BAB I
PEMBAHASAN
A. Syari’at
فَشَرِيْعَةُ كَسَفِيْنَةُ كَالْبَحْرِثُمَّ حَقِيْقَةٌ
دُرٌّغَلاَ
Ibarat bahtera itulah syari’at
Ibarat samudera itulah thariqat
Ibarat mutiara itulah haqiqat
Ungkapan dari syair di atas
menjelaskan kedudukan tiga jalan menuju akhirat. Syari’at ibarat kapal, yakni
sebagai instrumen mencapai tujuan. Thariqat ibarat lautan, yakni sebagai wadah
yang mengantar ke tempat tujuan. Haqiqat ibarat mutiara yang sangat berharga
dan banyak manfaatnya.
Untuk memperoleh mutiara
haikat, manusia harus mengarungi lautan dengan ombak dan gelombang yang
dahsyat. Sedangkan untuk mengarungi lautan itu, tidak ada jalan lain kecuali
dengan kapal.
Sebagian ulama menerangkan
tiga jalan ke akhirat itu ibarat buah pula atau buah kelapa. Syari’at ibarat
kulitnya, thariqat isinya dan haqiqat ibarat minyaknya. Pengertiannya ialah,
minyak tidak akan tiperoleh tanpa memeras isinya dan isi tidak akan diperoleh
sebelum menguliti kulit atau sabutnya.
Agama ditegakkan di atas syari’at,
karena syari’at adalah peraturan dan undang-undang yang bersumber kepada wahyu
Allah. Perintah dan larangannya jelas dan dijalankan untuk kesejahteraan
seluruh manusia. Menurut Syaikh al-Hayyiny, syari’at dijalankan berdasarkan taklif (beban dan tanggung
jawab) yang dipikul kepada orang yang telah mampu memikul beban atau tanggung
jawab (mukallaf). Haqiqat adalah apa yang telah diperoleh
sebagai ma’rifat. Syariat dikukuhkan oleh haqiqat dibuktikan oleh syariat.
Adapun syariat adalah bukti pengabdian manusia yang diwujudkan berupa ibadah,
melalui wahyu yang disampaikan kepada para Rasul. Haqiqat itu berupa ibadah,
melalui wahyu yang disampaikan kepada para Rasul. Haqiqat itu sendiri merupakan
bukti dari penghambaan (ibadah) manusia terhadap Allah SWT, dengan tunduk
kepada hukum syariat tanpa perantaraan apapun.
B. Tariqat
وَطَرِيْقَةًُ اَخْذُبِاَحْوَطِ كَالْوَرَعِ وَعَزِيْمَةٍ
كَرِيَاضَةٍ مُتَبَتَّلاَ
Adalah thariqat itu suatu sikap hidup
Orang yang teguh pada pegangan yang genap
Ia waspada dalam ibadah yang mantap
Bersikap wara’ berperilaku dan sikap
Dengan riyadhah itulah jalan yang tetap
Para ulama berpendapat
thariqat adalah jalan yang ditempuh dan sangat waspada dan berhati-hati ketika
beramal ibadah. Seseorang tidak begitu saja melakukan ruksshah (ibadah
yang meringankan) dalam menjalankan macam-macam ibadah. Walaupun ada kebolehan
melakukan rukhshah, akan tetapi sangat berhati-hati melaksanakan amal ibadah.
Diantara sikap hati-hati itu adalah bersifat wara’.
Menurut al-Qusyairy,
wara’ artinya berusaha untuk tidak melakukan hal-hal yang bersifat syubhat
(sesuatu yang diragukan halal haramnya). Bersikap wara’ adalah suatu pilihan
bagi ahli thariqat.
Imam al-Ghazaly membagi
sifat wara’ dalam empat tingkatan. Tingkat yang terendah adalah wara’ul ‘adl
(wara’ orang yang adil) yakni meningkatkan suatu perbuatan sesuai dengan ajaran
fiqh, seperti makan riba atau perjanjian-perjanjian yang meragukan dan amal
yang dianggap bertentangan atau batal.
Tingkat agak ke atas adalah wara’ush
shalihin (wara’ orang-orang shaleh). Yakni menjauhkan diri dari semua
perkara subhat, seperti makanan yang tidak jelas asal usulnya, atau ragu atas
suatu yang ada di tangan atau sedang atau sedang dikerjakan, atau disimpan.
Tingkat yang atasnya lagi,
adalah wara’ul muttaqqin (wara’ orang-orang yang takwa). Yakni
meninggalkan perbuatan yagn sebenarnya dibolehkan (mubah), karena kuatir
kalau-kalau membahayakan atau mengganggu keimanan, seperti bergaul dengan
orang-orang yang membahayakan, orang-orang yang suka bermaksiat, memakai
pakaian yang serupa dengan orang-orang yang berakhlak jelek, menyimpan
barang-barang berbahaya atau diragukan kebaikannya. Contoh, sahabat Umar bin
Khattab meninggalkan 9/10 (sembilan per sepuluh) dari hartanya yang halal
karena kuatir berasal dari perilaku haram.
Tingkat yang tertinggi adalah wara’ush
shiddiqqin (wara’ orang-orang yang jujur). Yakni menghindari sesuatu
walaupun tidak ada bahaya sedikitpun, umpamanya hal-hal yang mubah yang terasa
syubhat.
Ada beberapa kisah yang
menunjukkan sifat-sifat orang yang wara’, yakni pada masa Imam Ahmad bin
Hambal, hiduplah seorang sufi bernama Bisyir al-Hafy. Ia mempunyai
saudara perempuan yang bekerja memintal benang tenun. Biasanya pekerjaan itu
dikerjakan di loteng rumahnya. Ia bertanya kepada Imam Ahmad, “Pada suatu
malam ketika ia sedang memintal benar, cahaya obor lampu orang Thahiriyah (mungkin
tetangga) masuk memancar ke loteng kami. Apakah kami boleh memanfaatkan
cahaya lampu obor tersebut untuk menyelesaikan pekerjaan kami?” Imam Ahmad
menjawab “Sungguh dari dalam rumahmu telah ada cahaya orang yang sangat
wara’, maka janganlah engkau memintal benang dengan memanfaatkan cahaya obor
itu”.
Abu Hurairah mengatakan: “Pada
suatu hari seorang saudaraku datang mengunjungiku. Untuk menyajikan makanan
buat menghormatinya, saya belikan lauk seekor ikan panggang. Setelah selesai
menyantap makanan itu, saya ingin membersihkan tangannya dari bau ikan bakar
itu. Dari dinding rumah tetangga, saya mengambil debu bersih untuk mebersihkan
dan menghilangkan bau amis dari tangannya. Akan tetapi saya belum minta izin
tetangga tersebut untuk menghalalkan perbuatan saya itu. Saya menyesali atas
perbuatan saya itu empat puluh tahun lamanya”.
Dikisahkan juga bahwa ada
seorang laki-laki mengontrak sebuah rumah. Ia ingin menghiasi ruangan rumah
itu, lalu menuliskan khat-khat ri’qi pada salah satu dindingnya. Ia
berusaha menghilangkan debu-debu pada dinging rumah kontrakan itu. Karena ia
merasa bahwa perbuatan itu baik dan tidak ada salahnya. Ketika ia sedang
membersihkan debu-debu pada dinding rumah itu, didengarnya suara, “Hai orang
yang menganggap remeh pada debu engkau, akan mengalami perhitungan amal yang
sangat lama”
Imam Ahmad bin Hambal pernah
menggadaikan sebuah bejana tembaga kepada tukang sayur Makkah. Ketika hendak
ditebusnya bejananya itu, si tukang sayur mengelurkan dua buah bejana lalu ia
berkata: “Ambillah salah satu, mana yang jadi milikmu”. Imam Ahmad
berkata, “Saya sendiri ragu, mana dari dua bejana itu yang menjadi milikku.
Untuk itu ambil olehmu bejana dan uang tebusannya. Saya rela semua untukmu”.
Tukang sayur itu serta merta menunjukkan, mana bejana milik Imam Ahmad, lalu
berkata: ‘Inilah milikmu”, Imam Ahmad berkta; “Sesungguhnya aku hanya
menguji kejujuranmu! Sudah, saya tidak akan membawanya lagi”, sambil
berjalan meninggalkan tukang sayur itu.
Itulah beberapa kisah yang
menghiasai akhlak para sufy masa lampau. Sifat yang mengagumkan yang melekat
dalam hidup mereka. Demikian juga sifat
mulia para sahabat tabi’in dan tabi’it tabi’in.
Kata wa-azimatun, menurut
lughat, artinya cita-cita yang kuat. Maksudnya penuh kesungguhan dan sabar
menghadapi bermacam-macam masalah hidup, akan tetapi kuat menghadapinya dan
mampu mengendalikan hawa nafsu. Demikian juga melatih diri dengan riyadlah
yang dapat memperkuat ibadah dan melakukan ketaatan. Umpamanya riyadlah
mengendalikan keinginan yang mubah, seperti puasa makan, minum, tidur, menahan
lapar seperti puasa, sunnat atau meninggalkan hal-hal yang kurang berguna bagi
kemantapan dan konsentrasi jiwa kaum sufi.
Nabi SAW bersabda: “Cukurlah
kiranya bagi manusia beberapa suapan untuk menegakkan tulang punggungnya.
Apabila ingin lebih dari itu, hendaklah ia membagi perutnya; sepertiga untuk
makan, sepertiga untuk minum dan sepertiga lagi untuk bernafas”.
Dalam hadits lain Nabi SAW
bersabda: “Bukankah manusia itu tertelungkup dalam neraka, tidak lain karena
buah omongan lisannya. Sedangkan usia manusia itu adalah modal pokok
perdagangannya. Apabila disia-siakan dengan makhluk perbuatan yang tidak
berguna, maka sungguh ia telah merusaknya dengan kesia-siaan”.
Oleh karena itu mengamalkan
ilmu thariqat sama dengan menghindari segala macam perbuatan mubah, seperti
telah dicontohkan di atas. Itulah jalan suci akan mengantarkan manusia kepada
ketaatan dan kebahagiaan.
C. Haqiqat
وَحَقِيْقَةُ لَوُصُوْلَهُ لِلْمُقْصِدِ وَمُشَاهَدٌ نُوْرُ
التَّجَلِّى بِانْجَلَى
Haqiqat adalah akhir perjalanan mencapai
tujuan
Menyaksikan cahaya nan gemerlapan
Dari ma’rifatullah yang penuh harapan
Untuk menempuh jalan menuju
akhirat haqiqat adalah tonggak terakhir. Dalam haqiqat itulah manusia yang
mencari dapat menemukan ma’rifatullah. Ia menemukan hakikat yang tajalli
dari kebesaran Allah Penguasa langit dan bumi.
Menurut Imam al-Ghazali, Tajalli
adalah rahasia Allah berupa cahaya yang mampu membuka seluruh rahasia dan ilmu.
Tajalli akan membuka rahasia yang tidak dapat dipandang oleh mata kepala. Mata
hati manusia menjadi terang, sehingga dapat memandang dengan jelas semua yang
tertutup rapat dari penglihatan lahiriah manusia.
Al-Qusyairi membedakan antara syariat dan haqiqat sebagai berikut: Haqiqat
adalah penyaksian manusia tentang rahasia-rahasia ketuhanan dengan mata
hatinya. Syari’at adalah kepastian hukum dalam ubudiyah, sebagai
kewajiban hamba kepada Al-Khaliq. Syariat ditunjukkan dalam bentuk kaifiyah
lahiriyah antara manusia dengan Allah
SWT.
Sudah dijelaskan sebelumnya
bahwa, perumpamaan syariat adalah ibarat kepala, thariqat ibarat lautan, dan
haqiqat ibarat mutiara.
Seperti pada bunyi syair “Barangsiapa
yang ingin mendapatkan mutiara di dalam lautan, maka ia harus mengarungi lautan
dengan menumpang kapal (ilmu syariat), kemudian ia harus pula menyelam untuk
mendapatkan perbendaharaan yang berada di kedalaman laut, yakni bernama mutiara
(ilmu haqiqat)”.
Para penuntut ilmu tasawuf
tidak akan mencapai kehidupan yang hakiki, kecuali telah menempuh tingkatan
hidup ruhani yang tiga tersebut. Menuju kesempurnaan hidup ruhani dan jasmani
yang hakiki menuju hidup akhirat yang sempurna, tiga jalan itu hendaklah
ditempuh bersama-sama dan bertahap. Apabila tahap-tahap itu tidak ditempuh maka
penuntut tasawuf atau mereka yang berminat mencari ruhani yang tentram, tidak
akan mendapatkan mutiara yang sangat mahal harganya itu.
D. Ma’rifat
Abu Said al-Kharraz
rahimahullah pernah ditanya tentang ma’rifat. Lalu ia menjawab: “Ma’rifat
itu datang lewat dua sisi, Pertama, dari anugerah kedermawanan Allah langsung,
dan kedua, dari mengarahkan segala kemampuan atau yang lebih dikenal sebagai
usaha (kasab) seorang hamba”.
Para ulama tasawuf dan kaum
shufiyah menempuh beberapa cara untuk mencapai tingkat tertinggi dalam
shufiyah, atau ma’rifatullah. Untuk mencapai ma’rifatullah ini setiap penuntut
shufiyah menempuh jalan yang tidak sama. Ma’rifat adalah tingkat telah mencapai
thariqat al-haqiqah.
Akan tetapi tidak berarti
thariqat menuju ma’rifatullah itu harus secara khusyusiah, lalu menempatkan
diri hanya dalma ibdaah batiniyah belaka. Akan tetapi untuk mencapai tingkat
thariqat ma’rifatullah itu, para penuntut dapat juga mencapai melalui berguru
langsung dengan para syaikh yang mursyid.
Para syaikh yang mursyid,
biasanya suka memberi pelajaran dan pendidikan kepada masyarakat untuk
memberikan petunjuk kaifiyah ibadah dan tauhid uluhiyah yang
bersih dan uswah hasanah Nabi SAW.
Imam Al-Ghazali berkata: “Barangsiapa
berilmu dan beramal serta mengajarkan ilmunya, maka ia termasuk orang yang
mendapat predikat orang mulia di kerajaan langit. Ia telah berma’rifat kepada
Allah. Ia adalah ibarat matahari yang menyinari dirinya sendiri, atau laksana
minyak misik yang harum yang menyebarkan keharuman disekitarnya, sedangkan ia
sendiri berada dalam keharuman”.
Sayyid Abdul Qadir Jailany ra,
berkata: “Saya tidak akan mencapai ma’rifatullah dengan hanya qiyamullail,
atau berpuasa sepanjang hari. Akan tetapi sampainya saya kepada ma’rifatullah
adalah juga dnegan amalan maslahah mursalah, seperti bermurah hati dan
menyantuni semua roang, tasamuh dan tawadlu’. Ada juga yang beribadah untuk
membantu dan menggembirkana orang lain. Termasuk berusaha mencapai nafkah, seperti
mencari kayu bakar di hutan, lalu di jual dna hasilnya disedekahkan bagi
kepentingan umum. Cara-cara seperti ini merupakan ibadah, selain banyak
manfaatnya, juga akan mencapai ma’rifatullah karena akan memperoleh do’anya
masyarakat umum dan kaum dhu’afa”.[1]
BAB II
KESIMPULAN
Sebagian ulama menerangkan
tiga jalan ke akhirat itu ibarat buah pala dan buah kelapa. Syariat ibarat kulitnya, thariqat isinya dan haqiqat ibarat
minyaknya. Pengertiannya ialah, minyak
tidak akan diperoleh tanpa memeras isinya, dan isi tidak akan diperoleh sebelum
menguliti kulit atau sabutnya.
Ma’rifat itu datang lewat dua
sisi: Pertama, dari anugerah kedermawanan Allah
langsung, dan kedua, dari mengerahkan segala kemampuan atau yang lebih
dikenal sebagai usaha (kasab) seorang hamba.
Sebenarnya Ihsan – Tashawwuf –
Tariqah adalah bagian langsung dari agama Allah yang diajarkan oleh Malaikat
Jibril. Ia tidak semestinya dipisahkan dari bagian-bagian lain, apalagi
diabaikan. Kalau syariah dan Aqidah berisi teori atau pengetahuan keagamaan,
maka Tashawuf adalah pengamalannya. Apa artinya pengetahuan dipelajari kalau
tidak diamalkan.
Kalau tashawwuf dan thariqat
disebut bid’ah (sesuatu yang baru muncul dan berkembang sesudah zaman kenabian)
maka aqidah dan ushuluddin serta syariat dan fiqh juga merupakan bid’ah.
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT Raja Grafinda Persada.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !