BAB
I
PEMBAHASAN
فى الانكحة المنهى عنها بالشرع, والانكحة الفاسدة وحممها
والانكحة
التي وردانهى فيها مصرحا اربعة: نكاح الشغار, ونكاح المعه, والخطبه على خطبة اخيه,
ونكاح المحلل. فامانكاح الشغار فانهم اتفقوا على ان صفته هوان ينكح الرجل وليته
رجلا اخر على ان ينكحه الاخر وليته ولاصداق بينهما الابضع هذه ببضع الاخرى واتفقوا
على انه نكاح غير جائز لشبوت النهى عنه, واختلفوا اذاوقع هل يصحح بمهر المثل ام
لا؟ فقال مالك: لايصحح ويفسخ ابدا قبل الذخول وبعده, وبه قال الشافعي الاانه قال
ان سمى لاحدا هما صداقا اولهما معافالنكاح ثابت بمهر المثال, والمهر الذى سمياه
فاسد وقال ابو حنيفه: نكاح الشغار يصح بفرض صداق المثال. وبه قال الليث واحمد
واسحق وابو ثور والطبر. وسبب اختلافهم هل النهى المعلق بذالك محلل بعدم الحوض
اوغير محلل. فان قلنا غير محلل لزم الفسخ على الاطلاق, وان قلنا الحلة عدم الصداق
صح بفرض صداق المثل مثل العقد على خمراو على خنزبر. وقد اجمعوا على ان النكاح
المنعقد على الخمر والخنزير لا يفسخ اذا فات بالذخول. ويكون فيه مهر المثال, وكان
مالكارضى الله عنه راء ان الصداق وان لم يكن من شرط صحة العقد ففساد العقدههنا من
قبل فسادالصداق مخصوص لتعلق النهى به ياوراء ان النهى انما يتعلق بنفس تعيين
العقد. والنهى يدل على فساد المنهى.
Terjemahan:
Macam-macam nikah yang dengan tegas dilarang oleh syarak ada empat,
yaitu: nikah pertukaran (asy-syighar), nikah mut’ah, pinangan
atas pinangan orang lain, dan nikah muhalil.
A.
Nikah Pertukaran
Fuqaha sependapat bahwa nikah syighar ialah apabila seorang
laki-laki megnawinkan orang perempuan yang dibawah kekuasaannya dengan orang
lelaki lain bersyaratkan bahwa lelaki lain ini juga mengawinkan orang perempuan
yang di bawah kekuasaannya dengan lelaki pertama tanpa ada maskawin pada kedua
perkawinan tersebut. Maskawinnya hanya alat kelamin perempuan tersebut menjadi
imbalan bagi alat kelamin perempuan lainnya.
Fuqaha telah sependapat pula bahwa pernikahan tersebut tidak
diperbolehkan, karena larangan yang berkenaan dengan pernikahan tersebut
diriwayatkan dalam hadits shahih, kemudian fuqaha berselisih pendapat
apabila terjadi perkawinan seperti itu, apakah pernikahan tersebut dapat
disahkan dengan memberikan maskawin mitsil atau tidak?
Malik berpendapat bahwa perkawinan tersebut tidak dapat disahkan
selamanya, dan harus dibatalkan, baik sesudah atau sebelum terjadi pergaulan (dukhul)
Pendapat ini juga dikemukakan oleh Syafi’I. hanya saja ia berpendapat
bahwa jika untuk salah satu penganting tersebut atau untuk keduanya bersama
disebutkan suatu maskawin, maka pernikahan menjadi sah dengan maskawin mitsil,
sedang maskawin yang telah disebutkan itu menjadi tidak berlaku.
Abu Hanifah berpendapat bahwa nikah syighar itu sah dengan
memberikan maskawin mitsil, pendapat ini juga dikemukakan oleh al-Laits,
Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan at-Thabari.
Silang pendapat ini disebabkan oleh persoalan, apakah larangan yang
berkaitan dengan masalah itu dapat dijelaskan alasannya karena tiadanya ganti
atau tidak? Jika kita katakana bahwa larangan tersebut tidak dapat dijelaskan
alasannya, maka bagaimana pun juga nikah syighar harus dibatalkan.
Sedang jika kita katakana bahwa alas an dilarangnya pernikahan tersebut
tiadanya maskawin, maka pernikahan tersebut dapat disahkan dengan pemberian
maskawin mitsil seperti perkawinan yang bermaskawinkan khamar atau babi.
Dalam perkawinan terakhir fuqaha sependapat bahwa perkawinan tersebut
tidak dibatalkan, apabila telah terjadi pergaulan, dan dalam hal ini dikenakan
maskawin mitsil.
Seolah Malik berpedapat bahwa maskawin – meski tidak menajdi syarat
sahnya pernikahan -, tetapi batalnya akad nikah disini karena batalnya maskawin
merupakan suatu hal yang khusus, karena termasuk dalam larangan. Atau seolah
Malik berpendapat bahwa larangan tersebut hanya berkenaan dengan penentuan akad
nikah itu sendiri, sedang larangan itu menunjukkan batalnya perbuatan yang
dilarang.[1]
Akad nikah
yang rusak dan hukumnya
Ulama Hanafiyah membedakan antara akad batil dan fasid (rusak), batil
adalah sesuatu yang tidak disyariatkan pokok dan sifatnya seperti menjual
bangkai atau menikahkan wanita yang haram. Sedangkan fasid adalah sesuatu yang
disyariatkan pokoknya, tidak sifatnya, yaitu sesuatu yang kehilangan satu dari
beberapa syarat seperti akad tanpa saksi, pernikahan yang dibatasi waktunya
dengan menggunakan shighat nikah atau kawin atau yang lain dari beberapa lafal
yang menjadi akad nikah, dan berpoligami, yakni mengumpulkan dua perempuan yang
bersaudara yang keduanya haram terhadap yang lain (mahram). Jadi, jika cacat
terjadi pada rukun akad maka disebut batil dan jika terjadi di luar rukun akad,
disebut fasid (rusak), seperti mempersyaratkan suatu syarat yang tidak
diperlukan dalam akad.
Hokum akad fasid tidak mewajibkan sesuatu dari pengaruh-pengaruh
pernikahan. Jika seseorang telah mencampuri wanita berdasarkan akad fasid ini
hukumnya maksiat. Bagi kedua suami isteri yang telah melakukan akad fasid
hendaknya berpisah dengan kesadaran sendiri, karena melangsungkan akad fasid
tidak diperbolehkan menurut syara’. Jika tidak berpisah (furqah) berdasarkan
kesadaran sendiri maka bagi yang mengetahuinya, wajib memisahkan mereka atau
melaporkan ke penghulu agar dipisahkan. Sesungguhnya hal tersebut dilaksanakan
karena memandang kemaslahatan kaum muslimin, baik dari segi duniawi maupun
ukhrawi.[2]
Akad nikah
batil dan hukumnya
Akad batil adalah suatu akad yang terjadi kecacatan dalam shighat (ijab
Kabul), misalnya ungkapan kedua orang yang berakad tidak menunjukkan pemilihan
manfaat secara abadi. Atau terjadi pada keahlian dua orang yang berakad,
misalnya mereka masih kecil dan tidak mumayyiz (belum pandai), atau
mereka gila tau salah satunya gila. Atau kehilangan satu dari beberapa syarat
terjadinya akad sebagaimana yang telah dijelaskan keterangannya di atas.
Ditambah lagi wanita tidak menghalalkan pernikahan bagi seorang suami, misalnya
ia saudara perempuannya dalam persusuan atau ber-iddah dari talak orang
lain atau saudara perempuanya isteri, atau sesamanya dan kedua orang yang
berakad mengetahui hal tersebut pada saat akad. Jika akan pernikahan tidak
memenuhi syarat dan rukun secara syara’ maka hukumnya batil.
Hokum akad ini tidak menetapkan sesuatu dan tidak menimbulkan pengaruh
sesuatu seperti yang ditimbulkan dalam akad yang sah. Di sisi tidak ada wajib
mahar, nafkah, taat, tidak menetapkan hubungan waris dan saudara sambung dan
tidak terjadi talak karena talak merupakan cabang dari perwujudan pernikahan
yang sah.[3]
B.
Nikah Mut’ah
Mut’ah adalah suatu pemberian dari suami kepada isterinya sewaktu dia
menceraikannya. Pemberian ini diwajibkan atas laki-laki apabila perceraian itu
terjadi karena kehendak suami. Tetapi kalau perceraian itu kehendak si isteri,
pemberian itu tidak wajib.
Banyaknya pemberian itu menurut keridaan keduanya dengan mempertimbangkan
keadaan kedua suami isteri. Akan tetapi, sebaiknya jangan kurang dari seperdua
mahar.[4]
فَمَتِّعُوْهُنَّ
وَسَرِّحُوْهُنَّ سَرَاحًاجَمِيْلاً
Artinya: “Maka berilah mereka mut’ah dan
lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya” (QS. Al-Ahzab: 49)[5]
C.
Pinangan atas Pinangan Orang Lain
Meminang pinangan orang lain itu hukumnya haram, sebab berarti menyerang
hak dan menyakiti hati peminang pertama, memecah belah hubungan kekeluargaan
dan mengganggu ketentraman.
اَلْمُؤْمِنُ
اَخُوالْمُؤْمِنِ فَلاَ يَحِلُّ لَهُ اَنْ يَبْتَاعَ عَلَى بَيْعِ اَخِيْهِ
وَلاَيَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ اَخِيْهِ حَتَّى يَذَرَ (رواه احمدومسلم)
Artinya: “Orang mukmin satu dengan lainnya
bersaudara, tidak boleh ia membeli barang yang sedang dibeli saudaranya, dan
meminang pinangan saudaranya sebelum ia tinggalkan”. (HR. Ahmad dan
Muslim).
Meminang pinangan orang lain yang diharamkan itu bilamana perempuan itu
telah menerima pinangan pertama dan walinya telah dengan terang-terangan
mengizinkannya, bila izin itu memang diperlukan. Tetapi kalau pinangan semula
ditolak dengan terang-terangan atau sindiran, atau karena laki-laki yang kedua
belum tahu ada orang lain sesudah meminangnya atau pinangan pertama belum
diterima, juga belum ditolak, atau laki-laki pertama mengizinkan laki-laki
kedua untuk meminangnya, maka yang demikian itu diperbolehkan.
At-Tirmizi meriwayatkan dari Asy-Syafi’I tentang makna hadits tersebut:
“Bilamana perempuan yang dipinang merasa rida dan senang maka tidak ada
seorangpun boleh meminangnya lagi, tetapi kalau belum diketahui rida dan
senangnya, maka tidaklah berdosa meminangnya”.
Jika pinangan laki-laki pertama sudah diterima, namun wanita tersebut
menerima pinangan laki-laki kedua kemudian menikah dengannya, maka hukumnya
berdosa tetapi pernikahannya sah, sebab yang dilarang adalah meminangnya, sedang
meminang itu bukan merupakan salah satu syarat sahnya nikah. Karena itu,
pernikahannya tidak boleh difasakh walau pun meminangnya itu merupakan tindakan
pelanggaran. Imam Abu Dawud berkata, “Pernikahannya dengan peminang kedua harus
dibatalkan, baik sesudah maupun sebelum persetubuhan”.[6]
D.
Nikah Muhallil
Nikah muhallil adalah nikah yang dimaksudkan untuk menghalalkan bekas
isteri yang telah ditalak tiga kali.
Malik berpendapat bahwa nikah muhallidapat dibatalkan. Sedang Abu Hanifah
dan Syafi’I berpendapat bahwa nikah muhallail itu sah.
Silang pendapat ini disebabkan oleh silang pendapat mereka tentang
pengertian sabda nabi SAW:
لَعَنَ
اللهُ الْمُحَلِّلَ
Artinya: “Allah mengutuk orang yang nikah muhallil”
(HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Bagi fuqaha yang memahami kutukan tersebut hanya dosa semata mengatakan
bahwa nikah muhallil itu sah.
Sedang bagi fuqaha yang memahami kutukan tersebut adalah batalnya akad
nikah – karena dipersamakan dengan larangan yang menunjukkan batalnya perbuatan
yang dilarang – mengatakan bahwa nikah muhallil itu tidak sah. [7]
BAB
II
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah tersebut diatas maka penulis dapat menyimpulkan
bahwa, Macam-macam nikah yang dengan tegas dilarang oleh syarak ada empat,
yaitu: nikah pertukaran (asy-syighar), nikah mut’ah, pinangan
atas pinangan orang lain, dan nikah muhalil.
Fuqaha sependapat bahwa nikah syighar ialah apabila seorang
laki-laki megnawinkan orang perempuan yang dibawah kekuasaannya dengan orang
lelaki lain bersyaratkan bahwa lelaki lain ini juga mengawinkan orang perempuan
yang di bawah kekuasaannya dengan lelaki pertama tanpa ada maskawin pada kedua
perkawinan tersebut. Maskawinnya hanya alat kelamin perempuan tersebut menjadi
imbalan bagi alat kelamin perempuan lainnya.
Mut’ah adalah suatu pemberian dari suami kepada isterinya sewaktu dia
menceraikannya. Pemberian ini diwajibkan atas laki-laki apabila perceraian itu
terjadi karena kehendak suami. Tetapi kalau perceraian itu kehendak si isteri,
pemberian itu tidak wajib.
Meminang pinangan orang lain itu hukumnya haram, sebab berarti menyerang
hak dan menyakiti hati peminang pertama, memecah belah hubungan kekeluargaan
dan mengganggu ketentraman.
Nikah muhallil adalah nikah yang dimaksudkan untuk menghalalkan bekas
isteri yang telah ditalak tiga kali.
DAFTAR
PUSTAKA
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta.
2008
H. Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Sinar Baru
Al-Gensindo, Bandung, 2010
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fiqih Para
Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta. 2002
Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Prof. Dr.
Abul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Munakahat: Khitbah, nIkah dan Talak, Ahzah.
Jakarta. 2009
[1] Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fiqih Para Mujtahid, Pustaka Amani,
Jakarta. 2002, hlm. 528-529
[2] Prof.
Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Prof. Dr. Abul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih
Munakahat: Khitbah, nIkah dan Talak, Ahzah. Jakarta. 2009, hlm. 131-132
[3] Ibid,
hlm. 134
[4] H.
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Sinar Baru Al-Gensindo, Bandung, 2010,
hlm. 397
[5]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta. 2008
[6] Ibnu
Rusyd, Op-Cit, hlm. 395
[7] Ibid,
hlm. 531-532
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !