BAB I
PEMBAHASAN
A. Syuri'ah
Nahdlatul Ulama'
Pasal 16 Anggaran
Dasar NU (102 menyebutkan bahwa kepengu- rusan organisasi ini terdiri dari
Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah. Kecuali Mustasyar yang hanya dibentuk
pada tiga tingkat kepengurusan pertama, maka kedua komponen lainnya dapat
ditemukan pada semua tingkat kepengurusan. Mustasyar dibentuk oleh Syuriyah,
yang pada tingkat pusat sebanyak-banyaknya 9 orang. Sementara Syuriyah terdiri
dari seorang Rais Aam, Wakil Rais Aam, beberapa Rais, Katib (sekretaris) dan
beberapa wakilnya. Sedangkan Tanfidziyah dipimpin oleh seorang Ketua Umum yang
membawahi beberapa Ketua, Sekjen dan beberapa wakilnya, serta Bendahara dan
wakilnya.
Ketiga komponen
yang masing-masing bersifat kolegial ini mem- punyai tugas dan fungsi
tersendiri, yang dirinci cukup jelas dalam Anggaran Rumah Tangga NU. Mustasyar
adalah penasehat yang secara kolektif bertugas memberikan nasehat kepada
pengurus NU menurut tingkatannya.
Syuriyah secara
formal merupakan pimpinan tertinggi NU Yang berfungsi sebagai pengelola,
pengendali, pengawas dan penentu kebijaksanaan jam’iyah NU Dalam banyak segi,
Syuriyah menjalankan fungsi sebagai lembaga legislatif NU, menentukan arah
kebijaksanaan jam’iyah NU dalam melakukan usaha dan tindakannya untuk mencapai tujuan
yang diinginkan. Selain itu. Syuriyah berhak membatalkan setiap keputusan yang
dibuat oleh suatu perangkat NU, jika keputusan itu dinilai bertentangan dengan
ketentuan jam’iyah, terutama ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah wal Jamaah.
Di bawah Syuriyah,
Pengurus Tanfidziyah berfungsi sebagai lembaga eksekutif yang memimpin jalannya
organisasi sehari-hari sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh
Syuriyah. Tanfidziyah harus menyampaikan laporan secara periodik kepada Syuriah
tentang pelaksanaan tugasnya.
Dalam praktek,
seolah ada konvensi yang berlaku bahwa kedudukan dalam Mustasyar, Syuriyah dan
Tanfidziyah secara berturut-turut menggambarkan tingkat senioritas personelnya.
Selain ketika
koponen inti tersebut, maka untuk menjalankan usaha-usaha di berbagai bidang
garapan NU yang meliputi bidang bidang agama, pendidikan, sosial dan ekonomi,
maka Anggaran Dasar NU mengatur pembentukan perangkat organisasi berupa
bagian-bagian, lajnah, lembaga, dan badan-badan otonom. Pengurus Besar Tanfidziyah
memegang wewenang untuk membentuk perangkat organisasi ini, di samping untuk
membentuk tim-tim kerja tetap atau sementara jika dipandang perlu untuk
menggerakkan dan mengelola program. Lajnah adalah semacam komite khusus tetap
yang menangani suatu program NU. Antara lain yang telah terbentuk saat ini
adalah Lajnah Falakiyah, yang bertugas mengurus masalah hisab dan rukyat;
Lajnah Kajian dan pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam di Jakarta dan
LKPSM di Yogyakarta) yang bertugas melakukan kajian, penelitian dan pelatihan
untuk meningkatkan kemampuan serta kualitas warga NU; dan sebagainya. Sementara
lembaga adalah perangkat yang berfungsi sebaggai pelaksana kebijakan NU yang
berkaitan dengan suatu bidang tertentu. Lembaga yang ada antara lain adalah Lembaga
Dakwah NU; Lembaga Pendidikan Ma’arif; Rabithatul Ma’ahadil Islamiyah; dan
sebagainya. Sedangkan badan otonom adalah perangkat yang berkaitan dengan
kelompok masyarakat NU tertentu, seperti GP Ansor, Muslimat NU, dan seterusnya.
Di samping
diferensiasi horisontal di atas, secara vertikal dalam sistem kepengurusan NU
terdapat berbagai tingkatan yang sesuai dengan ruang lingkup wilayahnya. Setiap
tingkat kepengurusan berfungsi sebagai koordinator kepengurusan setingkat di
bawahnya, serta sebagai pelaksana kebijaksanaan tingkat kepengurusan di
atasnya. Hirarkhi sistem kepengurusan NU ini meliputi: 1. Pengurus Besar pada
tingkat pusat, berkedudukan di Ibukota RI. 2. Pengurus Wilayah pada tingkat
propinsi, daerah tingkat I, atau daerah yang disamakan dengan itu. 3. Pengurus
Cabang untuk tingkat kabupaten, kotamadya, daerah tingkat II, atau daerah yang
disamakan dengannya. 4. Pengurus Majelis Wakil Cabang pada tingkat kecamatan
atau daerah yang disamakan. 5. Pengurus Ranting pada tingkat desa atau kelurahan,
atau daerah yang disamakan dengan itu. Anggota setiap kepengurusan ini dipilih
dan diangkat oleh sebuah forum permusyawaratan sesuai dengan tingkatannya
masmg-masing. Masa jabatan Pengurus Besar adalah 5 tahun, Pengurus Wiiayah dan
Cabang 4 tahun, serta Pengurus MWC dan Ranting selama 3 tahun.
Pembuatan
keputusan dalam NU dilakukan di dalam sebuah wadah permusyawaratan, yang
memiliki peringkat di mana hirarkhi dan kekuatan hukum yang dihasilkan juga
menyesuaikan dengan peringkatnya. Forum permusyawaratan di dalam NU meliputi:
a. Muktamar
Muktamar adalah lembaga permusyawaratan
tertinggi yang di- selenggarakan oleh Pengurus Besar setiap lima tahun sekali.
Di sini, Pengurus Besar melakukan evaluasi program selama lima tahun, dan
dilakukan pemilihan pengurus periode berikutnya. Selain itu, Muktamar juga
membahas masalah hukum fiqh, Program Dasar NU untuk periode berikutnya, serta
berbagai masalah yang berkaitan dengan agama dan kemaslahatan umat.
b. Konperensi Besar
Konperensi Besar merupakan lembaga
permusyawaratan tertinggi setelah Muktamar Yang diadakan oleh Pengurus Besar.
Forum ini membicarakan pelaksanaan keputusan-keputusan Muktamar serta berbagai
hal yang berkaitan dengan pelaksanaan program.
c. Musyawarah Nasional Alim Ulama
Munas Alim Ulama adalah forum yang
diadakan oleh PB Syuriyah. sekali dalam suatu periode kepengurusan Anggaran
Rumah Tangga NU tidak memerinci fungsi forum ini, kecuali bahwa ia “tidak dapat
mengubah Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, keputusan Muktamar dan tidak
mengadakan pemilihan PenguruS baru.
d.
Konperensi-Konperensi
Konperensi ini meliputi Konperensi Wilayah,
Konperensi Cabang; dan Konperensi Majelis Wakil Cabang, yang merupakan bentuk
per- musyawaratan tertinggi pada setiap tingkatannya. Sebuah Konperensi
diadakan oleh pengurus pada tiap tingkatan, dengan dihadiri oleh kepengrusan
yang ada setingkat di bawahnya, dalam interval 4 tahun untuk Konperensi
Wilayah, 4 tahun untuk Konperensi Cabang, dan 3 tahun untuk Konperensi Majelis
Wakil Cabang. Dalam sebuah Konperensi dibahas mengenai evaluasi program kerja
pengurus lama, pemilihan pengurus baru untuk periode berikutnya serta membahas
masalah program kerja selanjutnya, terutama berkaitan dengarn masalah sosial
dan keagamaan yang dihadapi pada setiap tingkatan.
e.
Rapat Anggota
Rapat Anggota adalah forum permusyawaratan tertinggi pada
tingkat Ranting. Rapat ini dihadiri oleh anggota-anggota NU di Ranting
setempat, dilaksanakan setiap tiga tahun dengan membicarakan laporan
pertanggungjawaban Pengurus Ranting, menyususn rencana kerja untuk tiga tahun
berikutnya, dan membahas masalah kema- syarakatan pada umumnya, terutama yang
terjadi di Ranting.
Sering dikatakan, NU adalah sebuah
pesantren besar dan pesantren adalah NU kecil. Kalimat sederhana ini
menggambarkan banyaknya sistem nilai dan sistem pengelolaan pesantren yang
diadopsi dalam sistem penyelenggaraan NU sebagai suatu organisasi. Sebuah
pesantren memiliki lima elemen penting: pondok, masjid, pengajaran kitab-kitab
Islam klasik, kyai, dan santri. Dua yang disebut terakhir adalah elemen manusia
yang secara mutualistis mengelola pesantren dan segala kegiatan kesehariannya.
Kyai adalah penguasa tertinggi pesantren, yang mengajar, memberikan pengayoman
dan melakukan pengawasan terhadap kehidupan pesantren. Di bawahnya, para santri
senior yang ditunjuk memegang tanggung jawab mengurus kepentingan pesantren
sehari-hari dalam garis besar kebijaksanaan yang dibuat oleh kyai.
Pola hubungan kyai-santri inilah yang
sebenarnya menjadi logika dasar hubungan Syuriah-Tanfidziyah di NU. Selama
dasawarsa pertama sejak berdirinya, aksen logika ini begitu kental mewarnai NU.
Ketika itu Pengurus Tanfidziyah diangkat oleh Pengurus Syuriyah yang terpilih.
Syuriyah diisi para kyai, sedangkan Pengurus Tanfidziyah biasanya berasal dari
kalangan petani kaya, pedagang dan santri.104 Fungsi Tanfidziyah pada masa ini
benar-benar hanya sebagai pelaksana teknis segala kebijaksanaan Syuriyah.
Muktamar yang diadakan adalah forum milik Syuriyah, sedangkan Tanfidziyah
berperan tak ubahnya hanya sebagai panitia pelaksana Muktamar. Agenda Muktamar
pun pada umumnya menyangkut soal-soal keagamaan yang bukan lahan Pengurus
Tanfidziyah.
Pola hubungan ini mulai bergeser sejak
Muktamar ke-9 di Banyuwangi, 1934. Saat itu mulai muncul beberapa tokoh ulama
muda pesantren (yang berasal dari keluarga kyai) di Tanfidziyah yang menggeser
kelompok santri pada jajaran kedua di dalamnya.105 Pada Muktamar ini, Machfudz
Siddiq dan Wahid Hasyim (dua di antara ulama- ulama muda itu) minta kepada
Muktamar agar otonomi Tanfidziyah juga diperhatikan agar lebih menamhah
pengabdian NU kepada negara dan bangsa.106 Di sinilah beberapa perubahan
penting mulai dilakukan. Jika pada Muktamar-muktamar sebelumnya Tanfidziyah
tidak diikut sertakan dalam persidangan, apalagi turut memutuskan masalah, maka
sejak Muktamar Banyuwangi ini mereka diberi hak dan wewenang untuk mengadakan
sidang sendiri sesuai bidangnya, terpisah dari sidang Syuriyah.107 Tuntutan
akan otonomi Tanfidziyah pun terjawab ketika saat itu Pengurus Tanfidziyah
mulai dipilih langsung oleh Muktamar. Sehingga, kemampuan dan pengaruh
Tanfidziyah mulai naik, tidak hanya sebagai pelaksana teknis saja. Bahkan dalam
Muktamar-muktamar selanjutnya, Pengurus Tanfidziyah sudah duduk di meja pimpinan
Muktamar.108 Mekarnya otonomi Tanfidziyah ini di samping memberi manfaat
posifif berupa semakin maraknya aktualisasi peran dan keberadaan NU dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, tak kurang juga membawa agenda permasalahan
yang cukup rumit. Antara lain, peran kedua badan –Tanfidziyah dan
Syuriyah—dalam beberapa hal seringkali tumpang-tindih akibat ketidak-jelasan
distribusi peran masing-masing dalam praktek. Misalnya, dalam MIAI NU diwakili
oleh unsur-unsur Syuriyah dan Tanfidziyah. Padahal untuk hal-hal semacam itu
mestinya NU cukup diwakili oleh Pengurus Tanfidziyah.
Ketika NU semakin menancapkan peran
politiknya setelah kemerdekaan, otonomi Tanfidziyah kian besar, dan bahkan
mereka lalu tampak lebih dominan daripada Syuriyah. Aspek senioritas yang
mulanya begitu dipentingkan dalam penempatan personel Syuriyah dan Tanfidziyah
seterusnya agak diabaikan. Baik tokoh-tokoh Syuriyah maupun Tanfidziyah sesudah
itu adalah orang-orang yang sepantaran, berbeda dengan masa awal di mana
senioritas Syuriyah begitu dipentingkan, dan di mana Tanfidziyah tampak sebagai
“murid” Syuriyah dengan segala ketaatannya. Wajar jika wibawa dan supremasi
Syuriyah lalu mengalami degradasi.
Keadaan itu berlangsung dalam kurun waktu
yang cukup panjang. Sistem nilai yang berlaku dalam NU pun seolah telah
bergeser ketika dimasa Orde Baru pernah muncul konflik antara dua kelompok yang
kurang lebih adalah Syuriyah dan Tanfidziyah. Konflik itu bisa muncul karena
salah satu atau sekaligus kedua penyebab ini: lemahnya wibawa para ulama dalam
Syuriyah di satu sisi, dan tidak terkendalinya otonomi Tanfidziyah pada sisi
lain.
Sebuah langkah baru ke arah pembenahan
kondisi ini mulai di tancapkan di Situbondo, 1984, ketika keputusan kembali ke
Khittah 1926 mengamanatkan dikembalikannya supremasi ulama di Syuriyah, tanpa
mengecilkan sama sekali peran Tanfidziyah sehingga hanya sekedar menjadi alat
Syuriyah, dalam struktur kewenangan NU.
Basis Massa NU
Massa pendukung NU berasal dari masyarakat
santri di pedesaan, khususnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Salah satu
karakteristik mereka adalah cenderung menghindari konflik dan lebih mementing
kan harmoni; dan sebagai komunitas santri, karakteristik berikutnya adalah
ketaatan mereka kepada ulama atau kyai dalam suatu pola hu- bungan guru-murid
yang nyaris sakral.
Massa NU ini pada dasarnya terbagi dalam
komunitas-komunitas kecil seperti sel-sel pada sebuah organisme yang
masing-masing memiliki nukleus berupa kyai-kyai lokal. Tempat kedudukan para
kyai ini biasanya dicirikan dengan terdapatnya lembaga pendidikan Islam
tradisional pesantren atau terdapatnya surau di suatu desa. Sehingga pesantren,
yang satu sama lain biasanya memiliki hubungan interdependensi, adalah bagian
terpenting dalam pembahasan tentang NU dan basis massanya. Di sini tidak
dimaksudkan suatu uraian tentang detil pesantren seperti kurikulum dan metode
pengajarannya. Yang lebih penting adalah logika dasar dalam kehidupan pesantren
yang me- warnai pola hubungan santri-kyai serta hidup keseharian pesantren dan
masyarakat sekitarya. Logika dasar itulah yang memberi corak pada karakteristik
NU.
Salah satu nilai penting dalam tradisi
pesantren adalah kepatuhan santri kepada kyainya yang bersifat mutlak dan tidak
terputus berlaku sepanjang hidup seorang santri. Hal ini merupakan inti ajaran
kitab Ta’limul Muta’allim, salah satu kitab klasik acuan utama kebanyakan,
kalau tidak semua, pesantren NU.109 Sikap hormat dan kepatuhan mutlak kepada
kyai sebagi guru ini bukanlah manifestasi penyerahan total kepada guru yang
dianggap memiliki otoritas, melainkan karena keyakinan bahwa guru adalah
peenyalur kemurahan Tuhan yang dilimpahkan kepada murid-muridnya. Kondisi ini
berhulu pada kedudukan dominan dalam pembentukan tata nilai di pesantren yang
dipegang oleh hukum fiqh, kemudian diikuti oleh tradisi kaum sufi.110 Keharusan
menyerahkan diri sepenuhnya kepada kyai, tidak lain adalah kelanjutan sikap
tunduk para penganut sufi kepada tokoh, mursyid, sebagai penunjuk ke arah
kesempurnaan pengertian akan hakekat Tuhan. Dengan tata nilai ini maka
kedudukan kyai menjadi sangat tinggi dalam lingkungan santri dan bahkan meluas
pada masyarakat se- kitarnya . Karena tuntutan keteladanan ini, sementara
nilai-nilai baru terus berdatangan, maka disadari atau tidak sang kyai lalu
terlibat dalam proses penyelarasan terus-menerus antara tata nilai yang ada
dalam masyarakat atau khususnya pesantren yang dipimpinnya, dan nilai-nilai
budaya baru yang bersinggungan dengannya. Abdurrahman Wahid menilai bahwa
respons kultural yang reaktif (itu), betapa pun bergunanya pada suatu saat,
pada akhirnya membuat kyai sukar memahami setiap gejolak nilai intrinsik
masyarakat, karena setiap pemahaman akan hakikat gejolak itu senantiasa
dilakukan dari sudut kemungkinan penyerapan ke dalam lingkungan pesantren
sendiri. De- ngan demikian, peranan adaptatif ini pada akhirnya membawa kyai
pada sikap hidup yang secara kultural dapat dinilai oportunis, dalam arti kata
ia harus mengusahakan tercapainya keseimbangan kultural semaksimal munkin.111
Watak serupa ini ternyata kemudian tampak
ketika kyai-kyai di dalam NU, mengambil peran dalam proses politik yang
berjalan. Kesan oportunistik terasa sekali ketika NU sangat menonjol dengan
sikap akomodatifnya. Setiap perubahan politik yang terjadi biasanya selalu
dicari keselarasannya dengan nilai-nilai keagamaan, dan pada umumnya berhasil.
Selalu ditemukannya keselarasan itu karena pada satu sisi biasanya fenomena
politik yang muncul digali sampai esensi persoalannya, sehingga selalu dapat
dirumuskan nilai-nilai positifnya. Sementara di sisi lain, NU memiliki kekayaan
referensi berupa kitab-kitab klasik, yang sangat beraneka ragam. Dari sini NU
dapat mencari pendapat para ulama terdahulu yang paling dapat mengakomodasikan
perubahan politik. Contoh yang dapat diambii adalah pemberian gelar waliyyul
amri dharuri’ bissyaukah (pemegang kekuasaan sementara dengan kekuasaan penuh)
kepada Sukarno sementara pada saat yang sama Kartosuwiryo, yang memperjuangkan
negara Islam, juga diberi cap sebagai bughat (pemberontak). Alasannya adalah
karena keberadaan negara telah dinilai sah secara fiqh, maka orang yang menjadi
presidennya pun perlu diberi legitimasi kekuasaan penuh.
Sikap fleksibel kalangan santri ini juga
berkaitan dengan keunikan struktur pengajaran yang memiliki ciri khas. Semua
mata pelajaran di pesantren bersikap aplikatif, dalam arti harus diterjemahkan
dalam kehidupan sehari-hari, sehingga proses pendidikan di pesantren sama saja
artinya dengan “sebuah proses pembentukan tata nilai yang lengkap, dengan cara
penilaian dan orientasinya sendiri.”113 Pada akhirnya, pola keseharian
kehidupan pesantren, yang diwarnai oleh visi “keikhlasan” (dalam pengertian
vertikal, berbeda dengan makna umum yang horisontal) itu, membangun
sebuah pokok dasar kehidupan berupa orientasi ke arah kehidupan akhirat, atau
pandangan hidup ukhrawi.114 Wajah lain pandangan hidup ini adalah keikhlasan
untuk menerima kadar apa saja perolehan hidup yang ada, asalkan pandangan hidup
ukhrawi sedapat mungkin terpuaskan. Sebuah sikap hidup yang tampak fatalistis,
namun jelas memiliki dimensi positifnya: kemampuan melakukan perubahan status
dalam kehidupan dengan mudah.
B. Kultur
Nahdlatul Ulama
Kultur dasar NU yang menjadi promotor bendungan masyarakat
dari arus pragmatisme dan kolonialsme, ternyata banyak dialihfungsikan setelah
ia menjadi the big organization dengan jutaan massa. Dinamika para tokoh NU
dengan banyak berkiprah dalam berpolitik praktis, menjadikan jelasnya harapan
khitah NU mulai terkikis. NU adalah organisasi masyarakat yang mempunyai
tanggung jawab mengerti, menampung, dan memenuhi aspirasi masyarakat agar
tercipta suasana damai, adil tanpa kekangan, dan penjajahan secara realitas
maupun imajiner.
Tradisi pesantren yang dibangun dan dikembangkan NU menjadi basis signifikansi pergerakan rakyat Indonesia melawan kelompok-kelompok separatisme kolektif. Menerangi wilayah yang pada saat itu masih terjadi krisis vertikal ihwal keagamaan, dan melakukan gerakan pembelajaran linier bersama kaum proletar tak berpendidikan untuk cita-cita bersama mewujudkan kondisi nyaman dari kekosongan spiritual serta krisis keamanan.
Menurut pandangan K.H. Abdurrahman Wahid, sistem kebersamaan hidup masyarakat dalam lingkup multikulturalisme yang masih berlaku, menunjukkan indikasi adanya girah sepihak dari personal tokoh NU untuk membangun rezimnya sendiri. NU dengan berfondasi pada khitah pesantren seharusnya melakukan pembelaan hak-hak setiap rakyat dari penjajahan struktural. Dalam cakupan lebih luas, budaya tradisi pesantrenisme yang dihidupkan oleh ormas NU adalah upaya menciptakan tandingan terhadap tindakan sebagian rezim penguasa yang semena-mena menghilangkan kebebasan orang lain.
Tradisi pesantren yang dibangun dan dikembangkan NU menjadi basis signifikansi pergerakan rakyat Indonesia melawan kelompok-kelompok separatisme kolektif. Menerangi wilayah yang pada saat itu masih terjadi krisis vertikal ihwal keagamaan, dan melakukan gerakan pembelajaran linier bersama kaum proletar tak berpendidikan untuk cita-cita bersama mewujudkan kondisi nyaman dari kekosongan spiritual serta krisis keamanan.
Menurut pandangan K.H. Abdurrahman Wahid, sistem kebersamaan hidup masyarakat dalam lingkup multikulturalisme yang masih berlaku, menunjukkan indikasi adanya girah sepihak dari personal tokoh NU untuk membangun rezimnya sendiri. NU dengan berfondasi pada khitah pesantren seharusnya melakukan pembelaan hak-hak setiap rakyat dari penjajahan struktural. Dalam cakupan lebih luas, budaya tradisi pesantrenisme yang dihidupkan oleh ormas NU adalah upaya menciptakan tandingan terhadap tindakan sebagian rezim penguasa yang semena-mena menghilangkan kebebasan orang lain.
Tradisi dan kultur pesantren, yang dulu menjadi alat canggih untuk
mobilisasi sosial horizontal, melalui cara penerapan kaidah
"keulamaan" dari para ulama pribumi yang menyerap berbagai ilmu suci
telah berhasil mewujudkan harapan, salah satunya meningkatnya pendidikan
kebudayaan bangsa. Ormas NU sekarang seharusnya tidak bergeser dari
kaidah-kaidah para pendirinya tersebut. Artinya, NU harus lebih berguna bagi
seluruh masyarakat Indonesia, bukan bagi pribadi, dengan meningkatkan politik
imagologi untuk menang sendiri.
Sekarang dalam tubuh NU terjangkit polarisasi dan diaspora besar-besaran. Keanekaragaman pikiran tokoh NU mulai agresif dengan rezimnya sendiri terhadap gejala-gejala sosial dan perlawanan terhadap fundamentalisme budaya asing yang dikemas dalam pakaian agamis. Seperti Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan nahkodanya Ulil Absar Abdalla, menggelorakan pikiran keislaman dengan pendekatan liberal. Masdar Farid dengan madzabnya Islam emansipatoris, yang ingin membangun transformasi sosial masyarakat umum melalui dasar-dasarnya.
Apakah yang mereka tawarkan tetap pada sebatas pikiran yang menjebakan diri pada perpecahan. Padahal itu semua belum cukup artinya tanpa adanya respons balik masyarakat secara komperhensif untuk mewujudkan keinginan mereka. Perlu diperhatikan lebih serius adalah bagaimana seluruh warga masyarakat nahdliyin mampu menghayati nilai-nilai yang diajarkan para pendiri NU dengan sepenuh hati, sehingga mereka tahu apa tujuan dilahirkannya ormas ini. .
Kebosanan masyarakat awam melihat dan merasakan para tokohnya yang kian berjalan sendiri-sendiri tanpa memperhatikan makmunya yang sangat heterogen, banyak menciptakan kritik dan hilangnya roh kharismatik ketokohan mereka. Dikhawatirkan terjadi krisisisasi budaya pesantren yang santun dan membahayakan khitah organisasi ini. Sekarang adanya diaspora para tokoh NU merupakan implikasi dari pecahnya budaya pesantren atau terkontaminasinya budaya pesantren dengan budaya asing yang menciptakan suasana asing pula di hati warga nahdliyin.
Sekarang dalam tubuh NU terjangkit polarisasi dan diaspora besar-besaran. Keanekaragaman pikiran tokoh NU mulai agresif dengan rezimnya sendiri terhadap gejala-gejala sosial dan perlawanan terhadap fundamentalisme budaya asing yang dikemas dalam pakaian agamis. Seperti Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan nahkodanya Ulil Absar Abdalla, menggelorakan pikiran keislaman dengan pendekatan liberal. Masdar Farid dengan madzabnya Islam emansipatoris, yang ingin membangun transformasi sosial masyarakat umum melalui dasar-dasarnya.
Apakah yang mereka tawarkan tetap pada sebatas pikiran yang menjebakan diri pada perpecahan. Padahal itu semua belum cukup artinya tanpa adanya respons balik masyarakat secara komperhensif untuk mewujudkan keinginan mereka. Perlu diperhatikan lebih serius adalah bagaimana seluruh warga masyarakat nahdliyin mampu menghayati nilai-nilai yang diajarkan para pendiri NU dengan sepenuh hati, sehingga mereka tahu apa tujuan dilahirkannya ormas ini. .
Kebosanan masyarakat awam melihat dan merasakan para tokohnya yang kian berjalan sendiri-sendiri tanpa memperhatikan makmunya yang sangat heterogen, banyak menciptakan kritik dan hilangnya roh kharismatik ketokohan mereka. Dikhawatirkan terjadi krisisisasi budaya pesantren yang santun dan membahayakan khitah organisasi ini. Sekarang adanya diaspora para tokoh NU merupakan implikasi dari pecahnya budaya pesantren atau terkontaminasinya budaya pesantren dengan budaya asing yang menciptakan suasana asing pula di hati warga nahdliyin.
Ormas NU yang saat ini menyebar pesat di berbagai belahan
dunia, secara otomatis terkombinasi langsung dengan kultur budaya setempat.
Budaya yang heterogen dalam setiap wilayah yang luas, tidak mungkin bisa
disatukan dengan cara dan alat apa pun. Masayarakat nahdliyin yang plural
seakan mendapatkan ultimatum dari tokoh untuk mendukung perspektif pemikirannya
upaya memecahkan persoalan di tengah-tengah warga NU. Ini sangat tidak mungkin,
memberikan satu jenis hal untuk banyak orang yang berbeda-beda.
BAB
II
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas
maka penulis dapat menyimpulkan bahwa : Syuriyah secara formal merupakan pimpinan tertinggi NU
Yang berfungsi sebagai pengelola, pengendali, pengawas dan penentu
kebijaksanaan jam’iyah NU Dalam banyak segi, Syuriyah menjalankan fungsi
sebagai lembaga legislatif NU, menentukan arah kebijaksanaan jam’iyah NU dalam
melakukan usaha dan tindakannya untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Selain
itu. Syuriyah berhak membatalkan setiap keputusan yang dibuat oleh suatu
perangkat NU, jika keputusan itu dinilai bertentangan dengan ketentuan
jam’iyah, terutama ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah wal Jamaah.
Di bawah Syuriyah,
Pengurus Tanfidziyah berfungsi sebagai lembaga eksekutif yang memimpin jalannya
organisasi sehari-hari sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh
Syuriyah. Tanfidziyah harus menyampaikan laporan secara periodik kepada Syuriah
tentang pelaksanaan tugasnya. Pembuatan keputusan dalam NU dilakukan di dalam
sebuah wadah permusyawaratan, yang memiliki peringkat di mana hirarkhi dan
kekuatan hukum yang dihasilkan juga menyesuaikan dengan peringkatnya.
NU adalah sebuah pesantren
besar dan pesantren adalah NU kecil. Kalimat sederhana ini menggambarkan
banyaknya sistem nilai dan sistem pengelolaan pesantren yang diadopsi dalam
sistem penyelenggaraan NU sebagai suatu organisasi. Sebuah pesantren memiliki
lima elemen penting: pondok, masjid, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, kyai,
dan santri. Dua yang disebut terakhir adalah elemen manusia yang secara
mutualistis mengelola pesantren dan segala kegiatan kesehariannya. Kyai adalah
penguasa tertinggi pesantren, yang mengajar, memberikan pengayoman dan melakukan
pengawasan terhadap kehidupan pesantren. Di bawahnya, para santri senior yang
ditunjuk memegang tanggung jawab mengurus kepentingan pesantren sehari-hari
dalam garis besar kebijaksanaan yang dibuat oleh kyai.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !