Headlines News :

Lomba Blog BPJS Ketenagakerjaan

Home » » Riba menurut Islam

Riba menurut Islam

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fiqih menurut pengertian (istilah) adalah segala hukum syara’ yang diambil dari kitab Allah SWT dan Muhamad SAW. Dengan jalan itjihat berdasarkan hasil penelitian yang mendalam. Didalan ilmu fiqih ini juga membahas bagaimana peraturan kehidupan menurut hukum islam bahkan sampai ketahap keberhasilan pun dijelaskan oleh ilmu fiqih ini secara mendalam.
Dalam ilmu fiqih juga mejelaskan tentang pengertian Riba secara terperinci atau mendalam melalui panduan Al-Quran. Sabda nabi bahkan pendapat ulama agar bisa tercapainya suatu kesepakatan dan keputusan yang benar dan lurus sejalan dengan ajaran Al-Quran dan syariat islam.
Terkadang kita sebagai manusia menilai bahwa hukum fiqih itu semuanya mudah termasuk didalamnya Riba kita tidak tau bahwa hal-hal yang sekecil inilah yang selalu membuat kita menjadi tersesat apabila kita tidak mengetahuinya secara terperinci, maka terjadilah penyimpangan–penyimpangan yang
bertentangan dengan ajaran islam.

B. Rumusan Masalah
1)      Membahas tentang Riba
2)      Mengelompokkan macam-macam Riba

C. Tujuan Pembahasan
1)      Mengetahui apa itu Riba
2)      Mengetahui macam-macam Riba

BAB II
PEMBAHASAN

A.    RIBA
1)      Arti Riba
Riba menurut etimologi adalah kelebihan atau tambahan, menurut istilah riba artinya kelebihan pembayaran tanpa ganti rugi atau imbalan, yang disyaratkan bagis salah seorang dari dua orang yang melakukan transaksi Misalnya, Si A memberi pinjaman kepada si B dengan syarat si B harus mengembalikan uang pokok pinjaman dan sekian persen tambahnya.
Pengertian riba menurut Islam secara lebih terperinci diterangkan oleh seorang Fakih masyhur, Ibn Rushd (al-hafid), dalam kitabnya Bidaya al-Mujtahid, Bab Perdagangan. Ibn Rushd mengkategorisasikan sumber riba ke dalam delapan jenis transaksi: (1) Transaksi yang dicirikan dengan suatu kenyataan 'Beri saya kelonggaran [dalam pelunasan] dan saya akan tambah [jumlah pengembaliannya]; (2) Jualan dengan penambahan yang dilarang; (3) Jualan dengan penangguhan bayaran yang dilarang; (4) jualan yang dicampuraduk dengan hutang; (5) jualan emas dan barang dagangan untuk emas; (6) pengurangan jumlah sebagai ganjaran atas penyelesaian yang cepat; (7) jualan produk makanan yang belum sepenuhnya diterima; ( 8) atau jualan yang dicampuraduk dengan pertukaran wang. Perlu diketahui bahawa Ibn Rushd menuliskan Bidayat al-Mujtahid dengan menganalisis berbagai pendapat para imam dari keempat-empat madhhab utama.[1]

2)      Dasar Hukum Keharaman Riba.
Sebagai dasar riba dapat diperhatikan Firman Allah SWT, sebagai berikut;
3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4
Artinya: “Sesungguhnya Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Al- Baqoroh / 2:275)
Riba hanyalah berlaku pada benda – benda seperti emas, perak, makanan dan uang. Karena itu tidak diperbolehkan menjual emas dengan emas, perak dengan perak, kecuali jika harganya sebanding dan dilakukan dengan kontan.
Tidak diperbolehkan menjual sesuatu barang, dimana barang tersebut belum berada ditangannya (misal A membeli barang tersebut kepada si B) Tidak
diperbolehkan pula menjual daging dengan binatang yang masih hidup. Tidak diperbolehkan juga menjual emas dengan ditukar dengan perak yang harga nilainya tidak sebanding. Demikian pula menjual makanan, tidak diperbolehkan dijual dengan makanan sejenis, kecuali jika sebanding harganya. Tidak diperbolehkan pula jual beli barang sejenis daripadanya dengan barang yang tidak seimbang harganya. Tidak diperbolehkan pula beli barang yang belum menjadi miliknya, misalnya menjual burung yang bebas terbang di udara dan lain – lain.
Pada ayat ini juga disebutkaan:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿy軟ÒB ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÌÉÈ  
Artinya: “Hai orang – orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan” (Ali imran/3 : 130)
Dalam sebuah hadits dijelaskan konsekuensi kaharaman itu, terdapat sanski sebagaimana sabda Rasulullah SAW. yang artinya : “Dari Jabir, Rasulullah SAW. Melaknat yang memakan riba, yang mewakilinya, penulisnya dan kedua saksinya dan Rasul berkata, mereka semua berdosa.” (Riwayat Muslim dari Jabir)
Setiap orang Islam dan mukalaf sebelum terlibat dalam satu urusan, terlebih dahulu wajib mengetahui apa – apa yang dihalalkan dan diharamkan Allah. Sesungguhnya Allah telah membebani kita dengan tugas – tugas mengabdi.
Oleh karena itu, mau tidak mau harus memelihara apa yang ditugaskan kepada kita. Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Jadi orang yang hendak jual beli wajib mengetahui hal – hal tersebut. Jika tidak, jelas akan makan riba, mau tidak mau Rasulullah telah bersabda. “Pedagang yang jujur, besok pada hari kiamat digiring bersama dengan orang – orang yang jujur dan orang – orang yang mati sahid”. Semua itu tidak lain kecuali karena sesuatu yang dia lakukan yaitu berperang melawan hawa nafsu dan keinginan (yang menyeleweng) serta memaksa nafsunya untuk menjalankan akad sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah. Jika tidak, maka tak samar lagi pasti mendapat apa yang akan diancamkan Allah kepada orang yang melanggar batas – batas. Kemudian sesungguhnya semua akad, seperti akad ijarah (persewaaan), qirad (andil berdagang), rahn (gadai), wakalah, wadiah, ariah, sirkah, musaqah, dan sebagainya, wajib dijaga syarat – syarat dan rukun – rukunnya. Akad nikah (malah) membutuhkan kehati – hatian dan ketelitian untuk menghindari kejadian yang ada kaitannya dengan ketidaksempurnaan syarat dan rukun (jika tidak sah nikahnya lantas istri disetubuhi, maka berarti berzinah).[2]

3)      Macam – Macam Riba
Menurut para ulama, riba ada empat macam
a.       Riba Fadli, yaitu riba dengan sebab tukar menukar benda, barang sejenis (sama) dengan tidak sama ukuran jumlahnya. Misalnya satu ekor kambing ditukar dengan satu ekor kambing yang berbeda besarnya satu gram emas ditukar dengan seperempat gram emas dengan kadar yang sama. Sabda Rasul SAW. artinya: “Dari Abi Said Al Khudry, sesungguhnya Rasulullah SAW. Telah bersabda, “Janganlah kamu jual emas dengan emas kecuali dalam timbangan yang sama dan janganlah kamu tambah sebagian atas sebagiannya dan janganlah kamu jual uang kertas dengan uang kertas kecuali dalam nilai yang sama, dan jangan kamu tambah sebagian atas sebagiannya, dan janganlah kamu jual barang yang nyata (riil) dengan yang abstrak (ghaib).” (riwayat Bukhari dan muslim) Riba Fadli atau riba tersembunyi ini dilarang karena dapat membawa kepada riba nasi’ah (riba jail) artinya riba yang nyata.
b.      Riba Qardhi, yaitu riba yang terjadi karena adanya proses utang piutang atau pinjam meminjam dengan syarat keuntungan (bunga) dari orang yang meminjam atau yang berhutang. Misalnya, seseorang meminjam uang sebesar sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta) kemudian diharuskan membayarnya Rp. 1.300.000,- (satu juta Tiga ratus ribu rupiah). Terhadap bentuk transsaksi seperti ini dapat dikategorikan menjadi riba, seperti sabda Rasulullah Saw.: Artinya: “Semua piutang yang menarik keuntungan termasuk riba.” (Riwayat Baihaqi)
c.       Riba Nasi’ah, ialah tambahan yang disyaratkan oleh orang yang mengutangi dari orang yang berutang sebagai imbalan atas penangguhan (penundaan) pembayaran utangnya. Misalnya si A meminjam uang Rp. 1.000.000,- kepada si B dengan perjanjian waktu mengembalikannya satu bulan, setelah jatuh tempo si A belum dapat mengembalikan utangnya. Untuk itu, si A menyanggupi memberi tambahan pembayaran jika si B mau menunda jangka waktunya. Contoh lain, si B menawarkan kepada si A untuk membayar utangnya sekarang atau minta ditunda dengan memberikan tambahan. Mengenai hal ini Rasulullah SAW. Menegaskan bahwa: Artinya: Dari Samrah bin Jundub, sesungguhnya Nabi Muhammad saw. Telah melarang jual beli hewan dengan hewan dengan bertenggang waktu.” (Riwayat Imam Lima dan dishahihkan oleh Turmudzi dan Ibnu Jarud)
d.      Riba Yad, yaitu riba dengan berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah terima antara penjual dan pembeli. Misalnya, seseorang membeli satu kuintal beras. Setelah dibayar, sipenjual langsung pergi sedangkan berasnya dalam karung belum ditimbang apakah cukup atau tidak. Jual beli ini belum jelas yang sebenarnya. Sabda Rasulullah SAW. Artinya: “Emas dengan emas, perak dengan perak, beras dengan beras, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaknya serupa dan sama banyaknya, tunai dengan tunai, apabila berlainan jenisnya boleh kamu menjual sekehendamu asal tunai”. (Riwayat Muslim) [3]











 

4)      Sebab – Sebab Diharamkannya Riba
Allah SWT melarang riba antara lain karena perbuatan tersebut dapat merusak dan membahayakan diri sendiri dan merugikan serta menyengsarakan orang lain
a.       Merusak Dan Membayakan Diri Sendiri
Orang yang melakukan riba akan selalu menghitung – hitung yang banyak yang akan diperoleh dari orang yang meminjam uang kepadanya. Pikiran dan angan–angan yang demikian itu akan mengakibatkan dirinya selalu was–was dan khawatir uang yang telah dipinjamkan itu tidak dapat kembali tepat pada
waktunya dengan bunga yang besar. Jika orang yang melakukan riba itu memperoleh keuntungan yang berlipat ganda, hasilnya itu tidak akan memberi manfaat pada dirinya karena hartanya itu tidak akan memberi manfaat pada dirinya karena hartanya itu tidak mendapat berkah dari Allah SWT.
b.      Merugikan Dan Menyengsarakan Orang Lain
Orang yang meminjam uang kepada orang lain pada umumnya karena sedang susah atau terdesak. Karena tidak ada jalan lain, meskipun dengan persyaratan bunga yang besar, ia tetap bersedia menerima pinjaman tersebut, walau dirasa sangat berat. Orang yang meminjam ada kalanya bisa mengembalikan pinjaman tepat pada waktunya, tetapi adakalanya tidak dapat mengembalikan pinjaman tepat pada waktu yang telah ditetapkan. Karena beratnya bunga pinjaman, si peminjam susah untuk mengembalikan utang tersebut. Hal ini akan menambah kesulitan dan kesengsaraan bagi kehidupannya. Haram menjual barang yang belum diterima (oleh si penjual). menjual hewan dengan daging juga haram, hutang ditukar dengan hutang juga haram, begitupula dengan fuduly (si penjual bukan pemilik barangnya dan bukan sebagai wakil), menjual barang yang tidak dapat dilihat atau jual belinya orang yang tidak mukalaf, menjual barang yang tidak ada manfaatnya, menjual barang yang tidak bisa diserahkan, tanpa ijab qobul, menjual barang yang tidak di bawah hak milik seperti tanah mati atau orang merdeka, menjual barang yang samar atau najis, seperti anjing dan menjual barang yang memabukan atau yang diharamkan, semua adalah haram Haram menjual sesuatu yang halal dan suci kepada orang yang diketahui bahwa sesuatu itu akan digunakan untuk bermaksiat Haram menjual barang yang dapat memabukan dan menjual barang yang cacat tanpa diberitahukan cacatnya.
Harta peninggalan mayit tidak sah dibagi – bagikan atau dijual sekalipun hanya sedikit, seperenam dirham misalnya, selagi hutang – hutang simayit belum dilunasi, dan wasiat – wasiatnya harus dipenuhi. Jika belum naik haji, padahal sudah berkewajiban maka harus dipungutlah dulu ongkos untuk haji dan umrah sebelum diwaris, kecuali (boleh dijual) untuk memenuhi hal – hal diatas (untuk hutang – hutang / untuk haji/umrah). Jadi harta peninggalan mayit seperti digadaikan pada hal – hal di atas. Sebagaimana budak yang melukai, juga tidak boleh dijual sebelum dipenuhi hak yang berurusan dengan dirinya, kecuali jika yang memberi hutang (pada sayidnya) telah mengijinkan untuk menjual budak itu.
Haram melakukan (mempengaruhi) minat pembeli dengan maksud agar tidak membeli, kemudian disuruh membeli barang orang yang memepengaruhi tadi. Apabila sesudah barang ditetapkan (sudah sama – sama menyetujui antara penjual dan pembeli). Juga tidak boleh mempengaruhi penjual dengan maksud agar berpindah menjual kepadanya. Apabila jika dilakukan ketika masih hiyar, amat diharamkan (seperti masih tawan menawar). Haram pula membeli barang saat paceklik (harga pangan mahal) dan orang yang sangat membutuhkan bahan makanan, dengan tujuan untuk ditahan (disimpan) dan akan dijual bila dengan harga yang lebih mahal. Haram berpura – pura nawar barang dengan harga mahal tapi tidak bermaksud ingin membeli tapi bermaksud membujuk orang lain (agar mau membeli dengan harga mahal).
Haram memisahkan antara budak perempuan dan anaknya sebelum tamyiz, semua itu haram. Demikian pula menipu atau berkhianat dalam urusan timbangan takaran, meteran, htungan dan atau berdusta.
Haram menjual kapuk atau lainnya dari barang – barang dagangan kepada pembeli, tetapi disamping menjual juga memberi hutangnya kepada si pembeli beberapa dirham. Kemudian harga barang lebih mahal, hal ini dilakukan oleh si penjual karena demi hutangnya tersebut. Demikian juga umpamanya, memberi hutang kepada pembuat tenun (atau penjahit) atau lainnya dari pekerjaan buruh,  api sebelum diberi hutangnya, terlebih dahulu para peminta hutang itu disuruh dengan upah yang terlalu sedikit, demi hutang tersebut. Hal ini disebut dengan istilah rubtah, ini juga amat haram.
Haram memberi hutangan kepada para petani yang bayarnya secara tempo sampai saat panen, tapi dengan janji supaya hasil panen mereka dijual kepada si pemberi utangan tersebut dengan harga dibawah harga umum. Hal ini disebut dengan muqda.[4]

5)      Cara Memberantas Riba
          Riba merupakan salah satu yang harus diperangi oleh masyarakat muslim, karena itu seluruh umat muslim harus berusaha untuk mengurangi bahkan memberantas segala bentuk-bentuk dari praktek riba dalam segala bidang. Adapun cara yang dapat dilakukan untuk memerangi dari praktek riba itu di antaranya adalah sebagai berikut :
a.       Menyuburkan dan memakmurkan sedekah, karena memang sedekah sangat dianjurkan sekali dalam agama islam (QS. Al Baqarah : 276)
b.      Dana dari sedekah tadi digunakan untuk memfasilitasi segala bidang-bidang yang telah terkena paraktik riba, sehingga dengan bantuan dari dana sedekah tersebut masyarakat dituntut untuk menggunakan uangnya untuk keperluan-keperluan yang produktif saja dan bukan digunakan untuk keperluan yang bersifat konsumtif.
c.       Mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai penggunaan dana syariah yang dapat digunakan untuk mendanai proyek dan kegiatan yang bisa didanai secara syariah, misalnya mengenai asuransi syariah dan perkreditan syariah
d.      Memanfaatkan bunga dari bank untuk kepentingan masyarakat umum, karena jika bunga bank yang haram itu tidak diambil maka bunga tersebut akan digunakan lagi oleh bank untuk mendanai proyek-proyek yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Karena hakikatnya bunga bank itu berasal dari masyarakat umum, sehingga pemenfaatanya juga harus diberikan untuk memfasilitasi masyarakat umum dan bukan untuk digunakan secara pribadi.[5]

6)      Pandangan Islam Terhadap Riba
Kata / istilah riba nampaknya bukan hal yang aneh dan asing di telinga kita. Mungkin sudah sering kita mendengar istilah tersebut berulang-ulang baik di forum diskusi, majelis ta’alim, atau yang lainnya. Yang jelas kita akan lebih sering mendengar istilah ini tatkala di hubungkan dengan perbankan.
Rasulullah saw melaknat orang memakan riba, yang memberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Beliau bersabda; Mereka semua sama”. (HR Muslim)
Islam dengan tegas melarang praktik riba, karena praktik ini merugikan salah satu pihak yang terlibat transaksi. Perhitungan marjun keuntungan didasrakan kepada jangka waktu yang di gunakan sehingga si peminjam akan mendapat untung bukan berdasarkan kegiatan produktifnya akan tetapi bisa mendapatkan untung sambil ongkang-ongkan kaki. Sebaliknya, si peminjam harus memenuhi kewajiban membayar kelebihan tersebut walaupun ternyata usahanya merugi.
Pihak peminjam akan mengalami kerugian berlipat. Bukan kah hal itu sama dengan berbuat dzalim terhadap orang lain dengan tameng memberi bantuan pinjaman kepadanya. Bagaimana tidak mendzalimi peminjam mau tidak mau harus membayar al ziyadah (tambahan) dari jumlah yang di pinjamnya dan yang meminjamkan tidak mau tahu apa orang itu untung atau rugi dalam usahanya (kalo meminjamnya untuk usaha/produksi). Dan biasanya praktek di masyarakat ketika dalam waktu yang di sepakati belum juga dapat mengembalikan pinjamannya maka peminjam akan terus mengembung total pinjaman yang harus dibayarnya itu.
“Orang-orang yang dzalim tidak mempunyai teman setia dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafa’at yang diterima syafa’atnya”. (QS: Al Mu’min: 18)
Diriwayatkan dari Jabir RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Jauhilah (takutlah) oleh kalian perbuatan dzalim, karena kedzaliman itu merupakan kegelapan pada hari kiamat. Dan kalian jauhilah sifat kikir, karena kikir telah mencelakakan umat sebelum kalian, yang mendorong mereka untuk menumpahkan darah dan menghalalkan apa-apa yang diharamkan bagi mereka”. (HR: Muslim)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya kamu benar-benar diperintahkan untuk mengembalikan hak-hak kepada pemiliknya nanti pada hari kiamat, sehingga kambing yang tidak bertanduk (sewaktu di dunia pernah ditanduk) diberi hak untuk membalas kambing yang bertanduk”. (HR: Muslim)

B.     PERBANKAN
Undang – undang Nomor 14 tahun 1957 tentang Pokok Pokok PerBankan menjelaskan bahwa Bank adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memeberikan kredit dan jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang Bank itu ada yang milik negara dan ada yang milik swasta.
1)      Fungsi Bank
Fungsi Bank secara umum sangat penting bagi kelangsungan perekonomian masyarakat, bangsa dan negara. Secara khusus fungsi Bank antara lain:
a.       Sebagai sentral penyediaan dan peredaran uang, pengendalian inflasi, dan jumlah peredarannya
b.      Sebagai pengawasan peredaran uang, pengendalian inflasi dan jumlah peredarannya
c.       Tempat penyimpanan uang dan barang berharga yang aman bagi masyarakat dan Negara
d.      Tempat tukat menukar mata uang
e.       Tempat menerima pembayaran uang
f.       Khusus Bank Islam, selain berfungsi sebagimana di atas, juga dapat menghilangkan sistem bunga sehingga dapat merangsang masyarakat untuk berani menyimpan atau meminjam modal untuk usaha. Pada perkembangannya, Bank–Bank konvensional juga telah membuka Bank Syari’ah, seperti Bank Syari’ah mandiri dan Bank BNI Syari’ah. [6]

2)      Pendapat Ulama Tentang Hukum PerBankan
Pendapat para ulama Islam mengenai hukum Bank dapat dikelompokan menjadi tiga pendapat, yaitu mubah, haram, dan syubhat.
a.       Bank hukumnya mubah. Alasannya bahwa disuatu negara, keberadaan Bank sangat dibutuhkan dan tidak bisa ditiadakan. Bank bermanfaat dalam kehidupan dan kemaslahatan masyarakat, bangsa, dan negara. Bunga Bank berbeda dengan riba, bunga Bank diperoleh dari usaha produktif, sedangkan riba diperoleh dari pemerasan dan akibat keterpaksaan orang – orang yang lemah. Ulama yang membolehkan ini didasarkan kepada sabda Rasulullah SAW. : Artinya “Dari Jabir r.a. ia telah berkata:” aku pernah datang kepada Nabi SAW. Dan beliau mempunyai utang kepadaku, kemudian beliau membayar utangnya dan memberi tambahan.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
b.      Bank hukumnya haram. Alasannya bahwa setiap transaksi Bank akan terdapat unsur bunga. Bunga itu sama dengan riba dan riba hukumnya harap. Maka Bank dianggap haram.
c.       Bank hukumnya syubhat atau masih ragu tentang haram atau tidak. Alasannya bahwa pada satu sisi Bank ini sangat dibutuhkan bagi kehidupan perekonomian masyarakat, bangsa, dan negara. Di sisi lain, setiap Bank akan ada bunganya, yang berarti riba, sehingga Bank itu belum jelas halal dan haramnya.[7]









BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat penulis ambil kesimpulan bahwa:
1)      Riba bagaimanapun keadaannya baik itu sedikit atau banyak adalah haram hukumnya.
2)      Selain dilarang oleh agama islam ternyata riba mempunyai dampak negative bagi diri sendiri dan juga orang lain
3)      Seluruh ummat Islam wajib untuk meninggalkannya, serta menjauhinya. Dengan cara bertaqwa kepada Allah.
4)      Riba juga bisa merusak hubungan sosial sesama manusia

DAFTAR PUSTAKA


Antonio, Muhammad syafi’i. 2001. Bank syariah dari teori ke praktik. Jakarta: Gema Insani Press
Muslih, Mohammad dan Drs. Nur Hadi Ikhsan. 2007. Fiqih untuk Kelas IX Madrasah Tsanawiyah. Jakarta : Yudhistira
Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhudi, Masail Fiqhiyah. Cet 10, PT gunung agung. Jakarta, 1970
Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia, Bandung. 2001
http://34riba.blogspot.com/2009/06/riba-perspektif-al-quran.html (diakses tanggal 15 maret 2011)



[1] Muslih, Mohammad dan Drs. Nur Hadi Ikhsan. 2007. Fiqih untuk Kelas IX Madrasah Tsanawiyah. Jakarta : Yudhistira
[2] Ibid
[3] Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia, Bandung. 2001
[4] http://34riba.blogspot.com/2009/06/riba-perspektif-al-quran.html (diakses tanggal 15 maret 2011)
[5] Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhudi, Masail Fiqhiyah. Cet 10, PT gunung agung. Jakarta, 1970
[6] Antonio, Muhammad syafi’i. 2001. Bank syariah dari teori ke praktik. Jakarta: Gema Insani Press
[7] Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhudi, Masail Fiqhiyah. Cet 10, PT gunung agung. Jakarta, 1970
Share this article :

1 comment:

  1. Jika melakukan pinjaman ke Bank untuk modal usaha, apakah hukumnya haram ??

    ReplyDelete

kirimkan komentar anda di sini

Blog Archive

Followers

Search This Blog

Blogger Themes

Random Post

Bagaimana Pendapat Anda dengan Blog ini?

Trending Topik

EnglishFrenchGermanSpainItalianDutch

RussianPortugueseJapaneseKoreanArabic Chinese Simplified
SELAMAT DATANG
script>
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Berbagai Kumpulan Makalah - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template