Headlines News :

Lomba Blog BPJS Ketenagakerjaan

Home » » Konsep dakwah Aswaja

Konsep dakwah Aswaja


BAB I
PENDAHULUAN


Dakwah Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah dakwah yang tegak di atas Al-Qur'an dan Hadits menurut manhaj para Salafus Sholeh dari kalangan sahabat, tabiin, dan alim ulama, serta orang-orang yang mengikuti mereka. Ahlus Sunnah wal Jama'ah menetapkan sifat-sifat dan nama-nama Allah Azza wa Jalla sesuai dengan apa yang ditetapkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa tahrif, tamtsil, takyif, atau ta'thil.1)
Usaha menyeru manusia ke jalan Allah bukanlah pekerjaan yang mudah, ia memerlukan pengorbanan segalanya, baik tenaga, harta benda jika diperlukan nyawa sekalipun. Usaha yang mulia ini akan berhadapan dengan banyak halangan dan rintangan yang datangnya dari berbagai penjuru. Jika kita tabah menghadapinya Insya-Allah usaha Dakwah kita akan berjaya..
Sejak Adam a.s. hingga hari kiamat syaitan bekerja keras untuk menyesatkan Adam a.s. dan anak cucunya. Bila syaitan menjelma menjadi manusia, maka syaitan manusia ini akan berusaha keras untuk menghalang segala pekerjaan yang baik, terutama sekali Dakwah ke jalan Allah, menyeru kepada yang baik dan melarang daripada yang mungkar. Mereka akan bekerjasama menghalang Dakwah dengan berbagai cara dan daripada  mereka ini kita tidak dapat mengharapkan apa-apa pertolongan. Kita perlu berusaha sendiri. Insya Allah dengan usaha yang tidak mengenal putus asa dan dengan pertolongan Allah Nabi s.a.w.telah mencapai kejayaan.



BAB II
PEMBAHASAN

Menurut Syaikh Abul Hasan Musthofa bin Ismail As-Sulaimani, dengan edisi Indonesia Bunga Rampai Fatwa-Fatwa Syar'iyah. terbitan Pustaka At-Tibyan, penerjemah Abu Ihsan menjelaskan konsep dakwah menurut aswaja.[1]
Ahlus Sunnah wal Jama'ah berkeyakinan bahwa memohon kepada orang-orang yang sudah mati, ber-istighatsah kepada mereka, serta menyembelih dan bernadzar yang ditujukan untuk mereka adalah perbuatan syirik yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam. Demikian juga meminta pertolongan kepada orang-orang yang masih hidup dalam perkara-perkara yang merupakan hak-hak khusus Allah Azza wa Jalla. Pelakunya wajib bertaubat atas perbuatannya itu dan wajib membenahi aqidah tauhidnya.
Keyakinan terhadap kemampuan jimat-jimat dan sejenisnya untuk mendatangkan manfaat dan menolak mudharat adalah perbuatan syirik. Begitu pula mendatangi tukang-tukang sihir, dukun, dan tukang-tukang ramal. Meyakini kebenaran ucapan mereka adalah bentuk kekufuran sebab berarti membenarkan bahwa mereka mengetahui perkara-perkara gaib. Sedangkan kalau sekedar datang tanpa meyakini kebenaran ucapan-ucapan mereka, maka itu adalah sebuah keto lolan dan kebodohan yang wajib untuk di jauhi sebab hal tersebut merupakan wasilah kepada dosa syirik. Kita berlindung kepada Allah Azza wa Jalla dari bahayanya.
Ahlus Sunnah wal Jama'ah meyakini adanya karamah-karamah para wali tanpa meyakini bahwa hal tersebut merupakan bagian dari keistimewaan ilahiyah. Ahlus Sunnah wal Jama'ah membedakan antara karamah-karamah para wali dan kedustaan para dajjal (tukang dusta). Para wali menegakkan perintah Allah Azza wa Jalla, berbeda dengan tukang sihir dan sejenisnya (yang justu melanggar perintah-Nya -pent).
Ahlus Sunnah wal Jama'ah mencintai seluruh sahabat, dan tidak mencampuri perselisihan yang terjadi diantara mereka sebab hal itu adalah fitnah (malapetaka). Semoga Allah Azza wa Jalla menjaga kita dari malapetaka tersebut. Ahlus Sunnah wal Jama'ah menjaga hati dan lisan mereka agar tidak hanyut membicarakan masalah tersebut dan meyakini bahwa kelompok Ali bin Abi Thalib lebih dekat kepada kebenaran dari kelompok Muawiyah. Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, para sahabat memiliki tingkatan-tingkatan yang berbeda-beda. Sahabat yang paling utama adalah Abu Bakar, kemudian Umar, menurut kesepakatan Ahlus Sunnah wal Jama'ah, kemudian Utsman, lalu Ali menurut pendapat yang terpilih.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, orang-orang yang mencela para sahabat berarti telah mengikuti ahlu bid'ah dan hatinya telah kotor. Sebab mencintai para sahabat serta menempatkan mereka sesuai dengan kedudukannya masing-masing merupakan sebuah kewajiban.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, Ahlul Hadits adalah golongan yang ditolong (Ath-Thaifatul Manshurah) dan golongan yang selamat (Al-Firqatun Najiyah). Allah Azza wa Jalla telah menolong agamanya sejak dahulu sampai sekarang melalui mereka. Mereka adalah orang-orang yang berada diatas aqidah dan manhaj (pedoman) Ahlul Hadits. Alim Ulama rabbani adalah tokoh mereka, sedangkan masyarakat umum yang beraneka ragam adalah pengikut mereka.
Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak menerima hadits apa pun yang disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali setelah mengetahui bahwa hadits tersebut adalah shahih. Ahlus Sunnah wal Jama'ah berpendapat bahwa hadits yang munkar dan palsu sangat besar peranannya dalam menyuburkan kebid'ahan. Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak menjelaskan sebuah hadits atau menafsirkan suatu ayat, kecuali setelah mengetahui pendapat-pendapat alim ulama secara terperinci dalam hal itu.
Dakwah Ahlus Sunnah wal Jama'ah tegak diatas tashfiyah (pemurnian) dalam aqidah, barisan, kaidah-kaidah ilmiyah dan amaliyah, dan dalam ceramah-ceramah, tulisan-tulisan, dan lainnya. Kemudian setelah itu tarbiyah (pembinaan) di atas ajaran Islam yang murni tersebut.
Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak memvonis kafir seorang muslim karena dosa besar yang dilakukannya. Ahlus Sunnah wal Jama'ah selalu mengharap kebaikan bagi orang-orang yang shaleh dan merisaukan nasib orang-orang yang berbuat jahat. Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak menentukan tempat seorangpun di surga atau di neraka hingga Allah Azza wa Jalla yang menentukan tempat mereka. Ahlus Sunnah wal Jama'ah menyalatkan jenazah setiap muslim serta memohon ampunan baginya selama dia tidak terjatuh ke dalam syirik besar (syirik yang mengeluarkannya dari agama).
Ahlus Sunnah wal Jama'ah selalu memberikan nasehat dengan cara yang sebaik-baiknya. Jika diterima, maka itu adalah karunia dari Allah Azza wa Jalla bagi seluruhnya, tetapi jika di tolak, hendaklah mereka bersabar dan berdoa kepada Allah Azza wa Jalla agar memberikan hidayah kepada orang-orang yang menantang. Namun, jika ada orang yang mengajak kepada kesesatan, Ahlus Sunnah wal Jama'ah tentu akan memperingatkan umat untuk menjauhinya setelah terlebih dahulu menasehati dan memberi penjelasan kepadanya.
Ahlus Sunnah wal Jama'ah berkeyakinan bahwa sekelompok orang yang memvonis kafir pelaku-pelaku maksiat semata-mata karena kemaksiatannya atau karena menyelisihi pemahaman mereka adalah ahlu bid'ah yang sesat dan merupakan cikal bakal kelompok Khawarij.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, syirik itu terbagi dua, syirik besar dan syirik kecil. Demikian pula kekafiran terbagi dua, yaitu kafir i'tiqadi dan kafir amali, sama halnya dengan kemunafikan juga terbagi dua, yaitu nifaq i'tiqadi dan nifak amali. Perbuatan-perbuatan tercela seperti kezaliman, kefasikan dan yang sejenisnya juga terbagi dua : besar dan kecil. Syirik besar mengeluarkan pelakunya dari Islam, sedangkan yang kecil tidak. Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah sebagian kafir amali dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam, meskipun pada umumnya istilah kafir amali digunakan alim ulama untuk perbuatan kekafiran yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, bid'ah lebih berbahaya bagi agama seseorang daripada maksiat. Hal itu karena pelakunya mendekatkan diri kepada Allah dengan bid'ah tersebut dan ia mengira berada di atas hidayah, berbeda dengan pelaku maksiat. Kadangkala pelaku maksiat mengakui kesalahannya dan berdo'a meminta ampun kepada Allah atas perbuatannya. Sedangkan pada umumnya, pelaku bid'ah berasal dari golongan khusus yang dikenali dengan ilmu, ibadah, dan zuhudnya serta menjadi panutan orang lain. Oleh karena itu, bahayanya lebih besar daripada pelaku maksiat yang pada umumnya berasal dari pengikut syahwat yang tidak menjadi panutan.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, barangsiapa yang bertaubat dari dosanya dengan taubat yang benar, Allah Azza wa Jalla pasti akan mengampuninya. Apabila dia menemui Allah Azza wa Jalla dalam keadaan berdosa, selama bukan dosa syirik, maka dia berada dibawah kehendak Allah Azza wa Jalla. Jika Allah Azza wa Jalla menghendaki untuk mengazabnya, dia pasti akan diazab. Dan jika Allah Azza wa Jalla menghendaki untuk mengampuninya, dia pasti akan diampuni.
Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak memvonis seorang pelaku maksiat bahwa ia pasti mendapat siksa sebagaimana yang tersebut di dalam nash-nash ancanam. Sebab, ada kemungkinan ia memiliki kebaikan yang banyak sehingga menutupi dosa maksiatnya tersebut, atau dia ditimpa musibah yang merupakan penghapus dosa-dosanya, atau dia mendapat taufik untuk bertaubat, atau dia nantinya akan memperoleh syafaat atau yang lainnya.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, Islam melarang perpecahan kaum muslimin menjadi jama'ah-jama'ah, kelompok-kelompok, atau golongan-golongan, bahkan Islam mengharuskan seluruh kaum muslimin untuk bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla dan bersatu di atas jalan hidup Salafus Sholeh, bukan di atas pemahaman si fulan A dan si fulan B. Dan jangan katakan (untuk berbangga diri) bahwa jama'ah ini lebih dahulu berdiri daripada jama'ah lainnya. Itu semua adalah perkataan yang tidak berfaidah.
Ahlus Sunnah wal Jama'ah membenarkan adanya saling tolong menolong dengan sesama muslim dengan syarat dakwah Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak terganggu pada saat itu ataupun pada masa yang akan datang.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, kelompok-kelompok dakwah hizbiyah (kelompok-kelompok sempalan) memiliki metoda yang beraneka ragam, ruwet, lagi kacau. Oleh karena itu, wajib bagi para pencari kebenaran untuk sadar akan hal ini. Dan kesadaran tersebut hanya bisa diperoleh dengan ilmu dan kedewasaan berpikir, dan menjauhkan diri dari kebodohan, kekeliruan, sikap berlebih-lebihan, dan sikap membabi buta terhadap orang-orang yang berbeda pendapat dengannya.
Ahlus Sunnah wal Jama'ah mengajak kepada persatuan dan kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Keduanya sangat urgen di dalam dakwah ini. Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak akan menyerukan persatuan di atas kesesatan atau persatuan di atas buih-buih kerusakan. Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak mengajak kepada sesuatu yang bisa mencerai beraikan kaum muslimin dan melemahkan kekuatan mereka sehingga membuat gembira musuh-musuh mereka. Tetapi Ahlus Sunnah wal Jama'ah mengajak kepada persatuan, kesatuan, dan kerukunan di atas sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan di atas kebenaran yang nyata. Apabila bertabrakan dua hal ini, yaitu antara urgensi persatuan dan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, terkadang Ahlus Sunnah wal Jama'ah mendahulukan urgensi persatuan dan terkadang mendahulukan urgensi berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal itu disesuaikan dengan situasi dan kondisi, serta memperhitungkan maslahat dan mafsadat berdasarkan kaidah-kaidah yang telah disebutkan oleh alim ulama baik yang dahulu maupun yang sekarang, dan masing-masing kondisi punya sandaran di dalam Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak membenarkan pembelotan terhadap penguasa selama mereka masih muslim. Yang dibenarkan adalah memberikan nasihat dan penjelasan, dengan penuh kesabaran dan do'a agar Allah Azza wa Jalla memperbaiki keadaan kaum muslimin. Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, membelot terhadap penguasa dibenarkan jika telah terpenuhi syarat-syaratnya, di antaranya : i) penguasa tersebut benar-benar telah terbukti kekafirannya, dan ii) memiliki kekuatan untuk melengserkannya atau merubah tanpa meimbulkan fitnah (bencana). Adapun menyiarkan dan menyebarkan kesalahan-kesalahan penguasa (walaupun mereka benar-benar berbuat salah) di atas mimbar-mimbar serta memprovokasi masyarakat baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, dapat menimbulkan fitnah (malapetaka) yang merugikan dakwah Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Oknum pelakunya tidak mengikuti kebenaran dan tidak pula menghilangkan kemunkaran, serta tidak mengetahui realita dan telah merugikan dakwah. Tindakannya itu malah menimbulkan fitnah (malapetaka) yang membuat gembira musuh-musuh Islam.
Ahlus Sunnah wal Jama'ah selalu memperingatkan orang-orang yang menghiasi kesalahan-kesalahan mereka di mata manusia, dan mempertahankan-nya dengan kebatilan, serta membela kesalahan-kesalahan mereka dengan takwil, agar mereka bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak menjual agamanya dengan materi-materi dunia, supaya mereka selamat dari fitnah (kesesatan). Orang yang berbuat seperti itu akan menjadi musuh bagi yang dibelanya dan yang dibela tersebut akan berlepas diri darinya di dunia dan di akhirat, kecuali orang-orang yang di rahmati oleh Allah Azza wa Jalla. Alangkah baiknya jika mereka mendengar dan taat kepada Allah Azza wa Jalla serta menahan diri dari perbuatan maksiat itu, walau apapun yang terjadi hingga maut datang menjemput.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, orang yang mendambakan kebaikan bagi para penguasa - walaupun pada diri mereka (penguasa) terdapat penyimpangan - dan bagi kaum muslimin adalah orang yang selalu memberi nasehat kepada mereka jika mereka bersalah, selalu menolong jika mereka berada di atas kebenaran, selalu memaafkan jika mereka bersalah, dan selalu menutup aib mereka di hadapn khalayak ramai, serta selalu mengingatkan mereka kepada sunatullah bahwa Allah Azza wa Jalla akan meninggikan derajat orang-orang yang berlaku adil dan menghinakan orang-orang yang berlaku zalim. Jika para penguasa itu sadar, tentu hal tersebut adalah karunia Allah Azza wa Jalla bagi kaum muslimin. Tetapi jika tidak, hendaklah kita bersabar, bersikap tenang, dan bertakwa, serta berdoa kepada Allah Azza wa Jalla agar menunjukkan kebenaran kepada para penguasa, menganugrahkan pembantu-pembantu yang sholeh dan hati yang bersih kepada mereka, serta membukakan pintu hati mereka untuk menerima dan melaksanakan kebenaran. Semoga Allah Azza wa Jalla merahmati Fudhail bin Iyadh yang berkata. "Seandainya aku memiliki sebuah do'a yang mustajab, pasti akan aku khususkan untuk penguasa karena kebaikan mereka adalah kebaikan bagi negeri dan masyarakat". (Lihat secara lengkap di "Al-Hilyah" juz XVIII hal 91-92, sanadnya hasan).
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah mencela, menghujat, dan melaknat para penguasa di atas mimbar bukan merupakan manhaj (pedoman) Salafus Sholeh (dalam menghilangkan kemunkaran -pent).
Ahlus Sunnah wal Jama'ah menekankan untuk selalu bersabar terhadap kejelekan penguasa walaupun mereka bertindak sewenang-wenang. Ahlus Sunnah wal Jama'ah juga tidak mengharapkan materi dunia dari penguasa. Dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah memandang wajib menasehati para penguasa tanpa harus menyiarkan aib, tanpa hujatan, dan tanpa merusak di atas muka bumi.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, membelot terhadap penguasa dan menantang mereka berperang adalah sumber segala kerusakan di atas muka bumi sekalipun penguasa tersebut bertindak sewenang-wenang.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, umat Islam itu bagaikan seekor burung dengan kedua sayapnya. Sayap yang satu adalah alim ulama, sayap yang lain adalah para penguasa. Burung tersebut tidak akan sampai ketujuannya dengan selamat, kecuali dengan kedua sayap tersebut. Tugas alim ulama adalah menjelaskan perintah-perintah Allah Azza wa Jalla dan tugas para penguasa adalah memerintahkan umat untuk melaksanakannya. Jika terdapat kekurangan pada mereka (ulama dan pemerintah), segeralah di musyawarahkan untuk mencari solusi terbaik bagi kaum muslimin. Bukan dengan cara demonstrasi atau unjuk rasa, dan bukan pula dengan berburuk sangka kepada alim ulama, atau mengintimidasi mereka atau cara-cara kotor lainnya.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, kelompok-kelompok yang berseberangan dengan mereka juga memiliki kebaikan-kebaikan dan pendapat-pendapat yang benar. Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak akan menafikan hal itu hanya karena perselisihan yang terjadi dengan mereka. Namun, hal itu juga bukan halangan untuk menasehati kelompok-kelompok tersebut dan memperingatkan umat dari kesalahannya dengan syarat ; i) Akibat buruk dari perbuatan mereka akan menyebar kepada umat, tidak terbatas kepada mereka saja, dan ii) Peringatan tersebut tidak mengakibatkan kemungkaran yang lebih besar.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, jihad di jalan Allah Azza wa Jalla akan tetap berlaku sampai hari kiamat pada umat ini. Jihad adalah amalan yang paling tinggi di dalam agama ini sebab kalimat Allah Azza wa Jalla akan tetap tinggi dengannya. Adapun segala sesuatu yang menyeret kaum muslimin kepada kehinaan dan kelemahan adalah fitnah (malapetaka dan bukan termasuk jihad). Sesungguhnya jihad mulai tegak jika telah jelas perbedaan antara panji-panji kaum muslimin dan panji-panji kaum kafir. Adapun peperangan yang terjadi sesama kaum muslimin hanya akan membuat gembira Yahudi dan Nasrani. Kita berlindung kepada Allah Azza wa Jalla dari bahaya kehancuran dan kehinaan.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, politik yang sesuai dengan prinsip Salafus Sholeh adalah perkara yang agung di dalam agama. Memisahkan antara keduanya (politik yang sesuai dengan prinsip salafus sholeh dan agama) berarti telah menyimpang dari agama. Tidak akan baik suatu negeri dan masyarakatnya, kecuali dengan mengikuti aturan-aturan generasi awal umat ini, yaitu Khulafaur Rasyidin dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan sampai hari kiamat. Dakwah kepada masalah ini harus ditegakkan dengan hikmah dan pengajaran yang baik.
Ahlus Sunnah wal Jama'ah memprioritaskan perkara-perkara yang terpenting karena cukup banyak kewajiban yang harus dipikul, sementara waktu yang tersedia cukup terbatas. Perkara yang paling utama adalah pembenahan aqidah, pemberantasan syubhat yang dapat menggoncangkan aqidah, dan penyatuan suara umat Islam di atas perkara tersebut. Kemudian berdakwah kepada nilai-nilai keutamaan dan menghindari kehinaan.
Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak membenarkan taqlid buta kepada seorangpun, karena semua orang dapat diambil atau ditolak ucapannya, kecuali Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan apa-apa yang benar telah disepakati oleh umat. Karena sesungguhnya umat ini tidak akan bersepakat di atas kesesatan. Ahlus Sunnah wal Jama'ah mencintai seluruh imam Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan mengikuti mereka jika dalil yang kuat ada pada mereka. Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak menghususkan salah satu di antara mereka untuk diikuti, dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah selalu berusaha untuk memberantas fanatik madzhab atau fanatik golongan.
Ahlus Sunnah wal Jama'ah mewajibkan umat untuk merujuk kepada ulama sebab jika tidak demikian, niscaya akan terbuka pintu kesesatan dan akan terjauhkan dari hidayah. Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak menyeru kepada taqlid buta dan tidak pula untuk membenci dengan membabi buta. Umat harus sadar bahwa kedudukan mereka jauh di bawah para Imam Ahlus Sunnah wal Jama'ah, maka hendaknya mereka selalu mengambil sikap tengah karena kebenaran selalu berada padanya.
Ahlus Sunnah wal Jama'ah melarang mengucapkan istilah-istilah yang tidak ada dasarnya dari Salafus Sholeh karena istilah-istilah baru tersebut akan menyeret kepada penyimpangan.
Ahlus Sunnah wal Jama'ah meyakini bahwa Imam Mahdi akan muncul di akhir zaman sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih. Maksudnya bukan Imam Mahdi kaum Syi'ah Rafidhah yang sekedar khurafat. Ahlus Sunnah wal Jama'ah juga meyakini bahwa Dajjal akan muncul dan Nabi Isa 'Alaihis Sallam akan turun untuk melaksanakan syari'at Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di tengah-tengah umat manusia. Kemudian setelah itu, kiamat pun akan terjadi atas sejelek-jelek manusia.
Ahlus Sunnah wal Jama'ah memandang bahwa menimbang maslahat dan mafsadat mempunyai batasan dan kaidah tertentu. Banyak orang yang berbicara dengan kaidah ini, namun mereka tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti kemudian mereka terapkan kaidah ini secara serampangan.
Ahlus Sunnah wal Jama'ah mengajak kaum Muslimin menimba ilmu syar'i. Di antara mereka ada yang berkewajiban untuk menuntut ilmu agama (ilmu alat, seperti ilmu nahwu, ushul fiqih, musthalah hadits, dll -pent) dan ada juga yang hanya sebatas sunnat. Tidaklah pantas bagi seseorang memfokuskan diri hanya untuk menuntut ilmu lalu menelantarkan sama sekali urusan-urusan lainnya. Tetapi hendaknya semua harus diraih sesuai dengan kewajiban dan kemampuan. Perlu dicampkan bahwa umat Islam akan tetap jaya apabila mereka tetap mempelajari agamanya. Barangsiapa yang bodoh tentang agamanya, ia pasti akan menjadi mangsa srigala dari golongan jin dan manusia.
Ahlus Sunnah wal Jama'ah memandang bahwa kebodohan dan perpecahan adalah penyebab lemahnya umat ini. Oleh karena itu Ahlus Sunnah wal Jama'ah bertekad untuk menyebarkan ilmu yang bermanfaat di tengah-tengah umat dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah mencegah sikap bergolong-golongan dan fanatik tercela (yang merupakan penyebab terkoyaknya persatuan umat -pent).
Ahlus Sunnah wal Jama'ah memandang bahwa keberadaan kabilah-kabilah (suku-suku yang ada di Yaman. Kalau di Indonesia, seperti suku Batak, Jawa, Banjar, dan lain-lain -pent) banyak kebaikannya, seperti ahlak yang mulia, keberanian, suka menolong, sabar, bertanggung jawab, memuliakan tamu dan tetangga, dan lain-lain. Disamping itu, Ahlus Sunnah wal Jama'ah juga selalu memperingatkan mereka untuk tidak berhukum dengan selain hukum Allah Azza wa Jalla, tidak membunuh manusia, tidak menyabot, dan tidak saling tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan, tidak melindungi ahlu bid'ah, dan tidak membunuh orang-orang yang tidak bersalah (semata-mata karena persamaan atau perbedaan suku), dan lain sebagainya.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, barangsiapa yang memperhatikan dengan seksama keadaan suku-suku tersebut, ia tentu akan menemukan pelanggaran-pelanggatan syari'at di dalamnya. Di antaranya adalah mereka berbuat hanya karena adat istiadat belaka bukan dengan dasar ibadah. Oleh sebab itu, hendaknya suku-suku itu dibimbing agar beramal dengan penuh pertimbangan dan dengan niat yang ikhlas. Juga hendaknya mereka dicegah dari sifat-sifat tercela seperti riya', gila pujian, dan gila kedudukan karena semua itu dapat merusak nilai-nilai agama. Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak menolak keberadaan suku-suku itu dan tidak pula menerima seluruhnya, karena menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah kebenaran lebih patut untuk diikuti.
Ahlus Sunnah wal Jama'ah memandang bahwa telah banyak kebaikan yang Allah Azza wa Jalla berikan kepada suku-suku itu lewat pemuka-pemuka sukunya. Demikian pula Allah mencegah berbagai keburukan melalui mereka. Ini merupakan salah satu pintu kemuliaan yang terbuka lebar bagi mereka. Suku manapun yang tidak memiliki pemuka atau banyak pemuka, lambat laun akan hilang kejayaannya. Oleh karena itu, para pemuka wajib menjaga kebajikan ini dengan selalu menggunakan syiar-syiar agama Islam, tidak melanggar hukum-hukum Allah Azza wa Jalla, mengajak sukunya untuk taat dan mencegah mereka dari dosa, serta tidak memprovokasi sukunya untuk berperang melawan suku yang lain, sebab hal itu akan menyebabkan kebinasaan. Demikian justru, hendaknya pemuka-pemuka suku itu mengarahkan suku-sukunya untuk bersabar karena balasan yang baik hanya untuk orang-orang yang bersabar. Tentu saja kita mengetahui bahwa ada waktu-waktu yang membutuhkan kesabaran. Allah Azza wa Jalla berfirman.
"Artinya : Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla, maka Dia akan memberi jalan keluar baginya".
Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak menghendaki suku-suku tersebut menjadi batu sandungan di hadapan penegak hukum yang sedang melaksanakan kewajiban-kewajibannya, berupa pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat dan kemaslahatan umum, dengan demikian mereka (suku-suku tersebut) telah menutup pintu-pintu kebajikan dan membuka pintu-pintu kejelekan. Momentum seperti itu akan dimanfaatkan oleh musuh-musuh mereka untuk mengarahkan mereka kepada kerusakan yang nyata sehingga terjadilah kehancuran di atas muka bumi.
Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak mengharamkan ilmu pengetahuan umum yang bermanfaat bahkan Ahlus Sunnah wal Jama'ah memandangnya sebagai amalan yang dibolehkan atau sunnah, atau bahkan wajib bagi sebagian orang pada waktu-waktu tertentu. Karena urusan dunia telah dibuka seluas-luasnya bagi kita dengan syarat tidak bertentangan dengan syari'at. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Kamu lebih mengetahui urusan duniamu".
Ahlus Sunnah wal Jama'ah juga tida mengharamkan jabatan-jabatan di dalam pemerintahan atau sejenisnya (pegawai negeri) dengan syarat tidak bertentangan dengan syari'at. Dan menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, umat Islam harus memiliki pegawai-pegawai yang cakap di segala bidang dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah selalu menasehati mereka agar tidak melanggar syari'at.
Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak setuju dengan metode dakwah melalui pentas-pentas sandiwara sebab hal tersebut minimal mengandung kedustaan. Dan tidak pula melalui nasyid-nasyid sebab mudharatnya lebih banyak daripada manfaatnya. Juga, karena hal itu adalah bentuk tasyabbuh (meniru orang kafir) dan dapat mengabaikan perkara yang lebih penting.
Ahlus Sunnah wal Jama'ah berpendapat bahwa sarana-sarana hasil teknologi canggih yang bermanfaat untuk dakwah pada asalnya tidak dilarang dalam syari'at.
Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak membenarkan adanya baiat-baiat, kecuali kepada imam kaum muslimin yang telah disepakati, baik melalui pemilihan oleh ahlul halli wal aqdi (majlis musyawarah alim ulama dan tokoh masyarakat -pent) atau melalui perebutan kekuasaan. Itu semua bertujuan untuk menghindari fitnah (bencana) dan untuk menyatukan suara kaum muslimin. Adapun baiat kepada orang yang tidak punya kuasa, baik ia dikenal maupun tidak, tidaklah ada dasarnya di dalam syari'at. Bahkan hal itu dapat menimbulkan perpecahan kaum muslimin.
Ahlus Sunnah wal Jama'ah berpendapat bahwa hadits : "Artinya: Barangsiapa yang mati tanpa ada ikatan baiat di lehernya, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah".
Adalah baiat bagi pemimpin yang telah disepakati oleh ahlul halli wal aqdi, seperti kata Imam Ahmad. (Lihat kitab "Masa'il Ibnu Hani" juz II hal. 185).
Ahlus Sunnah wal Jama'ah memandang bahwa baiat-baiat yang menyimpang (bid'ah) tersebut akan memecah belah umat dan akan menjadi batu sandungan ketika hendak menasehati orang yang tidak satu kelompok atau satu pimpinan.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, seluruh kebaikan adalah dengan mengikuti pedoman para salaf, dan seluruh kejelekan adalah mengikuti bid'ah para khalaf (generasi akhir).
Ahlus Sunnah wal Jama'ah mengutamakan kelembutan dalam berdakwah dan dalam memberi nasehat kepada masyarakat umum karena mereka juga menyukai kebaikan. Mereka adalah asset yang berharga bagaikan tambang emas dan perak. Boleh jadi mereka menjadi lebih berguna bagi agama Islam dan kaum muslimin apabila Allah Azza wa Jalla telah membuka hati mereka untuk menerima kebaikan.
Ahlus Sunnah wal Jama'ah meyakini kebenaran semua perkara-perkara yang diterangkan oleh alim ulama di dalam kitab-kitab sunnah dan aqidah, yaitu tentang masalah iman, janji pahala, ancaman azab, adanya syafaat, keutamaan shabat, adanya surga dan neraka, adanya haudh (telaga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam), adanya timbangan amal shaleh, kebenaran Al-Qur'an, penetapan nama-nama dan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, adanya ru'yah (melihat Allah Azza wa Jalla pada hari kiamat bagi orang-orang beriman) dan yang lainnya baik secara global maupun terperinci karena tidak mungkin disampaikan di sini seluruhnya dan juga karena perkara-perkara tersebut sudah dikenal di dalam dakwah Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

 


BAB III
ANALISIS

Tanggung jawab menyeru ke jalan Allah adalah menjadi tanggung jawab semua pihak, mereka yang tak boleh berdakwah dengan lisan, boleh berdakwah dengan harta benda. Ataupun sekurangg-kurangnya berdakwah dengan contoh teladan yang baik, semoga dengan demikian Insya-Allah usaha yang mulia ini diberkati dan akan memperoleh kejayaan.
Allah berfirman yang bermaksud:
"Siapakah yang terlebih baik perkataannya daripada orang yang Menyeru
kepada Allah dan beramal soleh seraya berkata:"Sesungguhnya saya salah
seorang Muslim
." (Fussshilat ayat 33)
Perkataan ataupun ucapan menyeru manusia ke jalan Allah adalah suatu amalan yang terbaik dan mulia. Tugas suci ini telah dilaksanakan oleh Rasul-Rasul Allah semenjak mula manusia diciptakan, yang telah ditunaikan oleh ramai utusan Allah S.W.T. antara lain Adam a.s., Noah a.s, Hud a.s, Ibrahim a.s (Abraham), Ismail a.s, .Ishak a.s.(Isaac), Ya'qub a.s.(Yacob), Yusuf a.s.(Joseph), Musa a.s(Moses), Daud a.s.(David), Sulaiman a.s.(Solomon), Isa a.s. (Jesus) dan hingga ke akhir Rasulullah Muhammad s.a.w.
Semua mereka menyeru ke jalan Allah, jalan yang benar dan melarang manusia dari perbuatan yang keji dan jahat.
Semua utusan Allah itu telah melaksanakan tugas mereka dengan baik dengan tidak mengharapkan apa-apa upah, malah mereka telah mengorbankan harta benda malah ramai pula diantara mereka yang dikejaar-kejar dan ingin dibunuh, seperti apa yang telah dialami oleh Nabi Musa a.s., Nabi Isa a.s. dan juga apa yang telah dialami oleh Nabi Muhammad s.a.w.


BAB IV
KESIMPULAN

Dari pembahasan makalah tersebut diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa, Inilah ringkasan kaidah-kaidah dakwah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang kami serukan. Alim ulama telah banyak menjelaskannya di dalam kitab-kitab mereka. Kami telah menukil beberapa pembahasan tersebut dari mereka. Walhasil dakwah Ahlus Sunnah wal Jama'ah ibarat hujan dimana-pun turunnya akan membawa manfaat. Barangsiapa mendapat hidayah, niscaya ia telah mendapat petunjuk kepada jalan yang lurus.
Dakwah apapun jika tidak tegak diatas landasan kaidah-kaidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, hanyalah akan menjadi fitnah (azab) yang menyerupai awan (yang membawa azab) kaum 'Ad.
"Artinya : Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka. Mereka berkata. 'Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami'. Bukan ! Bahkan itulah azab yang kamu minta supaya datang dengan segera, yaitu angin yang mengandung azab yang pedih". (Al-Ahqaf : 24).
Yaitu dakwah yang tidak mejadikan ilmu hadits sebagai azas dan tidak bersandar kepada pemahaman para sahabat, generasi awal yang utama, dan alim ulama, pada awalnya tampak benar, namun lambat laun akan tampak cacat dan celanya kemudian akan berbalik menjadi fitnah (musibah) bagi umat dan akan menjadi penghalang dari agama Allah Azza wa Jalla.
"Artinya : Maka apakah orang yang berjalan terjungkal diatas mukanya akan mendapat banyak petunjuk ataukah orang yang berjalan tegar di atas jalan yang lurus .? (Al-Mulk : 22).
Kami memohon kepada Allah Azza wa Jalla Yang Maha agung dengan nama-nama-Nya yang husna dan sifat-sifat-Nya yang Maha Tinggi agar menjadikan kita sebagai pembimbing hidayah bagi umat manusia bukan sebagai orang yang sesat lagi menyesatkan dan agar kita menjadi pembuka seluruh pintu kebajikan dan penutup pintu kejelekan.

DAFTAR PUSTAKA


Syaikh Abul Hasan Musthofa bin Ismail As-Sulaimani, dengan edisi Indonesia Bunga Rampai Fatwa-Fatwa Syar'iyah. terbitan Pustaka At-Tibyan, penerjemah Abu Ihsan


[1] Syaikh Abul Hasan Musthofa bin Ismail As-Sulaimani, dengan edisi Indonesia Bunga Rampai Fatwa-Fatwa Syar'iyah. terbitan Pustaka At-Tibyan, penerjemah Abu Ihsan

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Blog Archive

Followers

Search This Blog

Blogger Themes

Random Post

Bagaimana Pendapat Anda dengan Blog ini?

Trending Topik

EnglishFrenchGermanSpainItalianDutch

RussianPortugueseJapaneseKoreanArabic Chinese Simplified
SELAMAT DATANG
script>
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Berbagai Kumpulan Makalah - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template