BAB I
PENDAHULUAN
Imam Malik (Madinah, 94 H/716 M - Madinah, 179 H/795 M).
Pendiri mazhab Maliki, imam dan mujtahid (ahli ijtihad) besar dalam Islam yang ahli di bidang fiqih dan hadits. Nama lengkapnya
ialah Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin
Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al-Asbahi. Malik bin Anas sejak lahir
sampai wafatnya berada di Madinah. Ia
tidak pernah meninggalkan kota Madinah kecuali untuk menunaikan ibadah haji di
Mekah. Madinah ketika itu merupakan pusat berkembangnya sunnah/hadits
Rasulullah SAW, dan ia sendiri menjadi salah seorang periwayat (rawi) hadits
yang masyhur.
Dalam hal penerimaan hadits,
ia hanya menerima hadits dari orang yang memang dipandang ahli hadits dan orang
terpercaya (siqah). Ia pun hanya menerima hadits yang matannya (redaksi atau kandungannya) tidak
bertentangan dengan al-Qur’an. Dalam hal periwayatan haditas, ia hanya
meriwayatkan hadits-hadits yang makruf dan mensyaratkan juga matan hadits itu
sejalan dengan amalan penduduk Madinah.
Al-Muwatta’ merupakan karya
imam Malik yang terbesar yang merupakan kitab hadits yang pertama disusun.
Silsilah sanat hadits dari imam Malik di pandang sebagai silsilah emas,
rangkaian rawi hadits yang dianggap paling shahih.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup
Imam Malik yang bernama
lengkap Abuu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Ai Amir bin Amr bin Haris
bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al Asbahi, lahir di Madinah pada tahun
716 M dan wafat tahun 796 M. Berasal dari keluarga Arab terhormat, berstatus sosial
tinggi, baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Tanah asal leluhurnya
adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah ke
Madinah. Kakeknya, Abu Amir, adalah
anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam pada tahun 2 H. Saat itu,
Madinah adalah kota ilmu yang sangat terkenal.
Kakek dan ayahnya termasuk
kelompok ulama hadits terpandang di Madinah. Karenanya sejak kecil Imam Malik
tak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu. Ia merasa Madinah adalah
kota dengan sumber ilmu yang berlimpah lewat kehadiran ulama-ulama besarnya.
Kendati demikian, dalam
mencari ilmu Imam Malik rela mengorbankan apa saja. Menurut satu riwayat, sang
imam sampai harus menjual tiang rumahnya hanya untuk membayar biaya
pendidikannya. Menurutnya, tak layak seorang yang mencapai derajat intelektual
tertinggi sebelum berhasil mengatasi kemiskinan. Kemiskinan, katanya adalah
ujian hakiki seorang manusia.
Karena keluarganya ulama ahli
hadits, maka Imam Malik pun menekuni pelajaran hadits kepada ayah dan
paman-pamannya. Kendati demikian, ia pernah berguru pada ulama-ulama terkenal
seperti Nafi’ bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az-Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said
al-Anshori, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdurrahman bin
Hurmuz, tabi’in ahli hadits, fikih, fatwa, dan ilmu berdebat, juga Imam Jafar
Shadiq dan Rabi Rayi.
Dalam usia muda, Imam Malik
telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadi hampir seluruh
hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah, mulai
dari al-Mansur, al-Mahdi, Hadi Harun dan
al-Ma’mun, pernah menjadi murid Imam Malik. Ulama Abu Hanifah dan Imam Syafi’i
pun pernah menimba ilmu dari Imam Malik.
Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya. Menurut sebuah riwayat disebutkan
murid terkenal Imam Malik mencapai 1.300 orang.
Imam Malik memiliki budi
pekerti yang luhur, sopan, lemah lembut, suka menolong orang yang kesusahan,
dan suka berderma kepada fakir miskin. Beliau juga termasuk orang yang
pendiam, tidak suka membual dan
berbicara seperlunya, sehingga dihormati oleh banyak orang.
Namun di balik kelembutan
sikapnya, beliau memiliki kepribadian yang sangat kuat, dan kokoh dalam
pendirian. Beberapa hal yang bisa menjadi bukti adalah: pertama, penolakan Imam
Malik untuk datang ke tempat penguasa
(istana), Khalifah Harun ar-Rasyid, dan menjadi guru bagi keluarga mereka. Bagi
Imam Malik semua orang yang membutuhkan ilmu harus datang kepada guru dan ilmu
tidak mendatangi muridnya serta tidak perlu secara ekslusif disendirikan, meski
mereka adalah penguasa. Kedua, Imam Malik pernah dicambuk 70 kali oleh Gubernur
Madinah Ja’far ibn Sulaiman ibn Ali ibn Abdullah ibn Abbas, paman dari Khalifah
Ja’far al-Mansur, karena menolakmengikuti pandangan Ja’far ibn Sullaiman. Bahkan
dalam sebuah riwayat diceritakan Imam Malik didera dengan cemetik, sehingga
tulang punggungnya hampir putus dan keluar dari lengannya dan tulang
belakangnya hampir remuk. Setelah itu beliau diikat di atas punggung unta dan
diarak keliling Madinah, supaya beliau malu dan mau mencabut fatwa-fatwanya
yang berbeda dengan penguasa, tetapi Imam Malik tetap menolaknya. Ketiga,
meski tiga Khalifah (Ja’far al-Mansur (131-164
H); al-Mahdi (163-173 H); Harun al-Rasyid (173-197 H) telah meminta Imam Malik
menjadikan al-Muwata’ sebagai kitab resmi negara, namun tiga kali pula Imam
Malik menolak permintaan mereka.
Pemikiran Imam Malik di bidang
hukum Islam/fikih sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Madinah sebagai pusat
timbulnya sunah Rasulullah SAW dan sunah sahabat merupakan lingkungan kehidupan
Imam Malik sejak lahir sampai wafat-nya. Oleh sebab itu, pemikiran hukum Imam
Malik banyak berpegang pada sunnah-sunnah tersebut. Kalau terjadi perbedaan
satu sunah dengan sunah lain, maka ia berpegang pada tradisi yang biasa berlaku
di masyarakat Madinah. Menurut pendapatnya, tradisi masyarakat Madinah ketika
itu berasal dari tradisi para sahabat Rasulullah SAW yang dapat dijadikan
sumber hukum. Kalau ia tidak menemukan dasar hukum dalam Al-Qur’an dan sunah,
maka ia memakai qiyas dan al-maslahah al-mursalah (maslahat/kebaikan
umum).
B. Karya-Karya Imam Malik
Diantara karya-karya dari Imam
Malik adalah;
1. Al-Muwatta’
2. Kitab aq-diyah
3. Kitab Nujum, Hisab Madar
al-Zaman, Manazil al-Qamar
4. Kitab Manasik
5. Kitab Tafsir Li Gharib
al-Quran
6. Ahkam Al-Qur’an
7. al-Mudawanah al-Kubra.
8. Tafsir al-Qur’an
9. Kitab Masa’ Islam
10. Risalah Ibn Ma’ruf Gassan
11. Risalah Ila al-Lais
12. Risalah Ila Ibn Wahb
Namun dari beberapa
karya-karya tersebut yang sampai pada kita hanya dua yakni al-Muwatta’ dan
al-Mudawanah al-Kubra.
Al-Muwatta’ adalah kitab fikih
berdasarkan himpunan hadits-hadits pilihan. Santri mana yang tak kenal kitab
yang satu ini. Ia menjadi rujukan penting, khususnya di kalangan pesantren dan
ulama kontemporer. Karya terbesar Imam
Malik ini dinilai memiliki banyak keistimewaan. Ia disusun berdasarkan
klasifikasi fikih dengan memperinci kaidah fikih yang diambil dari hadits dan
fatwa sahabat.
Menurut beberapa riwayat,
sesungguhnya al-Muwatta’ tak akan lahir bila Imam Malik tidak dipaksa Khalifah
Mansur. Setelah penolakan untuk ke Baghdad, khalifah al-Mansur meminta Imam
Malik mengumpulkan hadits dan membukukannya. Awalnya, Imam Malik enggan melakukan
itu. Namun, karena dipandang tak ada salahnya melakukan hal tersebut, akhirnya
lahirlah al-Muwatta’. Ditulis dimasa al-Mansur (754-775 M) dan baru selesai di
masa al-Mahdi (775-785 M).
Dunia Islam mengakui
al-Muwatta’ sebagai karya pilihan yang tak ada duanya. Menurut Syah Walilullah,
kitab ini merupakan himpunan hadits paling shahihdan terpilih. Imam Malik
memang menekankan betul terujinya para perawi. Semula, kitab ini memuat 10 ribu hadits. Namun, lewat penelitian
ulang, Imam Malik hanya memasukkan 1.720 hadits. Kitab ini telah diterjemahkan
ke dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang berlainan. Selain al-Muwatta’, Imam Malik juga menyusun
kitab al-Mudawwanah al-Kubra, yang berisi fatwa-fatwa dan jawaban Imam Malik
atas berbagai persoalan.
Metode Kitab dan Kualitas Hadits-Haditsnya
Secara eksplisit, tidak ada
pernyataan yang tegas tentang metode yang dipakai Imam Malik dalam menghimpun
kitab al-Muwatta’. Namun secara implisit, dengan melihat paparan Imam Malik
dalam kitabnya, metode yang dipakai adalah metode pembukuan hadits berdasar
klasifikasi hukum Islam (abwab fiqhiyyah) dan maqtu’ (berasal dari tabi’in).
Bahkan bukan hanya itu, kita bisa melihat bahwa Imam Malik menggunakan
tahapan-tahapan berupa (a) penseleksian terhadap hadits-hadits yang disandarkan
kepada Nabi, (b) Atsar/fatwa sahabat, (c) fatwa tabi’in, (d) Ijma’ ahli Madinah
dan (e) pendapat Imam Malik sendiri.
Meskipun kelima tahapan
tersebut tidak selalu muncul bersamaan dengan setiap pembahasannya, urutan
pembahasan dengan mendahulukan penelusuran dari hadits Nabi yang telah
diseleksi merupakan acuan pertama yang dipakai Imam Malik, sedangkan tahapan
kedua dan seterusnya dipaparkan Imam Malik tatkala menurutnya perlu untuk
dipaparkan.
Dalam hal ini empat kriteria
yang dikemukakan Imam Malik dalam mengkritisi periwayatan hadits adalah: (a)
Periwayatan bukan orang yang berperilaku jelek (b) Bukan ahli bid’ah (c) Bukan
orang yang suka berdusta dalam hadits (d) Bukan orang yang tahu ilmu, tetapi
tidak mengamalkannya.
C. Dasar-Dasar Istimbat
Hukum Imam Malik
Adapun metode dalam
dasar-dasar istimbat dalam mazhab Maliki adalah:
1. Al-Qur’an
Seperti halnya para imam
Mazhab yang lain, Imam Malik meletakkan al-Qur’an di atas semua dalil karena
al-Qur’an merupakan pokok syariat dan hujahnya. Imam Malik mengambil dari:
a. Nas yang tegas yang tidak
menerima takwil dan mengambil bentuk lainnya.
b. Mafhum muwafaqah atau fahwa
al-khitab yaitu hukum yang semakna dengan satu
nas (al-Quran dan hadits) yang hukumnya sama dengan yang disebutkan oleh
nas itu sendiri secara tegas.
c. Mafhum mukhalafah, yaitu
penetapan lawan hukum yang diambil dari dalil yang disebutkan dalam nas
(al-Quran dan hadits) pada sesuatu yang tidak disebutkan dalam nas;
d. Illat-illat hukum (sesuatu
sebab yang menimbulkan adanya hukum).
2. Sunnah
Sunnah menduduki tempat kedua
setelah al-Qur’an. Sunnah yang diambil oleh Imam Malik ialah:
a. Sunnah mutawatir,
b. Sunnah masyhur, baik
kemasyhurannya itu ditingkat tabiin ataupun tabi’ at-tabi’in (generasi sesudah
tabiin). Tingkat kemasyhuran setealh generasi tersebut di atas tidak dapat
dipertimbangkan
c. Khabar (hadits) ahad yang
didahului atas praktek penduduk Madinah dan kias. Akan tetapi kadang-kadang
khabar ahad itu bisa tertolak oleh kias dan maslahat.
3. Praktek penduduk Madinah
Hal itu dipandang sebagai
hujah, jika praktek itu benar-benar dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW. Sehubungan dengan itu praktek penduduk Madinah yang
dasarnya ra’yu (akal, penalaran) bisa didahulukan atas khabar ahad. Imam malik
mencela ahli fikih yang tidak mau mengambil praktek penduduk Madinah, bahkan
menyalahinya.
4. Fatwa sahabat
Fatwa ini dipandang sebagai
hadits yang wajib dilaksanakan. Dalam kaitan ini Imam Malik mendahulukan fatwa
sebagian sahabat dalam soal manasik haji dan meninggalkan sebagian yang lain,
dengan alasan dengan alasan sahabat yang bersangkutan tidak melaksanakannya
karena hal ini tidak mungkin dilakukan tanpa adanya perintah dari Nabi SAW.
Sementara itu, masalah manasikhaji tidak mungkin bisa diketahui tanpa adanya
penukilan langsung dari Nabi SAW. Imam Malik juga mengambil fatwa tabiin besar,
tetapi tidak disamakan kedudukannya dengan fatwa sahabat.
5. KiasAl-maslahah al-mursalah
dan istihsan.
Imam Malik mengambil kias
dalam pengertian umum yang merupakan penyamaan hukum perkara, yakni hukum
perkara yang tidak ditegaskan dengan hukum yang ditegaskan. Hal ini disebabkan
adanya persamaan sifat (illat hukum). Sementara istihsan adalah memandang labih
kuat ketetapan hukum berdasarkan maslahat juz’iyah (sebagian) atas ketetapan
hukum berdasarkan kias. Jika dalam kias ada keharusan menyamakan suatu hukum
yang tidak tegas dengan hukum tertentu yang tegas, maka maslahat juz’iyah
mengharuuskan hukum lain dan ini yang diberlakukan, yang kemudian dinamakan
istihsan. Akan tetapi dalam Mazhab Maliki, istihsan itu sifatnya lebih umum
yang mencakup setiap maslahat, yaitu hukum maslahat yang tidak ada nas, baik
dalam tema itu dapat diterapkan kias ataupun tidak, sehingga pengertian
istihsan itu mencakup al-maslahah al-mursalah.
6. Az-Zara’i
Yaitu sarana yang membawa pada
hal-hal yang diharamkan maka akan menjadi haram pula, sarana yang membawa pada
hal-hal yang dihalalkan maka akan menjadi halal juga, dan sarana yang membawa
pada kerusakan maka diharamkan juga. Sarana yang membawa pada kerusakan
(mafsadah) dalam mazhab Maliki dibagi menjadi empat. Pertama, sarna yang secara
pasti membawa pada kerusakan, seperti menggali sumur di belakang pintu rumah. Kedua,
sarana yang diduga kuat akan mengantarkan pada kerusakan, seperti jual-beli
anggur dengan dugaan akan dibuat khamar (minuman keras) oleh pembelinya.
Ketiga, sarana yang jarang bisa membawa pada kerusakan, seperti menggali sumur
di suatu tempat yang tidak membahayakan orang lain. Keempat, sarana yang banyak
mengantarkan pada kerusakan, tetapi tidak dipandang umum, seperti jual-beli
dengan tenggang waktu yang dapat membawa pada praktek riba.
D. Daerah-Daerah Mazhab
Maliki Berkembang
Mazhab Maliki antara lain
tersebar di wilayah Hedzjaz. Di daerah ini kedudukan Mazhab Maliki menjadi kuat
setelah Ibnu Farhun menjadi hakim pada tahun 793 H. Mazhab ini masuk ke Mesir
berkat usaha murid-muridnya, seperti Abdurrahman bin Kasim, dan Usman bin
Hakam, sampai datangnya Mazhab Syafi’i. Di Tunisia tersebar juga mazhab Hanafi
pada masa Syekh Asad al-Furat al-Tunisi (seorang syekh pemberi fatwa pada masa
pemerintahan Ziyadatullah I dari Dinasti Aglabid). Kemudian Mazhab Maliki bangkit lagi pada masa Mu’iz
bin Hadis. Sejak saat iitu penduduk di wilayah Magrib menganut Mazhab Maliki.
Mazhab ini juga berhasil menguasai wilayah Andalusia, terutama pada waktu Yahya
bin Yahya al-Andalusia menjadi hasil di sana. Akan tetapi, mazhab ini kurang
tersebar di wilayah Islam bagian timur.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan tersebut dapat
diambil kesimpulan bahwa Imam Malik yang bernama Abdullah Malik bin Anas bin
Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris
al-Asbahi merupakan ahli hadits dan fikih, yang juga mewariskan mazhab fiqihnya
di kalangan Sunni yang disebut dengan mazhab Maliki.
Mazhab ini sangat mengutamakan
aspek kemaslahatan. Berdasarkan pendapat Imam Malik, dasar-dasar hukum yang
berlaku dalam mazhab Maliki adalah:
- Al-Quran
- as-Sunnah (sunah Rasulullah SAW)
- Sunah sahabat/fatwa sahaba
- Tradisi masyarakat madinah
- Qiyas
- Al-Maslahah al-Mursalah
Selain mazhab Maliki, Imam
Malik juga mewariskan kitab al-Muwatta’ yang merupakan kitab hadits dan fiqih
sekaligus yang didalamnya dihiimpun hadits-hadits dalam tema-tema fiqih yang
pernah dibahas Imam Malik.
B. Penutup
Pemikiran makalah ini kami
sampaikan mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca, dalam
memahami tentang mazhab Maliki. Dan apabila ada kekurangan dan kesalahan dalam
penulisan makalah ini dan guna untuk memperbaiki dan menyempurnakan makalah yang
akan datang, kami mohon saran dan kritik yang membangun dari segenap pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Ensiklopedi
Islam, Penyusun. Ensiklopedi Islam, PT Ictiar Baru UAN Hoeve, Cet II, Jakarta.
2003
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !