BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia tidak
dapat lepas dari hukum dalam setiap sendi-sendi kehidupannya. Hal tersebut
terjadi pula dalam tatanan masyarakat. Cicero menyatakan ubi cocietas ibi us,
yang artinya dimana ada masyarakat disitu ada hukum1. Indonesia menganut
pluralitas hukum dimana terdapat tiga sistem hukum yang berlaku sebagai hukum
positif, yaitu hukum barat, hukum adat, serta hukum Islam
Hukum Islam
bersifat universal, artinya berlaku sama bagi semua pemeluk agama Islam
dimanapun, tidak terbatas pada nasionalitas seseorang. Keberlakuan hukum Islam
di Indonesia dipengaruhi oleh hukum adat. Hal tersebut diakibatkan oleh sejarah
bangsa Indonesia yang menunjukkan bahwa setiap wilayah memiliki hukum adatnya
masing-masing sebagai hukum positif mereka. Dalam pranata sosial adat mereka,
hukum adat yang didasari oleh asas magis-religius, yang merupakan pengaruh dari
hukum Islam, merubah kaedah kesusilaan menjadi menjadi kaedah hukum yang
kemudian berlaku dalam masyarakat mereka.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian hukum Islam?
2.
Bagaimana masa berlakunya hokum Pidana
Islam?
3. Bagaimana keberlakuan syariat
Islam di Indonesia ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hukum Islam
Hukum Islam
bersumber dari agama Islam yang diturunkan langsung dari Allah SWT melalui
wahyu yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam Al Quran dan As Sunnah.
Kerangka dasar agama dan ajaran Islam adalah akidah, syariah, dan akhlak.
Ketiganya bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan yang bersumber pada tauhid,
sebagai inti akidah yang kemudian melahirkan syariah, sebagai jalan berupa
ibadah dan muamalah, serta akhlak sebagai tingkah laku, baik kepada Allah SWT
maupun kepada makhluk ciptaan-Nya lainnya.
Iman dan
Ihsan atau tasawuf merupakan manivestasi dari akidah. Iman yang berarti
kepercayaan Islam merupakan pokok-pokok agama Islam (Ushul ad-Din). Menurut
ahlul sunnah wal jamaah, iman Islam terdiri dari rukun iman yang berjumlah
enam, yaitu iman kepada Allah SWT, malaikat, nabi dan rasul, kitab-kitab, hari
akhir, serta qadha dan qadar. Ihsan yang berarti kebaikan, merupakan etika
Islam. Adapun iman, amal (saleh), akhlak atau budi perketi luhur adalah
syarat-syarat dari Ihsan². Sedangkan tasawuf bertujuan sama dengan ihsan,
tetapi menganut cara-cara yang berbeda seperti pada orang sufi yang melakukan
panteisme dengan tujuan bersatu dengan Tuhan, namun cara yang digunakan tidak
sesuai lagi dengan islam dan aliran sunnah wal jamaah. Namun demikian, tidak semua
cara dalam sufi bertentangan dengan akidah tauhid Islam. Hal tersebut
diakibatkan oleh hasil pemahaman, pendalaman, penafsiran, serta perincian para
ulama tentang akidah mempunyai kecenderungan berbeda-beda yang menimbulkan
aliran-aliran atau mahzab-mahzab tertentu di kalangan umat Islam
Akhlak adalah
peringai atau tingkah laku yang berkenaan dengan sikap manusia, terbagi atas
akhlak terhadap Allah SWT dan terhadap sesama makhluk. Akhlak terhadap sesama
makhluk terbagi atas akhlak terhadap manusia, yakni diri sendiri, keluarga, dan
masyarakat, serta akhlak terhadap makhluk bukan manusia yang ada di sekitar
lingkungan hidup, yakni tumbuh-tumbuhan, hewan, bumi, air, serta udara.[1]
2.2 Masa Berlakunya Hukum Islam
Bahasan terpenting dalam hal
ini adalah daya beralku surut (atsarun raj’i). Pada prinsipnya aturan
fiqh jinayah itu tidak berlaku surut. Meskipun demikian, di kalangan pra ulama,
ada yang berpendapat mengenai adanya kekecualian dari hal tersebut. Dalam hal
ini, berkenaan dengan kejahatan-kejahatan yang betul-betul berbahaya untuk
masyarakat, dapat berlaku surut, seperti dalam kasus hirabah (pembegalan/perampokan).
Untuk masa sekarang, kasus itu pun bukan masalah lagi. Hal ini dikarenakan
sudah ada dasar hukumnya (QS al-Maidah: 33)
$yJ¯RÎ) (#ätÂty_ tûïÏ%©!$# tbqç/Í$ptä ©!$# ¼ã&s!qßuur tböqyèó¡tur Îû ÇÚöF{$# #·$|¡sù br& (#þqè=Gs)ã ÷rr& (#þqç6¯=|Áã ÷rr& yì©Üs)è? óOÎgÏ÷r& Nßgè=ã_ör&ur ô`ÏiB A#»n=Åz ÷rr& (#öqxÿYã ÆÏB ÇÚöF{$# 4
Ï9ºs óOßgs9 Ó÷Åz Îû $u÷R9$# (
óOßgs9ur Îû ÍotÅzFy$# ë>#xtã íOÏàtã ÇÌÌÈ
Sesungguhnya pembalasan terhadap
orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka
bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki
mereka dengan bertimbal balik[Maksudnya Ialah: memotong tangan kanan dan kaki
kiri; dan kalau melakukan lagi Maka dipotong tangan kiri dan kaki kanan], atau
dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu
penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang
besar,
Lingkungan
berlakunya aturan pidana
Secara teoritis, ajaran Islam itu untuk seluruh dunia. Akan tetapi, secara
praktis sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang ada, tidalkah demikian.
Para ulama dahulu membagi dunia ini menjadi tiga
klasifikasi:
a. Negara-negara Islam
b. Negara-negara yang berperang
dengan negara Islam
c. Negara-negara yang
mengadakan perjanjian damai dengan negara Islam. Arah dan semangat ajaran Islam
bukan kepada perang, melainkan kepada damai. Bahasan lebih lanjut berkenaan
dengan hal ini terdapat dalam bidang studi fiqh Siyasah Dawliyah.
Walaupun demikian, dikalangan
para ulama terdapat tiga macam pendapat tentang masalah ini, yaitu: teori dari
Imam Abu Hanifah, teori dari Imam Abu Yusuf, dan teori dari Imam Malik, Imam
Syafi’i dan Imam Ahmad.
Imam Abu Hanifah menyatakan
bahwa aturan pidana itu hanya berlaku secara penuh untuk wilayah-wlayah negeri
muslim. Di luar negeri muslim, aturan tadi tidak berlaku lagi, kecuali untuk
kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan hak perseorangan (haqq al-adamiy).
Teori ini mirip dengan teori teritorialitas.
Imam Abu Yusuf berpendapat
bahwa sekalipun di luar wilayah negara muslim, aturan itu tidak berlaku. Akan
tetapi, setiap yang dilarang tetap haram dilakukan, sekalipun tidak dapat
dijatuhi hukuman. Teori ini mirip dengan teori nasionalitas.
Sedangkan Imam Malik, Imam
Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa aturan-aturan pidana itu tidak terikat
oleh wilayah, melainkan terikat oleh subyek hukum. Jadi, setiap muslim tidak
boleh melakukan hal-hal yang dilarang dan atau meninggalkan hal-hal yang
diwajibkan. Teori ini mirip dengan internasionalitas.
Berkaitan dengan ini para
ulama membahas lebih rinci lagi tentang ekstradisi (penyerahan penjahat
antarnegara) dan pengusiran pejabat. Hal ini menunjukkan bahwa sering terjadi
suatu kejahatan tidak dapat ditanggulangi oleh suatu negara tertentu, kecuali
dengan kerjasama antarnegara.[2]
2.3 Keberlakuan Syariat Islam di Indonesia
Syariat Islam
diterima di Indonesia disebabkan oleh beberapa alasan. Alasan pertama adalah
alasan sejarah dimana Islam masuk ke Indonesia sejak abad ke-7 (berdasarkan
catatan Marcopollo) atau sekitar abad ke-11 berdasarkan prasasti yang ada di
Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bahwasanya Islam telah mengakar di
Indonesia sejak lama sehingga mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia.
Alasan kedua
adalah Alasan penduduk. Menurut sensus, 88,09% penduduk Indonesia adalah Islam
(sensus tahun 1980), sehingga jelas mayoritas penduduk Indonesia adalah
beragama Islam. Hal tersebut menyebabkan syariat Islam mudah diterima di
Indonesia.
Alasan ketiga
adalah alasan yuridis dimana hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan
manusia lain dan benda dalam masyarakat, menjadi hukum positif yang berdasarkan
pada peraturan perundang-undangan. Materi-materi hukum Islam merupakan bagian
dari hukum positif Indonesia sebagaimana yang dinyatakan oleh ordonasi dan
peraturan pemerintah yang mengatur peradilan agama antara lain pada
undang-undang pokok perkawinan UU No. 1 tahun 1974, UU No.41 tahun 2004 tentang
wakaf, UU No.38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, pasal-pasal dalam
KUHPerdata yang mengatur tentang kewarisan, serta peraturan-peraturan lainnya.
Alasan yang
terakhir adalah alasan konstitusional. Di bawah Bab Agama, dalam Pasal 29 ayat
(1) UUD 1945 dinyatakan bahwa Negara (Republik Indonesia) berdasarkan atas
Ketuhanan Yang Maha Esa6. Atas dasar inilah dalam NKRI tidak boleh berlaku
sesuatu atau bertentangan dengan kaidah Islam bagi umat Islam, kaidah Nasrani
bagi umat Nasrani, kaidah Hindu bagi umat Hindu, dan kaidah Budha bagi umat
Budha, serta NKRI wajib menjalankan syariat Islam bagi umat Islam, syariat
Nasrani bagi umat Nasrani, dan seterusnya, dimana untuk menjalankan syariat
tersebut diperlukan perantaraan kekuasaan Negara.[3]
BAB III
KESIMPULAN
Syariat Islam
adalah bagian dari Hukum Islam, merupakan salah satu dari kerangka dasar agama
dan ajaran Islam yang mengatur hubungan publik maupun perdata dalam bentuk
norma Ilahi.
Hukum Islam
telah berbaur dengan hukum adat yang merupakan akar peraturan bangsa Indonesia
dan mampu mempengaruhi praktek hukum di Indonesia, terutama dalam bidang
keluarga dan sosial. Sejarah memainkan peranan yang penting, yaitu Samudera
Pasai di Aceh yang merupakan tempat singgah agama Islam pertama di Indonesia,
mampu membuat doktrin Islam mempengaruhi kerajaan. Syariat Islam tersebut
kemudian diterima oleh masyarakat Aceh pada saat itu, sebab tidak bertentangan
dengan nilai-nilai hukum adat mereka. Perpaduan hukum tersebut kemudian
mengakar secara turun temurun sehingga menjadi kesatuan yang tidak terpisahkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Prof. Drs.
H. A. Djazuli. Fiqih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam).
RajaGrafindo Persada. Jakarta. 2000
Syahar Saidus, Asas-Asas Hukum Islam, cet.
Kesatu. Jakarta: Penerbit Alumni, 1996
Zuhri Muhammad, Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah,
cet. Kesatu. Jakarta: Praja Grafindo persada, 1996
[1] Syahar Saidus, Asas-asas hukum Islam, cet. Kesatu
(Jakarta: Penerbit Alumni, 1996) hal 25.
[2] Prof. Drs. H. A. Djazuli. Fiqih Jinayah
(Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam). RajaGrafindo Persada. Jakarta.
2000, hlm. 9-10
[3] Zuhri
Muhammad, Hukum Islam dalam lintasan sejarah, cet. Kesatu (Jakarta: Praja
Grafindo persada, 1996) hal.143
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !