BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Imam Maliki adalah salah satu 4 diantara
orang yang pandai di dalam membuat rumusan atau bermadzhab. Setiap imam Mazhab
memiliki cara atau metode yang hampir sama ketika menentukan suatu jalan keluar
pada masalah yang ada. Diantara ke 4 mazhab itu terdapat beda-beda tipis.
Beliau lahir di Kota Madinah daerah Negeri Injaz pada tahun 93 H (712 M) Nama
beliau adalah Maliki bin Abi Amir.
Dalam penulisan makalah ini penulis akan
mencoba membahas tentang bagaimana Imam Malik melakukan Istimbat terhadap suatu
hukum.
B.
Tujuan
- Untuk mengetahui syarat-syarat/alat-alat untuk beristimbat
- Bagaimana langkah-langkahnya dalam beristimbat
BAB II
PEMBAHASAN
A.
RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap Anas Ibnu Malik ialah Abu
Tusmamah (Abu Hamzah) Anas Ibnu Malik ibn Nadler ibn Dlamadlam Al-Najjari
Al-Anshari, seorang sahabat yang tetap selalu meneladani Rasulullah selama 10
tahun. Anas dilahirkan di Madinah pada tahun 10 sebelum Hijrah (612 M). Setelah
Rasul tiba di Madinah, ibu Anas
menyerahkan Anas kepada Rasul untuk menjadi
Khadam Rasul. Setelah Rasul wafat, Anas pindah ke Bashar sampai akhir
hayatnya.
Beliau meriwayatkan 2276 atau 2236 hadits.
Diantara jumlah diriwayatkan oleh Bukhari dan 70 diriwayatkan oleh Bukhari dan
70 diriwayatkan oleh Muslim, Anas menerima hadits dari Nabi dan dari banyak
sahabat, diantaranya ialah Tsabit Ibnu Qais, Abdur Rahman Ibnu Auf ibnu Mas'ud,
Abu Dzar, Malik ibnu Sha Shaah, Muadz ibnu Jabal, Ubadah ibnu Shamit.
Diantara Tabi'in yang meriwayatkan
haditsnya ialah : Al-Hassanul Bishri, Sulaim At-Tamini, Abu Qilabah, Abdul Aziz
ibnu Suhaib, I shaq ibnu Abi Thalhah,
Abu Bakar Ibn Abdur Rahman, Abdullah Al-Amuzani.
Qatadah mengatakan, bahwa di hari Anas
wafat, Muwarid berkata : Pada hari ini telah lenyap seperdua ilmu. Anas ibnu Malik adalah orang ketiga diantara
tujuh sahabat yang banyak meriwayatkan hadits. Beliau wafat di Nashrah pada
tahuaan 93 H 9912 M) dalam usia 100 tahun.
Sistematika sumber hukum atau istimbath
Imam Maliki, pada dasarnya, ia tidak menuliskan secara sistematis.[1] Akan tetapi, para muridnya
atau mazhabnya menyusun sistematis Imam Malik sebagaimana Qadhi ‘Iyad dalam kitabnya Al-Mudarak, sebagai berikut :
ﺍﻦ ﻤﻨﻬﺎﺝ ﺍﻤﺎﻡ ﺪﺍﺮﺍﻠﻬﺟﺮﺓ ﺍﻨﻪ ﻴﺄﺨﺬ ﺒﻜﺘﺎﺐ ﺍﻠﻟﻪ ﺘﻌﺎﻠﻰ ﺍﻮﻻ ﻔﺎﻦ ﻟﻢ ﻴﺟﺪ ﻓﻰ ﻜﺘﺎﺐ ﺍﻟﻟﻪ
ﺘﻌﺎﻟﻰ ﻧﺼﺎﺍﺘﺟﻪ ﺍﻟﻰ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻮﻴﺪ ﺤﻞ ﻔﻰ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻋﻨﺪﻩ ﺍﺤﺎﺪﻴﺚ ﺭﺴﻮﻞ ﺍﻟﻟﻪ ﺼﻟﻰﺍﻟﻟﻪ ﻋﻟﻴﻪ ﻮﺴﻟﻢ
ﻭﻓﺘﺎﻮﻯﺍﻟﺼﺤﺎﺒﺔ ﻭﺍﻘﻀﻴﺘﻬﻢ ﻭﻋﻤﻞﺍﻫﻞﺍﻠﻤﺩﻴﻨﺔ ﻭﺍﻠﻘﻳﺎﺲ ﻭﺍﻠﻣﺼﻠﺣﺔ ﺍﻠﻣﺮﺴﻠﺔ ﻭﺴﺪﺍﻠﺫ ﺭﺍﺀﻉ ﻭﺍﻠﻌﺮﻒ
ﻭﺍﻠﻌﺎﺪﺍﺖ
Artinya : “Sesungguhnya manhaj Imam Dar Al-Hijrah, pertama, ia mengambil
Kitabullah, jika tidak di temukan dalam Kitabullah nashnya, ia mengambil
As-Sunnah (kategori As-Sunnah menurutnya, hadits-hadits Nabi SAW dan Fatwa
sahabat), amal Ablu al-Madinah, Al-Qiyas, al-Mashlahah al-Mursalah, sadd
adz-dzara’i, al-Urf’ dan al-Adat”.
Secara analitik, dijelaskan pula oleh
Muhammad Salam Madkur dalam kitab Al-Ijtihadu fi At-Tasyri’ Al-Islami,
bahwa Imam Malik berpegang teguh kepada Al-Qur’an, Sunnah mutawattir, Ijma’,
terutama Ijma’ Ahlu Madinah. Adapun ijma’ selain itu, di cari yang paling kuat,
qaul sahabat (kibar) karena perkataan mereka dari Nabi SAW, fatwa kibar tabiin
diperhatikan, tetapi sebagian besar Imam Maliki mendahulukan hadits Ahad atau
qiyas apalagi kabar Ahad yang sesuai dengan Ahlu
Madinah. Istihsan, maslahat, saadu dzariah dipegang oleh Imam Malik yang sesuai dengan dalil kulli,
bahkan sar’u man qablana (syariat sebelum Nabi SAW) diambil selama tidak ada
dalam syariat kami.
Dalam ringkasan Thaha Jabir, Mazhab Maliki
atau Mazhab orang Hijaz sahabat Imam Said Al-Musayaab, memiliki kaidah kaidah
ijtihad sebagai berikut :
(1) Mengambil dari AL-Qur’an
(Al-Kitab Al-Aziz)
(2) Menggunakan “Zhahir” Al-Qur’an yaitu lafazh yang
umum;
(3) Menggunakan “Dalil” Al-Qur’an, yakni mafhum
al-Mukhalafah;
(4) Menggunakan “Mafhum” al-Qur’an, yaitu mafhum
muwafaqah;
(5) Menggunakan “Tanbih” Al-Qur’an, yaitu memerhatikan
Illat.
Sebagaimana firma Allah SWT : ﻓﺄﻨﻪ ﺭﺠﺲ ﻔﺴﻘﺎ
Ø
POKOK PIKIRANNYA
a.
Al-Qur’an
Dalam pandangan Malik, A-Qur’an adalah
diatas semua dalil-dalil hukum. Ia menggunakan nash sharih (jelas) dan tidak
menerima ta’wil. Dzahir Al-Qur’an diambil ketika bersesuaian dengan takwil
selama tidak didapati dalil yang mewajibkan takwil. Imam Malik menggunakan
mafhum al-Muwafaqat, yaitu fatwa al-Kitab. Contohnya ayat Al-Qur’an :
ﺍﻦ ﺍﻠﺬﻴﻦ ﻴﺄﻜﻠﻮﻥ ﺍﻤﻭﺍﻞ ﺍﻠﻴﺘﻣﻰ
ﻆﻠﻤﺎ ﺍﻨﻤﺎ ﻴﺄﻜﻠﻮﻦ ﻔﻰﺒﻄﻮﻨﻬﻢ ﻧﺎﺮﺍ ﻮﺴﻴﺼﻠﻮﻦ ﺴﻌﻴﺮﺍ
Ayat ini dapat dipahami bahwa larangan
melebih-lebihkan dan mengurangi dalam mengurusi harta anak yatim. Selain itu,
Imam Malik menggunakan mafhum al-Mukhalafah, tanbih atas illat, isyarat
(qarinah). Imam Malik mendahulukan Al-Qur’an selama tidak ada dalam As-Sunnah.
b.
As-Sunnah
Mazhab Malik (Imam Malik mengambil sunnah
yang mutawatir Mashur (setingkat dibawah mutawatir), dan khabar abad (sebagian
besar, mendahulukan hadits ahad dari qiyas). Selain itu, Imam Malik menggunakan
hadits munqathi dan mursal selama tidak bertentangan dengan tradisi orang-orang
Madinah.
c.
Amalan Ahlu Al-Madinah
(Al-U’rf)
Imam Malik memegang tradisi Madinah sebaga
Hujjah (dalil) hukum karena amalannya, dinukil langsung dari Nabi SAW. Ia
mendahulukan amal Ahlu Al-Madinah ketimbang khabar ahad, sedangkan para fuqaha
tidak seperti itu.
d.
Fatwa Sahabat
Fatwa sahabat digunakan oleh Imam Malik
karena ia atsar di mana sebagian para sahabat melakukan manasik haji dengan
Nabi hadits. Bahkan, Imam Malik mengambil juga fatwa para kibar At-tabiin meskipun derajatnya tidak
sampai ke fatwa sahabat, kecuali adanya ijma’ para ahlu Madinah.
e.
Ijma’
Imam Malik paling banyak menyandarkan
pendapatnya pada ijma’ seperti tertera dalam kitabnya Al-Muwaththa kata-kata
al-Amru al-Mujtama’ alaih dan sebagainya. Ijma’ Ahli Madinah pun dijadikan
hujjah, seperti ungkapannya, Hadzi huwa al-Amru al-Mujtama’ alaihi indana. Asal
amalan Madinah tersebut berdasarkan Sunnah, bukan hasil ijtihad (fatwa).
f.
Qiyas, Maslahat Mursalat, dan
Istihsan
Qiyas yang digunakan Imam Malik adalah
Qiyas Isthilahi, sedangkan Istihsan adalah memperkuat hukum maslahat juziyah
atas hukum qiyas. Qiyas adalah mengbungkan suatu kasus yang tidak jelas nash
dengan suatu perkara yang ada nashnya karena ada kesesuaian antara kedua
perkara tersebut pada illat kedua hukum tersebut. Adapun maslahat juziyah tidak
seperti itu dalam menetapkan hukum, inilah yang disebut istihsan isthilahi.
Menurut kami, istihsan adalah hukum maslahat yang tidak ada nashnya. Sedangkan
maslahat mursalat adalah maslahat yang tidak ada nashnya untuk melaksanakan
atau tidak. Masalahat mursalah yang kami gunakan dengan syarat bertujuan
meniadakan kesukaran. Hal itu merupakan maslahat yang sudah umum dalam hukum
Islam meskipun tidak ada nashnya secara tersendiri. Maslahat yang kami gunakan
tak lain adalah istihsan, sementara qiyas yang kami pegang adalah qiyas yang
tidak ada nashnya tentang kesempatan yang luas. Secara umum, Imam Malik
menggunakan maslahat meskipun tidak ada nash atau Hadits Nabi SAW karena tujuan
syara’ adalah untuk kemaslahatan umat manusia dan setiap nash pasti mengandung
nilai maslahat. Jika tidak ada nash, maslahat hakiki adalah melihat tujuan
hukum syara’.
g.
Adz-Dzara’i
Sadz Adz-Dzarai, dasar Istimbat yang
sering dipakai oleh Imam Malik, maknanya adalah menyumbat jalan. Wasilahnya
haram, haram, wasilahnya halal, halal. Demikian pula dalam maslahat yang harus
dicari. Wasilah kepada kemunkaran haram dan harus dicegah.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa
Imam Malik Ibn Annas dalam berfatwa, pertama, Al-Qur’an, As-Sunnah (terutama
As-Sunah orang-orang Madinah yang setingkat dengan As-Sunnah mutawattir. Pen.),
ijma’ dan qiyas. Demikian pula, Asy-Syatibi menyederhanakan dasar-dasar Imam
Malik adalah Al-Qur’an, Sunnah, ijma’ dan ra’yu.
Penyederhanaan tersebut tampaknya
beralasan, sebab qaul sahabat dan tradisi orang Madinah dalam pandangan Malik
adalah bagian dari Sunnah, sedangkan ra’yu meliputi maslahat mursalat, sadd
adz-Dzariat, Urf, Istihsan dan Istishab.
Dari berbagai uraian di atas dapat
dipahami bahwa Imam Malik adalah seorang yang berfikiran tradisional. Hanya
karena kedalaman ilmunya, ia dapat mengimbangi berbagai perkembangan yang
terjadi saat itu. Namun, ada beberapa hal yng perlu digarisbawahi dalam manhaj
Imam Malik/
Pertama, Imam Malik mendahulukan amalan
orang-orang Madinah sebelum qiyas, suatu metode yang tidak dipergunakan fuqaha
lainnya. Amalan orang-orang Madinah dalam pandangan Imam Malik, termasuk
kategori As-Sunnah mutawatirah karena pewarisannya melalui generasi ke generasi
yang dilakukan secara serempak sehingga menutup kemungkinan terjadinya
penyimpangan dari As-Sunnah. Hal itu terbukti karena orang-orang Madinah
bergaul langsung dengan Nabi SAW dan mengembangkan tradisi hidup Nabi SAW yang
di kemudian hari diwariskan kepada tabiin dengan cara yang sama. Pola ini
diikuti pula tabi at-tabiin. “Tradisi
orang Madinah” lebih jelas diterima oleh Imam Malik dalam penerimaan hadits
ahad. Menurutnya, suatu hadits Ahad dapat diterima sepanjang tidak bertentangan
dengan tradisi orang-orang Madinah. Kedua,
qaul sahabat sebagai dalil syar’i yang di dahulukan daripada qiyas. Pendapat
ini ditanggapi keras oleh Imam Syafi’i dengan alasan bahwa dalil hanya dapat
diperoleh dari orang-orang ma’sum. Ketiga,
Imam Malik menggunakan maslahat
al-mursalah. Hal ini menunjukkan bahwa Imam Malik menggunakan rasio ketika
tidak ada penjelasan Al-Qur’an dan Al-Hadits tentang kasus tertentu.
Adapun langkah-langkah dari segi Al-Sunnah ada 10
yaitu :
Ijma’, Qiyas, Amalan penduduk Madinah, Istihsan Sadd
Adz-Dzara’i, al-Mashalib, al-Mursalah, Qaul Ash-Shahabi Mura’at
Al-Khilaf, Al-Istihsan dan Syar’u man Qablana.
BAB III
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
Imam Malik adalah orang yang lahir di Kota
Madinah dimana disana tempat tinggal para sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW.
Imam Malik memiliki beberapa hal untuk beristimbat.
Ada dasar-dasar yang dimiliki Imam Maliki
diantaranya :
1.
Al-Qur’an
2.
As-Sunnah
3.
Amala Ahlu Al-Madinah
4.
Fatwa Sahabat
5.
Ijma’
6.
Qiyas, mashlahat mursalah dan
istihsan
7.
Adz-Dzara’i
Disamping itu ada yang namanya ushul
khomsah ada 10 langkah-langkah dari segi Al-Sunnah,
yaitu :
1.
Ijma’
2.
Qiyas
3. Amalan Penduduk Madinah
4.
Istihsan
5.
Sadd adz-Dzara’i
6.
Al-Mashalib al-Mursalah
7.
Qaul as-shahabi
8. Mura’at al-Khiraf
9.
Al-Istishab
10. Syar’u man qablana
B.
Saran
Penulis mengharapkan kritik dan saran- saran dari
pembaca yang bersifat membangun dan penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini, semoga
makaalah ini bermanfaat bagi kita semua dan pembaca pada umumnya, penulis juga
menyadari akan keterbatasan bahan dan sumber didalam pembuatan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari berbagai aspeknya, Jilid I, UI – Press,
Jakarta, 1986, hlm. 97, dan Abu Zahroh, Tarikh
al-Madzahib al-Islamiyat fi al-Siyasat wa al-Aqaid, I, Dar al-Fikr
al-‘Arabi, t.t. hlm. 71
[1] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari berbagai aspeknya, Jilid I, UI
– Press, Jakarta, 1986, hlm. 97, dan Abu Zahroh, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyat fi al-Siyasat wa al-Aqaid, I, Dar
al-Fikr al-‘Arabi, t.t. hlm. 71
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !