BAB
I
PEMBAHASAN
Larangan perkawinan dalam hokum perkawinan Islam ada dua macam yaitu
larangan selama-lamanya terinci dalam Pasal 39 KHI dan larangan sementara Pasal
40 sampai Pasal 44 KHI. Hal ini akan diuraikan sebagai berikut:
A.
Larangan Perkawinan Selama-Lamanya
Larangan perkawinan bagi seorang pria dengan seorang wanita
selama-lamanya atau wanita-wanita yang haram dinikahi oleh seorang pria
selama-lamanya mempunyai beberapa sebab. Pasal 39 KHI mengungkapkan: “Dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan:
1.
Karena pertalian nasab
- Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya
- Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu
- Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya
2.
Karena pertalian kerabat semenda
- Dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atua bekas istrinya
- Dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya
- Dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya itu qabla al dukhul
- Dengan seorang wanita bekas istri keturunannya
3.
Karena pertalian sesusuan
- Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus keatas
- Dengan seorang wanita susuanda seterusnya menurut garis lurus ke bawah
- Dengan seorang wanita saudara sesusuan dan kemenakan sesusuan ke bawah
- Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;
- Dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.[1]
B.
Larangan Perkawinan dalam Waktu
Tertentu
Larangan perkawinan dalam waktu tertentu bagi seorang pria dengan seorang
wanita, diungkapkan secara rinci dalam Pasal 40 sampai 44 KHI[2]. Hal
ini, diuraikan sebagai berikut:
Pasal 40 KHI
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita karena keadaan tertentu.
a.
Karena wanita yang bersangkutan masih
terkait satu perkawinan dengan pria lain
b.
Seorang wanita yang masih berada dalam
masa iddah dengan pria lain
c.
Seorang wanita yang tidak beragama Islam
Pasal 41 KHI
(1)
Seorang pria dilarang memadu istrinya
dengan wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau susuan dengan
istrinya
a.
Saudara kandung, seayah atua seibu serta
kemenakannya
b.
Wanita dengan bibinya atau kemenakannya
(2)
Larangan tersebut pada ayat (1) tetap
berlaku meskipun istri-istrinya telah ditalak raj’I, tetapi masih dalam masa
iddah.
Pasal 42 KHI
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita
apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang istri yang
keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak
raj’I ataupun slaah seorang di antara mereka masih terikat tali perkawinan
sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj’i.
Pasal 43 KHI
(1)
Dilarang melangsungkan perkawinan antara
seorang pria
a.
Dengan seorang wanita bekas istrinya yang
ditalak tiga kali
b.
Dengan seorang wanita bekas istrinya yang
dili’an
(2)
Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a
gugur, kalau bekas istri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan
tersebut putus ba’da dukhul dan telah habis masa iddahnya
Pasal 44 KHI
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang
pria yang tidak beragama Islam. Selain larangan perkawinan dalam waktu tertentu
yang disebabkan dalam KHI dimaksud, perlu juga diungkapkan mengenai larangan
perkawinan yang tertuang dalam Pasal 8, 9 dan 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Hal ini
diungkapkan sebgai berikut:
Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a.
Berhubungan darah dalam garis keturunan
lurus ke bawah maupun ke atas
b.
Berhubungan darah dalam garis keturunan
menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan
antara seorang dengan saudara neneknya
c.
Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak
tiri, menantu dan ibu/bapak tiri
d.
Berhubungan susuan, yaitu orang tua
susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan.
e.
Berhubungan saudara dengan istri atua
sebagai bibi atua kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih
dari seorang.
f.
Mempunyai hubungan yang oleh agamanya
atau peraturan lain yan berlaku, dilarang kawin
Pasal 9
Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat
kawin lagi, kecuali dalam hal yang
tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang ini
Pasal 10
Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain
dan bercerai lagi untuk kedua kalinya makadi antara mereka tidak boleh
dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hokum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.[3]
Uraian di atas menunjukkan lebih mudah dipahami daripada redaksi yang
digunakan dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia bila dibandingkan dengan
perundang-undangan lainnya termasuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
BAB
II
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah tersebut diatas maka penulis dapat menyimpulkan
bahwa, Larangan perkawinan dalam hokum perkawinan Islam ada dua macam yaitu
larangan selama-lamanya terinci dalam Pasal 39 KHI dan larangan sementara Pasal
40 sampai Pasal 44 KHI.
Larangan perkawinan bagi seorang pria dengan seorang wanita
selama-lamanya atau wanita-wanita yang haram dinikahi oleh seorang pria
selama-lamanya mempunyai beberapa sebab. Pasal 39 KHI mengungkapkan: “Dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan:
- Karena pertalian nasab
- Karena pertalian kerabat semenda
- Karena pertalian sesusuan
Larangan perkawinan dalam waktu tertentu bagi seorang pria dengan seorang
wanita, diungkapkan secara rinci dalam Pasal 40 sampai 44 KHI
DAFTAR
PUSTAKA
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta. 2007
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974. Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam, Citra Umbara, Bandung. 2007
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !