BAB I
PEMBAHASAN
Pernikahan
tidak selalu berjalan mulus. Terkadang justru berakhir dengan perceraian.
Perceraian dipilih karena dianggap sebagai solusi dalam mengurai benang kusut
perjalanan bahtera rumah tangga. Sayangnya, perceraian tidak selalu membawa
kelegaan. Sebaliknya, seringkali perceraian justru menambah berkobarnya api
perseteruan. Layar kaca pun sering menayangkan perseteruan pada proses maupun
paska perceraian yang dilakukan oleh para publik figur Indonesia melalui
tayangan-tayangan infotainment. Salah satu pemicu perseteruan adalah
masalah hak asuh anak. Apabila pasangan suami istri bercerai, siapa yang berhak
mengasuh anak? Ayah ataukah Ibu ?
Ayah yang pada
awalnya adalah kepala keluarga. Ia merasa berhak penuh atas hak asuh anak. Di
sisi lain, ibu pada awalnya adalah pengelola keluarga. Ia telah hamil,
melahirkan, menyusui, merawat, dan mendidik anak. Ia juga merasa berhak penuh
atas hak asuh anak. Bagaimana solusinya?
A.
Hakikat
Perceraian
Perceraian
adalah perpisahan atau putusnya hubungan suami-istri. Di antara keduanya
diharamkan atas aktifitas pemenuhan seksual, serta lepas dari hak dan kewajiban
sebagai suami dan istri.
Sebenarnya
perceraian adalah solusi terakhir. Ibarat pintu darurat, ia hanya dilalui jika
bahtera rumah tangga tidak mungkin diselamatkan. Oleh sebab itu, seharusnya
perceraian menjadi “api pemadam” bukan penambah kobaran perseteruan. Berarti
perlu kejelasan syariat, siapa yang memiliki hak asuh anak (hadhanah).
B.
Hak Asuh Anak Menurut Syariat Islam
Ahmad, Abu
Daud, dan Al-Hakim telah meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr : Bahwa seorang
wanita berkata, “Ya Rasul Allah, sesungguhnya anak saya ini, perut sayalah
yang telah mengandungnya, dan tetak sayalah yang telah menjadi minumannya dan
haribaankulah yang melindunginya. Tapi bapaknya telah menceraikan aku dan
hendak menceraikan anakku pula dari sisiku.” Maka bersabdalah Rasulullah
saw. : “Engkaulah yang lebih berhak akan anak itu, selagi belum kawin
(dengan orang lain).”
Demikian halnya
saat Umar bin Khattab menceraikan Ummu Ashim dan bermaksud mengambil Ashim bin
Umar dari pengasuhan mantan istrinya. Keduanya pun mengadukan masalah ini
kepada Abu Bakar r.a. selaku amirul mukminin saat itu.
Abu Bakar
berkata : “Kandungan, pangkuan, dan asuhan Ummu Ashim lebih baik bagi Ashim
dari pada dirimu (Umar) hingga Ashim beranjak dewasa dan dapat menentukan
pilihan untuk dirinya sendiri.”
Ayah dan ibu
adalah orang tua anak-anaknya. Walaupun ayah dan ibu telah bercerai, anak tetap
berhak mendapat kasih dan sayang dari keduanya. Ayah tetap berkewajiban memberi
nafkah kepada anaknya. Anak berhak menjadi ahli waris karena merupakan bagian
dari nasab ayah dan ibunya. Anak gadis pun harus dinikahkan oleh ayahnya, bukan
oleh ayah tiri.
Bagaimana nasib
ibu yang telah menjanda? Ibu yang menjanda akibat diceraikan suaminya maka ia
berhak mendapat nafkah dari suami hingga masa iddahnya berakhir (tiga kali
haid) serta upah dalam pengasuhan anak baik dalam masa iddah maupun setelahnya
hingga anak mencapai fase tamyiz (berakal) dan melakukan takhyir
yang memungkinkan ia untuk memilih ikut ibu atau ayah
Jika anak belum
mencapai fase tamyiz (berakal), maka ibu tetap berkewajiban mengasuh
anaknya. Jika ibu tidak mampu mengasuh anaknya (misalnya karena : kafir/murtad,
tidak waras, dan sebab syar’i lainnya yang tidak memungkinkan dia mengasuh dan
mendidik anak), maka pengasuhan dapat dilakukan oleh ibunya ibu (nenek dari
anak) hingga garis keturunan seterusnya. Jika dari semua yang tergolong mulai
dari ibunya ibu hingga garis keturunan seterusnya tidak mampu mengasuh maka
menjadi kewajiban ayah untuk mengasuh atau mencari pengasuh yang mumpuni untuk
mengasuh dan mendidik anak-anaknya.
Pengasuh yang
dipilih bisa ibunya ayah (nenek anak) hingga garis keturunan seterusnya. Bisa
juga perempuan lain yang memang mumpuni dalam mengasuh anak. Adapun syarat
pengasuh anak adalah baligh dan berakal, mampu mendidik, terpercaya dan berbudi
luhur, Islam, dan tidak bersuami. (Fiqih Anak, 2004. Hj. Huzaemah
Tahido Yanggo).
Perceraian
memang pahit. Akan tetapi perceraian lebih baik dipilih daripada kehidupan
rumah tangga menjadi terpuruk sehingga bisa menyebabkan berbagai kemaksiatan.
Tugas ayah dan ibu berikutnya adalah menanamkan cinta dan kasih sayang kepada
anggota keluarganya agar anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut
tidak condong kepada sikap durhaka. Baik kepada ibu, ayah, maupun keduanya. Hal
ini karena ayah dan ibu adalah orang tua dari anak.
Dengan
demikian, fenomena yang terjadi seperti berebut hak asih anak, mengadu pada
Komisi Perlindungan Anak maupun LSM-LSM Peduli Anak, seharusnya tidak perlu
terjadi. Hal itu justru bisa menimbulkan stress pada anak. Apalagi sampai
menghindarkan anak dari pertemuan dengan ayah atau ibunya. Oleh karena itu
tidaklah mengherankan apabila anak-anak menjadi depresi dan membenci salah satu
maupun kedua orang tuanya. Inilah saatnya untuk memutus lingkaran setan dari
kesalahan pemahaman mengenai hak asuh anak (hadhanah) sesuai syariat
Islam.
BAB
II
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah tersebut diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa,
Perceraian adalah perpisahan atau putusnya hubungan
suami-istri. Di antara keduanya diharamkan atas aktifitas pemenuhan seksual,
serta lepas dari hak dan kewajiban sebagai suami dan istri
Ayah dan ibu
adalah orang tua anak-anaknya. Walaupun ayah dan ibu telah bercerai, anak tetap
berhak mendapat kasih dan sayang dari keduanya. Ayah tetap berkewajiban memberi
nafkah kepada anaknya. Anak berhak menjadi ahli waris karena merupakan bagian
dari nasab ayah dan ibunya. Anak gadis pun harus dinikahkan oleh ayahnya, bukan
oleh ayah tiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta. 2007
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !