BAB II
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan pemikiran teologi dalam dunia Islam kian
hari kian menjamur, tak pelak kadang hal ini menimbulkan berbagai pertentangan
pemahaman antar kelompok, masing-masing kelompok mempertahankan pendapatnya
masing-masing dengan dalil-dali yang begitu meyakinkan baik dalil tersebut
bersumber dari nash-nash agama (Naqli) maupun yang bersumber dari
pemikiran rasional (Aqli) semuanya mengklaim bahwa mereka yang paling
benar diantara pemahaman kelompok yang lain.
Perbedaan pemahaman ini sudah terjadi dari sejak
masa-masa keemasan islam, terutama pada tahun 70 Hijriyah dimana pada waktu itu
muncul dua golongan besar yang mempertentangkan tentang takdir dan kekuasaan
manusia dalam segala tindak tanduknya. Kedua golongan ini dikenal dengan
istilah Qadariyah dan Jabariyah, dimana kedua golongan ini sama-sama
mempertahankan pendapatnya masing-masing yang jauh bersimpangan diantara
keduanya, bahkan kalau bisa dikatakan kedua golongan ini di ibaratkan langit
dan bumi.
Kelompok yang satu mengatakan bahwa manusia tiada
memilki daya dan upaya untuk menentukan nasibnya, semuanya tergantung pada
takdir Tuhan, dan manusia tidak dituntut untuk mempertanggung jawabkannya,
sedangkan kelompok lainnya berpendapat sebaliknya yaitu Tuhan tidak ikut campur
dalam penentuan nasib manusia, melainkan tergantung sejauh mana usaha manusia
itu untuk menentukan perjalanan hidupnya, namun demikian manusia dituntut untuk
mempertanggung jawabkan segala apa yang telah ia perbuat.
Dalam perjalanan pemikiran Islam dari jaman munculnya
kedua kelompok ini sampai saat ini faham kedua kelompok ini terus saja menjadi
perbincangan dikalangan ulama’ dan para pemikir kontenporer, hal ini
kemungkinan besar adalah disebabkan kedua faham ini dianggap bertentangan
dengan nash-nash syari’at walupun benar salahnya kedua pemahaman ini masih
belum dapat dipastikan, hal ini diakibatkan karena perbedaan interpretasi dari
teks-teks agama dan perbedaan teks-teks agama yang dijadikan dasar pijakan
berfikir oleh masing-masing kelompok.
Berangkat dari hal tersebut diatas maka penulis
memutuskan mengangkat judul “Analisis Kritis Terhadap Pokok-Pokok Pemikiran
Qadariyah”
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas penulis dapat merumuskan
beberapa masalah yang akan dijadikan pokok pembahasan dalam penulisan makalah
ini, diantaranya:
1.
Apa Yang dimaksud
dengan Qadariyah
2.
Bagaimana latar
belakang kemunculan aliran Qadariyah?
3.
Seperti apakah
faham-faham qadriyah?
4.
Dapatkah kita
menjadikan faham Qadariyah sebagai pijakan dalam kehidupan beragama?
C. Tujuan
Penulisan
Makalah ini adalah sebuah tulisan yang disusun dan
direncanakan oleh penulis, hal ini menunjukkan bahwa ada tujuan yang ingin
dicapai oleh penulis dalam penulisan makalah ini, tujuan-tujuan tersebut
adalah:
1.
Mengetahui Esensi
Qadariyah
2.
Mengetahui latar
belakang kemunculan aliran Qadariyah
3.
Mengetahui
Faham-Faham Qadariyah
4.
Menganalisis
pokok-pokok pemikiran Qadariyah benar atau tidaknya pemahaman seperti ini
menurut nash-nash agama atau malah sebaliknya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sekilas Tentang
Qadariyah
Secara etimologi kata Qadariyah berasal dari suku kata
Qadara yang mempunyai arti kemampuan dan Kekuatan adapun secra terminology
“Qadariya” adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala perbuatan manusia tidak
di intervensi oleh Tuhan Perlu
diperhatikan bahwa di sini penulis menggunakan istilah Qadariyah untuk
orang-orang yang mendukung aliran “kebebasan kehendak manusia” demi mengikuti
istilah yang dikenal di kalangan para ahli teologi Islam, seperti pada galibnya
dimaksudkan dalam kebanyakan riwayat. Padahal kata Qadariyah ini kadang-kadang
juga digunakan oleh sebagian ahli ilmul-kalam dan pada sebagian riwayat, guna
menunjuk kepada kaum Jabariyah yang tidak mengakui kebebasan kehendak manusia.[1]
Saling klaim ini mungkin diakibatkan oleh kata dasar
yang digunakan dalam istilah Qadariyah, karena jika قدر yang dimaksud disini
mempunyai arti berkuasa, maka Qadariyah adalah orang-orang yang percaya akan
kebebasan manusia dalam menentukan jalan hidupnya, dan jika قدر yang dimaksud
disini adalah menentukan, maka Qadariyah berarti adalah orang-orang beranggapan
bahwa manusia adalah makhluk pasif, semua yang dikerjakannya tergantung pada
ketentuan Tuhan (takdir).
Dalam kenyataannya, mereka semua, baik yang mendukung
teori Jabariyah (determinisme takdir) yang menyatakan adanya kekuasaan takdir
secara umum (menyeluruh), ataupun orang-orang yang mendukung teori kebebasan
manusia dan penafian peran takdir dalam perbuatan-perbuatan manusia;
menghindarkan diri dari sebutan Qadariyah ini, seraya menjuluki kelompok
lainnya dengan nama tersebut. Rahasia sikap ini ialah adanya riwayat hadis
Rasul saw. yang menyebutkan: “Kaum Qadariyah adalah Majusinya umat ini.” (H.R.
Abu Daud) Karena itu, kaum Jabariyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
“kaum Qadariyah” ialah orang-orang yang mengingkari qadar (takdir) Ilahi,
sementara lawan-lawan mereka berkata bahwa kaum Qadariyah ialah orang-orang
yang mengembalikan segala sesuatu, harta perbuatan manusia, kepada qadha dan
qadar. Namun penulis mengikuti kebanyakan ulama’ yang mengatakan, bahwa
Qadariyah adalah kelompok yang menafikan keberadaan takdir akan setiap tindak
tanduk manusia.
Mungkin penyebab lebih dikenalnya sebutan Qadariyah
untuk para pengingkar takdir adalah :
- Tersebar luasnya mazhab Asy’ariyah, sehingga menjadikan kaum Mu’tazilah sebagai minoritas di hadapan kaum Asy’ariyah yang mayoritas.
- Tuduhan adanya kesamaan antara kaum Qadariyah dengan penganut agama Majusi. Sebab, yang diketahui bahwa kaum Majusi membatasi takdir Ilahi hanya pada apa yang mereka namakan “kebaikan” saja, sedangkan “kejahatan” berada di luar takdir Ilahi, dan bahwa pelakunya adalah wujud setan pertama yang mereka namakan Ahriman .
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa Qadariyah. adalah
orang-orang yang berpendapat menolak keberadaan takdir. Sehingga mereka
meyakini bahwa hamba memiliki kehendak bebas dan kemampuan berbuat yang
terlepas sama sekali dari kehendak dan kekuasaan Allah.
Orang yang mula-mula menfatwakan faham Qadariyah ini
adalah Ma’bad al-Juhani dan Ghailan ad Dimasyqi. Ma’bad al-Juhani sendiri
adalah seorang tabi’in generasi kedua sesudah nabi Muhammad yang pernah belajar
bersama Wasil bin Atha (Imam kaum muktazilah) kepada Syaikh Hasan Basri di
Basrah, sedangkan Ghailan Al-Damisyqi adalah penduduk kota Dimsyaq (Syiria), bapaknya adalah salah
seorang yang pernah bekerja pada Khalifah Utsman Bin Affan. Ia datang ke
Dimsyaq pada masa Khalifah Hisyam Bin Abdul Malik, salah seorang Khalifah Bani
Umayyah yang berkuasa dari tahun 105 sampai 125 H. selain sebagai seorang tokoh
Qadariyah Ghailan juga adalah pemuka golongan Murji’ah dari kelompok
Al-salihiah.
Sedangkan menurut al-Zahabi, Ma’bad adalah sorang
tabi’ien yang baik tetapi ia kemudian bermain diranah politik dan memihak Abd.
Rahman Ibn al-Asy’as Gubernur Sajistan, dalam menentang kekuasan dan system
pemerintahan Bani Umayyah, dan pada saat pertempuran melawan Al-Hajjaj akhirnya
Ma’bad mati terbunuh hal ini terjadi pada tahun 80 H.
Hal inilah yang memungkinkan Yusran Asmun berpendapat,
bahwa munculnya pemahaman Qadariyah jika dipandang dari sudut pandang politik
adalah sebagai isyarat menentang politik Bani Umayyah, hal ini dikarenakan
kehadiran kelompok Qadariyah diwilayah kekuasaanya selalu mendapatkan tekanan,
bahkan pada waktu Abdul Malik Bin Marwan memegang tampuk kekuasaan, kelompok
ini bisa dikatakan lenyap sama sekali, tapi hanya untuk sementara, sebab dalam
perkembangan selanjutnya pokok-pokok pemikiran ini kembali merebak saat
munculnya kelompok Mu’tazilah.
Setelah kematian sahabatnya, Ghailan meneruskan misi
besarnya dalam menyebar-luaskan faham Qadariyah, hal ini kemudian mengundang
reaksi keras dari kalangan pemerintah yang pada waktu itu dipimpin oleh Umar
Bin Abd. Aziz. Setelah, Umar Bin Abd. Aziz meninggal Ghailan terus menyebarkan
ajarannya, hingga akhirnya maut pun menjemputnya ketika pemerintah menjatuhkan
hukuman mati padanya pada masa pemerintahan Hisyam Bin Abd. Malik (724-743 M.).
Menurut Rosihon Anwar & Abdul Rozak berdasarkan
penemuan dokumen W. Montogomy Watt yang ditulis oleh Hellmut Ritter dalam bahasa
Jerman yang di-publikasikan melalui majalah Der Islam pada tahun 1933, faham
Qadariyah terdapat pada kitab Risalah yang ditulis oleh Hasan Al-Basri untuk
Khalifah Abdul Malik pada tahun 700 M.
Namun demikian, kelompok ini diperkirakan muncul pada
tahun 70 H. bertepatan dengan tahun 689 M. adapun tempat yang menjadi markas
dari penyebaran faham kelompok ini masih terjadi perselisihan pendapat diantara
kalangan para sejarawan Islam, ada yang mengatakan di Irak dan ada yang
mengatakan di Baghdad, kemungkinan kebenarannya sama-sama besar karena pada
abad ke II dan ke III H. didua tempat inilah terjadinya pergolakan pemahaman.
Menurut Ibn Natabah Ma’bad al-Juhani dan Ghailan
al-Damisyqi mengambil faham ini dari seorang Kristen yang masuk Islam di Irak,
kemudian kembali lagi ke agama asalnya, ia dikenal dengan nama Susan. Namun
pandapat ini masih diragukan kebenarannya karena diyakini bahwa pendapat
semacam ini hanyalah rekayasa orang-orang yang dihembuskan oleh orang-orang
yang tidak setuju sama sekali dengan faham yang dibawa oleh kelompok ini.
Setelah kematian kedua pembesarnya, faham ini kembali
berkembang pesat ketika munculnya golongan Mu’tazilah hal ini terbukti ketika
salah seorang Imam Mu’tazilah, Ibrahim Sayar Al-Nazam (w. 211 H.) menyebar
luaskan pemahaman ini ia menuai banyak simpati dari masyarakat.
Sampai saat ini -setelah lama tak terdengar- faham ini
kembali merebak walaupun itu hanya sebatas ungkapan-ungkapan belaka seperti
ungkapan “bagaimanapun juga tokh pada akhirnya manusia juga yang dapat
menentukan nasibnya” dan lain sebagainya, yang menitik beratkan segalanya pada
perbuatan manusia belaka. Hal ini mungkin disebabkan karena akal fikiran
kebanyakan orang kerap kali dikuasai penuh oleh akal dan fikirannya, dan memang
semua doktrin-doktrin yang dicetuskan oleh Qadariyah, semuanya bertumpu pada
rasionalitas pemikiran manusia, walau pun sebagaimana diungkapkan diatas,
pemikiran ini bukanlah tanpa pijakan, akan tetapi banyak sekali ayat yang
mendukung akan rasionalisasi faham ini.
B. Doktrin-Doktrin
Qadariyah
Dalam kitab Al-Milal wa An-Nihal, pembahasan masalah
Qadariyah disatukan dengan pembahasan tentang doktrin-doktrin Mu’tazilah,
sehinggga perbedaan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas.
Namun demikian, sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya
bahwa Qadariyah adalah kelompok yang menafikan takdir Tuhan, dalam artian bahwa
manusia menciptakan perbuatannya sendiri dengan kodrat yang telah diberikan
oleh Tuhan ketika mereka lahir kealam maya pada ini, Tuhan tidak ada sama
sekali hubungannya dengan manusia sekarang, dan bahkan Tuhan pun tidak tahu
akan apa yang akan dikerjakan oleh manusia, baru ketika manusia mengerjakannya
baru pada saat itu Tuhan mengetahuinya.
Adapun hubungan manusia dengan Tuhannya adalah masalah pahala dan siksa, dimana ketika manusia melakukan perbuatan yang baik maka Tuhan akan memberikannya pahala karena telah menggunakan qodrat yang telah diberikan-Nya pada sesuatu yang baik, sebaliknya Tuhan akan menghukum atau memberikan siksaan kepada manusia ketika ia melakukan perbuatan jelek karena telah menggunakan qodrat yang telah diberikan oleh-Nya pada sesuatu yang jelek
Adapun hubungan manusia dengan Tuhannya adalah masalah pahala dan siksa, dimana ketika manusia melakukan perbuatan yang baik maka Tuhan akan memberikannya pahala karena telah menggunakan qodrat yang telah diberikan-Nya pada sesuatu yang baik, sebaliknya Tuhan akan menghukum atau memberikan siksaan kepada manusia ketika ia melakukan perbuatan jelek karena telah menggunakan qodrat yang telah diberikan oleh-Nya pada sesuatu yang jelek
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan, sebagaimana
dikutip oleh Rosihon Anwar & Abdul Rozak, “bahwa manusia berkuasa atas
perbuatan-perbuatannya, manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik atas
kehendak dan kekuasaannya sendiri, dan manusia sendiri pula yang mengerjakan
atau menjahui perbuatan jelek atas kemauan dan daya yang ia milki pendapat
Ghailan ini dipertahankan dihadapan Al-Awza’i ketika ia akan di eksekusi mati
oleh pihak pemerintahan Hisyam Bin Abdul Malik, dimana pemerintah pada saat itu
ingin mengetahui yang sebenarnya faham yang dibawa oleh tokoh Qadariyah ini,
oleh karena itu diadakanlah perdebatan antara Ghailan dan Al-Awza’i.
Salah seorang pemuka Qadariyah yang lain, An-Nazam,
mengemukakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, ia berkuasa atas segala
perbuatannya
Di antara mereka ada yang ekstrim dan ada yang tidak. Namun yang tidak ekstrim ini menyatakan bahwa terjadinya perbuatan hamba bukan karena kehendak, kekuasaan dan ciptaan Allah.
Di antara mereka ada yang ekstrim dan ada yang tidak. Namun yang tidak ekstrim ini menyatakan bahwa terjadinya perbuatan hamba bukan karena kehendak, kekuasaan dan ciptaan Allah.
Dari beberapa penjelasan diatas dapat fahami bahwa
doktrin Qadriyah pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia
dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan
segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun jahat. Oleh
karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan
juga berhak mendapat hukuman (siksa) atas kejahatan yang diperbuatnya. Dalam
kaitan ini, bila seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga atau pun
neraka kelak diakhirat itu suatu hal yang semestinya, karena apa yang telah ia
kerjakan adalah murni atas kehendaknya sendiri, tidak ada sangkut pautnya
dengan Tuhan, sebaliknya sungguh tidak pantas apabila manusia menerima siksaan
apabila apa yang telah diperbuatnya bukan atas keinginannya sendiri, melainkan
ada intervensi Tuhan.
Faham takdir dalam pandangan Qadariyah bukanlah dalam
pengertian takdir yang biasa dipakai oleh bangsa Arab pada waktu itu, yaitu
faham yang mengatakan bahwa segala sesuatu berkenaan dengan manusia telah
digariskan oleh yang Maha Kuasa, manusia hanya mampu untuk berperan sebagai
pelaku dari garis-garis yang telah ditentu-kan oleh Tuhan sejak zaman azali.
Dalam faham Qadariyah takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya
bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum yang oleh
Al-Qur’an biasa di istilahkan dengan sunnatullah, Faham yang diajukan oleh
kelompok ini bukan hanya berdasarkan rasionalitas
Terkait ayat ini pun mereka berargumen, bahwa kekalahan
kaum muslimin pada waktu peperangan Uhud itu semua diakibatkan oleh kelalaian
dan kedurhakaan pasukan panah terhadap perintah Rasulullah saw., dimana mereka
diperintahkan agar tidak meninggalkan tempat mereka walau apa pun yang terjadi,
tapi karena tergiur akan harta rampasan perang mereka meninggalkan tempat
mereka, hingga akhirnya pasukan musuh memporak-porandakan pasukan muslim pada
waktu itu. hal ini pun menunjuk-kan bahwa kesalahan pada waktu itu sepenuhnya
berada ditangan kaum muslimin (pasukan panah) tidak ada sangkut pautnya dengan
Tuhan Demikianlah sekelumit tentang faham yang dicetuskan oleh kelompok
Qadariyah benar atau salahnya Tuhan jualah yang tahu.
ANALISIS
Sebelum lebih lanjut dibicarakan tentang hal ini,
baiknya kita kilas balik terlebih dahulu pada tahun dimana golongan ini muncul,
saat munculnya aliran ini, tak urung menimbulkan tantangan keras dari
masyarakat Arab pada waktu itu, ada beberapa alasan mengapa aliran ini begitu
ditentang oleh bangsa Arab pada waktu itu:
Pertama, bangsa Arab sebelum masuknya Islam adalah satu bangsa yang hidup
sangat sederhana dan jauh dari ilmu pengetahuan, mereka selalu terpaksa
mengalah pada ganasnya alam, panas yang menyengat, serta tanah dan gunungnya
yang gundul, mereka merasa dirinya lemah dan tak mampu menghadapi kesukaran
hidup yang ditimbulkan oleh alam sekelilingnya, yang kemudian faham ini dikenal
dengan istilah Fatalisme (kepercayaan bahwa nasib menguasai segala-galanya) dan
faham ini terus mereka pertahankan kendatipun mereka sudah memeluk agama islam,
oleh karena itu ketika faham Qadariyah dikembangkan, mereka tidak dapat
menerimanya karena dianggap bertentangan dengan doktrin Islam.
Kedua, kalangan pemerintah yang notabene penganut faham Jabariyah juga
menentang mati-matian akan berkembangnya faham semacam ini, hal ini kemungkinan
disebabkan ketakutan pemerintah pada saat itu pada aliran ini, mereka khawatir
hadirnya faham ini akan mengerogoti kekuasaan mereka karena faham ini dianggap
sesuai dengan dinamisasi dan daya kritis kebanyakan rakyat, yang pada
gilirannya nanti rakyat akan menentang kebijakan-kebijakan pemerintah bahkan
tidak menutup kemungkinan akan mampu menggulingkan kekuasaan mereka.
Berkaiatan dengan pemahaman Qadariyah tentang hubungan
manusia dengan tuhannya (dalam hal ini yang dimaksud adalah Takdir) timbul
berbagai macam pertanyaan, seperti: jika memang manusia yang menciptakan
perbuatannya sendiri lalu daya yang ia gunakan itu milik siapa dan siapa yang
membuatnya? Kalau mungkin dijawab bahwa itu juga milik dan diciptakan oleh
manusia, maka akan timbul pertanyaan lain, Apakah manusia sendiri yang
mewujudkan perbuatannya ataukah daya Tuhan turut mempunyai bagian dalam
mewujudkan perbuatan itu?
Faham ini pun seakan menunjukkan bahwa tuhan itu
hanyalah dzat yang mau terima jadinya, tidak menentukan, tidak memeberikan
kerangka, atau setidak-setidaknya mengetahui apa yang akan dikerjakan oleh
makhluk ciptaanya, Tuhan itu berarti pasif dan tidak mau tahu akan urusan makhluknya,
jika demikian untuk apa Dia jadi Tuhan apabila tahunya hanya memberikan siksa
dan pahala?
Ada dua metode untuk memahami pola hubungan kekuasaan Tuhan dengan
perbuatan manusia
1.
Pemahaman secara Syar’ie
Kekuasaan Tuhan adalah mutlak atas semua yang dialami
makhluk, termasuk perbuatan manusia. Dia berkehendak dan berbuat secara mutlak,
maka tidak ada sesuatu apapun yang terjadi pada manusia muncul dari kekuatan
manusia sendiri, Malainkan hanya dengan kehendak dan kekuasaan-Nya.
Dengan demikian segala pekerjaan manusia tidak
diciptakan oleh manusia sendiri, melainkan diciptakan oleh Tuhan, sedangkan
bersamaan dengan wujud perbuatan itu manusia memilki andil yang biasa disebut
dengan kasab (usaha).
Sehubungan dengan hal ini maka keadilan Tuhan adalah apa
yang dikehendaki dan diperbuat-Nya Dia menghukum masuk neraka dan memberi
pahala masuk surga bukanlah dari daya upaya manusia akan tetapi mutlak sesuai
dengan yang Ia kehendaki, akan tetapi tidak mungkin juga Allah dengan
sembarangan menyiksa dan memberi pahala kepada makhluknya dengan tanpa alasan,
itu namanya Tuhan ngaur, sembrono dan lain sebaginya padahal semua itu tidak mungkin dimilki oleh Tuhan.
2.
Pemahaman secara Haqiqi
Tuhan adalah Dzat Yang Maha Berkehendak lagi Maha Kuasa
atas semua ciptaan-Nya, pengatur atas segala apa yang Ia ciptakan. Manusia dan
perbuatannya adalah termasuk dari sekian ciptaan-Nya.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada tahun 70 hijriyah muncul golongan yang banyak
menentang kebijakan-kebijakan pemerintah dan doktrin yang berlaku pada waktu
itu, kelompok ini menentang pendapat yang menyatakan bahwa segala pekerjaan dan
tindak tanduk manusia semuanya bergantung pada takdir, mereka berpendapat bahwa
tuhan tidak tahu menahu tentang apa yang dikerjakan oleh makhluknya, semuanya tergantung
pada manusia sendiri.
Faham ini pertama kali disebar-luaskan oleh Ma’bad
al-Juhani dan Ghailan ad Dimasyqi, keduanya diyakini mendapatkan faham ini dari
seorang Kristen yang masuk Islam bernama Susan, namun pendapat ini oleh
sebagian ulama’ ditentang karena dianggap hanya sebuah rekayasa dari
orang-orang yang keberatan dengan faham ini.
Faham ini jelas sekali mempunyai pijakan berfikir yang
jelas, namun demikian tidak sedikit pijakan-pijakan lain yang menentang faham
ini, jadi dengan demikian faham ini tidak bisa disalahkan pun tidak bisa
dibenarkan, akan tetapi sebenarnya faham ini bisa kolaborasikan dengan
pemahaman yang menentang faham ini (Jabariyah) yaitu semuanya memang Tuhan yang
menetukan akan tetapi manusia juga memilki andil dalam perbuatannya yaitu
usaha.
B. Saran-Saran
1.
Hendaknya dalam
menyikapi pemikiran ini kita harus menelaah nash-nash yang berhubungan
dengannya agar bisa menentukan langkah yang benar.
2.
Berhati-hatilah
dalam menyikapi satu pendapat yang bertolak belakang dengan pemahaman kita,
karena tidak mudah menentukan penadapat yang benar dan pendapat yang salah.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an & Terjemahnya, PT. Tanjung
Mas Inti, Semarang,
1992
http\www.wisdoms4all.com, Membincang Takdir Manusia [1].mht
http://id.wikipedia.org/wiki/QadaF
http://id.wikipedia.org/wiki/QadaF
Luice Ma’luf Al-Yusui’i, al-Munjid,
Al-Khatatahulukiyah, Beirut,
1945.
Rosihon Anwar, Drs, M.Ag., &
Abdul Rozak, Drs., M.Ag., Ilmu Kalam, Pusataka Setia, Bandung 2001
Sirajuddin Abbas, K.H., I’tiqad Ahlussunah wal-jama’ah, Pustaka
Tarbiyah Baru, Jakarta,
2008.
Syahrastani, Al-Syaikh, Al-‘Allamah,
Al-Milal wa An-Niha, Dzar Al-Fikr, Beirut,
Vol. I,F tt.
Yusran Asmun, Drs., Pengantar Studi Sejarah kebudayaan dan Pemikiran Islam, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta
1996.
Harun Nasution, Teologi Islam “Aliran-Aliran
Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press Jakrata 2002.
Muhammad Asnawi Ridwan, Membela Sunni, Pustaka Amanah Grafika, Kendal, 2008.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !