BAB I
PENDAHULUAN
Pada
zaman sekarang, sedikit sekali masyarkat atau remaja yang mengenal bahasa
Indonesia secara benar. Kebanyakan dari mereka menggunakan bahasa gaul sebagai
bahasa komunikasi. Sebenarnya itu adalah kesalahan besar masyarkat kita.
Masyarakat tidak bangga dengan bahasa resminya. Mereka lebih bangga dengan
bahasa yang telah mereka rusak sendiri. Seharusnya kita sebagai warga negara Indonesia yang
baik lebih bangga dengan bahasa resmi kita, tidak dengan bahasa gaul yang telah
kita ciptakan sendiri tanpa menggunakan kaidah EYD yang berlaku. Masalah ini
telah menjadi masalah yang serius bagi kita. Dan sudah seharusnya kita sebagai
warga negara yang baik, mau mempelajari dan menggunakan bahasa Indonesia dengan
baik.
BAB II
PEMBAHASAN
Satuan
bentuk terkecil dalam bahasa adalah fonem dan yang terbesar adalah karangan. Di
antara satuan bentuk terkecil dan terbesar itu terdapat deretan bentuk morfem,
kata, frasa, kalimat dan alinea. Ketujuh satuan bentuk bahasa itu diakui eksistensinya
jika mempunyai makna atau dapat mempengaruhi makna. Dapat mempengaruhi makna
maksudnya kehadirannya dapat mengubah makna atau menciptakan makna baru.
Hubungan antara bentuk dan makna dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang,
yang saling melengakapi. Karena bentuk yang tidak bermakna atau tidak dapat
mempengaruhi makna tidak terdapat dalam tata satuan bentuk bahasa.
A.
Fonem
Fonem
adalah bunyi terkecil yang dapat membedakan arti (bunyi dari huruf), sedangkan
huruf adalah lambang bunyi atau lambang fonem. Jadi, fonem sama denagn bunyi
(untuk didengar), huruf adalah lambang ( untuk dilihat). Jumlah huruf hanya ada
26, tetapi fonem bahasa Indonesia lebih dari 26 karena beberapa huruf ternyata
mempunyai lebih dari satu lafal bunyi. Variasi pelafalan huruf e, o, dan k
Huruf Contoh pelafalan dalam kata Fonem jahe, karate, sate emas, lepas, pedas
enak, engsel, elok /e / beo, solo (=sendiri), trio (=penyanyi) /o/ /o/ bak
(tempat air), botak, otak anak, enak, ternak /k/
B.
Morfem
Morfem
adalah satuan bentuk terkecil yang dapat membedakan makna dan atau mempunyai
makna. Morfem dapat berupa imbuhan (misalnya –an, me-, me-kan), klitika/partikel (misalnya –lah,
-kah), dan kata dasar (misalnya bawa, makan). Untuk membuktikan morfem sebagai
pembeda makna dapat dilakukan dengan menggabungkan morfem dengan kata yang
mempunyai arti leksikal. Jika penggabungan menghasilkan makna baru, unsur yang
digabungkan dengan kata dasar itu adalah morfem. Contoh: makan + -an = makanan
me- + makan = memakan Yang disebut partikel adalah unsur-unsur kecil dalam
bahasa. Dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (1998:342), partikel -kah,
-lah, -tah diakui sebagai klitika. Klitika tidak sama dengan imbuhan. Menurut
bentuk dan maknanya, morfem ada dua macam: a) Morfem bebas: morfem yang dapat
berdiri sendiri dari segi makna tanpa harus dihubungkan dengan morfem yang
lain. Semua kata dasar tergolong sebagai morfem bebas. b) Morfem terikat:
morfem yang tidak dapat dapat berdiri sendiri dari satu makna. Maknanya baru
jelas setelah dihubungkan dengan morfem yang lain. Semua imbuhan (awalan,
sisipan, akhiran, kombinasi awalan dan akhiran), partikel -ku, -lah, -kah dan
bentuk bentuk lain yang tidak dapat berdiri sendiri termasuk morfem terikat. &
C.
Kata
Kata
adalah satuan bentuk terkecil (dari kalimat) yang dapat berdiri sendiri dan
mempunyai makna. Kata yang terbentuk dari gabungan huruf atau gabungan morfem;
atau gabungan huruf dengan morfem, baru diakui sebagai kata bila bentuknya
mempunyai makna. Dari segi bentuk, kata dibagi atas dua macam: 1. Kata yang
bermorfem tunggal (kata dasar). Yaitu kata yang belum mendapat imbuhan. 2. Kata
yang bermorfem banyak Yaitu kata yang sudah mendapat imbuhan. Pembagian kelas
atau jenis kata: 1) kata benda (nomina) 6) kata bilangan (numeralia) 2) kata kerja
(verba) 7) kata sambung (konjungsi) 3) kata sifat (adjektiva) kata sandang
(artikel) 4) kata ganti (pronomina) 9) kata seru (interjeksi) 5) kata
keterangan (adverbia) 10) kata depan (preposisi) a) Kata kerja (verba) Adalah
kata yang menyatakan perbuatan atau tindakan, proses, dan keadaan yang bukan
merupakan sifat. Umumnya berfungsi sebagai predikat dalam kalimat. Ciri-ciri
kata kerja: 1) Dapat diberi aspek waktu, seperti akan,sedang, dan telah.
Contoh: (akan) mandi 2) Dapat diingkari dengan kata tidak Contoh: (tidak) makan
3) Dapat diikuti oleh gabungan kata (frasa) dengan + kata benda /kata sifat.
Contoh: tulis + dengan pena (KB) menulis + dengan cepat (KS) Selain bentuk di
atas, ada bentuk verba yang lain, yaitu: a) Verba reduplikasi atau verba berulang
dengan dengan atau tanpa pengimbuhan, misalnya makan-makan, batuk-batuk. b)
Verba majemuk, yaitu verba yang terbentuk melalui proses penggabungan kata,
namun bukan berupa idiom; misalnya terjun payung, tatap muka. c) Verba
berpreposisi, yaitu verba intransitif yang selalu diikuti oleh preposisi
tertentu; misalnya tahu akan, cinta pada. b) Kata sifat (adjektiva) Adalah kata
yang menerangkan sifat, keadaan, watak, tabiat orang/binatang/suatu benda.
Umumnya berfungsi sebagai predikat, objek ,dan penjelas dalam kalimat.
Dibedakan atas dua macam, yaitu: 1. Kata sifat berbentuk tunggal, dengan
ciri-ciri: a. Dapat diberi keterangan pembanding seperti lebih, kurang, dan
paling: misalnya lebih baik. b. Dapat diberi keterangan penguat seperti sangat,
sekali; misalnya sangat senang, sedikit sekali. c. Dapat diingkari dengan kata
ingkar tidak, misalnya tidak benar. 2. kata sifat berimbuhan. Contoh: abadi,
manusiawi, kekanak-kanakan. c) Kata keterangan (adverbia) Adalah kata yang
memberi keterangan pada verba, adjektiva, nomina predikatif, atau kalimat.
Kalimat Saya ingin segera melukis, kata segera adalah adverbia yang menerangkan
verba melukis. d) Rumpun kata benda (nomina) Adalah kata yang mengacu kepada
sesuatu benda (konkret maupun abstrak). Kata benda berfungsi sebagai subjek,
objek, pelengkap, dan keterangan dalam kalimat. Ciri kata benda: 1. Dapat
diingkari dengan kata bukan. Contoh: gula (bukan gula). 2. Dapat diikuti
setelah gabungan kata yang + kata sifat atau yang sangat + kata sifat. Contoh:
buku + yang mahal (KS). Ada
dua jenis kata yang juga mengacu kepada benda, yaitu: 1. Pronomina: kata yang
dipakai untuk mengacu kepada nomina lain. Contoh: mana, kapan, Bu 2. Numeralia
: kata yang dipakai untuk menghitung banyaknya orang, binatang, atau barang.
Contoh: tiga, puluhan. Jadi, rumpun kata benda ada: 1) kata benda (nomina), 2)
kata ganti (pronomina), 3) kata bilangan (numeralia). e) Rumpun kata tugas
(partikel) Adalah kumpulan kata dan partikel. Lebih tepat dinamakan rumpun kata
tugas, yang terdiri atas: 1. Kata depan (preposisi) Adalah kata tugas yang
selalu berada di depan kata benda, kata sifat atau kata kerja untuk membentuk
gabungan kata depan (frasa preposional). Contoh: di kantor, sejak kecil. 2.
Kata sambung (konjungsi) Adalah kata tugas yang berfungsi menghubungkan dua
kata atau dua kalimat. Contoh: – …antara hidup dan mati (dalam kalimat) –
Situasi memang sudah membaik. Akan tetapi, kita harus selalu siaga. 3. Kata
seru (interjeksi) Adalah kata tugas yang dipakai untuk mengungkapkan seruan
hati seperti rasa kagum, sedih, heran, dan jijik. Kata seru dipakai di dalam
kalimat seruan atau kalimat perintah (imperatif). Contoh: Aduh, gigiku sakit
sekali! Ayo, maju terus, pantang mundur! 4. Kata sandang (artikel) Adalah kata
tugas yang membatasi makna jumlah orang atau kata benda. Artikel ada tiga,
yaitu: yang bermakna tunggal: sang putriØ yang bermakna jamak: para hakimØ yang bermakna netral: si hitam manis.Ø 5.
Partikel Penegas Bermakna unsur-unsur kecil dari suatu benda. Partikel yang
dibicarakan di sini adalah partikel yang berperan membentuk kalimat tanya
(interogatif) dan pernyataan, yaitu: -kah: Apakah Bapak Ahmadi sudah datang?
Berfungsi sebagi kalimat tanya yang membutuhkan jawaban. -lah: Apalah dayaku
tanpa bantuanmu? Berfungsi sebagai kalimat tanya yang tidak membutuhkan jawaban
tetapi tetap diberi tanda tanya. Dialah yang Maha Kuasa, kata lah dalam kalimat
ini menunjukkan partikel dan harus ditulis dengan huruf kecil. DiaLah yang
makan, kata lah dalam kalimat ini menunjukkan kata hubung dan harus ditulis
dengan huruf besar. -tah: Apatah dayaku tanpa engkau? Kalimat pertanyaan yang
tidak membutukan jawaban (kalimat retoris). Partikel ini adalah serapan dari
bahasa Jawa. pun: Karena dosen berhalangan, kuliah pun dibatalkan. Setiap
kalimat yang memerlukan jawaban harus diberi tanda tanya.
D.
Frasa
a)
Pengertian Frase Frase menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah gabungan dua
kata atau lebih yang bersifat nonpredikatif. Frase adalah satuan konstruksi
yang terdiri atas dua kata atau lebih yang membentuk satu kesatuan (Keraf,
1984:138). Frase juga didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang berupa
gabungan kata yang bersifat nonprediktif, atau lazim juga disebut gabungan kata
yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat (Chaer, 1991:222). Menurut
Prof. M. Ramlan, frase adalah satuan gramatik yang terdiri atas satu kata atau
lebih dan tidak melampaui batas fungsi atau jabatan (Ramlan, 2001:139). Artinya
sebanyak apapun kata tersebut asal tidak melebihi jabatannya sebagai Subjek,
predikat, objek, pelengkap, atau pun keterangan, maka masih bisa disebut frasa.
Contoh: 1. rumah bersalin itu 2. yang akan datang 3. sedang memasak 4. cantik
sekali 5. minggu depan 6. di depan Jika contoh itu diletakkan dalam kalimat,
kedudukannya tetap pada satu jabatan saja. 1. Rumah bersalin itu(S) luas(P). 2.
Beliau (S) yang akan datang (P) besok(Ket). 3. Bapak(S) sedang memasak (P) nasi
goreng (O). 4. Gadis itu(S) cantik sekali(P). 5. Minggu depan (Ket) aku(S)
kembali(P). 6. Bu Camat(S) berdiri(P) di depan(Ket). Jadi, walau terdiri atas
dua kata atau lebih tetap tidak melebihi batas fungsi. Pendapat lain mengatakan
bahwa frase adalah satuan sintaksis terkecil yang merupakan pemadu kalimat.
Contoh: 1. Mereka(S) sering terlambat(P). 2. Mereka(S) terlambat(P). Pada kalimat
pertama kata ‘mereka’ yang terdiri atas satu kata adalah frasa. Sedangkan pada
kedua kata berikutnya hanya kata ‘sering’ saja yang termasuk frasa karena pada
jabatan itu terdiri atas dua kata dan kata ‘sering sebagai pemadunya. Pada
kalimat kedua, kedua katanya adalah frasa karena hanya terdiri atas satu kata
pada tiap jabatannya. Dari kedua pendapat tersebut bisa diambil kesimpulan
bahwa frasa bisa terdiri atas satu kata atau lebih selama itu tidak melampaui
batas fungsi atau jabatannya yang berupa subjek, predikat, objek, pelengkap,
atau pun keterangan. Jumlah frasa yang terdapat dalam sebuah kalimat bergantung
pada jumlah fungsi yang terdapat pada kalimat itu juga. b) Jenis Frase Jenis
frasa dibagi menjadi dua, yaitu berdasarkan persamaan distribusi dengan
unsurnya (pemadunya) dan berdasarkan kategori kata yang menjadi unsur pusatnya.
Berdasarkan Persamaan Distribusi dengan Unsurnya (Pemadunya). Berdasarkan
persamaan distribusi dengan unsurnya (pemadunya, frasa dibagi menjadi dua,
yaitu Frasa Endosentris dan Frasa Eksosentris. 1. Frasa Endosentris, kedudukan
frasa ini dalam fungsi tertentu, dpat digantikan oleh unsurnya. Unsur frasa
yang dapat menggantikan frasa itu dalam fungsi tertentu yang disebut unsur
pusat (UP). Dengan kata lain, frasa endosentris adalah frasa yang memiliki
unsur pusat. Contoh: Beberapa warga (S) di lapangan(P). Kalimat tersebut tidak
bisa jika hanya ‘Beberapa di lapangan’ (salah) karena kata warga adalah unsur
pusat dari subjek. Jadi, ‘beberapa warga’ adalah frasa endosentris. Frasa
endosentris sendiri masih dibagi menjadi tiga. 1. Frasa Endosentris
Koordinatif, yaitu frasa endosentris yang semua unsurnya adalah unsur pusat dan
mengacu pada hal yang berbeda, di antara unsurnya terdapat (dapat diberi) ‘dan’
atau ‘atau’. Contoh: 1) rumah pekarangan 2) suami istri 3) ayah ibu 4)
pembinaan dan pembangunan 5) pembangunan dan pembaharuan 6) belajar atau
bekerja. 2. Frasa Endosentris Atributif, yaitu frase endosentris yang di
samping mempunyai unsur pusat juga mempunyai unsur yang termasuk atribut.
Atribut adalah bagian frase yang bukan unsur pusat, tapi menerangkan unsur
pusat untuk membentuk frasa yang bersangkutan. Contoh: 1) pembangunan lima
tahun 2) sekolah Inpres 3) buku baru 4) orang itu 5) malam ini 6) sedang
belajar 7) sangat bahagia. Kata-kata yang dicetak miring dalam frasa-frasa di
atas adalah unsur pusat, sedangkan kata-kata yang tidak dicetak miring adalah
atributnya. 3. Frase Endosentris Apositif, yaitu frasa endosentris yang semua
unsurnya adalah unsur pusat dan mengacu pada hal yang sama. Unsur pusat yang
satu sebagai aposisi bagi unsur pusat yang lain. Contoh: Ahmad, anak Pak
Sastro, sedang belajar. Ahmad, …….sedang belajar. ……….anak Pak Sastro sedang
belajar. Unsur ‘Ahmad’ merupakan unsur pusat, sedangkan unsur ‘anak Pak Sastro’
merupakan aposisi. Contoh lain: 1) Yogya, kota
pelajar 2) Indonesia, tanah
airku 3) Bapak SBY, Presiden
RI 4) Mamad, temanku. Frasa yang
hanya terdiri atas satu kata tidak dapat dimasukkan ke dalalm frasa endosentris
koordinatif, atributif, dan apositif, karena dasar pemilahan ketiganya adalah
hubungan gramatik antara unsur yang satu dengan unsur yang lain. Jika diberi
aposisi, menjadi frasa endosentris apositif. Jika diberi atribut, menjadi frasa
endosentris atributif. Jika diberi unsur frasa yang kedudukannya sama, menjadi
frasa endosentris koordinatif 2. Frase Eksosentris, adalah frasa yang tidak
mempunyai persamaan distribusi dengan unsurnya. Frase ini tidak mempunyai unsur
pusat. Jadi, frase eksosentris adalah frase yang tidak mempunyai UP. Contoh:
Sejumlah mahasiswa di teras. a. Berdasarkan Kategori Kata yang Menjadi Unsur
Pusatnya. Berdasarkan kategori kata yang menjadi unsur pusatnya, frasa dibagi
menjadi enam. a) Frasa nomina, frasa yang UP-nya berupa kata yang termasuk
kategori nomina. UP frasa nomina itu berupa: nomina sebenarnyav contoh: pasir ini
digunakan utnuk mengaspal jalan pronominav contoh: dia itu musuh
saya namav contoh: Dian itu manis kata-kata selain nomina, tetapi strukturnya
berubah menjadi nominav contoh: dia rajin → rajin itu menguntungkan anaknya dua
ekor → dua itu sedikit dia berlari → berlari itu menyehatkan kata rajin pada
kaliat pertam awalnya adalah frasa ajektiva, begitupula dengan dua ekor awalnya
frasa numeralia, dan kata berlari yang awalnya adalah frasa verba. b) Frasa
Verba, frasa yang UP-nya berupa kata yang termasuk kategori verba. Secara
morfologis, UP frasa verba biasanya ditandai adanya afiks verba. Secara
sintaktis, frasa verba terdapat (dapat diberi) kata ‘sedang’ untuk verba aktif,
dan kata ‘sudah’ untuk verba keadaan. Frasa verba tidak dapat diberi kata’
sangat’, dan biasanya menduduki fungsi predikat. Contoh: Dia berlari. Secara
morfologis, kata berlari terdapat afiks ber-, dan secara sintaktis dapat diberi
kata ‘sedang’ yang menunjukkan verba aktif. c) Frasa Ajektifa, frasa yang
UP-nya berupa kata yang termasuk kategori ajektifa. UP-nya dapat diberi afiks
ter- (paling), sangat, paling agak, alangkah-nya, se-nya. Frasa ajektiva
biasanya menduduki fungsi predikat. Contoh: Rumahnya besar. Ada pertindian kelas antara verba dan
ajektifa untuk beberapa kata tertentu yang mempunyai ciri verba sekaligus
memiliki ciri ajektifa. Jika hal ini yang terjadi, maka yang digunakan sebagai
dasar pengelolaan adalah ciri dominan. Contoh: menakutkan (memiliki afiks
verba, tidak bisa diberi kata ‘sedang’ atau ‘sudah’. Tetapi bisa diberi kata
‘sangat’). d) Frasa Numeralia, frasa yang UP-nya berupa kata yang termasuk
kategori numeralia. Yaitu kata-kata yang secara semantis mengatakan bilangan
atau jumlah tertentu. Dalam frasa numeralia terdapat (dapat diberi) kata bantu
bilangan: ekor, buah, dan lain-lain. Contoh: dua buah tiga ekor lima biji
duapuluh lima orang. e) Frasa Preposisi, frasa yang ditandai adanya preposisi
atau kata depan sebagai penanda dan diikuti kata atau kelompok kata (bukan
klausa) sebagai petanda. Contoh: Penanda (preposisi) + Petanda (kata atau
kelompok kata) di teras ke rumah teman dari sekolah untuk saya f) Frasa
Konjungsi, frasa yang ditandai adanya konjungsi atau kata sambung sebagai
penanda dan diikuti klausa sebagai petanda. Karena penanda klausa adalah
predikat, maka petanda dalam frasa konjungsi selalu mempunyai predikat. Contoh:
Penanda (konjungsi) + Petanda (klausa, mempunyai P) Sejak kemarin dia terus
diam(P) di situ. Dalam buku Ilmu Bahasa Insonesia, Sintaksis, ramlan menyebut
frasa tersebut sebagai frasa keterangan, karena keterangan menggunakan kata
yang termasuk dalam kategori konjungsi. c) Ciri – ciri Frase 1) Tidak membentuk
kata baru 2) Dapat disisipi kata lain 3) Tidak melebihi batas fungsi unsur
klausa.
E.
Klausa
a)
Pengertian klausa Klausa ialah satuan gramatikal, berupa kelompok kata yang
sekurang-kurangnya terdiri atas subjek (S) dan predikat (P), dan mempunyai
potensi untuk menjadi kalimat (Kridalaksana dkk, 1980:208). Klausa ialah unsur
kalimat, karena sebagian besar kalimat terdiri dari dua unsur klausa (Rusmaji,
113). Unsur inti klausa adalah S dan P. Namun demikian, S juga sering juga
dibuangkan, misalnya dalam kalimat luas sebagai akibat dari penggabungan
klausa, dan kalimat jawaban (Ramlan, 1981:62. Dari definisi tersebut dapat
ditarik kesimpulan bahwa klausa adalah satuan gramatik yang terdiri atas
predikat, baik diikuti oleh subjek, objek, pelengkap, keterangan atau tidak dan
merupakan bagian dari kalimat. Penanda klausa adalah P, tetapi yang menjadi
klausa bukan hanya P, jika mempunyai S, klausa terdiri atas S dan P. Jika
mempunyai S, klausa terdiri dari atas S, P, dan O. jika tidak memiliki O dan
Ket, klausa terdiri atas P, O, dan Ket. Demikian seterusnya.Penanda klausa
adalah P, tetapi yang dianggap sebagai unsur inti klausa adalah S dan P.
Penanda klausa adalah P, tetapi dalam realisasinya P itu bias juga tidak muncul
misalnya dalam kalimat jawaban atau dalam bahasa Indonesia lisan tidak resmi.
Contoh : Pertanyaan : kamu memanggil siapa? S dan P-nya Jawaban : teman satu
kampus Contoh pada bahasa tidakà dihilangkan. P-nya resmi : saya telat! dihilangkan.
Klausa merupakan bagian dari kalimat. Oleh karena itu, klausa bukan kalimat.
Klausa belum mempunyai intonasi lengkap. Sementara itu kalimat sudah mempunyai
intonasi lengkap yang ditandai dengan adanya kesenyapan awal dan kesenyapan
akhir yang menunjukkan bahwa kalimat tersebut sudah selesai. Klausa sudah pasti
mempunyai P, sedangkan kalimat belum tentu mempunyai P. Contoh Klausa 1) ayam saya
hitam 2) rumah itu besar 3) rumah besar itu putih 4) rumah putih itu besar 5)
rumah besar itu di atas puncak gunun b) Jenis – Jenis Klausa Ada tiga dasar
yang dapat digunakan untuk mengklasifikasikan klausa. Ketiga dasar itu adalah
(1) Klasifikasi klausa berdasarkan struktur internnya (BSI), (2) Klasifikasi
klausa berdasarkan ada tidaknya unsur negasi yang menegatifkan P (BUN), dan (3)
Klasifikasi klausa berdasarkan kategori frasa yang menduduki fungsi P (BKF).
Berikut hasil klasifikasinya : 1. Klasifikasi klausa berdasarkan struktur
internnya. Klasifikasi klausa berdasarkan struktur internnya mengacu pada hadir
tidaknya unsur inti klausa, yaitu S dan P. Dengan demikian, unsur ini klausa
yang bisa tidak hadir adalah S, sedangkan P sebagai unsur inti klausa selalu
hadir. Atas dasar itu, maka hasil klasifikasi klausa berdasarkan struktur
internnya, berikut klasifikasinya : a) Klausa Lengkap Klausa lengkap ialah
klausa yang semua unsur intinya hadir. Klausa ini diklasifikasikan lagi
berdasarkan urutan S dan P menjadi : 1.1 Klausa versi, yaitu klausa yang S-nya
mendahului P. Contoh : Kondisinya sudah baik. Rumah itu sangat besar. Mobil itu
masih baru. 1.2 Klausa inversi, yaitu klausa yang P-nya mendahului S. Contoh :
Sudah baik kondisinya. Sangat besar rumah itu. Masih baru mobil itu. b) Klausa
Tidak Lengkap Klausa tidak lengkap yaitu klausa yang tidak semua unsur intinya
hadir. Biasanya dalam klausa ini yang hadir hanya S saja atau P saja. Sedangkan
unsur inti yang lain dihilangkan. 2. Klasifikasi klausa berdasarkan ada
tidaknya unsur negasi yang secara gramatik menegatifkan P. Unsur negasi yang
dimaksud adalah tidak, tak, bukan, belum, dan jangan. Klasifikasi klausa
berdasarkan ada tidaknya unsur negasi yang secara gramatik menegatifkan P
menghasilkan : 1. Klausa Positif Klausa poisitif ialah klausa yang ditandai
tidak adanya unsur negasi yang menegatifkan P. Contoh : Afgan seorang penyanyi
terkenal. Mahasiswa itu mengerjakan tugas. Mereka pergi ke kampus. 2. Klausa
Negatif Klausa negatif ialah klausa yang ditandai adanya unsur negasi yang
menegaskan P. Contoh : Afgan bukan seorang penyanyi terkenal. Mahasiswa itu
belum mengerjakan tugas. Mereka tidak pergi ke kampus. Kata negasi yang
terletak di depan P secara gramatik menegatifkan P, tetapi secara sematik belum
tentu menegatifkan P. Dalam klausa Dia tidak tidur, misalnya, memang secara
gramatik dan secara semantik menegatifkan P. Tetapi, dalam klausa Dia tidak
mengambil pisau, kata negasi itu secara sematik bisa menegatifkan P dan bisa
menegatifkan O. Kalau yang dimaksudkan 'Dia tidak mengambil sesuatu apapun',
maka kata negasi itu menegatifkan O. Misalnya dalam klausa Dia tidak mengambil
pisau, melainkan sendok. 3. Klasifikasi klausa berdasarkan kategori frasa yang
menduduki fungsi P. Berdasarkan kategori frasa yang menduduki fungsi P, klausa
dapat diklasifikasikan menjadi : a) Klausa Nomina Klausa nomina ialah klausa
yang P-nya berupa frasa yang termasuk kategori frasa nomina. Contoh : Dia
seorang sukarelawan. Mereka bukan sopir angkot. Nenek saya penari. b) Klausa
Verba Klausa verba ialah klausa yang P-nya berupa frasa yang termasuk kategori
frasa verba. Contoh : Dia membantu para korban banjir. Pemuda itu menolong
nenek tua. c) Klausa Adjektiva Klausa adjektiva ialah klausa yang P-nya berupa
frasa yang termasuk kategori frasa adjektiva. Contoh : Adiknya sangat gemuk.
Hotel itu sudah tua. Gedung itu sangat tinggi. d) Klausa Numeralia Klausa
numeralia ialah klausa yang P-nya berupa frasa yang termasuk kategori
numeralia. Contoh : Anaknya lima
ekor. Mahasiswanya sembilan orang. Temannya dua puluh orang. e) Klausa
Preposisiona Klausa preposisiona ialah klausa yang P-nya berupa frasa yang
termasuk kategori frasa preposisiona. Contoh : Sepatu itu di bawah meja. Baju
saya di dalam lemari. Orang tuanya di Jakarta. f) Klausa Pronomia Klausa
pronomial ialah klausa yang P-nya berupa frasa yang termasuk kategoi ponomial.
Contoh : Hakim memutuskan bahwa dialah yang bersalah. Sudah diputuskan bahwa
ketuanya kamu dan wakilnya saya. 4. Klasifikasi klausa berdasarkan potensinya untuk
menjadi kalimat Klasifikasi klausa berdasarkan potensinya untuk menjadi kalimat
dapat dibedakan atas : a) Klausa Bebas Klausa bebas ialah klausa yang memiliki
potensi untuk menjadi kalimat mayor. Jadi, klausa bebas memiliki unsur yang
berfungsi sebagai subyek dan yang berfungsi sebagai predikat dalam klausa
tersebut. Klausa bebas adalah sebuah kalimat yang merupakan bagian dari kalimat
yang lebih besar. Dengan perkataan lain, klausa bebas dapat dilepaskan dari
rangkaian yang lebih besar itu, sehingga kembali kepada wujudnya semula, yaitu
kalimat. Contoh : Anak itu badannya panas, tetapi kakinya sangat dingin. Dosen
kita itu rumahnya di jalan Ambarawa. Semua orang mengatakan bahwa dialah yang
bersalah. b) Klausa terikat Klausa terikat ialah klausa yang tidak memiliki
potensi untuk menjadi kalimat mayor, hanya berpotensi untuk menjadi kalimat
minor. Kalimat minor adalah konsep yang merangkum : pangilan, salam, judul,
motto, pepatah, dan kalimat telegram. Contoh : Semua murid sudah pulang kecuali
yang dihukum. Semua tersangka diinterograsi, kecuali dia. Arie tidak menerima
nasihat dari siapa pun selain dari orang tuanya. 5. Klasifikasi klausa
berdasarkan kriteria tatarannya dalam kalimat. Oscar Rusmaji (116) berpendapat
mengenai beberapa jenis klausa. Menurutnya klausa juga dapat diklasifikasikan
berdasarkan kriteria tatarannya dalam kalimat. Berdasarkan tatarannya dalam
kalimat, klausa dapat dibedakan atas : a) Klausa Atasan Klausa atasan ialah
klausa yang tidak menduduki f ungsi sintaksis dari klausa yang lain. Contoh :
Ketika paman datang, kami sedang belajar. Meskipun sedikit, kami tahu tentang
hal itu. b) Klausa Bawahan Klausa bawahan ialah klausa yang menduduki fungsi
sintaksis atau menjadi unsur dari klausa yang lain. Contoh : Dia mengira bahwa
hari ini akan hujan. Jika tidak ada rotan, akarpun jadi. c) Ciri –Ciri Klausa
Ciri-ciri klausa adalah: 1. mengisi slot dalam tataran kalimat sehingga dapat
menduduki fungsi tertentu; 2. sekurang-kurangnya terdiri atas satu predikat; 3.
mungkin mempunyai gatra seperti predikat (klausa yang predikatnya nominal).
Misal: Dia guru.
BAB III
KESIMPULAN
Dari
pembahasan makalah tersebut diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa, Fonem
adalah bunyi terkecil yang dapat membedakan arti (bunyi dari huruf), sedangkan
huruf adalah lambang bunyi atau lambang fonem. Jadi, fonem sama denagn bunyi
(untuk didengar), huruf adalah lambang ( untuk dilihat). Jumlah huruf hanya ada
26, tetapi fonem bahasa Indonesia lebih dari 26 karena beberapa huruf ternyata
mempunyai lebih dari satu lafal bunyi. Morfem adalah satuan bentuk terkecil
yang dapat membedakan makna dan atau mempunyai makna. Morfem dapat berupa
imbuhan (misalnya –an, me-, me-kan),
klitika/partikel (misalnya –lah, -kah), dan kata dasar (misalnya bawa, makan).
Kata adalah satuan bentuk terkecil (dari kalimat) yang dapat berdiri sendiri
dan mempunyai makna. Kata yang terbentuk dari gabungan huruf atau gabungan
morfem; atau gabungan huruf dengan morfem, baru diakui sebagai kata bila
bentuknya mempunyai makna. Frase menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
gabungan dua kata atau lebih yang bersifat nonpredikatif. Frase adalah satuan
konstruksi yang terdiri atas dua kata atau lebih yang membentuk satu kesatuan
(Keraf, 1984:138). Frase juga didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang
berupa gabungan kata yang bersifat nonprediktif, atau lazim juga disebut
gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat (Chaer,
1991:222). Menurut Prof. M. Ramlan, frase adalah satuan gramatik yang terdiri
atas satu kata atau lebih dan tidak melampaui batas fungsi atau jabatan
(Ramlan, 2001:139). Artinya sebanyak apapun kata tersebut asal tidak melebihi
jabatannya sebagai Subjek, predikat, objek, pelengkap, atau pun keterangan,
maka masih bisa disebut frasa. Klausa ialah satuan gramatikal, berupa kelompok
kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas subjek (S) dan predikat (P), dan
mempunyai potensi untuk menjadi kalimat (Kridalaksana dkk, 1980:208). Klausa
ialah unsur kalimat, karena sebagian besar kalimat terdiri dari dua unsur klausa
(Rusmaji, 113). Unsur inti klausa adalah S dan P. Namun demikian, S juga sering
juga dibuangkan, misalnya dalam kalimat luas sebagai akibat dari penggabungan
klausa, dan kalimat jawaban
DAFTAR PUSTAKA
Finoza,
Lamuddin, 2006, Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta : Insan Media. Keraf, Gorys, 1996,
Diksi dan Gaya Bahasa, Jakarta : PT Gramedia
Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia, Diksi Insan Mulia, Jakarta. 2009