BAB I
PENDAHULUAN
Sebagaimana diketahui bahwa
dunia Islam di masa lalu banyak menghasilkan tokoh dan pemikir-pemikir besar
yang nama dan karyanya sampai sekarang masih dipakai dan dijadikan rujukan
dalam menghadapi berbagai situasi dan persoalan yang terjadi dalam konteks
kehidupan umat Islam. Salah satunya ialah al-Mawardi. Ia adalah seorang ahli
fiqh khususnya berkaitan dengan fiqh siyasi dan termasuk salah seorang tokoh
yang berpengaruh besar terhadap pemikiran politik Islam. Dalam kitabnya yang
terkenal al-Ahkam as-Sulthaniyah ia banyak memberikan teori-teori politik yang
sampai saat ini masih relevan dan dipakai oleh sebagian umat Islam dalam
mengatur berbagai masalah yang berkaitan dengan politik dan ketatanegaraan.
Al-Ahkam as-Sulthaniyyah
demikian terkenalnya dan seringkali dianggap sebagai penjabaran paling benar
dari teori politik Islam khususnya dari kalangan Sunni. Dalam sejarah Islam
kitab ini merupakan risalah pertama yang ditulis dalam bidang ilmu politik dan
administrasi negara secara terperinci. Namun jarang sekali dilakukan pengkajian
yang mendalam tentang buku itu, kenapa buku itu ditulis, sumber yang digunakan
dalam menulis buku itu, serta pengaruhnya terhadap masanya dan masa berikutnya,
adalah hal yang jarang dilihat dan dipermasalahkan.
Melalui makalah ini nantinya
akan dijelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan al-Mawardi, baik tentang
riwayat hidupnya, kondisi sosial politik pada masa kehidupannya dan yang
terpenting adalah teori-teori politik dan tata negara yang dikembangkannya. Semoga
makalah ini dapat memberikan gambaran dan penjelasan yang baik terhadap
pemikiran politik al-Mawardi.[1]
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup Al-Mawardi
Nama lengkapnya adalah Abu
al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Bashri (364 H/975-450 H/1058
M). Lahir di Basrah pada tahun 364 H. Ia adalah seorang ahli fiqh, ahli hadis
dan pemikir politik. Ia dikenal sebagai tokoh terkemuka Mazhab Syafi’i pada
abad ke-10, pejabat tinggi pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah dan hidup
di masa kemunduran Dinasti Abbasiyah.[2]
Al-Mawardi pada awalnya
menuntut ilmu di Basrah. Ketika itu Basrah termasuk salah satu pusat pendidikan
dan ilmu pengetahuan di wilayah Islam. Namun al-Mawardi masih belum puas dengan
ilmu yang dimilikinya, hingga akhirnya ia melanjutkan studinya di Baghdad di
Universitas al-Za’farani. Selanjutnya ia mengembara ke berbagai daerah, tetapi
pada akhirnya kota Baghdad dipilihnya sebagai tempat tinggal dan mengajar di
sana beberapa tahun. Di kota ini pula ia menghabiskan waktunya untuk menulis
sejumlah buku dalam berbagai bidang.
Selain mendapat pendidikan di
perguruan tinggi, ia masih belum merasa puas dengan ilmu yang dimilikinya. Ia
kemudian mempelajari berbagai disiplin keilmuan dari beberapa ulama terkemuka
di Baghdad khususnya berkaitan dengan ilmu-ilmu keislaman. Di antara gurunya
ialah al-Hasan ibn Ali al-Hambali, Ja’far ibn Muhammad ibn al-Fadhl
al-Baghdadi, dan Abu Hamid al-Isfirayini. Gurunya yang disebut terakhir ini
amat berpengaruh pada diri al-Mawardi dan padanya ia mendalami mazhab Syafi’i
dalam kuliah rutin yang diadakan di sebuah masjid yang terkenal dengan nama
Masjid Abdullah ibn al-Mubarak di Baghdad. Sedangkan teologi yang dianut
al-Mawardi adalah teologi Sunni. Karena gurunya kebanyakan dari golongan Sunni,
maka corak pemikirannya mengarah ke Sunni.
Al-Mawardi belajar fiqh dari ulama terkemuka di Basrah yaitu Syekh ash-Shaimiri dan Syekh Abu Hamid (keduanya ahli hukum Islam). Sejak kecil ia sangat senang mendalami fiqh khususnya yang berkaitan dengan fiqh siyasi (tata negara dan pemerintahan Islam), setelah dewasa ia menjadi Kadi yang terkenal (karena sering berpindah-pindah) pada masa pemerintahan Abbasiyah, al-Qadir (berkuasa 381 H/991 M-423 H/1031 M1). Karir al-Mawardi meningkat setelah ia menetap kembali di Baghdad, yaitu menjadi hakim agung (Qadi al-Qudat), penasehat raja atau khalifah di bidang agama (hukum Islam) dan pemerintahan.
Pada masa pemerintahan khalifah al-Qadir, ia diberi kehormatan dan diangkat menjadi duta keliling yang diutus dalam berbagai misi diplomatik ke negara-negara tetangga. Ia memiliki pengaruh besar dalam menjaga dan memelihara wibawa khalifah al-Qadir di Baghdad yang merosot di tengah-tengah para raja dari Bani Saljuk dan Bani Buwaihi yang ketika itu hampir sepenuhnya berdiri sendiri.
Al-Mawardi belajar fiqh dari ulama terkemuka di Basrah yaitu Syekh ash-Shaimiri dan Syekh Abu Hamid (keduanya ahli hukum Islam). Sejak kecil ia sangat senang mendalami fiqh khususnya yang berkaitan dengan fiqh siyasi (tata negara dan pemerintahan Islam), setelah dewasa ia menjadi Kadi yang terkenal (karena sering berpindah-pindah) pada masa pemerintahan Abbasiyah, al-Qadir (berkuasa 381 H/991 M-423 H/1031 M1). Karir al-Mawardi meningkat setelah ia menetap kembali di Baghdad, yaitu menjadi hakim agung (Qadi al-Qudat), penasehat raja atau khalifah di bidang agama (hukum Islam) dan pemerintahan.
Pada masa pemerintahan khalifah al-Qadir, ia diberi kehormatan dan diangkat menjadi duta keliling yang diutus dalam berbagai misi diplomatik ke negara-negara tetangga. Ia memiliki pengaruh besar dalam menjaga dan memelihara wibawa khalifah al-Qadir di Baghdad yang merosot di tengah-tengah para raja dari Bani Saljuk dan Bani Buwaihi yang ketika itu hampir sepenuhnya berdiri sendiri.
Al-Mawardi di kemudian hari
terkenal dengan karena pemikiran politik melalui bukunya yang berjudul al-Ahkam
as-Sulthaniyyah yang dianggap sebagai buku pertama yang disusun khusus tentang
pemikiran politik Islam. Karya ini antara lain telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris dan Perancis. Selain dari al-Ahkam as-Sulthaniyyah, terdapat beberapa
karyanya tentang politik Islam, antara lain: Qawanin al-Wizarah
(Ketentuan-Ketentuan Kewaziran/Kementerian), Siyasah al-Mulk (Strategi
Kepemimpinan Raja), Adab ad-Dunya wa ad-Din (Tata Krama Kehidupan
Politik/Duniawi dan Agamawi), Kitab al-Hawi (Yang Terhimpun), dan al-Iqna’
(Keikhlasan) Berkaitan dengan sumber dan keterbatasan dalam menemukan buku-buku
politik al-Mawardi lainnya, maka dalam makalah ini hanya akan mengungkapkan
pemikiran-pemikiran politik al-Mawardi yang terdapat dalam kitab al-Ahkam
as-Sulthaniyyah.[3]
B.
Kondisi Sosial Politik Pada
Masa Al-Mawardi
Al-Mawardi hidup ketika
kondisi sosial politik Dinasti Abbasiyah sedang mengalami berbagai gejolak dan
disintegrasi. Sebagaimana yang telah disebutkan terdahulu, khalifah-khalifah
Abbasiyah benar-benar dalam keadaan lemah dan tidak berdaya. Kekuasaannya hanya
merupakan formalitas, sedangkan kekuasaan riil berada di tangan Bani Buwaihi
dan orang-orang Turki. Awal kemunduran dari politik Bani Abbas adalah ketika
al-Mutawakkil berkuasa. Al-Mutawakkil adalah khalifah yang lemah. Pada masa
pemerintahannya orang-orang Turki dapat merebut kekuasaannya dengan cepat.
Setelah al-Mutawakkil wafat, merekalah yang memilih dan mengangkat khalifah.
Dengan demikian, kekuasaan tidak lagi berada di tangan Bani Abbas, meskipun
mereka tetap memegang jabatan khalifah.
Situasi politik di dunia Islam pada masa Mawardi, yakni menjelang akhir abad X sampai pertengahan abad XI M, tidak lebih baik dari masa al-Farabi, dan bahkan lebih parah. Kedudukan khalifah mulai melemah dan dia harus membagi kekuasaannya dengan panglima-panglimanya yang berkebangsaan Turki dan Persia. Mulai tampak pula bahwa tidak mungkin lagi imperium Islam yang demikian luas wilayahnya harus tunduk kepada seorang kepala negara tunggal. Pada waktu itu khalifah di Baghdad hanya merupakan kepala negara yang resmi dengan kekuasaan formal saja, sedangkan yang mempunyai kekuasaan sebenarnya dan pelaksana pemerintahan adalah pejabat-pejabat tinggi dan panglima-panglima berkebangsaan Turki atau Persia, serta penguasa-penguasa wilayah. Meskipun makin lama kekuasaan para pejabat tinggi dan panglima non-Arab itu makin meningkat, sampai waktu itu belum tampak adanya usaha di pihak mereka untuk mengganti khalifah Arab itu dengan Khalifah yang berkebangsaan Turki atau Persia. Namun demikian mulai terdengar tuntutan dari sementara golongan agar jabatan itu dapat diisi oleh orang non-Arab dan tidak suku Quraisy. Tuntutan itu sebagaimana dapat diperkirakan menimbulkan reaksi dari golongan lain, khususnya dari golongan Arab, yang ingin mempertahankan syarat keturunan Quraisy untuk mengisi jabatan kepala negara, serta syarat kebangsaan Arab dan beragama Islam untuk menjabat wazir atau tawfidh atau penasehat dan pembantu utama khalifah dalam menyusun kebijaksanaan. Mawardi adalah salah satu tokoh utama dari golongan terakhir ini.
Situasi politik di dunia Islam pada masa Mawardi, yakni menjelang akhir abad X sampai pertengahan abad XI M, tidak lebih baik dari masa al-Farabi, dan bahkan lebih parah. Kedudukan khalifah mulai melemah dan dia harus membagi kekuasaannya dengan panglima-panglimanya yang berkebangsaan Turki dan Persia. Mulai tampak pula bahwa tidak mungkin lagi imperium Islam yang demikian luas wilayahnya harus tunduk kepada seorang kepala negara tunggal. Pada waktu itu khalifah di Baghdad hanya merupakan kepala negara yang resmi dengan kekuasaan formal saja, sedangkan yang mempunyai kekuasaan sebenarnya dan pelaksana pemerintahan adalah pejabat-pejabat tinggi dan panglima-panglima berkebangsaan Turki atau Persia, serta penguasa-penguasa wilayah. Meskipun makin lama kekuasaan para pejabat tinggi dan panglima non-Arab itu makin meningkat, sampai waktu itu belum tampak adanya usaha di pihak mereka untuk mengganti khalifah Arab itu dengan Khalifah yang berkebangsaan Turki atau Persia. Namun demikian mulai terdengar tuntutan dari sementara golongan agar jabatan itu dapat diisi oleh orang non-Arab dan tidak suku Quraisy. Tuntutan itu sebagaimana dapat diperkirakan menimbulkan reaksi dari golongan lain, khususnya dari golongan Arab, yang ingin mempertahankan syarat keturunan Quraisy untuk mengisi jabatan kepala negara, serta syarat kebangsaan Arab dan beragama Islam untuk menjabat wazir atau tawfidh atau penasehat dan pembantu utama khalifah dalam menyusun kebijaksanaan. Mawardi adalah salah satu tokoh utama dari golongan terakhir ini.
Apabila diperhatikan
pendahuluan buku al-Ahkam as-Sulthaniyyah karangan al-Mawardi, terlihat bahwa
karya itu ditulis atas permintaan seorang yang berkuasa. Besar kemungkinan
orang yang memintanya itu adalah khalifah Abbasiyah yang berkuasa saat itu.
Motifnya barangkali adalah untuk mengembalikan kekuasaan riil kepada khalifah
yang berada di tangan golongan Sunni, yaitu kekuasaan Bani Abbas. Maka tidak
mengherankan bila al-Mawardi tidak dapat menerima adanya dua orang kepala
pemerintahan yang berkuasa dalam satu waktu di dunia Islam. Motif penolakan ini
secara implisit untuk menentang pemerintahan bani Fathimiyah yang pada saat itu
berkuasa di Mesir. Ia menilainya sebagai kekuatan politik yang berbahaya
terhadap kekuasaan bani Abbasiyah di Baghdad. [4]
Sebagai reaksi terhadap
situasi politik pada zamannya maka al-Mawardi mendasarkan teori politiknya atas
kenyataan yang ada dan kemudian secara realistik menawarkan saran-saran
perbaikan atau reformasi misalnya dengan mempertahankan status quo. Dia
menekankan bahwa khalifah harus tetap berbangsa Arab dari suku Quraisy, bahwa
wazir tafwidh (pembantu utama khalifah dalam penyusunan kebijaksanaan) harus
berbangsa Arab, dan perlu ditegaskan persyaratan bagi pengisian jabatan kepala
negara serta jabatan-jabatan pembantunya yang penting. Alasan utamanya tak lain
adalah mengembalikan kekuasaan riil kepada khalifah Abbasiyah.
C.
Teori Politik Al-Mawardi
1.
Imamah (Kepemimpinan)
Pada bagian awal dari
kitabnya al-Mawardi menyebutkan bahwa imamah/ kekhilafahan dibentuk untuk
menggantikan posisi kenabian dalam mengurus urusan agama dan mengatur kehidupan
dunia. Yang di maksudkan oleh al-Mawardi dengan Imam adalah khalifah, raja,
sulthan atau kepala negara. Dalam hal ini Mawardi memberikan juga baju agama
kepada jabatan kepala negara di samping baju politik. Menurutnya Allah
mengangkat untuk umatnya seorang pemimpin sebagai pengganti (khalifah) nabi, untuk
mengamankan negara, disertai dengan mandat politik. Dengan demikian seorang
imam di satu pihak adalah pemimpin agama, dan di lain pihak pemimpin politik.
Dalam teorinya al-Mawardi tidak mendikotomikan antara pemimpin politik dan
pemimpin agama. Sejarah juga telah menunjukkan bahwa Rasulullah saw ketika
memimpin negara Madinah selain sebagai pembawa ajaran Tuhan, juga sebagai
pemimpin negara.[5]
2.
Cara Pemilihan atau Seleksi
Imam
Al-Mawardi mengemukakan
pendapatnya tentang pemerintahan terbentuk melalui dua kelompok. Pertama ahl
al-ikhtiyar yaitu mereka yang berwenang untuk memilih imam bagi umat. Dan
kedua, ahl al-imamah yaitu mereka yang berhak memangku jabatan kepala
pemerintahan. Bagi ahl al-ikhtiyar padanya harus memiliki tiga syarat: (1)
memiliki sikap adil; (2) Memiliki ilmu pengetahuan yang memungkinkan mereka
mengetahui siapa yang memenuhi syarat untuk diangkat menjadi imam; (3)
Bijaksana dan idealis dalam menentukan pilihannya, siapa yang lebih pantas dan
terbilang jujur dalam memimpin umat Islam. Namun siapa yang berhak menjadi
anggota ahl al-ikhtiyar dan bagaimana cara rekrutmen anggota tersebut tidak
dijelaskan lebih jauh oleh Mawardi.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, ahl al-ikhtiyar atau ahl al-hall wa al-‘aqd bahkan berada dibawah pengaruh kepala negara, karena kepala negaralah yang mengangkat mereka. Oleh karenanya, mereka cenderung bersifat akomodatif terhadap kekuasaan. ahl al-hall wa al-‘aqd tidak lebih hanya sekedar alat legitimasi ambisi politik penguasa atas tindak tanduknya. Karena dipilih oleh penguasa, ahl al-hall wa al-‘aqd tidak mencerminkan dirinya sebagai wakil rakyat. Keberadaannya tidak banyak membawa perubahan kembali ke tradisi syura yang efektif berjalan hanya selama masa al-Khulafa’ al-Rasyidun.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, ahl al-ikhtiyar atau ahl al-hall wa al-‘aqd bahkan berada dibawah pengaruh kepala negara, karena kepala negaralah yang mengangkat mereka. Oleh karenanya, mereka cenderung bersifat akomodatif terhadap kekuasaan. ahl al-hall wa al-‘aqd tidak lebih hanya sekedar alat legitimasi ambisi politik penguasa atas tindak tanduknya. Karena dipilih oleh penguasa, ahl al-hall wa al-‘aqd tidak mencerminkan dirinya sebagai wakil rakyat. Keberadaannya tidak banyak membawa perubahan kembali ke tradisi syura yang efektif berjalan hanya selama masa al-Khulafa’ al-Rasyidun.
Ahl al-imamah sebagai orang
yang berhak menjadi pemimpin, menurut Mawardi harus memiliki tujuh syarat: (1)
Sikap adil dengan segala persyaratannya; (2) Memiliki ilmu pengetahuan yang
memadai untuk berijtihad; (3) Sehat pendengaran, pengelihatan, dan lisannya;
(4) Utuh anggota-anggota tubuhnya; (5) memiliki wawasan yang baik untuk
mengatur kehidupan rakyat dan mengelola kepentingan umum; (6) Keberanian yang
memadai untuk melindungi rakyat dan menghadapi musuh; dan (7) Keturunan
Quraisy.
Dalam mengangkat kepala
pemerintahan terdapat dua cara. Pertama, cara pemilihan yang dilakukan oleh
sekelompok orang yang duduk dalam ahl al-halli wa al-‘aqdi atau ahl al-ikhtiyar
yakni para ulama cendikiawan dan pemuka masyarakat. Kedua, dengan cara
penunjukkan atau wasiat oleh kepala pemerintahan yang sedang berkuasa. Kalau
pengangkatan melalui pemilihan, terdapat perbedaan pendapat antara para ulama
tentang jumlah peserta dalam pemilihan itu.
Menurut Mawardi, mengapa
pengangkatan imam atau khalifah dapat dilakukan dengan penunjukan atau wasiat
oleh imam yang sebelumnya, dasarnya yang pertama adalah karena Umar bin Khattab
menjadi khalifah melalui penunjukkan oleh pendahulunya, yaitu Abu Bakar.
Demikian pula halnya Usman. Enam anggota “dewan formatur” yang memilihnya
sebagai khalifah adalah ditunjuk oleh pendahulunya, Umar bin Khattab. Dalam hal
pengangkatan imam melalui penunjukkan atau wasiat oleh imam yang berkuasa,
al-Mawardi menyatakan bahwa sebelum menunjuk calon penggantinya, seorang imam
harus berusaha agar yang ditunjuknya itu benar-benar berhak untuk mendapatkan
kepercayaan dan kehormatan yang tinggi dan orang yang betul-betul paling
memenuhi syarat. Kalau yang ditunjuk sebagai calon pengganti itu bukan anak
atau ayah sendiri, maka terdapat perbedaan pendapat, yaitu apakah imam boleh
melaksanakan bai’at sendiri atau tidak. Sekelompok ulama berpendapat tidak
boleh tidak dibenarkan imam seorang diri melaksanakan bai’at anak atau ayahnya
sendiri. Dia harus bermusyawarah dengan ahl al-ikhtiyar dan mengikuti nasehat
mereka. Kelompok ulama kedua mengemukakan bahwa imam seorang diri berhak
melaksanakan bai’at kepada anak atau ayahnya sendiri sebagai putra mahkota.
Bukankah dia waktu itu pemimpin umat. Sedangkan kelompok yang ketiga
berpendapat bahwa kalau yang ditunjuk sebagai putra mahkota itu ayahnya, imam
dapat melaksanakan bai’at seorang diri. Tetapi tidak demikian halnya kalau yang
ditunjuk sebagai putra mahkota itu anaknya.
Dari uraian tentang beberapa
cara pengangkatan imam, baik yang melalui pemilihan maupun penunjukkan,
al-Mawardi hanya mengemukakan berbagai pendapat tanpa memberikan preferensi
atau pilihannya. Sikap kehati-hatiannya tersebut didasarkan pada fakta sejarah
yang menunjukkan tidak ditemukannya suatu sistem yang baku tentang pengangkatan
kepala negara yang dapat dikatakan pasti bahwa itulah sistem Islami.[6]
3.
Tentang Wazir
Al-Mawardi membagi wazir
menjadi dua bentuk, pertama wazir tafwidh, yaitu wazir yang memiliki kekuasaan
luas memutuskan berbagai kebijaksanaan kenegaraan. Ia juga merupakan
koordinator kepala-kepala departeman. Wazir ini dapat dikatakan sebagai Perdana
Menteri. Karena besarnya kekuasaan wazir tawfidh ini, maka orang yang menduduki
jabatan ini merupakan orang-orang kepercayaan khalifah. Kedua, wazir tanfidz,
yaitu wazir yang hanya bertugas sebagai pelaksana kebijaksanaan yang digariskan
oleh wazir tawfidh. Ia tidak berwenang menentukan kebijaksanaan sendiri.
Pada masa pemerintahan
al-Mu’tashim, ketika khalifah tidak begitu berkuasa lagi, wazir-wazir berubah
fungsi menjadi tentara pengawal yang terdiri dari orang-orang Turki. Begitu
kuatnya kekuasaan mereka di pusat pemerintahan (Baghdad), sehingga khalifah
hanya menjadi boneka. Mereka dapat mengangkat dan menjatuhkan khalifah
sekehendak hatinya. Panglima tentara pengawal yang bergelar Amir al-Umara’ atau
Sulthan inilah pada dasarnya yang berkuasa di ibukota pemerintahan.
Khalifah-khalifah tunduk pada kemauan mereka dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Namun yang menarik, panglima tersebut tidak berani mengadakan kudeta merebut
kursi kekhalifahan dari keluarga Abbasiyyah, meskipun khalifah sudah lemah dan
tidak berdaya. Padahal kesempatan dan kemampuan untuk itu mereka miliki.
Barangkali pandangan Sunni tentang al-Aimmah min Quraisy (kepemimpinan umat
dipegang oleh suku Quraisy) tetap mereka pegang teguh. Mereka merasa tidak
syar’i kalau menjadi khalifah karena bukan termasuk keturunan Quraisy. Kalau
mereka melakukan kudeta merebut kekuasaan, tentu akan menimbulkan gejolak dalam
masyarakat. Oleh karena itu, mereka merasa lebih aman berperan di belakang
layar mengendalikan khalifah.[7]
4.
Teori Kontrak Sosial
Suatu hal yang menarik dari
gagasan ketatanegaraan Mawardi adalah hubungan antara Ahl al-‘Aqdi wa al-Halli
atau Ahl al-Ikhtiyar dan imam atau kepala negara itu merupakan hubungan antara
dua pihak peserta kontrak sosial atau perjanjian atas dasar sukarela, satu
kontrak atau persetujuan yang melahirkan kewajiban dan hak bagi kedua belah
pihak atas dasar timbal balik. Oleh karenanya maka imam, selain berhak untuk
ditaati oleh rakyat dan untuk menuntut loyalitas penuh dari mereka, ia
sebaliknya mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi terhadap
rakyatnya, seperti memberikan perlindungan kepada mereka dan mengelola
kepentingan mereka dengan baik dan penuh rasa tanggung jawab. Al-Mawardi
mengemukakan teori kontraknya itu pada abad XI, sedangkan di Eropa teori
kontrak sosial baru muncul untuk pertama kalinya pada abad XVI.
Dalam hal ini al-Mawardi mengatakan bahwa apabila imam atau kepala negara telah melaksanakan kewajiban-kewajiban kepada umat, berarti ia telah menunaikan hak Allah berkenaan dengan hak dan tanggung jawab ummat. Dan saat yang demikian imam mempunyai dua macam hak terhadap ummat, yaitu hak untuk ditaati dan hak dibela selama imam tidak menyimpang dari dari garis yang telah ditetapkan.
Dalam hal ini al-Mawardi mengatakan bahwa apabila imam atau kepala negara telah melaksanakan kewajiban-kewajiban kepada umat, berarti ia telah menunaikan hak Allah berkenaan dengan hak dan tanggung jawab ummat. Dan saat yang demikian imam mempunyai dua macam hak terhadap ummat, yaitu hak untuk ditaati dan hak dibela selama imam tidak menyimpang dari dari garis yang telah ditetapkan.
Sumber kekuasaan kepala negara
adalah berdasarkan perjanjian antara kepala negara dengan rakyatnya (kontrak
sosial). Dari perjanjian itu lahirlah hak dan kewajiban secara timbal balik
antara kedua belah pihak. Oleh karena itu, rakyat yang telah memberikan
kekuasaan dan sebagian haknya kepada kepala negara berhak menurunkan kepala
negara, bila ia dipandang tidak mampu lagi menjalankan pemerintahan sesuai
dengan perjanjian yang telah disepakati bersama. Sesuai dengan teorinya ini,
Mawardi tidak menganggap kekuasaan kepala negara sebagai sesuatu yang suci.
Namun demikian, Mawardi juga menekankan kepatuhan terhadap kepala negara yang
telah dipilih. Kepatuhan ini tidak hanya terhadap kepala negara yang adil,
tetapi juga yang jahat (fajir). Untuk mendukung pernyataan ini, mawardi mengutip
sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:
Akan ada kelak
pemimpin-pemimpin kamu sesudahku. Di antara mereka ada yang baik dan memimpinmu
dengan kebaikan. Tapi ada juga yang jahat dan memimpinmu dengan kejahatannya.
Dengarkanlah dan patuhilah mereka sesuai dengan kebenaran. Jika mereka berbuat
baik, maka kebaikannya untuk kamu dan untuk mereka. Tetapi kalau mereka berbuat
jahat, maka (akibat baiknya) untuk kamu dan kejahatannya kembali kepada mereka
5.
Mekanisme Pengangkatan dan
Pembebasan/Pemecatan Imam
Al-Mawardi menyebutkan salah
satu tugas penting dari lembaga pemilihan adalah mengadakan penelitian lebih
dahulu terhadap kandidat kepala pemerintahan apakah ia telah memenuhi syarat
atau tidak yang diajukan oleh lembaga wewenang ini. Jika telah memenuhi
persyaratan si calon diminta kesediaannya lalu ditetapkan sebagai kepala
pemerintahan dengan ijtihad atas dasar pemilihan yang diikuti dengan
pembai’atan. Dalam pembai’atan tidak ada unsur paksaan, rakyat yang telah
membai’atnya harus menaatinya. Tetapi di antara yang membai’atnya tidak setuju
kepada kepala pemerintahan terpilih, karena pengangkatannya atas dasar
persetujuan orang banyak, maka jabatan kepala pemerintahan harus diserahkan
kepada orang yang dipandang lebih berhak memegang jabatan terhormat itu.
Mengenai pembebasan imam dari
jabatannya, al-Mawardi menegaskan kemungkinan pembebasan kepala negara dari
jabatannya bila ia menyimpang dari keadilan, kehilangan salah satu fungsi organ
tubuhnya, atau tidak dapat menjalankan tugasnya karena dikuasai oleh
orang-orang dekatnya atau tertawan. namun begitu, al-Mawardi juga berpendapat
bahwa penyimpangan kepala negara tidak secara otomatis menyebabkan penurunan
dari jabatannya, apabila ia dapat mendukung tindakannya secara logis. Di
samping itu, al-Mawardi juga tidak membicarakan bagaimana mekanisme pembebasan
kepala negara dari jabatannya dan siapa yang berhak melakukannya. Pandangan
Mawardi ini menempatkan kepala negara pada kedudukan yang kuat dan rakyat pada
posisi yang lemah. Dalam masalah ini, rakyat tidak berperan banyak untuk
melakukan kontrol terhadap kebijakan-kebijakan kepala negara.[8]
BAB III
PENUTUP
Demikian sekilas pandangan
dan konsep politik Islam al-Mawardi. Konsepnya tentang perlunya pendirian
negara tidak hanya didasarkan pada dalil akal tetapi juga didasarkan pada hukum
syara’ menimbulkan sebuah pemahaman yang baru dan berharga. Konsep-konsepnya
tentang tata negara, bagaimana seorang pemimpin harus dipilih,
persyaratan-persyaratan untuk menjadi pemimpin, perjanjian dan kesepakatan antara
orang yang dipilih dengan yang memilih, merupakan bagian dari pemikirannya yang
brilian. Namun sebagai sebuah pemikiran tentunya akan terdapat beberapa
kelemahan atau kekurangan yang harus dipecahkan bersama dan dicari solusinya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyah wa al-Wilayah
ad-Diniyyah, Kairo, tp, 1973
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, Dari Fundamentalis,
Modernisme Hingga Post Modernisme, Paramadina,Jakarta, 1996
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2000
Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, alih bahasa: Ihsan
Ali-Fauzi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994
Ehsan Ehsanullah, Siyasa Shar’iyya, Thinker’s Library,
Selangor Malaysia , 1994
Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, cetakan
keenam, Jakarta 2003
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve,
cetakan kedua, Jakarta, 2003
Hamidullah, Abul A’la al-Maududi, Abdul Karim Zaidan, Politik
Islam, Konsepsi dan Dokumentasi, alih bahasa: Jamaluddin Kafie, Bina Ilmu,
Surabaya, 1987
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin
Politik Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2001
Muhibbin, Hadis-Hadis Politik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
1996
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Edisi kelima, UI
Press, Jakarta, 1993
Qamar-ud-Din Khan, Al-Mawardi’s Theory of the State, Idarah-i
Adabiyat-i Delli, Delhi, tt
[3] Azyumardi
Azra, Pergolakan Politik Islam, Dari Fundamentalis, Modernisme Hingga Post
Modernisme, Paramadina,Jakarta, 1996
[4] Hamidullah, Abul A’la al-Maududi, Abdul Karim Zaidan,
Politik Islam, Konsepsi dan Dokumentasi, alih bahasa: Jamaluddin Kafie, Bina
Ilmu, Surabaya, 1987
[6] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin
Politik Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2001
[8] Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, alih bahasa:
Ihsan Ali-Fauzi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !