BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fiqih menurut pengertian
(istilah) adalah segala hukum syara’ yang diambil dari kitab Allah SWT dan
Muhamad SAW. Dengan jalan itjihat berdasarkan hasil penelitian yang mendalam.
Didalan ilmu fiqih ini juga membahas bagaimana peraturan kehidupan menurut hukum
islam bahkan sampai ketahap keberhasilan pun dijelaskan oleh ilmu fiqih ini
secara mendalam.
Dalam ilmu fiqih juga
mejelaskan tentang pengertian Riba secara terperinci atau mendalam melalui
panduan Al-Quran. Sabda nabi bahkan pendapat ulama agar bisa tercapainya suatu
kesepakatan dan keputusan yang benar dan lurus sejalan dengan ajaran Al-Quran
dan syariat islam.
Terkadang kita sebagai
manusia menilai bahwa hukum fiqih itu semuanya mudah termasuk didalamnya Riba
kita tidak tau bahwa hal-hal yang sekecil inilah yang selalu membuat kita
menjadi tersesat apabila kita tidak mengetahuinya secara terperinci, maka
terjadilah penyimpangan–penyimpangan yang
bertentangan dengan ajaran islam.
B. Rumusan Masalah
1)
Membahas tentang Riba
2)
Mengelompokkan macam-macam Riba
C. Tujuan Pembahasan
1)
Mengetahui apa itu Riba
2)
Mengetahui macam-macam Riba
BAB II
PEMBAHASAN
A.
RIBA
1)
Arti Riba
Riba menurut etimologi adalah kelebihan atau tambahan, menurut
istilah riba artinya kelebihan pembayaran tanpa ganti rugi atau imbalan, yang
disyaratkan bagis salah seorang dari dua orang yang melakukan transaksi
Misalnya, Si A memberi pinjaman kepada si B dengan syarat si B harus
mengembalikan uang pokok pinjaman dan sekian persen tambahnya.
Pengertian riba menurut Islam secara lebih terperinci diterangkan oleh
seorang Fakih masyhur, Ibn Rushd (al-hafid), dalam kitabnya Bidaya
al-Mujtahid, Bab Perdagangan. Ibn Rushd mengkategorisasikan sumber riba ke
dalam delapan jenis transaksi: (1) Transaksi yang dicirikan dengan suatu
kenyataan 'Beri saya kelonggaran [dalam pelunasan] dan saya akan tambah [jumlah
pengembaliannya]; (2) Jualan dengan penambahan yang dilarang; (3) Jualan dengan
penangguhan bayaran yang dilarang; (4) jualan yang dicampuraduk dengan hutang;
(5) jualan emas dan barang dagangan untuk emas; (6) pengurangan jumlah sebagai
ganjaran atas penyelesaian yang cepat; (7) jualan produk makanan yang belum
sepenuhnya diterima; ( 8) atau jualan yang dicampuraduk dengan pertukaran wang.
Perlu diketahui bahawa Ibn Rushd menuliskan Bidayat al-Mujtahid dengan
menganalisis berbagai pendapat para imam dari keempat-empat madhhab utama.[1]
2)
Dasar Hukum Keharaman Riba.
Sebagai dasar riba dapat diperhatikan
Firman Allah SWT, sebagai berikut;
3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4
Artinya: “Sesungguhnya Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Al- Baqoroh / 2:275)
Riba hanyalah berlaku
pada benda – benda seperti emas, perak, makanan dan uang. Karena itu tidak
diperbolehkan menjual emas dengan emas, perak dengan perak, kecuali jika
harganya sebanding dan dilakukan dengan kontan.
Tidak diperbolehkan
menjual sesuatu barang, dimana barang tersebut belum berada ditangannya (misal
A membeli barang tersebut kepada si B) Tidak
diperbolehkan pula
menjual daging dengan binatang yang masih hidup. Tidak diperbolehkan juga
menjual emas dengan ditukar dengan perak yang harga nilainya tidak sebanding.
Demikian pula menjual makanan, tidak diperbolehkan dijual dengan makanan
sejenis, kecuali jika sebanding harganya. Tidak diperbolehkan pula jual beli
barang sejenis daripadanya dengan barang yang tidak seimbang harganya. Tidak
diperbolehkan pula beli barang yang belum menjadi miliknya, misalnya menjual
burung yang bebas terbang di udara dan lain – lain.
Pada ayat ini juga
disebutkaan:
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿyè»ÒB (
(#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÌÉÈ
Artinya:
“Hai orang – orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan”
(Ali imran/3 : 130)
Dalam sebuah hadits
dijelaskan konsekuensi kaharaman itu, terdapat sanski sebagaimana sabda
Rasulullah SAW. yang artinya : “Dari Jabir, Rasulullah SAW. Melaknat
yang memakan riba, yang mewakilinya, penulisnya dan kedua saksinya dan
Rasul berkata, mereka semua berdosa.” (Riwayat Muslim dari Jabir)
Setiap orang Islam dan
mukalaf sebelum terlibat dalam satu urusan, terlebih dahulu wajib mengetahui
apa – apa yang dihalalkan dan diharamkan Allah. Sesungguhnya Allah telah
membebani kita dengan tugas – tugas mengabdi.
Oleh karena itu, mau
tidak mau harus memelihara apa yang ditugaskan kepada kita. Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Jadi orang yang hendak jual beli
wajib mengetahui hal – hal tersebut. Jika tidak, jelas akan makan riba, mau
tidak mau Rasulullah telah bersabda. “Pedagang yang jujur, besok pada hari
kiamat digiring bersama dengan orang – orang yang jujur dan orang – orang yang
mati sahid”. Semua itu tidak lain kecuali karena sesuatu yang dia lakukan yaitu
berperang melawan hawa nafsu dan keinginan (yang menyeleweng) serta memaksa
nafsunya untuk menjalankan akad sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah.
Jika tidak, maka tak samar lagi pasti mendapat apa yang akan diancamkan Allah
kepada orang yang melanggar batas – batas. Kemudian sesungguhnya semua akad,
seperti akad ijarah (persewaaan), qirad (andil berdagang), rahn (gadai),
wakalah, wadiah, ariah, sirkah, musaqah, dan sebagainya, wajib dijaga syarat –
syarat dan rukun – rukunnya. Akad nikah (malah) membutuhkan kehati – hatian dan
ketelitian untuk menghindari kejadian yang ada kaitannya dengan
ketidaksempurnaan syarat dan rukun (jika tidak sah nikahnya lantas istri
disetubuhi, maka berarti berzinah).[2]
3)
Macam – Macam Riba
Menurut para ulama, riba
ada empat macam
a.
Riba Fadli, yaitu riba dengan sebab tukar
menukar benda, barang sejenis (sama) dengan tidak sama ukuran jumlahnya.
Misalnya satu ekor kambing ditukar dengan satu ekor kambing yang berbeda
besarnya satu gram emas ditukar dengan seperempat gram emas dengan kadar yang
sama. Sabda Rasul SAW. artinya: “Dari Abi Said Al Khudry, sesungguhnya
Rasulullah SAW. Telah bersabda, “Janganlah kamu jual emas dengan emas kecuali
dalam timbangan yang sama dan janganlah kamu tambah sebagian atas sebagiannya
dan janganlah kamu jual uang kertas dengan uang kertas kecuali dalam nilai yang
sama, dan jangan kamu tambah sebagian atas sebagiannya, dan janganlah kamu jual
barang yang nyata (riil) dengan yang abstrak (ghaib).” (riwayat
Bukhari dan muslim) Riba Fadli atau riba tersembunyi ini dilarang karena dapat
membawa kepada riba nasi’ah (riba jail) artinya riba yang nyata.
b.
Riba Qardhi, yaitu riba yang terjadi
karena adanya proses utang piutang atau pinjam meminjam dengan syarat
keuntungan (bunga) dari orang yang meminjam atau yang berhutang. Misalnya,
seseorang meminjam uang sebesar sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta) kemudian
diharuskan membayarnya Rp. 1.300.000,- (satu juta Tiga ratus ribu rupiah).
Terhadap bentuk transsaksi seperti ini dapat dikategorikan menjadi riba,
seperti sabda Rasulullah Saw.: Artinya: “Semua piutang yang menarik
keuntungan termasuk riba.” (Riwayat Baihaqi)
c.
Riba Nasi’ah, ialah tambahan yang
disyaratkan oleh orang yang mengutangi dari orang yang berutang sebagai imbalan
atas penangguhan (penundaan) pembayaran utangnya. Misalnya si A meminjam uang
Rp. 1.000.000,- kepada si B dengan perjanjian waktu mengembalikannya satu
bulan, setelah jatuh tempo si A belum dapat mengembalikan utangnya. Untuk itu,
si A menyanggupi memberi tambahan pembayaran jika si B mau menunda jangka
waktunya. Contoh lain, si B menawarkan kepada si A untuk membayar utangnya
sekarang atau minta ditunda dengan memberikan tambahan. Mengenai hal ini
Rasulullah SAW. Menegaskan bahwa: Artinya: Dari Samrah bin Jundub,
sesungguhnya Nabi Muhammad saw. Telah melarang jual beli hewan dengan
hewan dengan bertenggang waktu.” (Riwayat Imam Lima dan dishahihkan oleh
Turmudzi dan Ibnu Jarud)
d.
Riba Yad, yaitu riba dengan berpisah dari
tempat akad jual beli sebelum serah terima antara penjual dan pembeli.
Misalnya, seseorang membeli satu kuintal beras. Setelah dibayar, sipenjual
langsung pergi sedangkan berasnya dalam karung belum ditimbang apakah cukup
atau tidak. Jual beli ini belum jelas yang sebenarnya. Sabda Rasulullah SAW. Artinya:
“Emas dengan emas, perak dengan perak, beras dengan beras, gandum dengan
gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaknya serupa dan
sama banyaknya, tunai dengan tunai, apabila berlainan jenisnya boleh kamu menjual
sekehendamu asal tunai”. (Riwayat Muslim) [3]
4)
Sebab – Sebab Diharamkannya Riba
Allah SWT melarang riba
antara lain karena perbuatan tersebut dapat merusak dan membahayakan diri
sendiri dan merugikan serta menyengsarakan orang lain
a.
Merusak Dan Membayakan Diri Sendiri
Orang yang melakukan
riba akan selalu menghitung – hitung yang banyak yang akan diperoleh dari orang
yang meminjam uang kepadanya. Pikiran dan angan–angan yang demikian itu akan
mengakibatkan dirinya selalu was–was dan khawatir uang yang telah dipinjamkan itu
tidak dapat kembali tepat pada
waktunya dengan
bunga yang besar. Jika orang yang melakukan riba itu memperoleh keuntungan yang
berlipat ganda, hasilnya itu tidak akan memberi manfaat pada dirinya karena
hartanya itu tidak akan memberi manfaat pada dirinya karena hartanya itu tidak
mendapat berkah dari Allah SWT.
b.
Merugikan Dan Menyengsarakan Orang Lain
Orang yang meminjam
uang kepada orang lain pada umumnya karena sedang susah atau terdesak. Karena
tidak ada jalan lain, meskipun dengan persyaratan bunga yang besar, ia tetap
bersedia menerima pinjaman tersebut, walau dirasa sangat berat. Orang yang
meminjam ada kalanya bisa mengembalikan pinjaman tepat pada waktunya, tetapi adakalanya
tidak dapat mengembalikan pinjaman tepat pada waktu yang telah ditetapkan.
Karena beratnya bunga pinjaman, si peminjam susah untuk mengembalikan utang
tersebut. Hal ini akan menambah kesulitan dan kesengsaraan bagi kehidupannya.
Haram menjual barang yang belum diterima (oleh si penjual). menjual hewan
dengan daging juga haram, hutang ditukar dengan hutang juga haram, begitupula
dengan fuduly (si penjual bukan pemilik barangnya dan bukan sebagai wakil),
menjual barang yang tidak dapat dilihat atau jual belinya orang yang tidak
mukalaf, menjual barang yang tidak ada manfaatnya, menjual barang yang tidak
bisa diserahkan, tanpa ijab qobul, menjual barang yang tidak di bawah hak milik
seperti tanah mati atau orang merdeka, menjual barang yang samar atau najis,
seperti anjing dan menjual barang yang memabukan atau yang diharamkan, semua
adalah haram Haram menjual sesuatu yang halal dan suci kepada orang yang
diketahui bahwa sesuatu itu akan digunakan untuk bermaksiat Haram menjual
barang yang dapat memabukan dan menjual barang yang cacat tanpa diberitahukan
cacatnya.
Harta peninggalan mayit
tidak sah dibagi – bagikan atau dijual sekalipun hanya sedikit, seperenam
dirham misalnya, selagi hutang – hutang simayit belum dilunasi, dan wasiat –
wasiatnya harus dipenuhi. Jika belum naik haji, padahal sudah berkewajiban maka
harus dipungutlah dulu ongkos untuk haji dan umrah sebelum diwaris, kecuali
(boleh dijual) untuk memenuhi hal – hal diatas (untuk hutang – hutang / untuk
haji/umrah). Jadi harta peninggalan mayit seperti digadaikan pada hal – hal di
atas. Sebagaimana budak yang melukai, juga tidak boleh dijual sebelum dipenuhi
hak yang berurusan dengan dirinya, kecuali jika yang memberi hutang (pada
sayidnya) telah mengijinkan untuk menjual budak itu.
Haram melakukan
(mempengaruhi) minat pembeli dengan maksud agar tidak membeli, kemudian disuruh
membeli barang orang yang memepengaruhi tadi. Apabila sesudah barang ditetapkan
(sudah sama – sama menyetujui antara penjual dan pembeli). Juga tidak boleh
mempengaruhi penjual dengan maksud agar berpindah menjual kepadanya. Apabila
jika dilakukan ketika masih hiyar, amat diharamkan (seperti masih tawan
menawar). Haram pula membeli barang saat paceklik (harga pangan mahal) dan
orang yang sangat membutuhkan bahan makanan, dengan tujuan untuk ditahan
(disimpan) dan akan dijual bila dengan harga yang lebih mahal. Haram berpura –
pura nawar barang dengan harga mahal tapi tidak bermaksud ingin membeli tapi
bermaksud membujuk orang lain (agar mau membeli dengan harga mahal).
Haram memisahkan antara
budak perempuan dan anaknya sebelum tamyiz, semua itu haram. Demikian pula
menipu atau berkhianat dalam urusan timbangan takaran, meteran, htungan dan
atau berdusta.
Haram menjual kapuk atau
lainnya dari barang – barang dagangan kepada pembeli, tetapi disamping menjual
juga memberi hutangnya kepada si pembeli beberapa dirham. Kemudian harga barang
lebih mahal, hal ini dilakukan oleh si penjual karena demi hutangnya tersebut.
Demikian juga umpamanya, memberi hutang kepada pembuat tenun (atau penjahit)
atau lainnya dari pekerjaan buruh, api
sebelum diberi hutangnya, terlebih dahulu para peminta hutang itu disuruh dengan
upah yang terlalu sedikit, demi hutang tersebut. Hal ini disebut dengan istilah
rubtah, ini juga amat haram.
Haram memberi hutangan
kepada para petani yang bayarnya secara tempo sampai saat panen, tapi dengan
janji supaya hasil panen mereka dijual kepada si pemberi utangan tersebut
dengan harga dibawah harga umum. Hal ini disebut dengan muqda.[4]
5)
Cara Memberantas Riba
Riba merupakan salah satu yang harus diperangi oleh masyarakat muslim,
karena itu seluruh umat muslim harus berusaha untuk mengurangi bahkan
memberantas segala bentuk-bentuk dari praktek riba dalam segala bidang. Adapun
cara yang dapat dilakukan untuk memerangi dari praktek riba itu di antaranya
adalah sebagai berikut :
a.
Menyuburkan dan memakmurkan sedekah,
karena memang sedekah sangat dianjurkan sekali dalam agama islam (QS. Al
Baqarah : 276)
b.
Dana dari sedekah tadi digunakan untuk
memfasilitasi segala bidang-bidang yang telah terkena paraktik riba, sehingga
dengan bantuan dari dana sedekah tersebut masyarakat dituntut untuk menggunakan
uangnya untuk keperluan-keperluan yang produktif saja dan bukan digunakan untuk
keperluan yang bersifat konsumtif.
c.
Mensosialisasikan kepada masyarakat
mengenai penggunaan dana syariah yang dapat digunakan untuk mendanai proyek dan
kegiatan yang bisa didanai secara syariah, misalnya mengenai asuransi syariah
dan perkreditan syariah
d.
Memanfaatkan bunga dari bank untuk
kepentingan masyarakat umum, karena jika bunga bank yang haram itu tidak
diambil maka bunga tersebut akan digunakan lagi oleh bank untuk mendanai
proyek-proyek yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Karena
hakikatnya bunga bank itu berasal dari masyarakat umum, sehingga pemenfaatanya
juga harus diberikan untuk memfasilitasi masyarakat umum dan bukan untuk
digunakan secara pribadi.[5]
6)
Pandangan Islam Terhadap Riba
Kata / istilah riba nampaknya bukan hal yang aneh dan asing di telinga
kita. Mungkin sudah sering kita mendengar istilah tersebut berulang-ulang baik
di forum diskusi, majelis ta’alim, atau yang lainnya. Yang jelas kita akan
lebih sering mendengar istilah ini tatkala di hubungkan dengan perbankan.
Rasulullah saw melaknat orang memakan riba, yang memberi makan riba,
penulisnya, dan dua orang saksinya. Beliau bersabda; Mereka semua sama”. (HR
Muslim)
Islam dengan tegas melarang praktik riba, karena praktik ini merugikan
salah satu pihak yang terlibat transaksi. Perhitungan marjun keuntungan
didasrakan kepada jangka waktu yang di gunakan sehingga si peminjam akan
mendapat untung bukan berdasarkan kegiatan produktifnya akan tetapi bisa
mendapatkan untung sambil ongkang-ongkan kaki. Sebaliknya, si peminjam harus
memenuhi kewajiban membayar kelebihan tersebut walaupun ternyata usahanya
merugi.
Pihak peminjam akan mengalami kerugian berlipat. Bukan kah hal itu sama
dengan berbuat dzalim terhadap orang lain dengan tameng memberi bantuan
pinjaman kepadanya. Bagaimana tidak mendzalimi peminjam mau tidak mau harus
membayar al ziyadah (tambahan) dari jumlah yang di pinjamnya dan yang
meminjamkan tidak mau tahu apa orang itu untung atau rugi dalam usahanya (kalo
meminjamnya untuk usaha/produksi). Dan biasanya praktek di masyarakat ketika
dalam waktu yang di sepakati belum juga dapat mengembalikan pinjamannya maka
peminjam akan terus mengembung total pinjaman yang harus dibayarnya itu.
“Orang-orang yang dzalim tidak
mempunyai teman setia dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafa’at yang
diterima syafa’atnya”. (QS: Al Mu’min: 18)
Diriwayatkan dari Jabir RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Jauhilah
(takutlah) oleh kalian perbuatan dzalim, karena kedzaliman itu merupakan
kegelapan pada hari kiamat. Dan kalian jauhilah sifat kikir, karena kikir telah
mencelakakan umat sebelum kalian, yang mendorong mereka untuk menumpahkan darah
dan menghalalkan apa-apa yang diharamkan bagi mereka”. (HR: Muslim)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya kamu benar-benar diperintahkan untuk mengembalikan hak-hak kepada
pemiliknya nanti pada hari kiamat, sehingga kambing yang tidak bertanduk
(sewaktu di dunia pernah ditanduk) diberi hak untuk membalas kambing yang
bertanduk”. (HR: Muslim)
B.
PERBANKAN
Undang – undang Nomor 14
tahun 1957 tentang Pokok Pokok PerBankan menjelaskan bahwa Bank adalah lembaga
keuangan yang usaha pokoknya memeberikan kredit dan jasa dalam lalu lintas
pembayaran dan peredaran uang Bank itu ada yang milik negara dan ada yang milik
swasta.
1)
Fungsi Bank
Fungsi Bank secara umum
sangat penting bagi kelangsungan perekonomian masyarakat, bangsa dan negara.
Secara khusus fungsi Bank antara lain:
a.
Sebagai sentral penyediaan dan peredaran
uang, pengendalian inflasi, dan jumlah peredarannya
b.
Sebagai pengawasan peredaran uang,
pengendalian inflasi dan jumlah peredarannya
c.
Tempat penyimpanan uang dan barang
berharga yang aman bagi masyarakat dan Negara
d.
Tempat tukat menukar mata uang
e.
Tempat menerima pembayaran uang
f.
Khusus Bank Islam, selain berfungsi
sebagimana di atas, juga dapat menghilangkan sistem bunga sehingga dapat
merangsang masyarakat untuk berani menyimpan atau meminjam modal untuk usaha.
Pada perkembangannya, Bank–Bank konvensional juga telah membuka Bank Syari’ah,
seperti Bank Syari’ah mandiri dan Bank BNI Syari’ah. [6]
2)
Pendapat Ulama Tentang Hukum
PerBankan
Pendapat para ulama Islam
mengenai hukum Bank dapat dikelompokan menjadi tiga pendapat, yaitu mubah,
haram, dan syubhat.
a.
Bank hukumnya mubah. Alasannya bahwa
disuatu negara, keberadaan Bank sangat dibutuhkan dan tidak bisa ditiadakan.
Bank bermanfaat dalam kehidupan dan kemaslahatan masyarakat, bangsa, dan
negara. Bunga Bank berbeda dengan riba, bunga Bank diperoleh dari usaha
produktif, sedangkan riba diperoleh dari pemerasan dan akibat keterpaksaan
orang – orang yang lemah. Ulama yang membolehkan ini didasarkan kepada sabda
Rasulullah SAW. : Artinya “Dari Jabir r.a. ia telah berkata:” aku pernah
datang kepada Nabi SAW. Dan beliau mempunyai utang kepadaku, kemudian
beliau membayar utangnya dan memberi tambahan.” (Riwayat Bukhari dan
Muslim)
b.
Bank hukumnya haram. Alasannya bahwa
setiap transaksi Bank akan terdapat unsur bunga. Bunga itu sama dengan riba dan
riba hukumnya harap. Maka Bank dianggap haram.
c.
Bank hukumnya syubhat atau masih ragu
tentang haram atau tidak. Alasannya bahwa pada satu sisi Bank ini sangat
dibutuhkan bagi kehidupan perekonomian masyarakat, bangsa, dan negara. Di sisi
lain, setiap Bank akan ada bunganya, yang berarti riba, sehingga Bank itu belum
jelas halal dan haramnya.[7]
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat
penulis ambil kesimpulan bahwa:
1)
Riba bagaimanapun keadaannya baik itu
sedikit atau banyak adalah haram hukumnya.
2)
Selain dilarang oleh agama islam ternyata
riba mempunyai dampak negative bagi diri sendiri dan juga orang lain
3)
Seluruh ummat Islam wajib untuk
meninggalkannya, serta menjauhinya. Dengan cara bertaqwa kepada Allah.
4)
Riba juga bisa merusak hubungan sosial
sesama manusia
DAFTAR PUSTAKA
Antonio,
Muhammad syafi’i. 2001. Bank syariah dari teori ke praktik. Jakarta: Gema
Insani Press
Muslih,
Mohammad dan Drs. Nur Hadi Ikhsan. 2007. Fiqih untuk Kelas IX Madrasah
Tsanawiyah. Jakarta : Yudhistira
Prof.
Drs. H. Masjfuk Zuhudi, Masail Fiqhiyah. Cet 10, PT gunung agung. Jakarta, 1970
Rachmat
Syafei, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia, Bandung. 2001
http://34riba.blogspot.com/2009/06/riba-perspektif-al-quran.html
(diakses tanggal 15 maret 2011)
[1] Muslih, Mohammad dan Drs. Nur Hadi Ikhsan. 2007. Fiqih
untuk Kelas IX Madrasah Tsanawiyah. Jakarta : Yudhistira
[2] Ibid
[3] Rachmat Syafei, Fiqih
Muamalah, Pustaka Setia, Bandung. 2001
[4] http://34riba.blogspot.com/2009/06/riba-perspektif-al-quran.html
(diakses tanggal 15 maret 2011)
[5] Prof. Drs. H. Masjfuk
Zuhudi, Masail Fiqhiyah. Cet 10, PT gunung agung. Jakarta, 1970
Jika melakukan pinjaman ke Bank untuk modal usaha, apakah hukumnya haram ??
ReplyDelete