BAB I
PENDAHULUAN
Pedoman hidup yang digariskan Allah
merupakan karunia terbesar bagi umat islam khususnya dan manusia pada umumnya.
Eksperimen-eksperimen barat yang menafikan petunjuk Ilahi pada akhirnya hanya
merupakan sebuah perjalanan yang tidak menemui ujung pangkal.
Kenyataan ini membuat manusia menyadari
kepongahannya. Maka islamisasi peradaban -yang meletakkan manusia sesuai dengan
fitrahnya- kemudian menjadi alternatif yang terelakkan. Kebangkitan eropa
(renaisance) modern yang identik dengan kejatuhan kaum gereja, yang berakibat
kepada pelemparan agama secara keseluruhan dari dunia barat, God is dead,
begitulah istilah mereka. Paham-paham yang lahir kemudian mengambil manusia
sebagai sentrum aktifitas yang terlepas dari unsur Ilahiyah. Maka lahirlah
Mustalahat-mustalahat barat yang sangat bombastis, semacam Sekularisme,
Marxisme, Sosialisme, Liberalisme, Eksistensialisme, Modernisme,
Post-modernisme dan lain-lain yang sangat worldly oriented.
Namun pada perkembangan selanjutnya,
wacana-wacana yang lahir di dunia barat, kemudian menjadi sebuah “ideologi”
yang menarik dan paling mengundang perhatian orang banyak adalah paham
sekularisme. Ia dimaknai sebagai momok yang sangat menakutkan, meresahkan
sekaligus mengundang daya tarik untuk dicermati. Ia dianggap momok karena
hampir semua ruang kehidupan umat muslim mulai dari kegiatan ubudiyah sampai
yang berkaitan dengan amaliah (hubungan antar manusia-negara) terjangkiti
dengan ide-ide sekuler ini. Selanjutnya
Ia dianggap mengundang daya tarik
karena semakin hari tanpa tidak sadar, konsep-konsep yang diusung para kaum
sekuler dengan tanpa batas menyentuh dan merayap ke semua negara. Dan hampir
sebagian besar negara muslim -kalau tidak dikatakan- terkena wabah sekularisme.
BAB II
PEMBAHASAN
Di dalam bukunya Abd Wahab al-Masiri,
dikatakan bahwa sekularisme berasal dari bahasa latin, Seaculum, aeon atau
Mundus. Yang pertama mengandung dimensi waktu, abad dan generasi. Sedangkan
kedua mengandung dimensi ruang dan tempat. Dalam bahasa Arab, istilah ini mengalami
beberapa “asal kata”. Kata “Almaniyyah” berasal dari tiga huruf yaitu ‘ain, lam
dan mim. Jika kita merujuk pada kata aslinya maka Almaniyyah bisa memiliki dua
cara baca yaitu “Almaniyyah”(dengan ‘ain fatha berarti alam) dan “Ilmaniyyah”
(dengan ‘ain kasrah berarti ilmu). Cara baca yang berbeda ini menimbulkan arti
yang berbeda pula. Almaniyyah (fatha áinya) artinya adalah pemisahan antara
urusan dunia dan akhirat, negara dan agama (fashl al-din wa ad-daulah).
Sedangkan Ilmaniyyah berarti usaha mensejajarkan antara agama dan ilmu
pengetahuan. Walaupun demikian, ada sebagian pemikir arab yang tidak sependapat
dengan adanya dua bacaan tersebut. Murad Wahab misalnya, ia hanya mengakui
adanya bacaan ‘Almaniyyah bukan ‘Ilmaniyyah.[1]
Dalam sejarahnya, wacana sekularisme muncul
pertama kali di barat pada abad pertengahan, ketika itu, agama (gereja)
dikuasai oleh para pendeta yang memiliki kekuasaan absolut, sehingga
kebijaksanaan apapun yang bertentangan dengan pendeta , dianggap bertentangan
dengan agama (Tuhan). Penafsiran-penafsiran teks Injil dan Bible dimonopoli
oleh mereka dan penafsiran di luar itu diaggap telah menyimpang.
Tekanan-tekanan ideologis ini, tentunya berimplikasi negatif terhadap seluruh
aspek kehidupan sosial, termasuk juga perkembangan ilmu pengetahuan.
Agama pada akhirnya menjadi penghalang bagi
penemuan-penemuan ilmiah. beberapa ilmuan, diantaranya Galileo, harus
mengakhiri hidupnya dengan naas di tiang gantungan, hanya karena ia berani
mengemukakan teori yang bertentangan dengan Injil. Pengalaman Galileo dan
beberapa rekannya menjadi salah satu sebab kemandegan total perkembangan ilmu
dan logika pada abad pertengahan. Keadaan ini benar-benar meresahkan
masyarakat, khususnya kaum intelektual. Pada akhirnya mereka terdorong untuk
melakukan pembaharuan (al-ishlah ad-dini). Konsep yang diusung oleh para
pembaharu tersebut adalah bagaimana membatasai kekuasaan gereja (pendeta) pada
hal-hal yang bersifat religius saja, tidak pada hal-hal yang bersifat
keduniawian (profan). Agama terbatas pada hal-hal yang berdimensi ritual saja,
sedangkan urusan-urusan diluar itu, termasuk urusan kenegaraan, ditangani
sendiri oleh masyarakat tanpa campur tangan agama ataupun pendeta. Salah satu
slogan utama yang diteriakkan para pembaharu itu adalah: “Berikanlah hak Tuhan
kepada Tuhan dan berikanlah hak kaisar kepada kaisar”. Adagium inilah yang
selanjutnya menjelma menjadi sebuah ideologi yang akhirnya kita kenal dengan
“sekularisme”.
Pengalaman Turki dalam Praktik Sekularisasi
Menempatkan islam, religuisitas atau pola
pemikiran ulama berhadap-hadapan dengan sekularisme atau pola pikir ilmuan
rasanya kurang tepat, bahkan terlalu simplistik. Menempatkan posisi saling
berhadap-hadapan, bagaikan air dan minyak yang sifat-sifat dasarnya memang
sudah berbeda sejak semual. Padahal kalau dikaji secara mendalam, orang yang
beragama, dalam hal ini adalah seorang muslim yang taat, saleh, yang memegang
prinsip-prinsip dasar islam, membutuhkan pola berfikir ilmiah untuk dapat
menjamin kelangsungan kehidupannya.
Pola pemikiran muslim tradisional yang lebih
mengedepankan “kolektifitas” yang lebih mengedepankan pandangan batiniah dalam
kehidupan keberagamaan berakibat pada lambannya daya penyerapan tata aturan
pemikiran rasional dalam ilmu pengetahuan, serta kelambanan dalam mengambil
langkah penyesuain dengan perubahan zaman yang bersendikan hukum-hukum positif
rasional. Pola berfikir demikian secara langsung berhadapan dengan pola-pola
pemikiran baru, yang memberikan kelonggaran kepada individu-individu untuk
merebut kesempatan memahami aturan rasional dalam segala aspek kehidupan.
Pergumulan sengit antara dua jenis pola
berfikir itu yang sebenarnya mewarnai seluruh perjalanan historis proses
sekularisasi di negeri Turki yang berpenduduk 98% beragama islam. Pengalaman
Turki dalam bidang sekularisasi sebenarnya bukan pada zaman Mustafa Kamal
Ataturk. Sekularisasi dalam bidang politik dalam artian penataan kembali
mekanisme pemerintahan dan proses birokratisasi, sudah berjalan sejak zaman
daulah Usmaniah (Ottoman Empire) ketika Sultan
Salim III (1789-1807) dan Mahmud II (1807-1839) memegang pemerintahan. Dengan
langkah-langkah penataan seperti itu, maka konflik dengan para ulama -yang
masih menghendaki sistem lama dalam perekrutan yang tanpa disertai kualifikasi
pendidikan tertentu- tak terelakkan.
Dalam pergumulan pemikiran di Turki, satu
hal yang perlu dipahami adalah bahwasanya ulama tidaklah identik dengan islam.
Islam sebagai satu ajaran atau “guiding principle” sudah barang tentu dalam
banyak hal berlainan dari ulama, pemangku ajaran tersebut yang secara tak
terelakkan punya vested interest tertentu. Dalam melihat perkembangan
sekularisme di Turki, penulis cenderung melihat “ulama” sebagai paradigma
tatanan pola berfikir umat beragama yang oleh karenanya tidak ada yang dapat
menjamin tidak timbulnya konflik antara pola berfikir satu kelompok dengan
kelompok lainnya.
Gerakan sekularisasi, dalam artian merombak
tatanan pola berfikir tradisional ini, diteruskan pada periode Tanzimat
(1839-1876). Perubahan pokok saat itu masih di seputar mekanisme sistem
kekuasaan negara dan pola rekruitmen pegawai kerajaan yang dulunya direkrut
dari keluaran madrasah (sekolah agama) dan beralih merekrut calon
pegawai-pegawai baru yang terdidik dan terlatih dalam ilmu administrasi
pemerintahan. Sekularisme dalam bidang ini sebenarnya sudah berjalan lebih
awal, yakni dengan pendirian sekolah kedokteran (1827), Akademi militer
(1834-1846). Berhubung ilmu-ilmu baru ini dari Eropa, maka negarawan kerajaan
Usmaniah, Saffet Pasa (1814-1883) menekankan perlunya Turki menerapkan seluruh
kebudayaan Eropa.
Meskipun proses sekularisasi dalam bidang
pemerintahan, pendidikan militer, telah terjadi pada abad 19, tetapi tidak
cukup memuaskan. ide-ide dasar pembaharuan tidak sepenuhnya diterima baik oleh
penguasa, yang dalam hal ini adalah para sultan yang berkoraborasi dengan para
ulama sehingga perjalanan perombakan struktur tatanan kehidupan sosial dan tata
cara berfikir sangat lambat. Angin baru ilmu pengetahuan yang banyak menyentuh
kehidupan duniawi tidak banyak menyentuh negarawan, ulama sebagai motivator,
apalgi orang awam.
Menghadapai kenyataan yang semakin pahit, dimana orang-orang Eropa
(Inggris, Prancis, Italy dan Yunani) sudah memasuki
wilayah kerajaan Usmaniyah, Mustafa kamal Attaturk menyusun kekuatan dari daerah
Anatolia untuk mengusir pendatang. Kerajaan
Usmaniyah sudah tidak mampu lagi mempertahankan kekuasaan dan wilayahnya. Dalam
kaitan ini, Mustafa kamal boleh dikata sebagai penyelamat integritas bangsa dan
pembebasan wilayah Turki dari ancaman penjajahan bangsa Eropa.
Mustafa Kamal Attaturk tahu persis
kemunduran bangsanya dan kelemahan sistem pemerintahan kesultanan setelah
bergelimang dalam kemegahan dan kemewahan. Di atas puing-puing kelemahan
rakyat, Attaturk mulai mendobrak tradisi dan tata pola berfikir umat islam
Turki yang terasa sulit diajak menatap ke depan. Mesin sekularisasi mulai
disulut dan tersebar dalam seluruh aspek kehidupan dan berlangsung hingga saat
ini.
Deru roda modernisasi dan sekularisasi dalam
pemerintahan, pendidikan, sosial-kemasyarakatan terasa bergemuruh dan cepat
sekali. Perombakan menyeluruh sistem pemerintahan dari Theocratic Empire
menjadi negara kebangsaan modern menjadi incaran utamanya. Ajaran-ajaran
nasionalisme sekuler menggantikan “islam” dalam artian serapit “Theocratic
Empire” tersebut. Suka atau tidak suka, rombakan yang bersifat maraton tersebut
berjalan terus tahap demi tahap. Kesultanan dihapuskan pada tahun 1922,
proklamasi republik 29 oktober 1923. pada tanggal 3 Maret 1924 beberapa
undang-undang dikukuhkanoleh perlamen. Penghapusan khalifah, penyelenggaraan
pendidikan nasionaldimonopoli pemerintah dan penutup segala madrasah.
Administrasi wakaf dan urusan keagamaan dibawah direktorat keagamaan dibawahi
langsung oleh perdana menteri. Bulan April 1924, peradilan agama dihapus. Pada
tahun 1925, perkumpulan Tarekat (mistic) dibubarkan. Hukum Swiss diberlakukan
tahun 1926.
Revolusi kebudayaan sekaligus sekularisasi
ini berlangsung hingga wafatnya Mustafa kamal Attaturk tahun 1938. satu catatan
penting yang cukup menarik perhatian para pengamat dari luar adalah bahwa dalam
situasi revolusi kebudayaan seperti itu memang sudah terbina baik dan
terinternalisir pada saat daulah Usmaniyah, atau rakyat cukup maklum tentang
parahnya situasi dan menghendaki perubahan dalam segala bidang ataukah pengaruh
mazhab Hanafi dalam mengatur tata hubungan antar rakyat dan pemimpin.
Sekularisme dan Sekularisasi
Sejak masuknya sekularisme ke dunia islam,
baik melalui kolonialisme (isti’mariyah) maupuninteraksi budaya, dunia
pemikiran islam hampir tak pernah tenang dan tentram> Polemik dan benturan
pemikiran senantiasa mewarnai perjalanan peradaban islam. Hampir setiap negeri
islam menyimpan sekurang-kurangnya dua kubu pemikiran: kubu islam dan kubu
sekuler.
Kontroversi sekularisasi yang muncul dengan
sangat populer, telah menimbulkan polimik besar yang cukup berkepanjangan di
kalangan intelektual muslim. Akibat polemik tersebut, muncul dua kelompok
dikotomis dengan sederetan tokoh intelektual pendukungnya. Kelompok pertama
disebut kelompok konservatif, suatu kelompok yang menentang keras sekularisasi,
yang dianggap identik dengan sekularisme. Kelompok kedua disebut dengan
kelompok reformasi, suatu kelompok yang menolak sekularisme sebagai suatu faham
tertutup yang anti agama. menurut kelompok reformasi ini, sekularisasi
diartikan sebagai upaya pembebasan masyarakat dari kehidupan magis dan
takhayyul dengan melakukan desakralisasi alam.
Di negara Arab, misalnya, di Mesir,
perdebatan dalam bidang pemikiran terkadang sampai ke tingkat yang cukup serius.
Dahulu, Ali Abdu Raziq, penulis kitab Al islam wa Ushul al hukm, ia diajukan ke
sidang Dewan Guru Besar Al Azhar, karena karyanya yang menafikan peran politik
Rasulullah saw. Ada
pula yang di fasakh denga istrinya, seperti yang terjadi pada kasus Nasr Hamid
Abu Zayd, bahkan ada yang mati tertembak, seperti yang menimpa Faraq Faudah.
Untuk melihat sekularisasi secara lebih
dekat, perlu digunakan kacamata berlensa ganda, dalam arti tidak hanya melihat
masalah ini dalam satu dimensi saja. Kita juga dituntut untuk melihat dalam
skala makro secara arif dengan memperhatikan dimensi masa lampau dan masa kini
tanpa mengabaikan faktor manusia baik sebagai individu, sosial, kultural maupun
dalam relevansinya dengan sesuatu yang transendental. Untuk itu, perlu dicari
akar historis dan perkembangannya antara barat dan timur agar dapat diketemukan
makna sekularisasi dan sekularisme, sekaligus apa yang terkandung dalam
pengertian tersebut serta relevansinya terhadap keyakinan keagamaan.
Selanjutnya, diskursus ini bukan dimaksudkan
untuk meniadakan “tapal batas kerangka ideologis agama” hingga terjebak dalam
ruang prefensi yang semu, dan juga bukan dimaksudkan untuk memihak salah satu
tokoh atau pemikiran tertentu, melainkan justru melacaknya sampai sejauh mana
kedalaman konsepsi mereka sekaligus faktor yang melatarbelakangi pemikiran
tersebut. dengan demikian, dapat dilihat pokok permasalahannya dalam suatu
kerangka yang utuh sehingga dapat membuka mata untuk melihat aspek yang menjadi
sumber kontroversi.
Problematika islam dan sekularisme maupun
sekularisasi dalam tradisi perkembangan pemikran modern dalam islam, baik di
dunia internasional maupun di Indonesia
cukup bervariasi di dalam cara menangkap makna sekularisme maupun sekularisasi.
Adapun cara pandang para pemikir modern islam tersebut adalah:
Pertama: Ada yang beranggapan
bahwa islam dan sekularisme merupakan dua entitas yang antagonistik, karena
posisi islam kebalikan dari sekularisme. Yang berpandangan seperti ini,
misalnya Muhammad Imarah. Dengan demikian, apabila negara-negara yang berpegang
pada sekularisme dapat mencapai kemajuan, bukan berarti islam menjadi sebab
suatu kemunduran. Hal ini merupakan dasar ijtihad penggunaan penalaran hukum
secara independen untuk memberikan jawaban atas suatu masalah ketika Al Quran
dan Sunnah tidak mampu memberikan jawaban yang tegas. Maka dalam islam, dan ini
penting bagi manusia bahwa hukum sangat mungkin berubah dan berkembang untuk
selalu diinterpretasi ulang seiring dengan perkembangan zaman dari masa ke
masa.
Kedua: Muhammad
Qutub, misalnya, beliau kembali menggunakan istilah sekularisme dalam bahasa
Arab “Ilmaniyyah” sebagai tujuan pokok sekularisasi. Sekularisme cenderung
diartikan adalah membangun struktur kehidupan tanpa dasar agama atau dalam
terminologi bahasa Arab disebut “alla diniyah” (atheis). Pemikiran tentang
perubahan, menurut Qutub bukanlah hal baru dalam islam. Kitab Tuhan abadi, Up
to date, segala sesuatu tetap di dalamnya, namun meliputi aspek-aspek perubahan
diantara celah-celah lembarannya, disinilah penting arti Ijtihad.
Ketiga:
Mengkaji masalah sekularisasi secara holistik, dalam arti ingin menjembatani
pemikir barat dan muslim, seperti yang disuarakan Muhammad Naguib al-Attas,
menurutnya, islam tidak sama dengan kristen, karenanya, sekularisasi yang
terjadi pada masyarakat kristen barat berbeda dengan yang terjadi pada
masyarakat muslim. Dengan jelas al-Attas membedakan antara pengertian sekuler
yang mempunyai konotasi ruang dan waktu, yaitu menunjukkan pada pengertian masa
kini atau dunia kini. Sekularisasi didefinisikan sebagai pembebasan manusia
dalam agama dan metafisika, atau terlepasnya manusia dari agama dan metafisika,
atau terlepasnya dunia dari pengertian religius (dalam istilah Max Weber),
pembebasan alam dari noda-noda keagamaan.
Selanjutnya menurut al-Attas, islam menolak
penerapan apapun mengenai konsep-konsep sekuler, sekularisasi maupun
sekularisme, karena semua itu tidak ada relevansinya dengan islam (adopsi
barat) dan berlawanan dengannya dalam segala hal. Dengan kata lain, islam menolak
secara total manifestasi dan arti sekularisasi baik eksplisit maupun implisit
(al-kamin), sebab sekularisasi bagaikan racun yang bersifat mematikan terhadap
keyakinan yang benar (iman).
Di kalangan pemikir islam di indonesia
kontroversi tentang sekularisasi, juga masih terus menghangat, hal ini
berakibat pada timbulnya dua kelompok dikotomis dengan para pendukung
masing-masing. Pertama: kelompok konservatif yang menolak sekularisasi, yang
dianggap terpisahkan dengan sekularisme. Kedua: Kelompok reformasi yang menolak
sekularisme sebagai ideologi pemikiran , tetapi mendukung sekularisasi sebagai
gerakan pembebasan umat beragama (liberating development). Lalu, dimana
sebenarnya letak perbedaan sekularisme dan sekularisasi?
Nurcholish Madjid, misalnya, melihat
sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme (ideologi),
tetapi bentuk perkembangan yang membebaskan (liberating development) Proses
pembebasan ini diperlukan umat islam karena akibat perjalanan agamanya, mereka
tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya islam itu, yakni
mana yang transendental dan mana yang temporal. Oleh karena itu, sekularisasi
menjadi suatu keharusan bagi umat islam.
Sesungguhnya ada perbedaan mendasar antara
keduanya. Sekularisasi memiliki pengertian khusus, yang bahkan bertentangan
dengan ide sekularisme. Sekularisasi menempatkan dirinya pada posisi
pembebasan, yakni pembebasan umat islam dari kecenderungan-kecenderungan pola
pikir mereka yang mengsakralkan hal-hal duniawi, dan disangka islami. Misalnya
saja dalam konteks politik. Politik dan hal-hal yang berkaitan dengannya harus
disikapi sebagai persoalan duniawi yang terus berubah dan berkembang sesuai
dengan tuntutan zaman. Berbeda dengan ritual-ritual keagamaan, misalnya yang
memang statis, tidak berubah sepanjang masa.
Jadi pemisahan dalam sekularisasi bukanlah
pemisahan agama dan negara (non-agama), seperti yang menjadi acuan dasar pada
sekularisme, tetapi sekularisasi merupakan pemisahan hal-hal yang bersifat
dinamis dan sakral, dengan penyikapan keduanya secara proporsional.
ANALISIS
Pedoman hidup yang digariskan Allah
merupakan karunia terbesar bagi umat islam khususnya dan manusia pada umumnya.
Eksperimen-eksperimen barat yang menafikan petunjuk Ilahi pada akhirnya hanya
merupakan sebuah perjalanan yang tidak menemui ujung pangkal
Telah disinggung di atas bahwa sesuai dengan
akar sejarahnya dipahami sebagai usaha pemisahan antara agama (akhirat) dan
negara (dunia), “fashl al-din wa al-daulah”. Agama sebagai wilayah privat,
tidak dapat dicampuradukkan dengan negara atau kekuasaan yang posisinya berada
di wilayah publik. Dari makna ini, seakan-akan dunia hendak “dipisahranjangkan”
dari agama, agama tidak berhak masuk ke dalam ruang-ruang publik yaitu ruang
sosial, masyarakat, bangsa dan negara
Menempatkan islam, religuisitas atau pola
pemikiran ulama berhadap-hadapan dengan sekularisme atau pola pikir ilmuan
rasanya kurang tepat, bahkan terlalu simplistik. Menempatkan posisi saling
berhadap-hadapan, bagaikan air dan minyak yang sifat-sifat dasarnya memang
sudah berbeda sejak semual. Padahal kalau dikaji secara mendalam, orang yang
beragama, dalam hal ini adalah seorang muslim yang taat, saleh, yang memegang
prinsip-prinsip dasar islam, membutuhkan pola berfikir ilmiah untuk dapat
menjamin kelangsungan kehidupannya.
Sejak masuknya sekularisme ke dunia islam,
baik melalui kolonialisme (isti’mariyah) maupuninteraksi budaya, dunia
pemikiran islam hampir tak pernah tenang dan tentram> Polemik dan benturan
pemikiran senantiasa mewarnai perjalanan peradaban islam. Hampir setiap negeri
islam menyimpan sekurang-kurangnya dua kubu pemikiran: kubu islam dan kubu
sekuler.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas maka penulis
dapat menyimpulkan bahwa : Gerakan sekularisasi, dalam artian merombak tatanan
pola berfikir tradisional ini, diteruskan pada periode Tanzimat (1839-1876).
Perubahan pokok saat itu masih di seputar mekanisme sistem kekuasaan negara dan
pola rekruitmen pegawai kerajaan yang dulunya direkrut dari keluaran madrasah
(sekolah agama) dan beralih merekrut calon pegawai-pegawai baru yang terdidik
dan terlatih dalam ilmu administrasi pemerintahan. Sekularisme dalam bidang ini
sebenarnya sudah berjalan lebih awal, yakni dengan pendirian sekolah kedokteran
(1827), Akademi militer (1834-1846). Berhubung ilmu-ilmu baru ini dari Eropa,
maka negarawan kerajaan Usmaniah, Saffet Pasa (1814-1883) menekankan perlunya
Turki menerapkan seluruh kebudayaan Eropa.
Meskipun proses sekularisasi dalam bidang
pemerintahan, pendidikan militer, telah terjadi pada abad 19, tetapi tidak
cukup memuaskan. ide-ide dasar pembaharuan tidak sepenuhnya diterima baik oleh
penguasa, yang dalam hal ini adalah para sultan yang berkoraborasi dengan para
ulama sehingga perjalanan perombakan struktur tatanan kehidupan sosial dan tata
cara berfikir sangat lambat. Angin baru ilmu pengetahuan yang banyak menyentuh
kehidupan duniawi tidak banyak menyentuh negarawan, ulama sebagai motivator,
apalgi orang awam.
Menghadapai kenyataan yang semakin pahit, dimana orang-orang Eropa
(Inggris, Prancis, Italy dan Yunani) sudah memasuki
wilayah kerajaan Usmaniyah, Mustafa kamal Attaturk menyusun kekuatan dari
daerah Anatolia untuk mengusir pendatang.
Kerajaan Usmaniyah sudah tidak mampu lagi mempertahankan kekuasaan dan
wilayahnya. Dalam kaitan ini, Mustafa kamal boleh dikata sebagai penyelamat
integritas bangsa dan pembebasan wilayah Turki dari ancaman penjajahan bangsa
Eropa.
DAFTAR
PUSTAKA
Syahrastani, Al-Syaikh, Al-‘Allamah,
Al-Milal wa An-Niha, Dzar Al-Fikr, Beirut,
Vol. I, tt.
Yusran Asmun, Drs., Pengantar Studi Sejarah kebudayaan dan Pemikiran Islam, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta
1996.
[1] Yusran Asmun, Drs., Pengantar
Studi Sejarah kebudayaan dan Pemikiran Islam, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta 1996, Hal. 297
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !