BAB I
PEMBAHASAN
NU sebagai organisasi terbesar di Indonesia, memiliki
peranan yang sangat signifikan dalam membagun Negara yang pluralis ini, keberadaannya selalu diterima di
elemen manapun. Bahkan belakangan
ini NU menjadi rempah-rempah untuk merekrut pendukung yang banyak oleh para
politisi. Tidak tertolak lagi NU
dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia, lebih-lebih di pedesaan, apalagi di Sumenep yang notabene memang orang-orang NU,
dimungkinkan pada pesta demokrasi 2010 di Sumenep, jika para calon Bupati dan Wakilnya tidak dari orang NU
diragukan akan gagal. Atas berbagai fenomena politik yang telah terjadi mutakhir ini, muncullah jargon
"berpolitik tanpa NU tidak sedap".
Sejauh ini, berarti keberadaan NU memiliki tempat yang
istimewa di hati masyarakat. Melihat faktanya, benarkah keberadaan NU menjadi penyangga atau penyelesai
berbagai problem yang dihadapi oleh
masyarakat?. Penting kiranya hal ini dikaji lebih dalam oleh kita.
Menelusuri kiprah NU di era modern, membutuhkan fokus dan
teliti yang kuat, sebab NU dalam kiprahnya
tidak hanya sendiri sebagai organisasi, tetapi bisa saja bekerja sama denagan
organisasi lain untuk memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi umat, seperti kekerasan, terorisme, masalah HAM dan sebagainya. Bahkan bukan hanya dalam
sekala Nasional tetapi juga Internasional, misalnya PBNU telah menyelenggarakan ICIS (International
Conference of Islamic Schlolars) dua kali, pertama berlangsung di Convantion Center Jakarta pada tanggal 23-26 Februari
2002, dan ICIS kedua bertempat di
hotel Borubudur Jakarta pada 20-22 Juni 2006.
Acara ICIS ini dihadiri oleh beberapa Negara diberbagai
belahan dunia, mulai dari Asia, Afrika, Amerika, dan sebagian dari benua Eropa. Acara ini tidak hanya dihadiri
oleh orang-orang Islam saja, tetapi
juga dari kalangan Non Muslim seperti Budha, Kristen, Hindu dan Katolik, serta
beberapa Rektor perguruan tinggi,
LSM, dan sebagainya. ICIS ini dilakukan sebagai upaya NU untuk menciptakan kehidupan dunia yang lebih baik demi
kesejahteraan umat manusia. Dari sini terlihat bahwa NU memang benar-benar toleran dan moderat. NU
memang senatiasa tidak pernah melepaskan dirinya dari nilai-nilai Islam Rahmatal Lil'alamin.
Sejak berdirinya di Surabaya pada 31 Januari 1926 M, dalam
catatan sejarahnya, NU berkiprah di masyarakat bawah atau pedesaan, hal ini memang sesuai dengan kondisi
tempat lahirnya pendiri NU KH.
Hasyim Asy'ari. Karena hal tersebut kadang NU dianggap kolot, konservatif dan
tidak beradab. Berbeda dengan
Muhammadiyah yang kiprahnya di masyarakat atas atau perkotaan, ia dipandang modern dan beradab. Menurut penulis persepsi
ini perlu dikaji ulang agar tidak manghasilkan opini yang timpang. Sejarah di atas seharusnya menjadi
bahan acuan kita, demi meniscayakan NU benar-benar eksis sebagai lembaga sosial ke-agama-an. Akhir-akhir ini, penulis
melihat kiprah NU tidak lagi terlalu memperhatikan masalah masyarakat sipil yang ada di desa, tetapi terlalu
memfokuskan diri pada masalah
Nasional atau Internasional yang dianggap keren di dunia modern, agar
eksistensi NU diakui oleh dunia.
Fokus NU seperti terurai diatas, penulis bukan berarti
menganggap hal itu tidak penting. Tetapi, saya kira sebelum NU berkiprah lebih jauh dan lebih luas di dunia
modern, harus terlebih dahulu mengokohkan
fondasi-fondasinya, agar ketika NU berkiprah di dunia Internasional fondasinya
tidak rapuh, terlebih lagi NU
harus benar-benar memperhatikan masalah yang dihadapi oleh masyarakat sipil di desa. Apabila NU menyimpang dari hal ini,
penulis anggap NU kehilangan ruh sejarahnya. Sebab saat ini banyak sekali masalah dimasyarakat desa yang belum
terselesaikan. Misalnya kemiskinan, pengangguran, diskriminasi dan lain-lain. Walaupun kita akui bahwa
masalah ini juga menjadi bagian dari
masalah Nasional dan Internasional, maksud penulis disini bagaimana NU lebih
fokus terlebih dahulu terhadap
masalah yang ada di desa tidak dalam skala umaum.
Penyelesaiannya. Bisa dengan cara, kita memberdayakan
masyarakat, tetapi sebelumya kita harus bisa mengaktifkan ranting-ranting NU agar bisa bekerja lebih efektif
dan efisien. Penulis lihat di desa-desa daerah timur daya dari kabupaten Sumenep (Gapura, Batu Putih,
Batang-Batang dan Dungkek) ranting-ranting
NU tinggal namanya saja, bahkan mungkin struktur kepengurusannya tidak ada.
Lebih-lebih di kecamatan Dungkek,
dimana penulis hidup didesa Jadung, di desa saya, saya tidak pernah mendengar istilah ranting-ranting NU bahkan
pamplet pun tidak ada, apalagi struktur pengurusnya. Jadi, seharusnya kasus ini menjadi PR bagi NU untuk
cepat-cepat diselesaikan, demi tercapainya Izzatul Islam Wal Muslimin, bukan malah sibuk dengan masalah Internasional
sementara masalah kecil ditubuh NU
belum terselesaikan.
Nah, setelah ranting-ranting NU terbentuk dengan baik dan
bekerja sebagaimana mestinya, kemudian
kita rancang program dan kegiatan yang mengenak terhadap masalah yang dihadapi masyarakat, misalnya membentuk komunitas
pelajar, komunitas petani, seperti dulu pernah dilakukan NU tahun 1960 dengan nama PERTANU (Persatuan
Tani NU), pemberdayaan ekonomi dulu pernah ada SERNEMI (Serikat Nelayan Muslim Indonesia), dan memberi perlindungan
hukum, membuka kesadaran
masyarakat dalam berpolitik, agar tidak terjadi kekacauan, perkelahian antar
sauadara, money politic, apalagi
di Sumenep sebentar lagi pada tahun ini, akan melangsungkan pemilihan Bupati
dan Wakilnya. Ini harus cepat
terselesaikan, agar kegagalan tahun kemarin tidak terulang kembali. Dan sebenarnya masih banyak lagi, tetapi penulis
kira tidak cukup untuk ditulis disini. Dengan demikian, dibarengi kesungguhan dan kerja keras kita
(pengurus NU) Insya Allah masalah tersebut bisa terselesaikan dengan baik dan kiprah NU di dunia Internasional akan
baik pula ketika fondasi NU dan masyrakat
sipil NU tertata dengan baik pula.
BAB II
KESIMPULAN
DAFTAR
PUSTAKA
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !