Headlines News :

Lomba Blog BPJS Ketenagakerjaan

Home » » Struktur dan Kultur NU

Struktur dan Kultur NU

BAB I
PEMBAHASAN

A.    Syuri'ah Nahdlatul Ulama'
Pasal 16 Anggaran Dasar NU (102 menyebutkan bahwa kepengu- rusan organisasi ini terdiri dari Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah. Kecuali Mustasyar yang hanya dibentuk pada tiga tingkat kepengurusan pertama, maka kedua komponen lainnya dapat ditemukan pada semua tingkat kepengurusan. Mustasyar dibentuk oleh Syuriyah, yang pada tingkat pusat sebanyak-banyaknya 9 orang. Sementara Syuriyah terdiri dari seorang Rais Aam, Wakil Rais Aam, beberapa Rais, Katib (sekretaris) dan beberapa wakilnya. Sedangkan Tanfidziyah dipimpin oleh seorang Ketua Umum yang membawahi beberapa Ketua, Sekjen dan beberapa wakilnya, serta Bendahara dan wakilnya.
Ketiga komponen yang masing-masing bersifat kolegial ini mem- punyai tugas dan fungsi tersendiri, yang dirinci cukup jelas dalam Anggaran Rumah Tangga NU. Mustasyar adalah penasehat yang secara kolektif bertugas memberikan nasehat kepada pengurus NU menurut tingkatannya.
Syuriyah secara formal merupakan pimpinan tertinggi NU Yang berfungsi sebagai pengelola, pengendali, pengawas dan penentu kebijaksanaan jam’iyah NU Dalam banyak segi, Syuriyah menjalankan fungsi sebagai lembaga legislatif NU, menentukan arah kebijaksanaan jam’iyah NU dalam melakukan usaha dan tindakannya untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Selain itu. Syuriyah berhak membatalkan setiap keputusan yang dibuat oleh suatu perangkat NU, jika keputusan itu dinilai bertentangan dengan ketentuan jam’iyah, terutama ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah wal Jamaah.
Di bawah Syuriyah, Pengurus Tanfidziyah berfungsi sebagai lembaga eksekutif yang memimpin jalannya organisasi sehari-hari sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh Syuriyah. Tanfidziyah harus menyampaikan laporan secara periodik kepada Syuriah tentang pelaksanaan tugasnya.
Dalam praktek, seolah ada konvensi yang berlaku bahwa kedudukan dalam Mustasyar, Syuriyah dan Tanfidziyah secara berturut-turut menggambarkan tingkat senioritas personelnya.
Selain ketika koponen inti tersebut, maka untuk menjalankan usaha-usaha di berbagai bidang garapan NU yang meliputi bidang bidang agama, pendidikan, sosial dan ekonomi, maka Anggaran Dasar NU mengatur pembentukan perangkat organisasi berupa bagian-bagian, lajnah, lembaga, dan badan-badan otonom. Pengurus Besar Tanfidziyah memegang wewenang untuk membentuk perangkat organisasi ini, di samping untuk membentuk tim-tim kerja tetap atau sementara jika dipandang perlu untuk menggerakkan dan mengelola program. Lajnah adalah semacam komite khusus tetap yang menangani suatu program NU. Antara lain yang telah terbentuk saat ini adalah Lajnah Falakiyah, yang bertugas mengurus masalah hisab dan rukyat; Lajnah Kajian dan pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam di Jakarta dan LKPSM di Yogyakarta) yang bertugas melakukan kajian, penelitian dan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan serta kualitas warga NU; dan sebagainya. Sementara lembaga adalah perangkat yang berfungsi sebaggai pelaksana kebijakan NU yang berkaitan dengan suatu bidang tertentu. Lembaga yang ada antara lain adalah Lembaga Dakwah NU; Lembaga Pendidikan Ma’arif; Rabithatul Ma’ahadil Islamiyah; dan sebagainya. Sedangkan badan otonom adalah perangkat yang berkaitan dengan kelompok masyarakat NU tertentu, seperti GP Ansor, Muslimat NU, dan seterusnya.
Di samping diferensiasi horisontal di atas, secara vertikal dalam sistem kepengurusan NU terdapat berbagai tingkatan yang sesuai dengan ruang lingkup wilayahnya. Setiap tingkat kepengurusan berfungsi sebagai koordinator kepengurusan setingkat di bawahnya, serta sebagai pelaksana kebijaksanaan tingkat kepengurusan di atasnya. Hirarkhi sistem kepengurusan NU ini meliputi: 1. Pengurus Besar pada tingkat pusat, berkedudukan di Ibukota RI. 2. Pengurus Wilayah pada tingkat propinsi, daerah tingkat I, atau daerah yang disamakan dengan itu. 3. Pengurus Cabang untuk tingkat kabupaten, kotamadya, daerah tingkat II, atau daerah yang disamakan dengannya. 4. Pengurus Majelis Wakil Cabang pada tingkat kecamatan atau daerah yang disamakan. 5. Pengurus Ranting pada tingkat desa atau kelurahan, atau daerah yang disamakan dengan itu. Anggota setiap kepengurusan ini dipilih dan diangkat oleh sebuah forum permusyawaratan sesuai dengan tingkatannya masmg-masing. Masa jabatan Pengurus Besar adalah 5 tahun, Pengurus Wiiayah dan Cabang 4 tahun, serta Pengurus MWC dan Ranting selama 3 tahun.
Pembuatan keputusan dalam NU dilakukan di dalam sebuah wadah permusyawaratan, yang memiliki peringkat di mana hirarkhi dan kekuatan hukum yang dihasilkan juga menyesuaikan dengan peringkatnya. Forum permusyawaratan di dalam NU meliputi:
a.    Muktamar
     Muktamar adalah lembaga permusyawaratan tertinggi yang di- selenggarakan oleh Pengurus Besar setiap lima tahun sekali. Di sini, Pengurus Besar melakukan evaluasi program selama lima tahun, dan dilakukan pemilihan pengurus periode berikutnya. Selain itu, Muktamar juga membahas masalah hukum fiqh, Program Dasar NU untuk periode berikutnya, serta berbagai masalah yang berkaitan dengan agama dan kemaslahatan umat.
b.    Konperensi Besar
     Konperensi Besar merupakan lembaga permusyawaratan tertinggi setelah Muktamar Yang diadakan oleh Pengurus Besar. Forum ini membicarakan pelaksanaan keputusan-keputusan Muktamar serta berbagai hal yang berkaitan dengan pelaksanaan program.
c.    Musyawarah Nasional Alim Ulama
     Munas Alim Ulama adalah forum yang diadakan oleh PB Syuriyah. sekali dalam suatu periode kepengurusan Anggaran Rumah Tangga NU tidak memerinci fungsi forum ini, kecuali bahwa ia “tidak dapat mengubah Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, keputusan Muktamar dan tidak mengadakan pemilihan PenguruS baru.
d.       Konperensi-Konperensi
   Konperensi ini meliputi Konperensi Wilayah, Konperensi Cabang; dan Konperensi Majelis Wakil Cabang, yang merupakan bentuk per- musyawaratan tertinggi pada setiap tingkatannya. Sebuah Konperensi diadakan oleh pengurus pada tiap tingkatan, dengan dihadiri oleh kepengrusan yang ada setingkat di bawahnya, dalam interval 4 tahun untuk Konperensi Wilayah, 4 tahun untuk Konperensi Cabang, dan 3 tahun untuk Konperensi Majelis Wakil Cabang. Dalam sebuah Konperensi dibahas mengenai evaluasi program kerja pengurus lama, pemilihan pengurus baru untuk periode berikutnya serta membahas masalah program kerja selanjutnya, terutama berkaitan dengarn masalah sosial dan keagamaan yang dihadapi pada setiap tingkatan.
e.       Rapat Anggota
Rapat Anggota adalah forum permusyawaratan tertinggi pada tingkat Ranting. Rapat ini dihadiri oleh anggota-anggota NU di Ranting setempat, dilaksanakan setiap tiga tahun dengan membicarakan laporan pertanggungjawaban Pengurus Ranting, menyususn rencana kerja untuk tiga tahun berikutnya, dan membahas masalah kema- syarakatan pada umumnya, terutama yang terjadi di Ranting.

     Sering dikatakan, NU adalah sebuah pesantren besar dan pesantren adalah NU kecil. Kalimat sederhana ini menggambarkan banyaknya sistem nilai dan sistem pengelolaan pesantren yang diadopsi dalam sistem penyelenggaraan NU sebagai suatu organisasi. Sebuah pesantren memiliki lima elemen penting: pondok, masjid, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, kyai, dan santri. Dua yang disebut terakhir adalah elemen manusia yang secara mutualistis mengelola pesantren dan segala kegiatan kesehariannya. Kyai adalah penguasa tertinggi pesantren, yang mengajar, memberikan pengayoman dan melakukan pengawasan terhadap kehidupan pesantren. Di bawahnya, para santri senior yang ditunjuk memegang tanggung jawab mengurus kepentingan pesantren sehari-hari dalam garis besar kebijaksanaan yang dibuat oleh kyai.
   Pola hubungan kyai-santri inilah yang sebenarnya menjadi logika dasar hubungan Syuriah-Tanfidziyah di NU. Selama dasawarsa pertama sejak berdirinya, aksen logika ini begitu kental mewarnai NU. Ketika itu Pengurus Tanfidziyah diangkat oleh Pengurus Syuriyah yang terpilih. Syuriyah diisi para kyai, sedangkan Pengurus Tanfidziyah biasanya berasal dari kalangan petani kaya, pedagang dan santri.104 Fungsi Tanfidziyah pada masa ini benar-benar hanya sebagai pelaksana teknis segala kebijaksanaan Syuriyah. Muktamar yang diadakan adalah forum milik Syuriyah, sedangkan Tanfidziyah berperan tak ubahnya hanya sebagai panitia pelaksana Muktamar. Agenda Muktamar pun pada umumnya menyangkut soal-soal keagamaan yang bukan lahan Pengurus Tanfidziyah.
    Pola hubungan ini mulai bergeser sejak Muktamar ke-9 di Banyuwangi, 1934. Saat itu mulai muncul beberapa tokoh ulama muda pesantren (yang berasal dari keluarga kyai) di Tanfidziyah yang menggeser kelompok santri pada jajaran kedua di dalamnya.105 Pada Muktamar ini, Machfudz Siddiq dan Wahid Hasyim (dua di antara ulama- ulama muda itu) minta kepada Muktamar agar otonomi Tanfidziyah juga diperhatikan agar lebih menamhah pengabdian NU kepada negara dan bangsa.106 Di sinilah beberapa perubahan penting mulai dilakukan. Jika pada Muktamar-muktamar sebelumnya Tanfidziyah tidak diikut sertakan dalam persidangan, apalagi turut memutuskan masalah, maka sejak Muktamar Banyuwangi ini mereka diberi hak dan wewenang untuk mengadakan sidang sendiri sesuai bidangnya, terpisah dari sidang Syuriyah.107 Tuntutan akan otonomi Tanfidziyah pun terjawab ketika saat itu Pengurus Tanfidziyah mulai dipilih langsung oleh Muktamar. Sehingga, kemampuan dan pengaruh Tanfidziyah mulai naik, tidak hanya sebagai pelaksana teknis saja. Bahkan dalam Muktamar-muktamar selanjutnya, Pengurus Tanfidziyah sudah duduk di meja pimpinan Muktamar.108 Mekarnya otonomi Tanfidziyah ini di samping memberi manfaat posifif berupa semakin maraknya aktualisasi peran dan keberadaan NU dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tak kurang juga membawa agenda permasalahan yang cukup rumit. Antara lain, peran kedua badan –Tanfidziyah dan Syuriyah—dalam beberapa hal seringkali tumpang-tindih akibat ketidak-jelasan distribusi peran masing-masing dalam praktek. Misalnya, dalam MIAI NU diwakili oleh unsur-unsur Syuriyah dan Tanfidziyah. Padahal untuk hal-hal semacam itu mestinya NU cukup diwakili oleh Pengurus Tanfidziyah.
   Ketika NU semakin menancapkan peran politiknya setelah kemerdekaan, otonomi Tanfidziyah kian besar, dan bahkan mereka lalu tampak lebih dominan daripada Syuriyah. Aspek senioritas yang mulanya begitu dipentingkan dalam penempatan personel Syuriyah dan Tanfidziyah seterusnya agak diabaikan. Baik tokoh-tokoh Syuriyah maupun Tanfidziyah sesudah itu adalah orang-orang yang sepantaran, berbeda dengan masa awal di mana senioritas Syuriyah begitu dipentingkan, dan di mana Tanfidziyah tampak sebagai “murid” Syuriyah dengan segala ketaatannya. Wajar jika wibawa dan supremasi Syuriyah lalu mengalami degradasi.
   Keadaan itu berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang. Sistem nilai yang berlaku dalam NU pun seolah telah bergeser ketika dimasa Orde Baru pernah muncul konflik antara dua kelompok yang kurang lebih adalah Syuriyah dan Tanfidziyah. Konflik itu bisa muncul karena salah satu atau sekaligus kedua penyebab ini: lemahnya wibawa para ulama dalam Syuriyah di satu sisi, dan tidak terkendalinya otonomi Tanfidziyah pada sisi lain.
   Sebuah langkah baru ke arah pembenahan kondisi ini mulai di tancapkan di Situbondo, 1984, ketika keputusan kembali ke Khittah 1926 mengamanatkan dikembalikannya supremasi ulama di Syuriyah, tanpa mengecilkan sama sekali peran Tanfidziyah sehingga hanya sekedar menjadi alat Syuriyah, dalam struktur kewenangan NU.
Basis Massa NU
    Massa pendukung NU berasal dari masyarakat santri di pedesaan, khususnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Salah satu karakteristik mereka adalah cenderung menghindari konflik dan lebih mementing kan harmoni; dan sebagai komunitas santri, karakteristik berikutnya adalah ketaatan mereka kepada ulama atau kyai dalam suatu pola hu- bungan guru-murid yang nyaris sakral.
   Massa NU ini pada dasarnya terbagi dalam komunitas-komunitas kecil seperti sel-sel pada sebuah organisme yang masing-masing memiliki nukleus berupa kyai-kyai lokal. Tempat kedudukan para kyai ini biasanya dicirikan dengan terdapatnya lembaga pendidikan Islam tradisional pesantren atau terdapatnya surau di suatu desa. Sehingga pesantren, yang satu sama lain biasanya memiliki hubungan interdependensi, adalah bagian terpenting dalam pembahasan tentang NU dan basis massanya. Di sini tidak dimaksudkan suatu uraian tentang detil pesantren seperti kurikulum dan metode pengajarannya. Yang lebih penting adalah logika dasar dalam kehidupan pesantren yang me- warnai pola hubungan santri-kyai serta hidup keseharian pesantren dan masyarakat sekitarya. Logika dasar itulah yang memberi corak pada karakteristik NU.
   Salah satu nilai penting dalam tradisi pesantren adalah kepatuhan santri kepada kyainya yang bersifat mutlak dan tidak terputus berlaku sepanjang hidup seorang santri. Hal ini merupakan inti ajaran kitab Ta’limul Muta’allim, salah satu kitab klasik acuan utama kebanyakan, kalau tidak semua, pesantren NU.109 Sikap hormat dan kepatuhan mutlak kepada kyai sebagi guru ini bukanlah manifestasi penyerahan total kepada guru yang dianggap memiliki otoritas, melainkan karena keyakinan bahwa guru adalah peenyalur kemurahan Tuhan yang dilimpahkan kepada murid-muridnya. Kondisi ini berhulu pada kedudukan dominan dalam pembentukan tata nilai di pesantren yang dipegang oleh hukum fiqh, kemudian diikuti oleh tradisi kaum sufi.110 Keharusan menyerahkan diri sepenuhnya kepada kyai, tidak lain adalah kelanjutan sikap tunduk para penganut sufi kepada tokoh, mursyid, sebagai penunjuk ke arah kesempurnaan pengertian akan hakekat Tuhan. Dengan tata nilai ini maka kedudukan kyai menjadi sangat tinggi dalam lingkungan santri dan bahkan meluas pada masyarakat se- kitarnya . Karena tuntutan keteladanan ini, sementara nilai-nilai baru terus berdatangan, maka disadari atau tidak sang kyai lalu terlibat dalam proses penyelarasan terus-menerus antara tata nilai yang ada dalam masyarakat atau khususnya pesantren yang dipimpinnya, dan nilai-nilai budaya baru yang bersinggungan dengannya. Abdurrahman Wahid menilai bahwa respons kultural yang reaktif (itu), betapa pun bergunanya pada suatu saat, pada akhirnya membuat kyai sukar memahami setiap gejolak nilai intrinsik masyarakat, karena setiap pemahaman akan hakikat gejolak itu senantiasa dilakukan dari sudut kemungkinan penyerapan ke dalam lingkungan pesantren sendiri. De- ngan demikian, peranan adaptatif ini pada akhirnya membawa kyai pada sikap hidup yang secara kultural dapat dinilai oportunis, dalam arti kata ia harus mengusahakan tercapainya keseimbangan kultural semaksimal munkin.111
   Watak serupa ini ternyata kemudian tampak ketika kyai-kyai di dalam NU, mengambil peran dalam proses politik yang berjalan. Kesan oportunistik terasa sekali ketika NU sangat menonjol dengan sikap akomodatifnya. Setiap perubahan politik yang terjadi biasanya selalu dicari keselarasannya dengan nilai-nilai keagamaan, dan pada umumnya berhasil. Selalu ditemukannya keselarasan itu karena pada satu sisi biasanya fenomena politik yang muncul digali sampai esensi persoalannya, sehingga selalu dapat dirumuskan nilai-nilai positifnya. Sementara di sisi lain, NU memiliki kekayaan referensi berupa kitab-kitab klasik, yang sangat beraneka ragam. Dari sini NU dapat mencari pendapat para ulama terdahulu yang paling dapat mengakomodasikan perubahan politik. Contoh yang dapat diambii adalah pemberian gelar waliyyul amri dharuri’ bissyaukah (pemegang kekuasaan sementara dengan kekuasaan penuh) kepada Sukarno sementara pada saat yang sama Kartosuwiryo, yang memperjuangkan negara Islam, juga diberi cap sebagai bughat (pemberontak). Alasannya adalah karena keberadaan negara telah dinilai sah secara fiqh, maka orang yang menjadi presidennya pun perlu diberi legitimasi kekuasaan penuh.
   Sikap fleksibel kalangan santri ini juga berkaitan dengan keunikan struktur pengajaran yang memiliki ciri khas. Semua mata pelajaran di pesantren bersikap aplikatif, dalam arti harus diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga proses pendidikan di pesantren sama saja artinya dengan “sebuah proses pembentukan tata nilai yang lengkap, dengan cara penilaian dan orientasinya sendiri.”113 Pada akhirnya, pola keseharian kehidupan pesantren, yang diwarnai oleh visi “keikhlasan” (dalam pengertian vertikal, berbeda dengan makna umum yang horisontal) itu, membangun sebuah pokok dasar kehidupan berupa orientasi ke arah kehidupan akhirat, atau pandangan hidup ukhrawi.114 Wajah lain pandangan hidup ini adalah keikhlasan untuk menerima kadar apa saja perolehan hidup yang ada, asalkan pandangan hidup ukhrawi sedapat mungkin terpuaskan. Sebuah sikap hidup yang tampak fatalistis, namun jelas memiliki dimensi positifnya: kemampuan melakukan perubahan status dalam kehidupan dengan mudah.

B.     Kultur Nahdlatul Ulama
Kultur dasar NU yang menjadi promotor bendungan masyarakat dari arus pragmatisme dan kolonialsme, ternyata banyak dialihfungsikan setelah ia menjadi the big organization dengan jutaan massa. Dinamika para tokoh NU dengan banyak berkiprah dalam berpolitik praktis, menjadikan jelasnya harapan khitah NU mulai terkikis. NU adalah organisasi masyarakat yang mempunyai tanggung jawab mengerti, menampung, dan memenuhi aspirasi masyarakat agar tercipta suasana damai, adil tanpa kekangan, dan penjajahan secara realitas maupun imajiner.
Tradisi pesantren yang dibangun dan dikembangkan NU menjadi basis signifikansi pergerakan rakyat Indonesia melawan kelompok-kelompok separatisme kolektif. Menerangi wilayah yang pada saat itu masih terjadi krisis vertikal ihwal keagamaan, dan melakukan gerakan pembelajaran linier bersama kaum proletar tak berpendidikan untuk cita-cita bersama mewujudkan kondisi nyaman dari kekosongan spiritual serta krisis keamanan.
Menurut pandangan K.H. Abdurrahman Wahid, sistem kebersamaan hidup masyarakat dalam lingkup multikulturalisme yang masih berlaku, menunjukkan indikasi adanya girah sepihak dari personal tokoh NU untuk membangun rezimnya sendiri. NU dengan berfondasi pada khitah pesantren seharusnya melakukan pembelaan hak-hak setiap rakyat dari penjajahan struktural. Dalam cakupan lebih luas, budaya tradisi pesantrenisme yang dihidupkan oleh ormas NU adalah upaya menciptakan tandingan terhadap tindakan sebagian rezim penguasa yang semena-mena menghilangkan kebebasan orang lain.
Tradisi dan kultur pesantren, yang dulu menjadi alat canggih untuk mobilisasi sosial horizontal, melalui cara penerapan kaidah "keulamaan" dari para ulama pribumi yang menyerap berbagai ilmu suci telah berhasil mewujudkan harapan, salah satunya meningkatnya pendidikan kebudayaan bangsa. Ormas NU sekarang seharusnya tidak bergeser dari kaidah-kaidah para pendirinya tersebut. Artinya, NU harus lebih berguna bagi seluruh masyarakat Indonesia, bukan bagi pribadi, dengan meningkatkan politik imagologi untuk menang sendiri.
Sekarang dalam tubuh NU terjangkit polarisasi dan diaspora besar-besaran. Keanekaragaman pikiran tokoh NU mulai agresif dengan rezimnya sendiri terhadap gejala-gejala sosial dan perlawanan terhadap fundamentalisme budaya asing yang dikemas dalam pakaian agamis. Seperti Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan nahkodanya Ulil Absar Abdalla, menggelorakan pikiran keislaman dengan pendekatan liberal. Masdar Farid dengan madzabnya Islam emansipatoris, yang ingin membangun transformasi sosial masyarakat umum melalui dasar-dasarnya.
Apakah yang mereka tawarkan tetap pada sebatas pikiran yang menjebakan diri pada perpecahan. Padahal itu semua belum cukup artinya tanpa adanya respons balik masyarakat secara komperhensif untuk mewujudkan keinginan mereka. Perlu diperhatikan lebih serius adalah bagaimana seluruh warga masyarakat nahdliyin mampu menghayati nilai-nilai yang diajarkan para pendiri NU dengan sepenuh hati, sehingga mereka tahu apa tujuan dilahirkannya ormas ini. .
Kebosanan masyarakat awam melihat dan merasakan para tokohnya yang kian berjalan sendiri-sendiri tanpa memperhatikan makmunya yang sangat heterogen, banyak menciptakan kritik dan hilangnya roh kharismatik ketokohan mereka. Dikhawatirkan terjadi krisisisasi budaya pesantren yang santun dan membahayakan khitah organisasi ini. Sekarang adanya diaspora para tokoh NU merupakan implikasi dari pecahnya budaya pesantren atau terkontaminasinya budaya pesantren dengan budaya asing yang menciptakan suasana asing pula di hati warga nahdliyin.
Ormas NU yang saat ini menyebar pesat di berbagai belahan dunia, secara otomatis terkombinasi langsung dengan kultur budaya setempat. Budaya yang heterogen dalam setiap wilayah yang luas, tidak mungkin bisa disatukan dengan cara dan alat apa pun. Masayarakat nahdliyin yang plural seakan mendapatkan ultimatum dari tokoh untuk mendukung perspektif pemikirannya upaya memecahkan persoalan di tengah-tengah warga NU. Ini sangat tidak mungkin, memberikan satu jenis hal untuk banyak orang yang berbeda-beda.

BAB II
KESIMPULAN

Dari pembahasan makalah diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa : Syuriyah secara formal merupakan pimpinan tertinggi NU Yang berfungsi sebagai pengelola, pengendali, pengawas dan penentu kebijaksanaan jam’iyah NU Dalam banyak segi, Syuriyah menjalankan fungsi sebagai lembaga legislatif NU, menentukan arah kebijaksanaan jam’iyah NU dalam melakukan usaha dan tindakannya untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Selain itu. Syuriyah berhak membatalkan setiap keputusan yang dibuat oleh suatu perangkat NU, jika keputusan itu dinilai bertentangan dengan ketentuan jam’iyah, terutama ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah wal Jamaah.
Di bawah Syuriyah, Pengurus Tanfidziyah berfungsi sebagai lembaga eksekutif yang memimpin jalannya organisasi sehari-hari sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh Syuriyah. Tanfidziyah harus menyampaikan laporan secara periodik kepada Syuriah tentang pelaksanaan tugasnya. Pembuatan keputusan dalam NU dilakukan di dalam sebuah wadah permusyawaratan, yang memiliki peringkat di mana hirarkhi dan kekuatan hukum yang dihasilkan juga menyesuaikan dengan peringkatnya.
NU adalah sebuah pesantren besar dan pesantren adalah NU kecil. Kalimat sederhana ini menggambarkan banyaknya sistem nilai dan sistem pengelolaan pesantren yang diadopsi dalam sistem penyelenggaraan NU sebagai suatu organisasi. Sebuah pesantren memiliki lima elemen penting: pondok, masjid, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, kyai, dan santri. Dua yang disebut terakhir adalah elemen manusia yang secara mutualistis mengelola pesantren dan segala kegiatan kesehariannya. Kyai adalah penguasa tertinggi pesantren, yang mengajar, memberikan pengayoman dan melakukan pengawasan terhadap kehidupan pesantren. Di bawahnya, para santri senior yang ditunjuk memegang tanggung jawab mengurus kepentingan pesantren sehari-hari dalam garis besar kebijaksanaan yang dibuat oleh kyai.

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Blog Archive

Followers

Search This Blog

Blogger Themes

Random Post

Bagaimana Pendapat Anda dengan Blog ini?

Trending Topik

EnglishFrenchGermanSpainItalianDutch

RussianPortugueseJapaneseKoreanArabic Chinese Simplified
SELAMAT DATANG
script>
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Berbagai Kumpulan Makalah - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template