M A K A L A H
POLA NAHDLATUL ULAMA’ ULAMA’ DALAM MENGELOLA TAREKAT
Diajukan Untuk Memenuhi Dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Tugas Mandiri Pada Mata Kuliah Aswaja I
Dosen :
Drs. H. Ikhwanuddin
Di Susun Oleh :
SITI SANGIDAH
NPM. 09260060
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI S.I
PENDIDIKAN GURU SD/MI
SEMESTER I
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) MA’ARIF
METRO – LAMPUNG
TAHUN 2009
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur yang kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan hidayah untuk berpikir sehingga dapat melaksanakan tugas untuk pembuatan makalah dalam upaya untuk
memenuhi Syarat dalam Mata Kuliah Aswaja
I berjudul “Pola Nahdlatul Ulama’
dalam Mengelola Tarekat”.
Dalam penulisan makalah ini penulis bermaksud untuk memenuhi tugas yang
diberikan Dosen. Dan dalam penulisan ini kami tulis dalam bentuk sederhana,
sekali mengingat keterbatasan yang ada pada diri penulis sehingga semua yang
ditulis masih sangat jauh dari sempurna.
Atas jasanya semoga Allah SWT memberikan imbalan dan tertulisnya makalah
ini dapat bermanfaat dan kami minta ma’af sebelumnya kepada Dosen, apabila ini
masih belum mencapai sempurna kami sangat berharap atas kritik dan saran-saran nya yang sifatnya
membangun tentunya.
Metro, Oktober 2009
PENULIS
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................ i
KATA PENGANTAR.......................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................... iii
BAB I PEMBAHASAN
A. Sejarah NU............................................................................ 1
B. Paham Keagamaan................................................................ 3
C. Basis Pendukung................................................................... 3
BAB
II PENUTUP
A.
Kesimpulan............................................................................ 7
B. Saran...................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA........................................................................... 9
BAB I
PEMBAHASAN
Organisasi ini berdiri pada 31 Januari
1926 dan bergerak di
bidang pendidikan,
sosial,
dan ekonomi.
A. Sejarah NU
Keterbelakangan baik secara mental, maupun
ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi,
telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa
ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Kalangan pesantren yang selama
ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan
membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan
(Kebangkitan Tanah Air) pada 1916.
Kemudian pada tahun 1918
didirikan Taswirul Afkar atau
dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran),
sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari
situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar,
(pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki
perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul
Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan
yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.[1]
Suatu waktu Raja Ibnu Saud
hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekkah, serta hendak
menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra Islam, yang selama ini
banyak diziarahi karena dianggap bidah.
Gagasan kaum Wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia,
baik kalangan Muhammadiyah maupun PSII
di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan
pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan
penghancuran warisan peradaban tersebut.
Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan
pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta
pada tahun 1925.
Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam
Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam
Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Sumber lain menyebutkan bahwa K.H. Hasyim
Asy'ari, K.H. Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya
melakukan walk out.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk
menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan
peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang
dinamakan Komite Hejaz, yang
diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun
dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka
Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas
dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional
kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab
dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat
berharga.
Berangkan komite dan berbagai organisasi yang
bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk
organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi
perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan
untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama)
pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H.
Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini,
maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip
dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad
Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan
dalam khittah NU, yang dijadikan
sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang
sosial, keagamaan dan politik.
B. Paham Keagamaan
Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum
penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta
merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial.
Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil
kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.
C. Basis Pendukung
Jumlah warga NU yang merupakan basis
pendukungnya diperkirakan mencapai lebih dari 80 juta orang , yang mayoritas di
pulau jawa, kalimantan, sulawesi dan sumatra dengan beragam profesi, yang
sebagian besar dari mereka adalah rakyat jelata, baik di kota maupun di desa.
Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi karena secara sosial ekonomi memiliki
problem yang sama, selain itu mereka juga sangat menjiwai ajaran ahlususunnah
wal jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia
pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.
Basis pendukung NU ini mengalami pergeseran,
sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU
di desa banyak yang bermigrasi ke kota
memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor
petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh di perkotaan, juga cukup dominan.
Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basisi intelektual dalam NU
juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi
selama ini.
NU di kabupaten temanggung bermula dari para pengikut Toriqoh
Naqshobandoyah yang berpusat di sokaraja banyumas kebetulan wilayah temanggung
termasuk konsul banyumas yang diketuai oleh raden muhtar.kota parakan mulanya
dijadikan cabang mengingat badal toriqoh sukaraja berpusat di parakan. dunia
Islam dikenal beberapa aliran tarekat besar, seperti Qadiriyah, Naqsyabandiyah,
Syathariyah, Sammaniyah, Khalwatiyah, Tijaniyah, Idrisiyah dan Rifa'iyah yang
merupakan anggitan dari para ulama Timur Tengah. Aliran-aliran tarekat tersebut
terbanyak tumbuh berasal dari daerah Turki. Sedangkan Kedua tarekat itu muncul dan berkembang di Kediri, Jawa Timur. Aliran Wahidiyah yang didirikan oleh KH. Abdoel Madjid Ma'roef pada
1963 itu ternyata berkembang sebagai sebuah nilai spiritual ditengah-tengah
masyarakat, bahkan tidak hanya didalam negeri, tetapi juga diluar negeri.
Eksistensi Wahidiyah merupakan fenomena kultural tasawuf dalam wacana realitas
sosial, keagamaan dan ilmiah. Kehadirannya dapat dibilang sebagai kontrol dan
reformasi zaman umat manusia. Buku yang ditulis oleh Sokhi Huda ini menjelaskan
bahwa sistem ajaran Wahidiyah menyediakan perangkat spiritual yang disebut
Shalawat Wahidiyah. Shalawat ini (juga dengan ajarannya) merupakan produk atau susunan KH. Abdoel Madjid
Ma'roef. Dia dikenal sebagai muallif shalawat Wahidiyah, bukan sebagai mursyid
(guru tarekat), sebab dalam Wahidiyah tidak ada istilah mursyid seperti dalam
tarekat-tarekat pada umumnya atau dalam semua tarekat yang ada.
Maka dapat dipahami bahwa
dalam Wahidiyah tidak ada baiat (janji) murid dihadapan mursyid. Pola relasi
yang ada dalam Wahidiyah adalah relasi muallif dan pengamal. Semua pengamal
adalah murid langsung muallif. Pola relasi ini tidak tersusun atas urutan
pendiri, mursyid, sampai salik (murid) yang semakin lama semakin panjang jalur
silsilahnya karena semakin panjangnya rentang masa hidup antara murid dan
pendiri yang diantara keduaya terdapat mursyid-mursyid dalam Wahidiyah, pola
relasi tersebut tetap bertahan, tidak semakin panjang, meskipun rentang masa
hidup antara keduanya semakin panjang. Idealisme tasawuf yang dibawa
oleh Wahidiyah diterjemahkan oleh muallif kedalam bentuk amalan ritual yang
praktis untuk disajikan kepada masyarakat luas. Dengan kata lain, Wahidiyah
dapat diakses kapan saja, dimana saja dan oleh siapa saja, tanpa prosedur
kesilsilahan. Ini merupakan terobosan baru dalam dunia tasawuf dan tarekat,
dimana pada umumnya semua aliran tasawuf dan tarekat menyajikan sistem ajaran
dan sistem amalan ritual yang ketat dan prosedural. Sebagai fenomena kultural,
Wahidiyah ternyata berkembang pesat ditengah-tengah masyarakat. Bahkan dengan
misi inklusivisme global (jami' al-'alamin), ia berkembang hingga ke manca
negara. Barangkali karena sistemnya yang sederhanan dan praktis itulah sebagian
masyarakat merasakan adanya daya tarik (attraction) terhadap Wahidiyah. Secara
historis, aliran ini mengalami dialektika yang monumental. Ini ditandai oleh
sejumlah respon, baik respon positif maupun negatif dan kritik-kritik ideologis
dari para pemuka berbagai aliran tasawuf yang ada di Indonesia maupun dari kalangan sesepuh NU.
Sebagaimana diketahui, NU menjadi lembaga yang berhak menentukan status
"mu'tabarah" (sah) atau "ghair mu'tabarah" (tidak sah) bagi
aliran tasawuf yang ada di Indonesia. Akan tetapi, karena prosedur pengamalan
shalawat Wahidiyah yang praktis, tanpa proses baiat, banyak tokoh sesepuh dan
strategis NU yang menjadi pengamal Wahidiyah.
Dalam buku ini dijelaskan
bahwa daya ketertarikan terhadap Wahidiyah diperkuat dengan akuitas pernyataan
bahwa shalawat Wahidiyah merupakan interpretasi terhadap Islam yang dilakukan
secara genius oleh pendirinya dan ditransformasikan secara terus menerus
sehingga menjadi habitualisasi dalam kehidupan sehari-hari. Ia merupakan
tasawuf lokal yang menjadi ajang bagi para penganutnya untuk memenuhi gelegak
keilahian dan menjadi wadah bagi pemenuhan kebutuhan spiritual yang tidak ada
habis-habisnya. Ia menjadi medium untuk mengekspresikan gelegak ketuhanan dan
kulminasi pengalaman keilahian yang tidak kunjung henti. Ritual di dalamnya
merupakan proses untuk untuk menemukan Tuhan didalam kehidupan. Jika tidak
ingin terlambat didalam proses pencaraian kehidupan duniawi maka ia bisa
menjadi jembatan untuk sampai pada maqam keilahian tersebut. Samudra luas
kehidupan yang seharusnya diisi dengan sifat dan tindakan keilahian tersebut
terkadang tereduksi oleh keinginan duniawi sehingga menghalangi seseorang untuk
menemui Tuhannya. Itulah salah satu motto Wahidiyah, Fafirru ila Allah.
Dinamika historis Wahidiyah mengalami perkembangan yang signifikan pada saat
sasaran jami' al-'alamin dan misi inklusivisme globalnya sedikit demi sedikit
merambah ke berbagai daerah di Indonesia dan mancanegara (Timor Leste, Brunei
Darussalam, Malaysia, Singapura, Australia, Hongkong, Jepang, Arab Saudi dan
Amerika Serikat). Misi inklusivisme global ini bukanlah sasaran program
Wahidiyah sebagai sebuah aliran tasawuf, melainkan merupakan substansi ajaran
dan sifat keterbukaan dalam proses legalisasi pengamalnya. Muaranya adalah,
dalam aliran ini tidak ada batas sebagaimana aliran-aliran tarekat umumnya;
yang ada adalah model gethok tular yang dalam istilah komunikasi disebut multi
step flow coomunication, yaitu model penyebaran berantai; setiap pengamal
Wahidiyah diberi hak untuk menyebarkan substansi, termasuk rangkaian zikir atau
sistem amalan (awrad) dan ajaran shalawat tersebut kepada orang lain tanpa
proses baiat.
Oleh karena itu, banyak
tokoh sepuh NU, penganut aliran-aliran Islam, pejabat negara, bahkan kalangan
bromocorah menjadi pengamal shalawat ini. Buku ini memberikan sumbangsi
dialogis dan wawasan ilmiah yang analitis, deskriptif dan komprehensif mengenai
fenomena Wahidiyah sebagai sebuah aliran tasawuf lokal. Ia hadir untuk mengisi
kelangkaan literatur tentang tarekat atau tasawuf yang bercorak lokal. Toh,
realitasnya memang tidak banyak karya tulis tentang tarekat lokal dalam
khazanah perbukuan Indonesia.
Tulisan ini merupakan karya ilmiah akademis yang memprioritaskan dimensi
pemahaman dan bukan menggurui, atau bahkan mencurigai. Maka buku ini sangat
bermanfaat bagi pengamal shalawat Wahidiyah, orang yang tertarik dengan dunia
tasawuf dan juga kalangan akademisi yang tertarik dengan fenomena tasawuf
seperti ajaran, ritual dan dimensi ketasawufannya sebagai pattern for behavior
untuk dipahami dan dipraktikkan atau dialami oleh pengamalnya.
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan
Cendekiawan Islam), disingkat NU,
adalah sebuah organisasi Islam
yang besar di Indonesia.
Gerakan yang muncul 1928 tersebut dikenal
dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat
kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana - setelah rakyat pribumi sadar
terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai
jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang
mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber
pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah,
tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara
berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan
Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi.
Kemudian dalam bidang fikih mengikuti satu mazhab:Syafi'i
meskipun mengakui tiga madzhab yang lain: Hanafi, Maliki, Hanbali
sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara
dalam bidang tasawuf,
mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan
antara tasawuf dengan syariat.
tarekat yang merupakan produk asli Indonesia adalah Shiddiqiyah dan
Wahidiyah yang cukup populer dan sekaligus kontroversial.
B.
Saran
Penulis mengharapkan kritik dan saran- saran dari
pembaca yang bersifat membangun dan penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini, semoga makaalah
ini bermanfaat bagi kita semua dan pembaca pada umumnya, penulis juga menyadari
akan keterbatasan bahan dan sumber didalam pembuatan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ibn Al-Atsir, Al-Kamil fi al-Tarikh, Jilid III, Dar
al-Shadir, Bairut, 1965, hlm, 221
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !