusi Kapitalis (1990) berani bertaruh bahwa masa
depan ekonomi dunia berada dalam genggaman kapitalisme.
Ketiga,
kreativitas budaya kapitalisme dan kapasitasnya menyerap ide-ide serta
toleransi terhadap berbagai pemikiran. Menurut Rand, kebebasan dan hak individu
memberi ruang gerak manusia dalam berinovasi dan berkarya demi tercapainya
keberlangsungan hidup dan kebahagiaan. Dengan dasar pemikiran ini, Bernard
Murchland dalam Humanisme dan Kapitalisme (1992) dengan penuh keyakinan menaruh
harapan bahwa kapitalisme demokratis adalah humanisme yang dapat menyelamatkan
peradaban manusia di masa depan.
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari makalah di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Analisis
Heilbroner di muka, jika dikembangkan lebih lanjut secara filosofis, akan
membawa kita untuk berkesimpulan bahwa kapitalisme lebih daripada sekedar
sistem ekonomi atau sistem sosial. Sebagai peradaban, kapitalisme dapat kita
katakan sebagai suatu cara berada manusia, suatu modus eksistensi. Seorang
kapitalis adalah orang yang melalui harta kekayaannya ia mewujudkan diri,
menyingkap eksistensi diri. Ia mengaktualkan dirinya dengan dan untuk kapital.
Dengan kapital, ia berharap memperoleh kekuasaan dan dominasi. Memiliki kapital
berarti menguasai dunia. Sains, teknologi, seni, dan agama menjadi subordinasi
dan pelayan atau pelegitimasi kapital. Itulah modus eksistensi kapitalisme.
Atas dasar pemikiran di atas, kita dapat memahami mengapa
ideologi-ideologi seperti sosialisme, Marxisme, komunisme, humanisme, dan
bahkan eksistensialisme-sekuler gagal menghadapi kapitalisme. Kaum sosialis
telah gagal memahami kapitalisme sebagai modus eksistensi. Ini dimulai dari
Karl Marx sendiri yang melihat kapital hanya sebagai "cara produksi"
(modus produksi), konsep sentral yang digunakannya dalam Das Kapital.
Akibatnya, banyak analiss dan ramalan Marx yang melenceng. Bahkan sosialisme
akhirnya terkooptasi oleh kapitalisme. Konsep "welfare state" yang
diterapkan di negara kapitalis adalah salah satu contoh upaya adaptasi
kapitalisme merangkul semangat sosialisme ke dalam pangkuannya.
Ideologi-ideologi sekuler dunia lainnya sekarang ini hanyalah ibarat anak-anak
kapitalisme atau subordinasi kapitalisme global, kapitalisme konsumeris.
B. Saran
Dengan menelaah secara tajam hakekat kapitalisme, kita dapat
melihat kekuatan dan kelemahannya secara obyektif. Ini diperlukan agar proyek
besar pembebasan manusia dari hegemoni kapitalisme - tentu saja yang berminat -
dapat mengkonstruksi ideologi atau peradaban alternatif yang sungguh-sungguh
antitesis kapitalisme secara mendasar, radikal dan menyeluruh.
Persoalannya, bagaimana kita merancang antitesis itu?
Adakah modus eksistensi alternatif yang dapat menaklukkan kapitalisme menjadi
sekedar metode atau manajemen bisnis? Perlukah lebih dahulu kita merombak secara
revolusioner pandangan dunia (worldview) kita tentang antropologi, kosmologi,
teologi?
DAFTAR
PUSTAKA
Berger, P., Revolusi
Kapitalis, (terjemahan), LP3ES, Jakarta
1990.
Ebenstein, W., Isme-Isme
Dewasa Ini, (terjemahan), Erlangga, Jakarta,
1990.
Habermas, J., Letigimation
Crisis, Polity Press, Cambridge
Oxford, 1988.
Hayek, F.A., The
Prinsiples of A Liberal Social Order, dalam Anthony de Crespigny and Jeremy
Cronin, Ideologies of Politics, Oxford University Press, London, 1978.
Lerner, R.E., Western Civilization, Volume 2, W.W.
Norton & Company, Ney York-London, 1988.
Mangunwijaya,
Y.B., Mencari Landasan Sendiri, Esei Pada Harian Kompas 1 September 1998, Jakarta.
Marcuse, H., One
Dimensional Man, Beacon Press, Boston,
1991.
Murchland, B., Humanisme
dan Kapitalisme, (terjemahan), Tiara Wacana, Yogyakarta,
1992.
Rand,
A., Capitalism: The Unknown Ideal, A Signet Book, New York, 1970.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !