Headlines News :

Lomba Blog BPJS Ketenagakerjaan

Home » » Hubungan akidah islam dengan akhlak

Hubungan akidah islam dengan akhlak


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Islam menggambungkan antara agama yang hak dan akhlak. Menurut teori ini, agama menganjurkan setiap indivvidu untuk berakhlak mulia dan menjadikannya sebagai kewajiban (taklif) di atas pundaknya yang dapat mendatangkan pahala atau siksa baginya. Atas dasar ini, agama tidak mengutarakan wejangan-wejangan akhlak semata tanpa dibebani oleh rasa tanggung jawab. Bahkan, agama menganggap sebagai penyempurna ajaran-ajarannya. Karena agama tersusun dari keyakinan (akidah) dan perilaku. Akhlak mencerminkan sisi perilaku tersebut

B.     Rumusan Masalah
  1. Apakah Hubungan Akidah dan Akhlak?
  2. Bagaimanakah Realisasi Iman Dalam Kehidupan Sehari-Hari?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hubungan Akidah dan Akhlak
Akidah adalah gudang akhlak yang kokoh. Ia mampu menciptakan kesadaran diri bagi manusia untuk berpegang teguh kepada norma dan nilai-nilai akhlak yang luhur. Akhlak mendapatkan perhatian istimewa dalam akidah Islam.
Rasulullah SAW bersabda:
بُعِØ«ْتُ ِلاُتَÙ…ِّÙ…َ Ù…َكاَرَÙ…َ اْلاَØ®ْلاَÙ‚ِ
Artinya:  Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia
Dalam hadits lain, beliau bersabda: “Akhlak yang mulia adalah setengah dari agama”.
Salah seorang sahabat bertanya kepada beliau, “Anugerah apakah yang paling utama yang diberikan kepada seorang muslim?” Beliau menjawab, “Akhlak yang mulia”.
Islam menggambungkan antara agama yang hak dan akhlak. Menurut teori ini, agama menganjurkan setiap indivvidu untuk berakhlak mulia dan menjadikannya sebagai kewajiban (taklif) di atas pundaknya yang dapat mendatangkan pahala atau siksa baginya. Atas dasar ini, agama tidak mengutarakan wejangan-wejangan akhlak semata tanpa dibebani oleh rasa tanggung jawab. Bahkan, agama menganggap sebagai penyempurna ajaran-ajarannya. Karena agama tersusun dari keyakinan (akidah) dan perilaku. Akhlak mencerminkan sisi perilaku tersebut.
Imam Baqir  as, berkata:
اِÙ†َّ اَÙƒْÙ…َÙ„َ الْÙ…ُؤْÙ…ِÙ†ِÙŠْÙ†َ اِÙŠْÙ…َانًا اَØ­ْسَÙ†ُÙ‡ُÙ…ْ Ø®ُÙ„ُÙ‚ًا
Artinya: “Mukminin yang paling sempurna imannya adalah yang paling mulia akhlaknya”.
Seseorang datang kepada Rasulullah SAW dari arah muka dan bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah agama itu?” Rasulullah SAW menjawab, “Akhlak yang mulia”. Kemudian, laki-laki itu mendatangi beliau dari arah kiri dan bertanya, “Apakah agama itu?” beliau menjawab, “Akhlak yang mulia”, lalu, laki-laki itu mendatangi beliau dari arah kanan dan bertanya, “Apakah agama itu?” Beliau menjawab, “Akhlak yang mulia”, jawab beliau untuk ketiga kalinya. Akhirnya, laki-laki itu mendatangi beliau dari arah belakang dan bertanya, “Apakah agama itu?” Rasulullah SAW, menoleh kepadanya dan bersabda, “Apakah kau tidak memahami agama?” Agama adalah hendaknya engkau jangan suka marah”.
Oleh karena itu, akhlak dalam pandangan Islam harus berpijak pada keimanan. Iman tidak cukup hanya disimpan dalam hati, namun harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk akhlak yang baik. Jadi, iman yang sempurna itu adalah iman yang dipraktikkan.
Dengan demikian, jelaslah bahwa akhlak yang baik merupakan mata rantai dari keimanan seseorang. Sebagai contoh, seorang yang beriman akan merasa malu untuk melakukan kejahatan. Karena seperti ditegaskan oleh Nabi sendiri bahwa malu itu merupakan cabang dari keimanan. Sebaliknya, akhlak yang dipandang buruk adalah akhlak yang menyalahi prinsip-prinsip keimanan. Walaupun akhlak tersebut kalau dilihat secara kasat mata kelihatan baik, jika titik tolaknya bukan karena iman, hal itu tidak mendapatkan penilaian di sisi Allah, laksana fatamorgana di gurun pasir.[1]
Hubungan antara akidah dan akhlak ini tercermin dalam pernyataan Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh dari Abu Hurairah ra.
عَÙ†ْ اَبِÙ‰ Ù‡ُرَÙŠْرَØ©َ Ù‚َالَ: Ù‚َالَ رَسُÙˆْÙ„َ اللهِ صَÙ„َّÙ‰ اللهُ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ ÙˆَسَÙ„َÙ…َ: اَÙƒْÙ…َÙ„ُ الْÙ…ُؤْÙ…ِÙ†ِÙŠْÙ†َ اِÙŠْÙ…َانًا اَØ­ْسَÙ†ُÙ‡ُÙ…ْ Ø®ُÙ„ُÙ‚ًا
Artinya: “Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, orang mukmin yang sempurna imannya ialah yang terbaik  budi pekertinya” (HR. At-Tirmdzi).

B.     Realisasi Iman Dalam Kehidupan Sehari-Hari
Keimanan kepada Allah dengan segala sifat-Nya, harus tercerminkan dalam setiap aspek kehidupan seorang mukmin. Seorang mukmin yang mengakui bahwa Allah itu Maha Esa, ia hanya akan meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah ketika menghadapi kesulitan dan ancaman. Ia tidak meminta pertolongan kepada kekuatan lain selain Allah, baik berupa manuisa, binatang, kuburan, gunung, batu dan benda-benda yang dianggap keramat.[2]
Seorang yang beriman bahwa Allah-lah yang menentukan hidup dan matinya dan bahwasanya hanya Allah-lah sebaik-baik pelindung, tidak boleh takut terhadap kekuatan mana pun dalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Ia tidak boleh takut kepada manusia, binatang, dan makhluk-makhluk lainnya.
Seorang mukmin yang beriman bahwa Allah Maha Tahu dan mendengar, haruslah merasa dirinya selalau diawasi oleh Allah dan patuh serta taat kepada perintah dan larangan-Nya, baik ketika berada di tempat ramai maupun sendirian di tempat sunyi.[3]
Akhirnya, seorang yang beriman harus selalu mendasarkan semua amal perbuatannya semata-mata untuk Allah manakala memang betul-betul mengakui bahwa Allah-lah Tuhannya dan tidak ada Tuhan lain baginya selain Allah.

BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan makalah tersebut diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa, akhlak dalam pandangan Islam harus berpijak pada keimanan. Iman tidak cukup hanya disimpan dalam hati, namun harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk akhlak yang baik. Jadi, iman yang sempurna itu adalah iman yang dipraktikkan.
Dengan demikian, jelaslah bahwa akhlak yang baik merupakan mata rantai dari keimanan seseorang. Sebagai contoh, seorang yang beriman akan merasa malu untuk melakukan kejahatan. Karena seperti ditegaskan oleh Nabi sendiri bahwa malu itu merupakan cabang dari keimanan. Sebaliknya, akhlak yang dipandang buruk adalah akhlak yang menyalahi prinsip-prinsip keimanan. Walaupun akhlak tersebut kalau dilihat secara kasat mata kelihatan baik, jika titik tolaknya bukan karena iman, hal itu tidak mendapatkan penilaian di sisi Allah, laksana fatamorgana di gurun pasir


DAFTAR PUSTAKA


Hamzah Ja’cub, Etika Islam, Publicita, Jakarta, 1978
Afif Muhamad, et. al. Tauhid, Dunia Ilmu, Bandung, 1986



[1] Hamzah Ja’cub, Etika Islam, Publicita, Jakarta, 1978, hlm. 16
[2] Afif Muhamad, et. al. Tauhid, Dunia Ilmu, Bandung, 1986, hlm. 35
[3] Ibid.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Blog Archive

Followers

Search This Blog

Blogger Themes

Random Post

Bagaimana Pendapat Anda dengan Blog ini?

Trending Topik

EnglishFrenchGermanSpainItalianDutch

RussianPortugueseJapaneseKoreanArabic Chinese Simplified
SELAMAT DATANG
script>
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Berbagai Kumpulan Makalah - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template