Headlines News :

Lomba Blog BPJS Ketenagakerjaan

Home » » PENYUSUNAN SUNAH DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERKEMBANGAN TASYRI

PENYUSUNAN SUNAH DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERKEMBANGAN TASYRI



BAB I
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Sunah Dan Kedudukan Sunah
Umat islam telah bersepakat bahwasanya apa yang disandarkan kepada Rasul baik itu perbuatan, perkataan, atau ketetapan adalah semuanya merupakan perihal yang dijadikan Syariat dan sampai kepada kita dengan sanad yang shahih menjadi suatu dalil baik umat islam dan merupakan sandaran hukum syariat yang darinya diambil hukum-hukum syariat. Maka sunah Nabi adalah pokok kedua dalam dasar dasar syariat dan kedudukanyapun setelah Al-Qur’an dan mengikutinya adalah wajib sebagaimana mengikuti Al-Qur’an. Adapun hal tersebut diperkuatkan oleh ayat Al-Qur’an yang mana Allah memerintahkan supaya mengikuti Rasulnya serta mentaatinya

وما أ نا كم الر سو ل فحذو ه و ما نها كم عنه فا نتهوا
Dan apa yang telah Rasul berikan kepadamu maka ambilah dan apa yang beliau larang maka cegahlah

يا أ يها الَذ ين أ منوا أطيعو الله و أطيعو االرَسول
Hai orang-orang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul.
Ayat diatas menunjukkan kemutlakan guna mengikuti Rasul dengan apa yang telah disyariatkan oleh beliau dan sesungguhnaya sunnah adalah merupakan syariatnya hukum islam.
Perbuatan para sahabat, bahwasanya para sahabat dalam kehidupan mereka adalah mencontoh kehidupan Rasul dengan perintah-perintahnya dan larangan-larangannya. Dan mereka tidak membedakan antara hukum yang telah diwahyukan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan hukum yang bersumbar dari Rasul. Dan juga dalam kehidupan mereka setelah wafatnya Rasul, mereka berpegang kepada Al-Qur’an dan hukum-hukum didalamnya dan jika mereka tidak menemukannya dalam Al-Qur’an mereka mengembalikannya kepada sunah Rasul SAW.
Menjelaskan secara terperinci hal-hal ibadah yang tertulis didalam Al-Qur’an yang bersifat Mujmal. Allah mewajibkan sesuatu kepada manusia namun tidak menjelaskannya didalam Al-Qur’an, tatacara dan perintah tersebut seperti dalam perintah shalat, zakat, puasa serta haji
-و ا قيمو اا لصَلا ة وا لتواالزكا ة٬
-يا أيها لذ ين أمنوا كزتب عليكم الصَيام٬
-و الله على الناسى حج ا لبيت.
Namun Rasul menjelaskan hal-hal tersebut dengan sunah-sunahnya baik perkataan maupun perbuatan sehingga Allah berfirman

وأنز لنا اليك ا لذ كى لتبين النا سى ما نز ل إليهم.
Apakah sunah-sunah yang menjelaskan tersebut tidak bisa dijadikan sebagai hujah bagi orang muslim yang wajib diikuti, jadi tidak mungkin seseorang yang mengikuti perintah-perintah Al-Qur’an tidak mengikuti hukum-hukum yang ada didalamnya.
Dengan hal ini sudah tentu bahwasanya apa yang benar-benar dari sunah Rasul yang sifatnya syari’at adalah menjadi dalil dan mengikutinya adalah wajib, dan apabila kewajiban mengikuti Rasul adalah wajib maka wajib pula mengikutinya dalam semua hukum yang dibenarkan darinya, dan itu sama dengan mengikuti hukum dalam Al-Qur’an karena itu adalah sumber hukum yang terjaga

B.     Sunah Dalam Lintasan Sejarah
Sejak resmi diangkat menjadi Nabi dan utusan Allah pada tahun 610 H yaitu dengan mulai menerima wahyu Al-Qur’an, menjadi kewajiban Muhammad menyampaikan apa yang diterimanya tersebut kepada umatnya (QS. An Nahl 44) dan (Al-Maidah 68). Pada saat itulah tahapan dakwah dimulai , karena adanya perintah Tabligh dan dengan begitu dimulai fase pertama terjadinya hadis . Permulaan terjadinya hadis adalah seiring bersamaan dengan turunnya wahyu. Secara singkat dapat dikatakan bahwa usia hadis adalah seusia Al-Qur’an sendiri.
Penyampaian hadis oleh Nabi pada awalnya berjalan apa adanya dan alamiah, sesuai dengan tugasnya dengan audiens sahabat sebagai penerimanya, tanpa melalui syarat-syarat yang ketat atau dengan menggunakan kata-kata penyampai yang rumit, kecuali bahwa sahabat mendengar dan melihat ucapan dan praktek Nabi baik secara langsung maupun tidak. Hal ini bisa dimengerti karena Nabi adalah figure sentral yang menjadi rujukan para sahabatnya dalam segala permasalahan hidup yang melingkupi dan dihadapinya.
Karena berbagai factor dan seiring dengan semakin menyebarnya sahabat, kesempaan mereka untuk menimba ilmu dan mengikuti Nabi antar mereka tidak sama. Hal ini menjadikan pengetahuan para sahabat mengenai hadis Nabi tidak sama. Di antara mereka ada yang banyak menerima hadis dan meriwayatkan hadis dan ada pula yang sedikit. Semua tergantung pada kesibukan dan profesi mereka yang mendorong mereka untuk tetap eksis. Melihat fenomena ini, Nabi mendorong sahabatnya yang hadir dalam majlisnya untuk menyampaikan kembali pada sahabat lain yang tidak hadir .
Nabi sebagai bagian dari masyarakat yang melakukan aktivitas sebagaimana lazimnya masyarakat pada umumnya, sebenarnya tidak memiliki tempat kusus untuk menyampaikan hadis atau mempraktekkan sunnah. Nabi tidak mempunyai madrasah atau pondok khusus. Di manapun Nabi berada dan memiliki kesempatan, beliau bisa menyampaikan hadisnya, baik dalam suasana perang, dalam bepergian, dirumah atau dimasjid. Meski demikian kegiatan tersebut lebih sering disampaikan dimasjid dengan diikuti oleh banyak sahabat .
Nabi menyampaikan hadisnya dengan tiga cara: secar verbal, tertulis dan demonstrasi secara praktis . Penyampaian verbal adalah hal pertama yang dilakukan Nabi. Ini karena Nabi adalah seorang penyampai (Muballigh). Peyampaian hadis dengan cara tersebut adakalanya didahului oleh sebuah peristiwa, seperti pertanyaan oleh sahabat, dan adakalanya tanpa melalui pertayaan seperti itu. Sedangkan yang dilakukan secara tertulis adalah dakwah Nabi yang dilakukan secara terang-terangan. Tulisan tersebut berupa ajakan Nabi kepada pemimpin-pemimpin Negara tetangga untuk ber-islam. Penyampaian hadis secara demonstrative adalah perilaku Nabi untuk menjelaskan hal-hal yang sifatnya praktis, seperti shalat, wudlu, tayamum dan lain-lain.
Seiring dengan perjalanan dakwah Rosul dengan segala peristiwa dan kejadian yang melingkupunya dan tersebarnya sahabat keberbagai daerah, mejadikan hadis ikut tersebar. Namun demikian pada masa tersebut relative belum ada persoalan mengenai hadis. Kalaupun ada persoalan mereka segera menanyakan kepada Nabi. Pada kurun tersebut hadis masih tetap dalam keutuhan dan keshahihannya. Karena itu penyelidikan ilmu hadis tidak sampai mempertanyakan otentisitas hadis pada tahapan tersebut. Hal ini karena pada zaman Nabi, selain tidak ada bukti yang pasti tentang telah terjadinya pemalsuan Hadis, juga karena pada masa tersebut seseorang akan lebih mudah melakukan pemeriksaan sekiranya ada hadis yang diragukan kesahihannya.
Karena kebijakan Nabi yang lebih mengutamakan Al-Qur’an, menyebabkan hadis terlambat untuk ditulis secara massal. Penulisan Hadis pada zaman Nabi lebih merupakan kegiatan pribadi. Oleh karena itu naskah-naskah hadis sangat sedikit jumlahnya . Naskah-naskah itu sendiri ada yang diberi nama atau tidak.
Ada beberapa alasan kenapa gerakan penulisan hadis tidak terjadi pada masa Rasul, yakni:
·         Agar perhatian sahabat terhadap Al-Qur’an tidak terbagi
·         Untuk menjaga keotentikan Al-Qur’an
·         Al-Qur’an merupakan prioritas utama yang disampaikan Nabi, sedang hadi hanya merupakan “side effect” dari tugas utama tersebut . Ketiadaan gerakan peulisan hadis tersebut hamper mirip atau malah sama dengan pelarangan ziarah kubur pada masa awal islam.
C.    Penyusunan Sunnah
Yang dimaksut dengan menyusun As Sunnah adalah mengumpulkan As Sunnah yang sejenis dalam satu judul, sebagiannya dikumpulkan dengan sebagian yang lain, seperti hadis tentang shalat, puasa dan lain sebagainya. Pemikiran ini timbul diseluruh Negara-negara islam dalam waktu yang berdekatan sehinggga tidak diketahui orang yang memperoleh keutamaan dikarenakan lebih dahulu dalam penyusunan itu.
Termasuk orang yang membukukan pada tahap pertama dalam periode ini adalah Imam Malik bin Anas di Madinah, Abdul Malik bin Abdul Azis bi juraij di Makkah, sufyan bin Tsauri di Kufah, Hamad bin Salmah dan Sa’id bin Arubah di Bashrah., Hasyim bin Basyir di Wasith, Abdurrahman Al Auza’I di syam, Ma’mar bin Rasyid di Yaman, Abdullah bin Mubarak di Khurasan, dan Jarir bin Abdul Hamid di Ray. Hal ini terjadi pada tahun 140 H lebih sdikit. Pada kitab-kitab itu hadis masih bercampur dengan kata-kata shahabat dan tabi’in sebagaiman kita lihat dalam kitab Al Muwatha’ susunan Imam Malik rahimahullah.
Pada tahap kedua hadis Rasulullah mulai dipisahkan dari kata-kata orang lain, yaitu pada permulaan tahun 200H. Mereka mengarang kitab yang dikenal dengan musnad, seperti musnad Abdullah bin Musa Al- Kufi, Musnad musaddad bin Masrahad Al Bashri, Musnad Asad bin Musa Al Mishri, Musnad Na’im bin hamad Al Kaza’I, Musnad Ishak bin Rahawaih. Musnad Usman bin Abi Saibah dan Musnad Ahmad bin Hambal. Mereka meletakkan hadist pad musnad-musnad perawinya. Mereka sebut Musnad Abu BAkar, Suatu buku yang didalamnya berisikan Hadist yang diriwayatkan dari padanya. Sesudah itu mereka menyebutkan sahabat satu persatu menurut cara ini.
Sesudah tahapan ini datang tahapan lain yang dihadapannnya terlihat perbendaharaan besar makanya terbuka pintu pemilihan Hadist.
Tahap ini, dua imam besar tokoh As Sunnah yaitu Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il Al Bukhari Al Ja’fi yang meninggal pada tahun 256 H, dan Muslim bin Hajjaj An- Naisaburi yang meninggal pada 261 H, menyusun dua kitab Shahihnya, setelah cermat dalam meriwayatkan dan memilihnya. Dua kitab Shahih itu adalah puncak pembukuan hadits. Jalan dua tokoh itu ditempuh juga Abu Dawud Sulaiman bin Al A’yasy As Sijistani yang meninggal tahun 279 H, Abu Isa Muhammad bin Isa Al Salmi At turmudzi yang meninggal pada tahun 279 H, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Al Qazwini yang terkenal dengan ibnu Majah yang meninggal pad atahun 273 H, dan Abu Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib An Nasa’I yang meninggal pada tahun 303 H. Kitab-kitab mereka menurut lisan ahli hadits terkenal dengan kutubus sittah (kitab hadits yang enam). Dikalanga kaum muslimin kitab itu memperoleh derajat yang tinggi karena para perawinya dpat dipercaya apalagi Bukhari dan Muslim. Bukan meereka saja orang-orang yang menyusun sunnah, namun banyak orang lain disamping mereka, hanya saja enam orang itulah yang memperoleh kemasyuran yang tidak diperoleh oleh selain mereka .
Diantara tokoh-tokoh pada periode ini ada yang membahas tentang keadaan perawi hadits dari tabi’in dan orang-orang sesudah mereka. Masing-masing perawi disifati dengan sifat yang ada pada diri mereka yakni kuat ingatan, kerapian dan keadilannya, atau sifat-sifat kebalikannya. Para pembahas itu dikenal sebagai tokoh-tokoh Al-jarh wat ta’dil (mencacatkan dan mengadilakn perawi). Siapa yang dianggap cacat maka hadistnya ditinggalkan.
Persoalan As Sunnah berakhir pada pertengahan periode keempat dan As Sunnah sudah berdiri menjadi ilmu yang berdiri sendiri dengan tokoh-tokoh khusus yang membahasnya.

D.    Pengaruh Sunnah Terhadap Tasyri’
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa sunnah merupakan sumber islam kedua bagi ilmu fiqh dan syariat setelah Al-qur’an. Oleh karena itu, memandang sunnah sebagai sumber dalil bagi hukum-hukum syariat merupakan suatu pembahasan yang baik dan menciptakan wawasan luas yang mewarnai semua kitab ushul fikih dan semua mazhab fiqih.
Dalam hal ini, Imam Auza’I wafat pada 157 H, mengatakan bahwa Al;qur’an lebih membutuhkan sunnah dari pada sunnah terhadap Al-qur’an. Hal itu karena sunnah berfungsi menjelaskan makna dan merinci keutamaan Al-qur’an. Berdasarkan kenyataan ini, sebagian ulama mengatakan bahwa sunnahlah yang memegang keputusan terhadap Al Kitab. Dengan kata lain fungsi sunnah adalah menjelaskan makna yang dimaksut Al-qur’an.
Akan tetapi Imam Ahmad masih kurang puas dengan ungkapan ini, tapi tidak berani mengatakan demikian dan hanya mengatakan bahwa sunnah itu menjelaskan makna Al-qur’an. Pendapat ini cukup adil, yaitu memandang sunnah sebagai penjelas Al-qur’an dan disisi lain subjek yang dikemukakan sunnah meliputi Al-qur’an dan tidak pernah keluar atau menyimpang darinya.
Status sunnah sebagai sumber hokum bagi pen-tasyri’-an (perintah) dalam masalah ibadah dan muamalah, individu, keluarga, mayarakat dan Negara tidak diperselisihkan lagi. Imam Syaukani mengatakan bahwa ketetapan status sunnah hujjah dan kemandiriannya dalam merealisasikan hokum syariat dan sunnah sebagai keharusan agama, tidak ditentang oleh seorangpun, selain oleh orang yang mempunyai pemahaman dangkal terhadap agama islam.
Seseorang yang membaca kitab fikih islam dan mazhab apapun, akan banyak menemukan dalil sunnah, baik berupa ucapan, perbuatan, maupun ketetapan. Dalam hal ini orang-orang atau kalangan yang dikenal dalam tarikh fikih dengan sebutan golongan ahli hadis dan yang dikenal dengan sebutan ahli ra’yu sama saja. Prinsip pokoknya dapat diterima oleh kedua kalangan tersebut.. perbedaan pendapat hanya ada dalam perincian dan penerapannya sebagai konsekuensi perbedaan mereka dalam mensyaratkan hadis yang dapat diterima dan pengamalannya. Dengan demikian, orang yang membaca kitab mazhab Hanafi (aliran nasionalis) akan menemukan banyak hadis yang dijadikan sandaran hokum oleh guru-guru mereka.
Sebagian orang yang fanatic dan tidak objektif mengatakan bahwa di antara mereka ada orang yang wawasannya kurang dalam meriwayatkan hadist karena kurangnya perhatian terhadap bidang ini. Padahal tuduhan itu tidak pantas dilancarkan terhadap imam besar karena sesungguhnya syariat islam hanya dapat disimpulkan dari Al-quran dan sunnah. Orang yang sedikit memiliki perbendaharaan hadist, diharuskan menuntut dan meriwayatkannya, serta bersungguh-sungguh menekuni bidang ini supaya dia dapat menyimpulkan hukum-hukum agama dari sumber-sumber yang benar dan menerimanya dari Nabi yang ditugaskan oleh Allah untuk menyampaikannya.
Agar sunnah dapat dijadikan rujukan dalam hokum tasyri’, terlebih lagi kita harus menelitinya dengan pembuktian yang sumber-sumbernya dari Nabi. Kriteria ini menurut peristilahan ilmu mushthalah hadis-agar hadis dapat dijadikan dalil_ hendaklah hadist itu berpredikat shahih atau hasan. Predikat shahih menurut yudisium yang diberikan oleh universitas, berarti istimewa dan baik sekali, sedangkan predikat hasan berartti baik atau sedang. Oleh karena itu dpat dikatakan bahwa predikat hasan yang tinggi lebih mendekati predikat shahih, sebagaimana predikat hasan yang rendah, lebih dekat dengan criteria dhaif .
Kita dapat menyimpulkan dengan pasti bahwa semua ahli fikih kaum mislimin dari berbagai aliran dan mazhabnya dikota-kota besar, baik dari kalangan yang mazhabnya masih ada maupun yang sudah pudar, baik dari kalangan orang-orang yang diikuti maupun bukan, berpendapat bahwa sunnah merupakan pegangan dan sumber hokum mereka dalam menetapkan hokum-hukum fikih, yaitu apabila dalam sunnah tersebut terdapat suatu penjelasan yang menerangkan hokum agama Allah. Mereka sama sekali tidak mau menentang perintah yng diisyaratkan oleh sunnah. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat antara orang yang berasal dari alira ra’yu ataupun aliran hadist.

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Blog Archive

Followers

Search This Blog

Blogger Themes

Random Post

Bagaimana Pendapat Anda dengan Blog ini?

Trending Topik

EnglishFrenchGermanSpainItalianDutch

RussianPortugueseJapaneseKoreanArabic Chinese Simplified
SELAMAT DATANG
script>
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Berbagai Kumpulan Makalah - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template