BAB
I
PENDAHULUAN
Ketokahan K. H. Hasyim Asy’ari sering kali diceburkan dalam persoalan
sosial politik. Hal ini dapat dipahami bahwa sebagian dari sejarah kehidupan K.
H. Hasyim Asy’ari juga dihabiskan untuk merebut kedaulatan bangsa Indonesia
melawan hegemoni kolonial Belanda dan Jepang. Lebih-lebih organisasi yang
didirikannya, Nahdatul Ulama, pada masa itu cukup aktif melakukan usaha-usaha
sosial politik.
Akan tetapi, K. H. Hasyim Asy’ari sejatinya merupakan tokoh yang piawai
dalam gerakan dan pemikiran kependidikan. Sebagaimana dapat disaksikan, bahwa
K. H. Hasyim Asy’ari mau tiak mau bisa dikategorikan sebagai generasi awal yang
mengembangkan sistem pendidikan pesantren, terutama di Jawa.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Biografi KH. Hasyim Asy’ari
Nama lengkap K. H. Hasyim Asy’ari adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd
Al-Wahid. Ia lahir di Gedang, sebuah desa di daerah Jombang, Jawa Timur, pada
hari selasa kliwon 24 Dzu Al-Qa’idah 1287 H. bertepatan dengan tanggal 14
Februari 1871.
Asal-usul dan keturunan K.H M.Hasyim Asy’ari tidak dapat dipisahkan dari
riwayat kerajaan Majapahit dan kerajaan Islam Demak. Salasilah keturunannya,
sebagaimana diterangkan oleh K.H. A.Wahab Hasbullah menunjukkan bahawa
leluhurnya yang tertinggi ialah neneknya yang kedua iaitu Brawijaya VI. Ada
yang mengatakan bahawa Brawijaya VI adalah Kartawijaya atau Damarwulan dari
perkahwinannya dengan Puteri Champa lahirlah Lembu Peteng (Brawijaya VII).
Menurut penuturan ibunya, tanda kecerdasan dan ketokohan Hasyim Asy’ari
sudah tampak saat ia masih berada dalam kandungan. Di samping masa kandung yang
lebih lama dari umumnya kandungan, ibunya juga pernah bermimpi melihat bulan
jatuh dari langit ke dalam kandungannya. Mimpi tersebut kiranya bukanlah isapan
jempol dan kembang tidur belaka, sebab ternyata tercatat dalam sejarah, bahwa
pada usianya yang masih sangat muda, 13 tahun, Hasyim Asy’ari sudah berani
menjadi guru pengganti (badal) di pesantren untuk mengajar santri-santri yang
tidak jarang lebih tua dari umurnya sendiri.
Bakat kepemimpinan Kiai Hasyim sudah tampak sejak masa kanak-kanak.
Ketika bermain dengan teman-teman sebayanya, Hasyim kecil selalu menjadi
penengah. Jika melihat temannya melanggar aturan permainan, ia akan menegurnya.
Dia membuat temannya senang bermain, karena sifatnya yang suka menolong dan
melindungi sesama.
Semasa hidupnya, ia mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama
pendidikan di bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan literatur agama lainnya. Setelah
itu, ia menjelajah menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren, terutama di
Jawa, yang meliputi Shone, Siwilan Buduran, Langitan Tuban, Demangan Bangkalan,
dan Sidoarjo, ternyata K. H. Hasyim Asy’ari merasa terkesan untuk terus
melanjutkan studinya. Ia berguru kepada K. H. Ya’kub yang merupaka kiai di
pesantren tersebut. Kiai Ya’kub lambat laun merasakan kebaikan dan ketulusan
Hasyim Asy’ari dalam perilaku kesehariannya, sehingga kemudian ia
menjodohkannya dengan putrinya, Khadijah. Tepat pada usia 21 tahun, tahun 1892,
Hasyim Asy’ari melangsungkan pernikahan dengan putri K. H. Ya’kub tersebut.
Setelah nikah, K. H. Hasyim Asy’ari bersama istrinya segera melakukan
ibadah haji. Sekembalinya dari tanah suci, mertua K. H. Hasyim Asy’ari
menganjurkannya menuntut ilmu di Mekkah. Dimungkinkan, hal ini didorong oleh
tradisi pada saat itu bahwa seorang ulama belumlah dikatakan cukup ilmunya jika
belum mengaji di Mekkah selama bertahun-tahun. Di tempat itu, K. H. Hasyim
Asy’ari mempelajari berbagai macam disiplin ilmu, diantaranya adalah ilmu fiqh
Syafi’iyah dan ilmu Hadits, terutama literatur Shahih Bukhari dan Muslim.
Disaat K. H. Hasyim Asy’ari bersemangat belajar, tepatnya ketika telah
menetap 7 bulan di Mekkah, istrinya meninggal dunia pada waktu melahirkan
anaknya yang pertama sehingga bayinya pun tidak terselamatkan. Walaupun
demikian, hal ini tidak mematahkan semangat belajarnya untuk menuntut ilmu.
K. H. Hasyim Asy’ari semasa tinggal di Mekkah berguru kepada Syekh Ahmad
Amin Al-Athar, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan Al-Athar, Syekh
Sayyid Yamani, Sayyid Alawi ibn Ahmad As-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayid
‘Abd Allah Al-Zawawi. Syekh Shaleh Bafadhal, dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani.
Ia tinggal di Mekkah selama 7 tahun. Dan pada tahun 1900 M. atau 1314 H.
K. H. Hasyim Asy’ari pulang ke kampung halamannya. Di tempat itu ia membuka
pengajian keagamaan yang dalam waktu yang relatif singkat menjadi terkenal di
wilayah Jawa.
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional,
Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama.
Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim
Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama
teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan
Jawa Timur.
K. H. Hasyim Asy’ari dikenal sebagai salah seorang pendiri NU (Nahdatul
Ulama). Pada masa pendudukan Jepang, Hasyim Asy’ari pernah ditahan selama 6
bulan, karena dianggap menentang penjajahan Jepang di Indonesia. Karena tuduhan
itu tidak terbukti, ia dibebaskan dari tahanan, atas jasa-jasanya dalam
perjuangan melawan penjajah Belanda dan Jepang, Hasyim Asy’ari dianugerahi
gelar pahlawan kemerdekaan nasional oleh Presiden RI.
Pada tahun 1926 K. H. Hasyim Asy’ari mendirikan partai Nahdatul Ulama
(NU). Sejak didirikan sampai tahun 1947 Rais ‘Am (ketua umum) dijabat oleh K.
H. Hasyim Asy’ari. Ia pernah menjabat sebagai kepala Kantor Urusan Agama pada
zaman pendudukan Jepang untuk wilayah Jawa dan Madura.
K. H. Hasyim Asy’ari wafat pada tahun 1947 di Tebuireng, Jombang Jawa
Timur. Hampir seluruh waktunya diabdikan untuk kepentingan agama dan
pendidikan.
B.
Perjuangan KH. M. Hasyim Asy’ari
1)
Mendirikan Pondok Pesantren
Tebuireng
Sepulang dari tanah suci sekitar Tahun1313 H/1899 M,
beliau memulai mengajar santri, beliau pertama kali mengajar di Pesantren
Ngedang yang diasuh oleh mediang kakeknya, sekaligus tempat dimana ia
dilahirkan dan dibesarkan. Setelah itu belaiu mengajar di Desa Muning Mojoroto
Kediri. Disinilah beliau sempat menikahi salah seoarang putri Kiai Sholeh
Banjar Melati. Akungnya, karena berbagai hal, pernikahan tersebut tidak
berjalan lama sehingga Kiai Hasyim kembali lagi ke Jombang.
Ketika telah berada di Jombang beliau berencana
membangun sebuah pesantren yang dipilihlah sebuah tempat di Dusun Tebuireng
yang pada saat itu merupakan sarang kemaksiatan dan kekacauan. Pilihan itu
tentu saja menuai tanda tanaya besar dikalangan masyarakat, akan tetapi semua
itu tidak dihiraukannaya.
Nama Tebuireng pada asalnya Kebo ireng (kerbau hitam).
Ceritanya, Di dearah tersebut ada se-eokor kerbau yang terbenam didalam Lumpur,
dimana tempat itu banyak sekali lintahnya, ketika ditarik didarat, tubuh kerbau
itu sudah berubah warna yang asalnya putih kemerah-merahan berubah menjadi
kehitam-hitaman yang dipenuhi dengan lintah. Konon semenjak itulah daerah tadi
dinamakan Keboireng yang akhirnya berubah menjadi Tebuireng.
Pada tanggal 26 Robiul Awal 1317 H/1899 M,
didirikanlah Pondok Pesantren Tebuireng, bersama rekan-rekan seperjuangnya,
seperti Kiai Abas Buntet, Kiai Sholeh Benda Kereb, Kiai Syamsuri Wanan Tara,
dan beberapa Kiai lainnya, segala kesuliatan dan ancaman pihak-pihak yang benci
terhadap penyiaran pendidikan Islam di Tebuireng dapat diatasi.
KH. M. Hasyim Asya’ri memulai sebuah tradisi yang
kemudian menjadi salah satu keistimewaan beliau yaitu menghatamkan kitab
shakhihaini “Al-Bukhori dan Muslim” dilaksanakan pada setiap bulan suci
ramadlan yang konon diikuti oleh ratusan kiai yang datang berbondong-bondong
dari seluruh jawa. Tradisi ini berjalan hingga sampai sekarang (penggasuh PP.
Tebuireng KH. M.Yusuf Hasyim). Para awalnya santri Pondok Tebuireng yang
pertama berjumlah 28 orang, kemudian bertambah hingga ratusan orang, bahkan
diakhir hayatnya telah mencapai ribuan orang, alumnus-alumnus Pondok Tebuireng
yang sukses menjadi ulama’ besar dan menjadi pejabat-pejabat tinggi negara, dan
Tebuireng menjadi kiblat pondok pesantren.
2)
Mendirikan Nahdlatul Ulama’
Disamping aktif mengajar belaiu juga aktif dalam
berbagai kegiatan, baik yang bersifat lokal atau nasional. Pada tanggal 16 Sa’ban
1344 H/31 Januari 1926 M, di Jombang Jawa Timur didirikanlhn Jam’iyah Nahdlotul
Ulama’ (kebangkitan ulama) bersama KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahab Hasbullah, dan
ulama’-ulama’ besar lainnya, dengan azaz dan tujuannya: “Memegang dengan teguh
pada salah satu dari madzhab empat yaitu Imam Muhammad bin Idris Asyafi’i, Imam
Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah An-Nu’am dan Ahmad bin Hambali. Dan juga
mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam”. KH. Hasyim
Asy’ari terpilih menjadi rois akbar NU, sebuah gelar sehingga kini tidak
seorang pun menyandangnya. Beliau juga menyusun qanun asasi (peraturan dasar)
NU yang mengembangkan faham ahli sunnah waljama’ah.
Nahdlatul ulama’ sebagai suatu ikatan ulama’ seluruh
Indonesia dan mengajarkan berjihad untuk keyakinan dengan sistem berorganisasi.
Memang tidak mudah untuk menyatukan ulama’ yang berbeda-beda dalam sudut
pandangnya, tetapi bukan Kiai Hasyim kalau menyerah begitu saja, bahwa beliau
melihat perjuangan yang dilakukan sendiri-sendiri akan lebih besar membuka
kesempatan musuh untuk mengancurkannya, baik penjajah atau mereka yang ingin
memadamkan sinar dan syi’ar Islam di Indonesia, untuk mengadudombanya antar
sesama. Beliau sebagai orang yang tajam dan jauh pola pikirnya dalam hal ini,
melihat bahaya yang akan dihadapkannya oleh umat Islam, dan oleh karena itu
beliau berfikir mencari jalan keluarnya yaitu dengan membentuk sebuah
organisasi dengan dasar-dasar yang dapat diterima oleh ulama’ulama lain.
Jam’iyah ini berpegang pada faham ahlu sunnah wal jama’ah,
yang mengakomodir pada batas-batas tertentu pola bermadzhab, yang belakangan
lebih condong pada manhaj dari pada sekedar qauli. Pada dasawarsa pertama NU
berorentasi pada persoalan agama dan kemasyarakatan. Kegiatan diarahkankan pada
persoalan pendidikan, pengajian dan tabligh. Namun ketika memasuki dasawarsa
kedua orentasi diperluas pada persoalan-persolan nasional. Hal tersebut terkait
dengan keberadaannya sebagai anggota federasi Partai dan Perhimpunan Muslim
Indonesia (MIAI) NU bahkan pada perjalanan sejarahnya pernah tampil sebagai
salah satu partai polotik peserta pemilu, yang kemudian menyatu dengan PPP,
peran NU dalam politik praktis ini kemudian diangulir dengan keputusan Muktamar
Situbono yanh menghendaki NU sebagai organisasi sosial keagamaan kembali pada
khitohnya.
3)
Pejuang Kemerdekaan
Peran KH. M. Hasyim Asy’ari tidak hanya terbatas pada
bidang keilmuan dan keagamaan, melainkan juga dalam bidang sosial dan
kebangsaan, beliau terlibat secara aktif dalam perjuangan membebaskan bangsa
dari penjajah belanda.
Pada tahun 1937 beliau didatangi pimpinan pemerintah
belanda dengan memberikan bintang mas dan perak tanda kehormatan tetapi beliau
menolaknya. Kemudian pada malam harinya beliau memberikan nasehat kepada
santri-santrinya tentang kejadian tersebut dan menganalogkan dengan kejadian
yang dialami Nabi Muhammad SAW yang ketika itu kaum Jahiliyah menawarinya
dengan tiga hal, yaitu:
- Kursi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan
- Harta benda yang berlimpah-limpah
- Gadis-gadis tercantik
Akan tetapi Nabi SAW menolaknya bahkan berkata: “Demi
Allah, jika mereka kuasa meletakkan matahari ditangan kananku dan bulan
ditangan kiriku dengan tujuan agar aku berhenti dalam berjuang, aku tidak akan
mau menerimanya bahkan nyawa taruhannya”. Akhir KH.M. Hasyim Asy’ari mengakhiri
nasehat kepada santri-santrinya untuk selalu mengikuti dan menjadikan tauladan
dari perbuat Nabi SAW.
Masa-masa revolusi fisik di Tahun 1940, barang kali
memang merupakan kurun waktu terberat bagi beliau. Pada masa penjajahan Jepang,
beliau sempat ditahan oleh pemerintah fasisme Jepang. Dalam tahanan itu beliau
mengalami penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangan beliau menjadi
cacat. Tetapi justru pada kurun waktu itulah beliau menorehkan lembaran dalam
tinta emas pada lembaran perjuangan bangsa dan Negara republik Indonesia, yaitu
dengan diserukan resolusi jihad yang beliau mefatwakan pada tanggal 22 Oktober
1945, di Surabaya yang lebih dikenal dengan hari pahlawan nasional.
C.
Pemikiran K. H. Hasyim Asy’ari
1.
Pemikiran Tentang Pendidikan
Tepat pada tanggal 26 Rabi’ Al-Awwal 120 H. bertepatan
6 Februari 1906 M., Hasyim Asy’ari mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng. Oleh
karena kegigihannya dan keikhlasannya dalam menyosialisakan ilmu pengetahuan,
dalam beberapa tahun kemudian pesantren relatif ramai dan terkenal.
Menurut Abu Bakar Aceh yang dikutip oleh editor buku
Rais ‘Am Nahdlatul Ulama hal.153 bahwa KH. Hasyim Asy’ari mengusulkan sistem
pengajaran di pesantren diganti dari sistem bandongan menjadi sistem tutorial
yang sistematis dengan tujuan untuk mengembangkan inisiatif dan kepribadian
para santri. Namun hal itu ditolak oleh ayahnya, Asy’ari dengan alasan akan
menimbulkan konflik di kalangan kiai senior.
Pada tahun 1916 – 1934 Hasyim Asy’ari membuka sistem
pengajaran berjenjang. Ada tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi ke dalam dua
tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan siffir awal dan siffir tsani yaitu
masa persiapan untuk memasuki masa lima tahun jenjang berikutnya. Pada siffir
awal dan siffir tsani itu diajarka bahasa Arab sebagai landasan penting
pembedah khazanah ilmu pengetahuan Islam.
Kurikulum madrasah mulai ditambah dengan
pelajaran-pelajaran bahasa Indonesia (Melayu), matematika dan ilmu bumi, dan
tahun 1926 ditambah lagi dengan mata pelajaran bahasa Belanda dan sejarah.
Kiai Hasyim terkenal sebagai ulama yang mampu
melakukan penyaringan secara ketat terhadap sekian banyak tradisi keagamaan
yang dianggapnya tidak memiliki dasar-dasar dalam hadis dan ia sangat teliti
dalam mengamati perkembangan tradisi ketarekatan di pulau Jawa, yang
nilai-nilainya telah menyimpang dari kebenaran ajaran Islam.
Menurut hasyim Asy’ari, ia tetap mempertahankan
ajaran-ajaran mazhab untuk menafsirkan al-Qur’an dan hadis dan pentingnya
praktek tarikat.
Sebagaimana diketahui dalam sejarah pendidikan Islam
tradisional, khususnya di Jawa, peranan kiai Hasyim yang kemudian terkenal
dengan sebutan Hadrat Asy-Syaikh (guru besar di lingkungan pesantren), sangat
besar dalam pembentukan kader-kader ulama pimpinan pesantren. Banyak pesantren
besar yang terkenal, terutama, yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah,
dikembangkan oleh para kiai hasil didikan kiai Hasyim.
Beliau menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahan
adalah mengamalkan. Hal itu dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat
sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak. Terdapat dua hal yang harus
diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu : pertama, bagi murid hendaknya berniat
suci dalam menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan
jangan melecehkannya atau menyepelikannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan
ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi
semata. Agaknya pemikiran beliau tentang hal tersebut di atas, dipengaruhi oleh
pandangannya akan masalah sufisme (tasawuf), yaitu salah satu persyaratan bagi
siapa saja yang mengikuti jalan sufi menurut beliau adalah “niat yang baik dan
lurus”.
Salah satu karya monumental K. H. Hasyim Asy’ari yang
berbicara tentang pendidikan adalah kitab Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allum wa ma
Yataqaff Al-Mu’allimin fi Maqamat Ta’limih yang dicetak pertama kali pada tahun
1415 H. sebagaimana umumnya kitab kuning, pembahasan terhadap masalah
pendidikan lebih ditekankan pada masalah pendidikan etika. Meski demikian tidak
menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya. Keahliannya dalam bidang hadits
ikut pula mewarnai isi kitab tersebut.
Belajar menurut Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk
mencari ridha Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan
dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan
melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk sekedar menghilangkan
kebodohan. Pendidikan hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju
kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu
mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam
kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan
jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan nilai
dan norma-norma Islam.
Catatan yang menarik dan perlu dikedepankan dalam
membahas pemikiran dan pandangan yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari adalah
etika dalam pendidikan, dimana guru harus membiasakan diri menulis, mengarang
dan meringkas, yang pada masanya jarang sekali dijumpai. Dan hal ini beliau
buktikan dengan banyaknya kitab hasil karangan atau tulisan beliau.
Betapa majunya pemikiran Hasyim Asy’ari dibanding
tokoh-tokoh lain pada zamannya, bahkan beberapa tahun sesudahnya. Dan pemikiran
ini ditumbuh serta diangkat kembali oleh pemikir pendidik zaman sekarang ini,
yaitu Harun Nasution, yang mengatakan hendaknya para dosen-dosen di Perguruan
Tinggi Islam khususnya agar membiasakan diri untuk menulis.
Selain mumpuni dalam bidang agama, Kiai Hasyim juga
ahli dalam mengatur kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran,
memutuskan persoalan-persoalan actual kemasyarakatan, dan mengarang kitab. Pada
tahun 1919, ketika masayarakat sedang dilanda informasi tentang koperasi
sebagai bentuk kerjasama ekonomi, Kiai Hasyim tidak berdiam diri. Beliau aktif
bermuamalah serta mencari solusi alternatif bagi pengembangan ekonomi umat,
dengan berdasarkan pada kitab-kitab Islam klasik. Beliau membentuk badan
semacam koperasi yang bernama Syirkatul Inan li Murabathati Ahli al-Tujjar.
Menurut Hasyim Asya’ri ada beberapa hal yang harus
dimiliki oleh seorang pendidik Islam, beberapa hal tersebut adalah adab atau
etika bagi alim / para guru. Paling tidak menurut Hasyim Asy’ari ada dua puluh
etika yang harus dipunyai oleh guru ataupun calon guru.
Pertama, selalu berusah mendekatkan diri kepada Allah
dalam keadaan apapun, bagaimanapun dan dimanapun. Kedua, mempunyai rasa takut
kepada Allah, takut atau khouf dalam keadaan apapun baik dalam gerak, diam,
perkataan maupun dalam perbuatan. Ketiga, mempunyai sikap tenang dalam segala
hal. Keempat, berhati-hati atau wara dalam perkataan,maupun dalam perbuatan. Kelima,
tawadhu, tawadhu adalah dalam pengertian tidak sombong, dapat juga dikatakan
rendah hati. Keenam, khusyu dalam segala ibadahnya. Ketujuh, selalu berpedoman
kepada hokum Allah dalam segala hal. kedelapan, tidak menggunakan ilmunya hanya
untuk tujuan duniawi semata. Kesembilan, tidak rendah diri dihadapan pemuja
dunia. Kesepuluh, zuhud, dalam segala hal. Kesebelas, menghindarai pekerjaan
yang menjatuhkan martabatnya. Kedua belas, menghindari tempat –tempat yang
dapat menimbulkan maksiat. Ketigabelas, selalu menghidupkan syiar islam. Keempat
belas, menegakkan sunnah Rasul. Kelimabelas, menjaga hal- hal yang sangat di
anjurkan. Keenam belas, bergaul dengan sesame manusia secara ramah, ketujuhbelas,
menyucikan jiwa. Kedelapan belas selalu berusaha mempertajam ilmunya. Delapan
belas, terbuka untuk umum, baik saran maupun kritik. Sembilan belas,selalu
mengambil ilmu dari orang lain tentang ilmu yang tidak diketahuinya. Duapuluh,
meluangkan waktu untuk menulis atau mengarang buku.
Dengan memiliki dua puluh etika tersebut diharapkan
para guru menjadi pendidikan yang baik, pendidik yang mampu menjadi teladan
anak didik. Di sisi lain, ketika pendidik mempunyai etika, maka yang terdidik
pun akan menjadi anak didik yang beretika juga, karena keteladanan mempunyai
peran penting dalam mendidik akhlak anak. Untuk itu perlu kiranya para calon
pendidik maupun yang telh menjadi pendidik untuk memiliki etika tersebut.
2.
Pemikiran tentang Sosial
Aktivitas K. H. Hasyim Asy’ari di bidang sosial
lainnya adalah mendirikan organisasi Nahdatul Ulama, bersama dengan ulama besar
di Jawa lainnya, seperti Syekh ‘Abd Al-Wahhab dan Syekh Bishri Syansuri.
Mengenai orientasi pemahaman dan pemikiran keislaman,
kiai Hasyim sangat dipengaruhi oleh salah seorang guru utamanya: Syekh Mahfuz
At-Tarmisi yang banyak menganut tradisi Syekh Nawawi. Selama belajar di Mekkah,
sebenarnya, ia pun mengenal ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh. Tetapi ia
cenderung tidak menyetujui pikiran-pikiran Abduh, terutama dalam hal kebebasan
berpikir dan pengabaian Mazhab. Menurutnya kembali langsung ke Al-Qur’an dan
As-Sunnah tanpa melalui hasil-hasil Ijtihad para imam mazhab adalah tidak mungkin.
Menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits secara langsung, tanpa mempelajari kitab-kitab
para ulama besar dan imam mazhab, hanya akan menghasilkan pemahaman yang keliru
tentang ajaran Islam. Latar belakang orientasi pemahaman keislaman seperti
inilah yang membuat kiai Hasyim menjadi salah seorang pendiri dan pemimpin
utama Nadhatul Ulama. Tidak kurang dari 21 tahun ia menjadi Rais ‘Am, ketua
umum Nadhatul Ulama (1926-1947).
KH Hasyim Asy’ari menganjurkan kepada para kiai dan
guru-guru agama agar memiliki perhatian serius kepada masalah ekonomi untuk
kemaslahatan; “kenapa tidak kalian dirikan saja satu badan usaha, yang setiap
wilayah ada satu badan usaha yang mandiri.” Demikian pernyataan KH Hasyim
Asy’ari ketika mendeklarasikan berdirinya Nahdlah at-Tujjar.
Berangkat dari kesadaran itulah Nahdlah at-Tujjar
didirikan, dengan satu badan usaha yang ketika itu disebut Syirkah al-Inan,
yang kemudian hari ketika NU berdiri wadah ekonomi tersebut berganti nama dengan
Syirkah al-Mu’awanah.
Ketika organisasi sosial keagamaan masyumi dijadikan
partai politik pada 1945, Kiai Hasyim terpilih sebagai ketua umum. Setahun
kemudian, 7 September 1947 (1367 H), K. H. Muhammad Hasyim Asy’ari, yang
bergelar Hadrat Asy-Syaikh wafat. Berdasarkan keputusan Presiden No. 29/1964,
ia diakui sebagai seorang pahlawan kemerdekaan nasional, suatu bukti bahwa ia
bukan saja tokoh utama agama, tetapi juga sebagai tokoh nasional.
Pada tahun 1930 dalam muktamar NU ke-3 kiai Hasyim
selaku Rais Akbar menyampaikan pokok-pokok pikiran mengenai organisasi NU.
Pokok-pokok pikiran inilah yang kemudian dikenal sebagai Qanun Asasi Jamiah NU
(undang-undang dasar jamiah NU).
D.
Karya K. H. Hasyim Asy’ari
Disamping aktif mengajar, berdakwah, dan berjuang, Kiai Hasyim juga
penulis yang produktif. Beliau meluangkan waktu untuk menulis pada pagi hari,
antara pukul 10.00 sampai menjelang dzuhur. Waktu ini merupakan waktu longgar
yang biasa digunakan untuk membaca kitab, menulis, juga menerima tamu.
Karya-karya Kiai Hasyim banyak yang merupakan jawaban atas berbagai
problematika masyarakat. Misalnya, ketika umat Islam banyak yang belum faham
persoalan tauhid atau aqidah, Kiai Hasyim lalu menyusun kitab tentang aqidah,
diantaranya Al-Qalaid fi Bayani ma Yajib min al-Aqaid, Ar-Risalah
al-Tauhidiyah, Risalah Ahli Sunnah Wa al-Jama’ah, Al-Risalah fi al-Tasawwuf,
dan lain sebagainya.
Kiai Hasyim juga sering menjadi kolumnis di majalah-majalah, seperti
Majalah Nahdhatul Ulama’, Panji Masyarakat, dan Swara Nahdhotoel Oelama’.
Biasanya tulisan Kiai Hasyim berisi jawaban-jawaban atas masalah-masalah
fiqhiyyah yang ditanyakan banyak orang, seperti hukum memakai dasi, hukum
mengajari tulisan kepada kaum wanita, hukum rokok, dll. Selain membahas tentang
masail fiqhiyah, Kiai Hasyim juga mengeluarkan fatwa dan nasehat kepada kaum
muslimin, seperti al-Mawaidz, doa-doa untuk kalangan Nahdhiyyin, keutamaan
bercocok tanam, anjuran menegakkan keadilan, dan lain-lain.
Sebagai seorang intelektual, K. H. Hasyim Asy’ari telah menyumbangkan
banyak hal yang berharga bagi pengembangan peradaban, diantaranya adalah
sejumlah literatur yang berhasil ditulisnya. Karya-karya tulis K. H. Hasyim
Asy’ari yang terkenal adalah sebagai berikut: (1) Adab Al-‘Alim wa
Al-Muta’allimin, (2) Ziyadat Ta’liqat, (3) Al-Tanbihat Al-Wajibat Liman, (4)
Al-Risalat Al-Jami’at, (5) An-Nur Al-Mubin fi Mahabbah Sayyid Al-Mursalin, (6)
Hasyiyah ‘Ala Fath Al-Rahman bi Syarh Risalat Al-Wali Ruslan li Syekh Al-Isam
Zakariya Al-Anshari, (7) Al-Durr Al-Muntatsirah fi Al-Masail Al-Tis’i Asyrat,
(8) Al-Tibyan Al-Nahy’an Muqathi’ah Al-Ikhwan, (9) Al-Risalat Al-Tauhidiyah,
(10) Al-Qalaid fi Bayan ma Yajib min Al-‘Aqaid.
Kitab ada Al-‘Alim wa Al-Muta’allimin merupakan kitab yang berisi tentang
konsep pendidikan. Kitab ini selesai disusun hari Ahad pada tanggal 22 Jumadi
Al-Tsani tahun 1343. K. H. Hasyim Asy’ari menulis kitab ini didasari oleh
kesadaran akan perlunya literatur yang membahas tentang etika (adab) dalam
mencari ilmu pengetahuan. Menuntut ilmu merupakan pekerjaan agama yang sangat
luhur sehingga orang yang mencarinya harus memperlihatkan etika-etika yang
luhur pula.
BAB
III
ANALISIS
Mengajar merupakan profesi yang di tekuni oleh K. H. Hasyim Asy’ari sejak
muda. Sejak masih di pondok pesantren ia sering dipercayakan mengajar
santri-santri yang baru masuk oleh gurunya. Bahkan, ketika di Mekkah ia pun
sudah mengajar. Sepulang dari Mekkah ia membantu ayahnya mengajar di pondok
ayahnya, pondok Nggedang. Kemudian ia mendirikan pondok pesantren sendiri di
desa Tebuireng, Jombang. Hasyim Asy’ari sengaja memilih lokasi yang penduduknya
dikenal banyak penjudi, perampok, dan pemabuk. Mulanya pilihan itu ditentang
oleh sahabat dan sanak keluarganya. Akan tetapi, Hasyim Asy’ari meyakinkan
bahwa mereka bahwa dakwah Islam harus lebih banyak ditujukan kepada masyarakat
yang jauh dari kehidupan beragama. Demikianlah pada tahun 1899 di Tebuireng
berdiri sebuah pondok yang sangat sederhana. Bertahun-tahun kiai Hasyim membina
pesantrennya, menghadapi berbagai rintangan dan hambatan, terutama dari
masyarakat sekelilingnya. Akhirnya, pesantren itu tumbuh dan berkembang dengan
pesat.
BAB
IV
KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas, dapatlah diketahui bahwa ketokohan kiai Hasyim
Asy’ari dikalangan masyarakat dan organisasi Islam tradisional bukan saja
sangat sentral tetapi juga menjadi tipe utama seorang pemimpin, sebagaimana
diketahui dalam sejarah pendidikan tradisional, khususnya di Jawa. Peranan kiai
Hasyim Asy’ari yang kemudian dikenal dengan sebutan Hadrat Asy-Syaikh (guru
besar di lingkungan pesantren).
Peranan kiai Hasyim Asy’ari sangat besar dalam pembentukan kader-kader
ulama pemimpin pesantren, terutama yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa
Tengah.
Dalam bidang organisasi keagamaan, ia pun aktif mengoganisir perjuangan
politik melawan kolonial untuk menggerakkan masa, dalam upaya menentang
dominasi politik Belanda.
Dan pada tanggal 7 September 1947 (1367 H), K. H. Hasyim Asy’ari, yang
bergelar Hadrat Asy-Syaikh wafat. Berdasarkan keputusan Presiden No. 29/1964,
ia diakui sebagai seorang pahlawan kemerdekaan nasional, suatu bukti bahwa ia
bukan saja tokoh utama agama, tetapi juga sebagai tokoh nasional.
DAFTAR
PUSTAKA
Hasanuddin, Dkk, Pendidikan
ke-NU-an (ASWAJA), CV Al-Ihsan, Surabaya 1992.
Pustaka Ma’arif NU, Islam
Ahlussunnah Wal Jamaah Di Indonesia, Jakarta, 2007.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !