BAB
I
PENDAHULUAN
Krisis ekonomi yang bermula terjadi pada sekitar tahun 1997 telah membawa
bangsa dan negara Indonesia ke dalam jurang kebinasaan. Krisis tersebut tidak
hanya berdampak pada kegiatan ekonomi semata tetapi kemudian menjadi efek
domino dan menjalar juga pada krisis di bidang lain. Krisis moral yang
menyebabkan isu korupsi masih tetap menjadi konsumsi utama para pejabat dan
pengusaha yang telah kehilangan moral mereka. Krisis akhlak yang mendorong
terjadinya peristiwa-peristiwa memalukan yang tidak mencerminkan budaya dan
kultur bangsa Indonesia yang terefleksikan dari beredarnya puluhan bahkan
ratusan video-video dan gambar-gambar foto porno yang diperankan oleh anak-anak
dan generasi bangsa ini. Krisis-krisis yang sangat banyak tersebut pada
akhirnya mengakibatkan Indonesia jatuh krisis multidimensi. Ilustrasi ini
memberikan gambaran kebenaran ungkapan bahwa ”kefakiran (kemiskinan) akan
membawa kepada kekafiran.”
Krisis multidimensi yang terjadi di Indonesia tersebut secara umum dipicu
oleh krisis ekonomi yang membuat bangsa ini sekarat. Diawali dengan
dilikuidasinya puluhan bank-bank yang beroperasi di Indonesia, kasus kredit
macet di beberapa bank, dan kolusi serta korupsi dalam perbankan membuat era
orde baru harus mengakhiri masa hidupnya.
Krisis perbankan tanah air tersebut membuat gejolak perekonomian di
Indonesia kocar-kacir tidak karuan. Dalam situasi dan keadaan yang seperti ini,
masyarakat pada akhirnya menyadari akan pentingnya mencari dan mengembangkan
sistem ekonomi alternatif yang mampu mencegah terjadinya konsentrasi kekayaan
di tangan segelintir kelompok orang.
Beberapa tahun kemudian, masyarakat mulai mengenal sistem perekonomian
Islam dan perbankan Islam yang pada akhirnya menjadi sangat populer hingga
sekarang. Menjamurnya bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan Islam lainnya di
Indonesia ini pada akhirnya berkembang dan mulai banyak dimintai oleh
masyarakat. Meskipun menggunakan label Islam di belakangnya, di beberapa daerah
tertentu perbankan Islam ternyata mampu masuk dan diterima oleh kalangan
non-muslim. Ilustrasi ini seolah menjadi pembenar ungkapan bahwa agama Islam
adalah rahmat bagi semesta alam, bukan hanya untuk kaum muslimin semata.
Melihat cukup pesatnya perkembangan perbankan Islam di Indonesia tersebut
pada akhirnya mendorong penulis untuk menyusun makalah ini. Melalui makalah ini
penulis hendak memaparkan mengenai sistem perbankan Islam, bagaimana sejarah
perkembangannya, serta hambatan-hambatan dalam pengembangannya ke depan di
Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Bank Islam
Bank Islam sebenarnya di Indonesia lebih populer disebut dengan istilah
bank syariah. Adapun pengertian bank Islam adalah bank yang beroperasi sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah Islam atau bank yang tata cara beroperasinya
mengacu kepada ketentuan-ketentuan al Quran dan Hadits.[1]
Pengertian syariah secara harfiah adalah jalan Allah seperti yang ditunjukkan
oleh al Quran dan as Sunnah / Hadits.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan prinsip-prinsip syariah di dalam
pengertian ini adalah prinsip-prinsip atau ketentuan mengenai hukum muamalat.
Dalam ketentuan hukum muamalat, prinsip utama muamalat ekonomi atau perbankan
islami adalah menghindarkan diri dan menjauhkan diri dari unsur-unsur riba
dengan menggantinya dengan sistem bagi hasil dan pembiayaan perdagangan. Riba
secara bahasa berarti al-ziyadah yang berarti tambahan. Sedangkan menurut
istilahnya, riba dalam pandangan Prof. Abdul Manannan, Ph.D. dalam bukunya
”Teori dan Praktek Ekonomi Islam” adalah perpanjangan batas waktu dan
penambahan jumlah peminjaman uang sehingga berjumlah begitu besar, sehingga
pada akhir jangka waktu peminjaman itu, si peminjam akan mengembalikan kepada
orang yang meminjamkan sejumlah dua kali lipat atau lebih darijumlah pokok yang
dipinjamkannya.
Di dalam teori ekonomi Islam atau ekonomi syariah sebagai dasar sistem
perbankan Islam, diatur beberapa konsep pembiayaan islami yang dapat
dipraktekkan oleh perbankan Islam.
B.
Sejarah
a. Dunia
Perbankan syariah pertama kali muncul di Mesir tanpa
menggunakan embel-embel islam, karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa
saat itu akan melihatnya sebagai gerakan fundamentalis. Pemimpin perintis usaha
ini Ahmad El Najjar, mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit
sharing (pembagian laba) di kota Mit Ghamr pada tahun 1963. Eksperimen ini
berlangsung hingga tahun 1967, dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep
serupa di Mesir. Bank-bank ini, yang tidak memungut maupun menerima bunga,
sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri secara
langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan
para penabung.
Masih di negara yang sama, pada tahun 1971, Nasir Social bank
didirikan dan mendeklarasikan diri sebagai bank komersial bebas bunga. Walaupun
dalam akta pendiriannya tidak disebutkan rujukan kepada agama maupun syariat
islam.
Islamic Development Bank (IDB) kemudian berdiri pada
tahun 1974 disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi
Konferensi Islam, walaupun utamanya bank tersebut adalah bank antar pemerintah
yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek pembangunan di negara-negara
anggotanya. IDB menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing
untuk negara-negara tersebut dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada
syariah islam.
Dibelahan negara lain pada kurun 1970-an, sejumlah bank
berbasis islam kemudian muncul. Di Timur Tengah antara lain berdiri Dubai
Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank of Sudan (1977), Faisal
Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank (1979). Dia
Asia-Pasifik, Phillipine Amanah Bank didirikan tahun 1973 berdasarkan dekrit
presiden, dan di Malaysia tahun 1983 berdiri Muslim Pilgrims Savings
Corporation yang bertujuan membantu mereka yang ingin menabung untuk menunaikan
ibadah haji.
b. Indonesia
Di Indonesia perbankan syariah baru muncul pertama pada
tahun 1991 dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia yang diprakarsai oleh
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank
Muamalat sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga
ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. Kamudian, IDB memberikan
suntikan dana sehingga pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan
laba. Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah di atur dalam
Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang
Perbankan serta lebih spesifiknya pada Peraturn Pemerintah N0 72 tahun 1992
tentang Bank Berdasarkan Rinsip Bagi Hasil. Sampai saat ini, pada tahun 2007,
terdapat setidaknya 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat
Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara bank umum yang
telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank diantaranya merupakan bank
besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero) dan Bank Rakyat Indonesia
(Persero). Sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat,
saat ini telah berkembang 104 BPR Syariah. Hanya saja, aset perbankan syariah
periode Maret 2006 baru tercatat 1,40 persen dari total aset perbankan
Sedangkan untuk pertumbuhan asetnya, sistem perbankan Islam telah mengalami
pertumbuhan yang cukup pesat sebesar 74% per tahun selama kurun waktu 1998
sampai 2002 (nominal dari Rp. 479 milyar pada tahun 1998 menjadi 2.718 milyar
pada tahun 2001). Dana pihak ketiga telah meningkat dari Rp. 392 Milyar menjadi
1.806 milyar. (Bank Indonesia, Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di
Indonesia, 2002: 5). Volume usaha mengalami pertumbuhan rata-rata pertahun
sebesar 64,98 % pada periode 2001-2003, bahkan pada tahun 2004 pertumbuhannya
mencapai 80,56 %. Dari sisi ekspansi untuk pembiayaan meningkat sebesar 101,08
% dengan pertumbuhan dana yang dihimpun dari pihak ketiga sebesar 85,33%.
Berdasarkan perhitungan Bank Indonesia sampai akhir November 2004 rasio antara
pembiayaan dan penghimpunan dana (financing to deposit ratio/FDR) mencapai
104,81 % dan ini merupakan angka tertinggi bila dibandingkan dengan semua
perbankan syariah di negara-negara lain. Angka LDR (Loan Deposit Ratio)
mencapai tingkat yang lebih tinggi dibanding perbankan konvensional Indonesia
yang mencapai rata-rata sebesar 48 %. [2]
C.
Prinsip perbankan syariah
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum
Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan
kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.
Beberapa prinsip/
hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain :
- Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
- Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.
- Islam tidak memperbolehkan “menghasilkan uang dari uang”. Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
- Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
- Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.
D.
Produk perbankan syariah
Beberapa
produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah antara lain:
a. Jasa untuk peminjam dana
- Mudhorobah, adalah perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha. Setiap keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan.
- Musyarokah (Joint Venture), konsep ini diterapkan pada model partnership atau joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur tangan pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur tangan.
- Murobahah , yakni penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan pengguna jasa dapat mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad diawal dan besarnya angsuran=harga pokok ditambah margin yang disepakati. Contoh:harga rumah, 500 juta, margin bank/keuntungan bank 100 jt, maka yang dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu yang disepakati diawal antara Bank dan Nasabah.
- Takaful (asuransi islam)
b. Jasa untuk penyimpan dana
- Wadi’ah (jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah.
- Deposito Mudhorobah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun waktu yang tertentu. Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan bank akan dibagikan antara bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil tertentu.[3]
E.
Tantangan Pengelolaan Dana
Laju pertumbuhan perbankan syariah di tingkat global tak
diragukan lagi. Aset lembaga keuangan syariah di dunia diperkirakan mencapai
250 miliar dollar AS, tumbuh rata-rata lebih dari 15 persen per tahun. Di
Indonesia, volume usaha perbankan syariah selama lima tahun terakhir rata-rata
tumbuh 60 persen per tahun. Tahun 2005, perbankan syariah Indonesia membukukan
laba Rp 238,6 miliar, meningkat 47 persen dari tahun sebelumnya. Meski begitu,
Indonesia yang memiliki potensi pasar sangat luas untuk perbankan syariah,
masih tertinggal jauh di belakang Malaysia.
Tahun lalu, perbankan syariah Malaysia mencetak profit lebih
dari satu miliar ringgit (272 juta dollar AS). Akhir Maret 2006, aset perbankan
syariah di negeri jiran ini hampir mencapai 12 persen dari total aset perbankan
nasional. Sedangkan di Indonesia, aset perbankan syariah periode Maret 2006
baru tercatat 1,40 persen dari total aset perbankan. Bank Indonesia
memprediksi, akselerasi pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia baru akan
dimulai tahun ini.
Implementasi kebijakan office channeling, dukungan
akseleratif pemerintah berupa pengelolaan rekening haji yang akan dipercayakan
pada perbankan syariah, serta hadirnya investor-investor baru akan mendorong
pertumbuhan bisnis syariah. Konsultan perbankan syariah, Adiwarman Azwar Karim,
berpendapat, perkembangan perbankan syariah antara lain akan ditandai
penerbitan obligasi berbasis syariah atau sukuk yang dipersiapkan pemerintah.
Sejumlah bank asing di Indonesia, seperti Citibank dan HSBC,
bahkan bersiap menyambut penerbitan sukuk dengan membuka unit usaha syariah. Sementara
itu sejumlah investor dari negara Teluk juga tengah bersiap membeli bank-bank
di Indonesia untuk dikonversi menjadi bank syariah. Kriteria bank yang dipilih
umumnya beraset relatif kecil, antara Rp 500 miliar dan Rp 2 triliun. Setelah
dikonversi, bank-bank tersebut diupayakan melakukan sindikasi pembiayaan proyek
besar, melibatkan lembaga keuangan global.
F.
Penghimpunan dana
Selain investor asing, penghimpunan dana perbankan syariah
dari dalam negeri akan didongkrak penerapan office-channeling yang didasari
Peraturan BI Nomor 8/3/PBI/2006. Aturan ini memungkinkan cabang bank umum yang
mempunyai unit usaha syariah melayani produk dan layanan syariah, khususnya
pembukaan rekening, setor, dan tarik tunai.
Sampai saat ini, office channeling baru digunakan BNI Syariah
dan Permata Bank Syariah. Sejumlah 212 kantor cabang Bank Permata di Jakarta,
Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Bandung, dan Surabaya sudah dapat melayani
produk dan layanan syariah sejak awal Maret lalu. Sementara tahap awal office
channeling BNI Syariah dimulai 21 April 2006 pada 29 kantor cabang utama BNI di
wilayah Jabotabek. Ditargetkan 151 kantor cabang utama BNI di seluruh Indonesia
akan menyusul.
General Manager BNI Syariah Suhardi beberapa pekan lalu
menjelaskan, untuk memudahkan masyarakat mengakses layanan syariah, diluncurkan
pula BNI Syariah Card. Kartu ini memungkinkan nasabah syariah menggunakan
seluruh delivery channel yang dipunyai BNI, seluruh ATM BNI, ATM Link, ATM
Bersama, dan jaringan ATM Cirrus International di seluruh dunia.
Hasil penelitian dan permodelan potensi serta preferensi
masyarakat terhadap bank syariah yang dilakukan BI tahun lalu menunjukkan
tingginya minat masyarakat terhadap perbankan syariah. Namun, sebagian besar
responden mengeluhkan kualitas pelayanan, termasuk keterjangkauan jaringan yang
rendah. Kelemahan inilah yang coba diatasi dengan office channeling.
Dana terhimpun juga akan meningkat terkait rencana pemerintah
menyimpan biaya ibadah haji pada perbankan syariah. Dengan kuota 200.000 calon
jemaah haji, jika masing-masing calon jemaah haji menyimpan Rp 20 juta, akan
terhimpun dana Rp 4 triliun yang hanya dititipkan ke bank syariah selama
sekitar empat bulan. Dana haji yang terhimpun dalam jumlah besar dalam waktu
relatif pendek akan mendorong munculnya instrumen investasi syariah. Dana
terhimpun itu bahkan cukup menarik bagi pebisnis keuangan global untuk
meluncurkan produk investasi syariah.
Di sisi lain, suku bunga perbankan konvensional diperkirakan
akan turun. Menurut Adiwarman, bagi hasil perbankan syariah yang saat ini
berkisar 8-10 persen, membuat perbankan syariah cukup kompetitif terhadap bank
konvensional. “Dengan selisih sekitar dua persen (dari tingkat bunga bank
konvensional), orang masih tahan di bank syariah, tetapi lebih dari itu, iman
bisa juga tergoda untuk pindah ke bank konvensional,” kata Adiwarman
menjelaskan pola perilaku nasabah yang tidak terlalu loyal syariah.
Berdasarkan analisis BI, tren meningkatnya suku bunga pada
triwulan ketiga tahun 2005 juga sempat membuat perbankan syariah menghadapi
risiko pengalihan dana (dari bank syariah ke bank konvensional). Diperkirakan
lebih dari Rp 1 triliun dana nasabah dialihkan pada triwulan ketiga tahun lalu.
Namun, kepercayaan deposan pada perbankan syariah terbukti dapat dipulihkan
dengan pertumbuhan dana pihak ketiga yang mencapai Rp 2,2 triliun pada akhir
tahun. Kenaikan akumulasi dana pihak ketiga perbankan syariah merupakan
peluang, sekaligus tantangan, karena tanpa pengelolaan yang tepat justru
masalah akan datang.
Perbankan syariah sempat dituding “kurang gaul” dalam
lingkungan pembiayaan karena sejumlah nasabah yang dianggap bermasalah pada
bank konvensional justru memperoleh pembiayaan dari bank syariah. Akan tetapi,
Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia Wahyu Dwi Agung meyakini, dengan
sistem informasi biro kredit BI yang memuat data seluruh debitor, tudingan
seperti itu tidak akan terjadi lagi.
Posisi rasio pembiayaan yang bermasalah (non-performing
financings) pada perbankan syariah tercatat naik dari 2,82 persen pada Desember
2005 menjadi 4,27 persen Maret lalu. Rasio ini dinilai masih terkendali.
Kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses layanan perbankan
syariah dan ketersediaan produk investasi syariah tidak akan optimal tanpa
promosi dan edukasi yang memadai tentang lembaga keuangan syariah. Amat
dibutuhkan pula jaminan produk yang ditawarkan patuh terhadap prinsip syariah.
Peluang dan potensi perbankan syariah yang besar memang
menuntut kerja keras untuk kemaslahatan.
G.
Perbedaan Bank Islam Dengan Bank
Konvensional
Perbedaan mendasar antara bank Islam dengan bank konvensional secara umum
terletak pada dua konsep yaitu konsep imbalan dan konsep sistemnya. Perbedaan
konsep sistem antara bank konvensional dan bank Islam dapat dilihat dalam tabel
perbandingan di bawah berikut.[4]
BANK
ISLAM
|
BANK
KONVENSIONAL
|
·
Berdasarkan margin keuntungan
|
·
Memakai perangkat bunga dan atau
bagi hasil
|
·
Profit dan falah oriented
|
·
Profit oriented
|
·
Hubungan dengan nasabah dalam
bentuk hubungan kemitraan
|
·
Hubungan dengan nasabah dalam
bentuk hubungan debitur – kreditur
|
·
Users of real funds
|
·
Creator of money suplly
|
·
Melakukan investasi – investasi
yang halal saja
|
·
Investasi yang halal dan haram
|
·
Pengerahan dan penyaluran dana
harus sesuai dengan syariah Islam yang diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah.
|
·
Tidak terdapat Dewan Pengawas
Syariah atau sejenisnya
|
Sedangkan perbedaan konsep imbalan antara bank Islam yang menggunakan
sistem bagi hasil / profit sharing dan bank konvensional yang
menggunakan sistem bunga / interest dapat dilihat dalam tabel berikut.[5]
BUNGA
(BANK KONVENSIONAL)
|
BAGI
HASIL (BANK ISLAM)
|
·
Penentuan bunga dibuat pada
waktu akad tanpa berpedoman pada untung rugi.
|
·
Penentuan besarnya rasio bagi
hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi.
|
·
Besarnya persentase berdasarkan
pada jumlah uang yang dipinjamkan.
|
·
Besarnya rasio bagi hasil
berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.
|
·
Pembayaran bunga tetap seperti
yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah
untung atau rugi.
|
·
Bagi hasil tergantung pada
keunungan proyek yang dijalankan. Sekiranya tidak mendapatkan keuntungan maka
kerugian akan ditanggng bersama oleh kedua belah pihak.
|
·
Jumlah pembayaran bunga tidak
meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang ”booming”
|
·
Jumlah pembagian laba meningkat
sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
|
·
Eksistensi bunga diragukan
(kalau tidak dikecam) oleh semua agma termasuk Islam.
|
·
Tidak ada yangmeragukan
keabsahan keuntungan bagi hasil.
|
Ada sebagian orang dari kalangan tertentu yang membedakan antara bunga
dan riba. Menurut mereka, bunga tidak sama dengan riba. Bunga adalah tambahan
yang sedikit sedangkan riba yang dilarang, menurut mereka adalah riba yang
berlipat ganda. Atau mereka mengatakan bahwa diperbolehkan karena riba itu sama
dengan jual beli diperbolehkan karena riba itu sama dengan jual beli. Mereka
berdalil dengan Surat Ali Imron ayat 130:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا
تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبَالا وَدُّوا مَا
عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ
أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
Artinya”Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada
Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. [6]
Akan tetapi pemahaman ini tidak tepat karena mereka cenderung memotong
ayat secara parsial. Padahal, masih banyak dasar hukum yang secara jelas
menyatakan bahwa riba tetap haram sekalipun sedikit seperti yang tersurat dalam
al Baqarah ayat 275:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا
يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ
قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىَ فَلَهُ مَا
سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ
هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Artinya ”Orang-orang yang makan (mengambil) riba
tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang
kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya”. [7]
Pada ayat terakhir, kita bisa melihat bahwa orang-orang yang mengambil
riba maka akan menjadi penghuni neraka. Kalaulah riba dibolehkan, Allah SWT
tidak mungkin mengatakannya demikian. Dan, di dalam ayat tersebut juga tidak
disebutkan bahwa hanya yang riba berlipat yang masuk neraka.
Sedangkan bagi yang berpendapat bahwa riba berbeda dengan bunga, maka
berikut ini penulis kutipkan ungkapan dari Prof. M. Abdul Mannan, Ph.D.:
”…jika terdapat perbedaan antara riba dan dalam al Quran dengan bunga
pada masyarakat kapitalis, hal itu hanya merupakan perbedaan tingkat, bukan
perbedaan jenis, karena baik bunga maupun riba merupakan ekses atas modal yang
dipinjam. Memang benar riba dianggap tidak canggih dibandingkan dengan bunga.
Tetapienyebutkan riba dengan nama bunga tidak mengubah sifatnya…”[8]
H.
Realisasi Praktik Pembiayaan Bank
Islam Dalam Dunia Bisnis
Realisasi praktek pembiayan bank Islam dalam dunia bisnis dalam rangka
untuk mendapatkan keuntungan pada dasarnya hampir sama dengan konsep bank
konvensional. Bank Islam sebagai sebuah bank atau lembaga keungan menghimpun
dana dari para nasabahnya dengan melalui berbagai macam produknya (deposito,
tabungan, dll). Selanjutnya pihak bank berperan sebagai kreditur menanamkan
dana yang diperolehnya tersebut dalam pembiayaan-pembiayaan tertentu yang
sesuai konsep syariah Islam kepada nasabah debitor. Kemudian, dari hasil
keuntungan yang diperoleh oleh bank tersebut melalui pembiayaannya, laba
tersebut dibagi dengan para nasabah sesuai perjanjian akad nishbah bagi
hasilnya. Semakin besar perolehan laba yang diterima oleh bank Islam itu, maka
semakin besar pula bagi hasil yang diterima para nasabah.
Sebagai gambaran umum cara penghitungan dalam bank Islam, berikut ini
penulis tengahkan simulasi perhitungan pembiayan bank Islam dalam praktik
(diambil dari contoh simulasi Bank Muamalat)
Contoh simulasi pembiayaan Murabahah:
PT. TERUS MAJU perusahaan yang bergerak di bidang Percetakan memerlukan
Mesin Cetak seharga Rp. 100.000.000,-. PT TERUS MAJU memiliki langganan supplier
mesin yaitu PT. TRAKANTA. PT TERUS MAJU mengajukan fasilitas MURABAHAH kepada
Bank Muamalat Indonesia. Setelah Account Manager Bank Muamalat mereview neraca
dan laporan keuangan serta sumber pengembalian dari PT TERUS MAJU, maka telah
disetujui permohonan Fasilitas Murabahah sebagai berikut:
o
Harga Beli Barang dari Supplier
Rp. 100.000.000,-
o
Margin Bank Muamalat (Margin
setara 20% pa. effektif) sebesar Rp. 22.149.950,-
o
Harga Jual pada PT TERUS MAJU
(Harga Jual = Harga Beli + Margin) sebesar Rp. 122.149.950
o
Biaya Administrasi Rp. 1.000.000,-
o
Supplier yang ditunjuk PT.
TRAKANTA
o
Jangka Waktu Pelunasan 24 bulan
o
Angsuran/Bulan Rp.
5.089.580,-/bulan
Contoh simulasi pembiayaan Mudharabah:
PT. NIAGA ABADI memerlukan dana untuk menambah modal kerja usaha
perdagangannya. Untuk keperluan tersebut PT. NIAGA ABADI mengajukan Fasilitas
Pembiayaan kepada Bank Muamalat dengan total kebutuhan dana Rp. 100.000.000,-.
Setelah dilakukan analisa keuangan, maka disetujui Fasilitas Mudharabah olah
Bank Muamalat kepada PT. NIAGA ABADI, dengan persyaratan Fasilitas Mudharabah
sebagai berikut:
o
Plafond Rp. 100.000.000,-
o
Jangka Waktu24 bulan
o
Nisbah Bagi Hasil berdasarkan Laba
Bersih) : 20% untuk bank dan 80% untuk nasabah (PT. NIAGA ABADI)
o
Obyek Bagi Hasil Laba Bersih
o
Biaya Administrasi Rp. 1.000.000.-
o
Pembayaran Bagi Hasil Dilaksanakan
setiap akhir bulan
o
Pengembalian Pokok PT. NIAGA ABADI
wajib mengakumulasi keuntungan setiap bulan dan menyisihkannya untuk
pengembalian waktu.
I.
Faktor-Faktor Penghambat
Keberlangsungan Bank Islam
Diantara faktor penghambat keberlangsungan bank Islam adalah faktor
kelemahan yang terdapat di dalam bank Islam itu sendiri. Diantara faktor
penghambat bank Islam yaitu:
a.
Dengan sistem islami atau syariah,
maka bank Islam terlalu berprasangka baik kepada semua nasabahnya dan berasumsi
bahwa semua orang yang terlibat dalam bank Islam adalah jujur. Dengan demikian
bank Islam sangat rawan terhadap mereka yang beritikad tidak baik, sehingga
diperlukan usaha tambahan untuk mengawasi nasabah yang menerima pembiayan dari
bank Islam. Hal ini akan menjadi hambatan berlangsungnya bank Islam jika bank
Islam itu sering kecolongan akan nasabah yang membandel dan nakal. Atau kalau
tidak, maka bank Islam itu justru karena terlalu hati-hatinya memilih nasabah,
maka berakibat sedikitnya keuntungan yang diperolehnya sehingga berimbas pada
terhambatnya laju pertumbuhan bank Islam itu sendiri.
b.
Dengan penerapan sistem bagi hasil,
maka akan lebih diperlukan perhitungan-perhitungan yang rumit terutama dalam
menghitung bagian laba nasabah yang kecil-kecil dan yang nilai simpanannya di
bank tidak tetap. Sehingga bisa terjadi potensi salah hitung. Kesalahan hitung
dalam proses rumit ini, apabila sering terjadi, maka akan membuat para nasabah
lari dari bank Islam tersebut.
c.
Karena bank Islam menerapkan bagi
hasil, maka bank Islam lebih memerlukan tenaga dan pikiran yang ekstra
dibanding dengan bank konvensional. Hal ini dimaksudkan agar bank Islam tidak
salah dalam menilai kelayakan suatu pembiayaan tertentu. Dalam kasus ini sekali
lagi, apabila bank Islam tidak pandai-pandai menilai prospek dan kelayakan
pembiayaannya maka bisa berakibat kerugian terhadap pembiayaan itu dan secara
otomatis berakibat kerugian pada bank Islam itu sendiri.
d.
Problematika biaya dan
profitabilitas. Bank Islam bekerja dengan aturan yang sangat ketat dan memilih
investasi yang halal dan sesuai syariah saja. Implikasinya adalah bank Islam
harus melakukan supervisi dan terkadang mengelola secara langsung
operasional suatu proyek yang didanainya. Ini dilakukan untuk mereduksi
pengeluaran manajerial. Akibatnya, bank Islam harus memikul biaya tambahan yang
tidak pernah terdapat pada pembukuan bank-bank berasas bunga. Bank Islam pun
harus mampu meminimalisir potensi kerugian dari investasi mudarabahnya dan mengamankan
tingkat keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bank-bank riba. Hal
ini menyebabkan bank Islam terdorong untuk mencari proyek yang segera
memberikan keuntungan. Long gestation project (proyek dengan masa menunggu yang
lama) dan proyek infrastruktur adalah proyek-proyek yang kurang menarik minat
perbankan Islam, dimana bank Islam harus membayar keuntungan yang besar setiap
tahun terhadap simpanan (Irfan Syauqi Beik, Msc, Problematika Bank Islam.
e.
Minimnya sumberdaya manusia yang
memahami secara komprehensif segala hal yang berkaitan dengan industri
perbankan syariah. Sehingga dalam prakteknya, seringkali terjadi
penyimpangan-penyimpangan aktivitas transaksi yang tidak sesuai dengan syariah.
f.
Belum adanya suatu Bank Sentral
Syariah sebagai penyokong selaiknya Bank Indonesia yang menjadi bank-nya
lembaga-lembaga perbankan yang mampu memerankan diri seperti peran Bank
Indonesia tetapi dengan prinsip Islam.
g.
Belum adanya undang-undang yang
secara khusus mengatur mengenai perbankan syariah.
BAB
III
KESIMPULAN
Perbankan syariah atau Perbankan
Islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan
syariah (hukum) islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan
dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut
dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram
(misal: usaha yang berkaitan dengan produksi makanan/minuman haram, usaha media
yang tidak islami dll), dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem
perbankan konvensional.
Bank Islam dalam perkembangannya di Indonesia sejak tahun
1991 sampai sekarang ternyata mampu memberikan bukti nyata kepada masyarakat
dan banga Indonesia tidak hanya sekedar membuktikan eksistensinya tetapi juga
mampu memberikan keuntungan dan prospek yang menjanjikan. Badai krisis ekonomi
yang menyerang negara ini sejak 10 tahun silam hingga hari ini belum mampu
menggoyahkan keberadaan bank Islam. Akan tetapi justru sebaliknya, bank Islam
mampu meningkatkan asetnya setiap tahun. Bank Islam mampu memikat banyak bank
nasional untuk ikut terjun dalam sistem ekonomi islami ini.
Namun demikian, perkembangan perbankan Islam bukannya tanpa
cela. Masih banyak kekurangan dan kelemahan serta hambatan-hambatan yang masih
harus dilewati untuk mewujudkan cita-cita perbankan Islam yaitu menghapus
sistem ribawi atau konsep bunga. Masih banyak transaksi-transaksi dan
pembiayaan-pembiayaan yang belum bisa diterapkan secara murni syariah atau
murni islami. Oleh karena itu, pengembangan perbankan syariah tidak boleh hanya
dibebankan di pundak para pelaku bank Islam, Bank Indonesia atau pemerintah
saja tetapi peran serta seluruh elemen masyarakat Indonesia sangat dinantikan
agar sistem perbankan Islam akrab dan dipahami secara benar oleh publik. Dengan
demikian akan tercipta sinergi institusi dalam pengembangan perbankan syariah
di masa sekarang dan mendatang.
DAFTAR
PUSTAKA
Antonio, Muhammad syafi’i. 2001. Bank syariah dari
teori ke praktik. Jakarta: Gema Insani Press
Antonio dan Perwataatmadja, 1999. Apa
dan Bagaimana Bank Islam: Gema Insani Press
Departeman Agama RI, Al-Qur'an
dan Terjemahnya, Jakarta. 2008
http://ms.wikipedia.org/ wiki/ Perbankan syariah;
E-book: Bank Indonesia, Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di
Indonesia, 2002; dan http://www.sinarharapan.co.id/ ekonomi/ Keuangan/
2005/ 0103/keu2.html)
[1] Antonio dan Perwataatmadja, 1999. Apa dan
Bagaimana Bank Islam: Gema Insani Press: 1
[2] Ibid,
[3] Antonio, Muhammad syafi’i. 2001. Bank syariah dari
teori ke praktik. Jakarta: Gema Insani Press
[4] Sumber:
Antonio dan Perwataatmadja, 1999. Apa dan Bagaimana Bank Islam
[5] Ibid
[6]
Departemen RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya. Jakarta. 2008
[7] ibid
[8] Mannan,
1997: 120
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !