BAB I
PEMBAHASAN
Pada dasarnya, tidak ada perbedaan yang
prinsipil antara kelompok dan mazdab dalam Islam. Dalam ajaran Islam mereka
semua meyakini bahwa Al-Qur’an dan Sunnah adalah sumbernya. Para ulama’ dari
berbagai madzhab juga tidak berbeda mengenai pokok-pokok ajaran Islam, seperti
tentang ke Esaan Tuhan. Kewajiban shalat, zakat, dan lain-lain. Tetapi, mereka
memang berbeda dalam hal-hal yang tidak pokok, karena mereka berada dalam
manhaj dalam berpikirnya, terutama diakibatkan oleh perbedaan penekanan mereka
atas otoritas akal dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dan teks-teks sunna
Rasul SAW.
Apabila ada diantara kelompok atau madzab
dalam Islam yang bersikap liberal, maka hal itu karena liberal dalam
menggunakan otoritas akal untuk menafsirkan ajaran Islam. Tapi perlu dicatat
bahwa liberal disini berbeda dengan paham liberal dalam filsafat, karena
metodologi berfikir pada semua aliran dalam Islam tidak ada yang
mengesampingkan ‘naql’ (teks Qur’an) sebagai sumber ajaran dalam Islam.
Masing-masing kelompok dalam pemikiran
Islam memiliki manhaj sendiri-sendiri. Mu’tazilah sering disebut sebagai
kelompok liberal dalam Islam, Asy’ariyah disebut kelompok tradisional dan
Maturidiah disebut kelompok yang bervariasi antara liberal dan tradisional
(wasath-Mu’tadil)”.[1] Keliberalan, kadang-kadang
juga disebut rasional, paham Mu’tazilah, baik dalam konteks kalam atau fikih,
berpangkal dari bahwa akal sebagai anugrah Tuhan, memiliki kekuatan untuk
mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan Tuhan dan hal-hal yang dianggap baik
atau buruk.
Sementara bagi kelompok tradisional
Asy-ariyah, akal tidak sanggup mengetahui hal itu kecuali ada petunjuk dari
naql atau nash, dan bagi kelompok wasath-mu’tadiln yang dalam hal ini di wakili
oleh Maturidiah, akal itu mempunyai kekuatan tetapi juga sekaligus
keterbatasan”.[2] Apa yang dinyatakan oleh
akal sebagai baik, tentu ia adalah baik dan juga sebaliknya. Tapi, tidak
berarti semua perbuatan manusia sesuai dengan jangkauan akal, karena untuk
menentukan baik dan buruk itu hanya dapat diketahui melalui naql.
Jadi, kalau diringkas paradigma atau
manhaj berpikir dalam Islam itu dapat di bagi dalam tiga kelompok, yaitu
kelompok yang memberikan otoritas tinggi kepada akal, kelompok yang menganggap
lemah terhadap akal dan kelompok yang bervariasi diantara dua kelompok yang
pertama tadi.[3] Apabila manhaj ini
dihubungkan dengan paham aqidah, maka perna akal dan naql itu berhubungan
dengan masalah-masalah Tuhan dan hubungan manusia dengan-Nya; dan apabila
dihubungkan dengan masalah-masalah fikih, maka peran akal dan naql itu
berhubungan dengan perbuatan manusia (mukallaf). Adapun dalam konteks akhlak
atau tashawuf, maka peran akal atau naql berhubungan dengan paham tentang
hubungan spiritual antara manusia dengan Tuhan.
Dalam ketiga aspeknya, yakni aqidah, fikih
dan tasawuf, Ahlussuunah Wal Jama’ah memang memiliki prinsip manhaj berpikir
taqdim al-Nashs ‘ala al-‘aql. Bedanya dengan paham liberal dalam Islam,
meskipun sama-sama mengacu kepada nash, Ahlussunnah wal Jama’ah tidak terlalu
mendalam menggunakan pendekatan ta’wil (mengalihkan arti harfiah terhadap
ayat-ayat mutasyabihat), yang memberikan ruang agar nash sejalan dengan makna
yang di tangkap aoleh akal. Dalam hal ini, ahlussunnah wal Jama’ah mendudukan
akal hanya sebagai alat bantu untuk memahami nash. Karena itu, penafsiran agama
tidak harus sejalan dengan akal seringkali juga salah dalam daya tanggapnya.
Ketiga kelompok tersebut sebenarnya bisa
diringkas menjadi dua kelompok, karena kelompok yang ketiga, yakni wasath
mu’tadil, dapat digabungkan dalam kelompok yang kedua, mengingat dalam manhaj
berpikirnya sama-sama menempatkan akal sebagai alat bantu memahami nash dan
terbatas daya tangkapnya. Meskipun demikian perlu dicacat bahwa antara kelompok
tradisional Asy’ariah dan kelompok moderat maturidiah terdapat perbedaan kecil
dalam hal akal tadi, bagi kelompok tradisional Asy’Ariyah, akal hampir sama
sekali tidak memiliki daya dan otoritas, sedangkan bagi kelompok maturidiah
akal mempunyai daya dan otoritas, meskipun tidak setinggi seperti yang
dikonsepsikan paham liberal. Meskipun akal bagi Maturidiah sanggup mengetahui
perbuatan yang baik dan buruk bagi
manusia (dalam konteks fikih), ia tetap terbatas dan tidak mutlak, sehingga
dalam keadaan tertentu tetap harus tunduk kepada makna nash apa adanya.
Dalam paham Libera ta’wil digunakan secara
ketat, sehingga nash harus sejalan dengan makna yang di tunjukkan oleh akal.
Dalam Asy’ariyah, takwil didudukan dalam otoritas sangat terbatas, sehingga
paham keagamaannya terkesan tradisional, karena penafsiran tidak boleh
melampuai makna yang tersurat dalam nash. Sementara Maturidiyah menggunakan
metode ta’wil secara mendalam tetapi terbatas. Manhaj berpikir seperti ini
tidak hanya terjadi dikalangan ulama kalam dan fikih, tetapi juga terjadi
dikalangan ulama’ tasawuf.
Karena Ahlussunnah wal Jama’ah selalu mengambil
jalan yang moderat, paham tasawuf yang ekstrim, seperti paham tasawuf
yang di sebut dengan istilah wahdah al-wujud (unity of being) tidak diakui
sebagai paham Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Semua paham yang menggunakan manhaj
berfikir seperti itulah yang kemudian disebut sebagai paham “Sunni”. Para
penganut manhaj berpikir yang oleh ulama diyakini mendekati kebenaran itu
disebut juga sebagai kelompok purifikasi yang berusaha mengembalikan paham keagamaan
yang di nilai bid’ah kepada paham yang sesuai dengan sunnah. Tetapi, manhaj
berpikir ahlussunnah wal jama’ah seperti di sepakati oleh Jumhur (mayoritas)
ulama itu tidaklah satu, tetapi variatif. Diantara mereka ada yang sangat
terikat kepada nash. Dengan pola ini, maka penganut sunni pun beragam, yakni
ada yang berpola tradisional, eksklusif dan ada yang modern-ekslusif. Maka,
paham ini dapat menerima budaya pluralisme dan cenderung lebih terbuka untuk
meng-cover dan mengakomodasi semua bentuk perubahan, karena mereka menempatkan
Al-Qur’an sebagai sumber yang utama. Al-Qur’an telah di jadikan Ahlussunnah wal
Jama’ah sebagai sumber utama dan pertama.[4]
1) Apabila terdapat
masalah-masalah kehidupan masalah yang mereka hadapi, mereka mencari
pemecahannya lebih dahulu dalam Al-Qur’an. Apabila masalah tersebut terdapat
pemecahannya dalam Al-Qur’an, maka selesailah sudah permasalahan tersebut.
2) Apabila masalah tersebut
tidak mereka temukan dalam Al-Qur’an, maka Ahlussunnah wal Jama’ah mencari
pemecahannya dalam sunnah Nabi SAW. Apabila hal itu terdapat dalam sunnah Nabi,
maka selesailah masalahnya.
3) Apabila masalah itu tidak
ada pemecahanya dalam sunnah Nabi, maka mereka mencari pemecahanya dalam ijma’
(kesepakatan ulama) para ahl al-hall wa
al-‘aqd dikalangan para ulama’ yang lebih dahulu. Apabila masalah tersebut
terdapat pemecahannya dalam ijma’, maka Ahlussunnah Wal Jama’ah tidak mencari
pemecahannya kesumber yang lain.
4) Apabila masalah yang di
hadapi juga tidak ada pemecahanya dalam ijma’, maka Ahlussunnah Wal Jama’ah
menggunakan akal mereka untuk melakukan ijtihad dengan mengqiyaskan
hal-hal yang belum di ketahui status
hukukmnya kepada hal-hal yang sudah diketahui status hukumnya apabila kedua hal
tersebut memiliki faktor-faktor persamaan.[5]
Sebagian dalil dalam penggunaan empat
sumber ini adalah firman Allah SWT dalam surat AN-Nisa’ : 59 :
Firman Allah , taatlah kamu kepada Allah menunjukkan
keharusan merujuk kepada Kitab Allah, yaitu Al-Qur’an Firman Allah
(dan taatlah kamu kepada Rasulullah SAW),
memberikan isyarat untuk menggunakan
Sunnah Nabi SAW. Firman Allah
Memberikan
isyarat tentang kewajiban menggunakan ijma (kesepakatan) umat yang di wakili
oleh para ulama ah al-hall wa al-‘qad, dan kalimat ,
memberikan isyarat tentang penggunaan qiyas.
Para sahabat dalam kehidupan beragama
mereka telah mengikuti jejak Rasulullah baik dalam ucapan, perbuatan, petunjuk
dan tingkah laku. Demikian pula para tabi’in tabi’it tabi’in, mengikuti para
sahabat. Dengan demikian, maka Al-Qur’an, kehidupan Rasul SAW, para sahabat dan
tabi’in merupakan sumber dan keteladanan bagi kehidupan umat Islam Ahlussunnah
wal Jama’ah di dalam melaksanakan berbagai kehidupan beragama, termasuk tasawuf
dan akhlak.
Ahli tasawuf Sunni bersepakat (ijma’), bahwa tujuah tasawuf adalah untuk
mendapatkan Ridha Allah. Hal tersebut ditempuh dengan jalan memerangi hawa
nafsu. Didalam mengamalkan tasawuf, Ahlussunnah wal jama’ah mengikuti cara
tasawuf dari tariqat Syeikh Junayd al-Baghdadi. Adapun akhlak menurut
Ahlussunah Wal Jama’ah adalah perbuatan manusia yang dilakukan dengan bebas dan
penuh kesadaran. Ia terdiri dari perangai mulia, karakteri dan agama.[6]
Hal itu didasarkan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Firman Allah SWT :
Artinya : Dan
sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
(Q.S. Al-Qalam : 4)
Ibn ‘Abbas mengatakan bahwa akhlak adalah
beragama dengan sempurna. Sedang tafsir al-Jalayn (Kitab Tafsir yang ditulis
oleh Jalal al-Din al-Mahalli dan Jalal al-Din al-Suyuti) mengartikan akhlak
sebagai karakter dan adat.
Dengan demikian, maka pengertian akhlak
adalah adat, karakteri, perangai, kehalusan hati dan istiqomah dalam beragama.
Tersebut dalam Hadits.
Mukmin yang sempurna adalah mereka yang
karakter dan adatnya baik. (H.R. Al-Turmudzi dan Al-Hakim).
BAB II
ANALISA
Dari pemaparan diatas dapat dianalisa
mengapa pola pikir para penganut Ahlussunnah Wal Jama’ah dapat di katakan lebih
moderat dari kelompok yang lain. Hal ini dikarenakan :
a. Menggunakan metode yang sesuai
dengan perkembangan zaman dan menggunakan bahasa kontemporer dalam upaya
membela akidah dalam menghadapi arus yang berusaha untuk menghancurkan dalam
menghamburkan ajara Islam.
b. Berpegang pada sikap tawqif,
tanzih dan tafwidh dalam masalah-masalah mutasyabihat yang ada dalam Qur’an dan
Sunnah, seperti : Tangan Allah diatas semua tangan mereka .............(Q.S.
Al-Fath : 10)
c. Merupakan mazhab jalan
tengan (moderat), tidak menafikan sifat
Allah dan tidak men-tasyib-kan (menyerupakan)-Nya dengan makhluk.
d. Memadukan akal dan nash
dalam pengertian mendahulukan nash sebagai dasar utama, dan akal sebagai
penunjang. Apabila teradi pertentangan antara akal dan nash, maka didahulukan
nash, karena akal tidak mampu untuk memahami kehendak nash.
Dalam bidang Syari’ah Ahlussunnah Wal
Jama’ah menetapkan 4 (empat) sumber yang dijadikan rujukan bagi pemahaman
keagamaannya, yaitu al-Qur’an al-Karim, Sunnah Nabi, Ijma’ (kesepakatan Ulama),
dan Qiyas (analogi).
BAB III
KESIMPULAN
Secara sederhanan biasa disarikan bahwa
pola berpikir Ahlussunnah Wal Jama’ah itu :
1. Selalu menggunakan metode
yang sesuai dengan perkembangan zaman dan menggunakan bahasa kontemporer dalam
upaya membela akidah dalam menghadapi arus yang berusaha untuk menghancurkan
dan mengaburkan ajaran Islam.
2. Selalu berpegang pasa sikap
tawqif, tanzih dan tafwidh dalam masalah-masalah mutasyabihat yang ada dalam
Qur’an dan Sunnah.
3. Memadukan akal dan nash
dalam pengertian mendahulukan nash sebagai dasar utama, dan akal sebagai
penunjang. Apabila terjadi pertentangan antara akal dan nash, maka didahulukan
nash, karena akal tidak mampu untuk memahami kehendk nash.
DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, UI-PRESS, Jakarta, 1986.
Mujamil Qomar, NU “Liberal Dari tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam,
Mizan,_
Said Aqil SIRADJ, Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam Lintas Sejarah, Penerbit, Lkis,
Jogyakarta, 1999.
[1] Harun Nasution, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, UI-PRESS, Jakarta, hal. 42
[2] Ibid, hal. 42
[3] www.PBNU.Com
[4] Mujamil Qomar, NU “Liberal” Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam,
Mizan, hal. 51
[5] Said AQil Siradj, Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam Lintas Sejarah, LKis, Jogjakarta,-
[6] PBNU.Op-Cit
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !