BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Yang di maksud masa Rasulullah adalah suatu masa dimana hidup Nabi Muhammad
SAW. Dan para sahabat yang bermula dari turunya wahyu berakhir dengan wafatnya
Nabi pada tahun 11 H. Era ini merupakan masa pertumbuhan dan pembentukan fiqih
Islam, suatu masa turunya syariat Islam dalam pengertian sebenarnya.
Turunnya syariat dalam arti
proses munculnya hukum-hukum syar’iyah hanya terjadi pada era Rasulullah sebab
syari’at itu, turun dari Allah dan itu berakhir dengan turunnya wahyu setelah
Nabi wafat, Nabi sendiri tidak mempunyai kekuasaan untuk membuat hukum-hukum
syar’iyah karena tugas seorang Rasul hanya menyampaikan hukum-hukum syar’iyah
itu kepada umatnya.
Maka sumber-sumber hukum Islam
yang menjadi rujukan dalam mencari hukum syar’iyah adalah wahyu, baik wahyu
yang dibacakan yaitu Al-Qur’an ataupun wahyu yang tidak dibacakan yaitu Sunnah.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas kami
pemakalah menarik beberapa rumusan masalah yaitu sebagai berikut :
- Bagaimana
penetapan hukum Islam pada
masa Nabi?
- Apa Sumber perundang-undangan pada masa
Nabi?
- Bagaimana Bentuk asas tasyrik dalam Al-Qur’an?
C. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui penetapan hukum Islam Sumber perundang-undangan pada masa Nabi dan
asas tasyrik dalam Al-Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
PENETAPAN HUKUM ISLAM PADA MASA NABI DAN AZAS TASYRIK DALAM AL-QUR’AN
A. Penetapan Hukum Islam Pada Masa Nabi
Pada masa
Rasulullah berlangsung hanya beberapa tahun saja yaitu tidak lebih dari 22
tahun beberapa bulan. Akan tetapi periode ini membawa pengaruh-pengaruh yang
besar dan hasil-hasil yang gemilang. Sebab dari periode ini telah mewariskan
ketetapan hukum al-Qur’an dan Sunnah. Periode ini telah meninggalkan azas-azas
tasyrik yang bersifat komprehenshif dan telah menghasilkan sumber dan dalil
tentang hukum sesuatu yang tidak ada nashnya.
Dengan demikian
kita dapat menyebutkan periode rasul ini dengan masa pembentukan
undang-undang/hukum yang sempurna. Periode rasul yang berlangsung kurang 23
tahun terbagi menjadi dua periode yaitu:
1.
Periode Makkah
Periode Makkah
berlangsung selama 12 tahun lima bulan tiga puluh hari terhitung mulai dari 17
Ramadhan tahun 41 sampai bulan Rabiul Awal tahun 45 dari tahun kelahiran Nabi.
Semenjak beliau diangkat sebagai Rasul sampai waktu
hijrahnya ke Madinah.[1][1] Pada masa periode Mekkah,
perundang-undangan Islam lebih fokus pada upaya mempersiapkan masyakat agar dapat menerima hukum-hukum
agama, membersihkan akidah dari menyembah berhala kepada menyembah Allah,
selain menanamkan akhlak-akhlak mulia agar memudahkan jiwa untuk dapat menerima
segala bentuk pelaksanaan syariat. Karena tauhid atau akidah inilah yang menjadi fondasi bagi segala amaliah
lainnya.[2][2]
Oleh sebab itu,
wahyu pada periode ini turun untuk memberikan petunjuk dan arahan kepada
manusia kepada dua perkara utama :
1)
Mengkokohkan akidah yang
benar dalam jiwa atas dasar iman kepada Allah SWT dan bukan untuk yang lain,
beriman kepada Malaikat, Rasul, dan hari akhir.
2)
Membentuk akhlak agar manusia
memiliki sifat yang mulia dan menjauhkan sifat-sifat yang tercela.[3][3]
2.
Periode Madinah
Periode ini terhitung waktunya mulai dari Nabi hijrah ke Madinah sampai
wafatnya. Periode ini berjalan selama sepuluh tahun. Selama beliau berada di
Madinah, operasional dakwahnya lebih lancar dibandingkan dengan di Mekkah yang
ditandai dengan banyaknya orang-orang yang beriman dan telah mempunyai tata
pemerintahan tersendiri sehingga media-media dakwah berlangsung dengan damai
dan aman.
Perundang-undangan
hukum Islam pada periode ini menitik beratkan pada aspek hukum-hukum praktikal
dan dakwah islamiyah pada fase ini membahas tentang akidah dan akhlak. Oleh
karena itu, maka di Madinah diisyaratkanlah berupa hukum-hukum pernikahan,
perceraian, perjanjian, hutang piutang, hukum kepidanaan dan lain-lain.[4][4]
B.
Sumber
Perundang-Undangan Pada Masa Nabi
Pada periode
Rasulullah SAW hanya ada 2 sumber hukum (perundang-undangan) yaitu wahyu Ilahi
(al-Qur’an), dan Sunnah Rasulullah serta
ditambah dengan ijtihad Rasulullah SAW sendiri.
1. Al-Qur’an Al-Karim
Allah mewahyukan al-Qur’an yang menjelaskan hukum suatu
peristiwa yang dipertanyakan. Al-ur’an tuun kepada Rasulullah SAW secara
berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa dan kebutuhan. Kemudian Rasulullah SAW
menyampaikan wahyu tersebut kepada umat islam. Sebuah proses pembentukan hukum islam dengan menggunakan sebab
akibat. Berikut ini bentuk peristiwa yang menyebabkan ayat al-Qur’an untuk
menjelaskan hukumnya.
2. As-Sunnah An-Nabawiyah
As-Sunnah
An-Nabawiyah adalah setiap yang dikeluarkan Rasulullah SAW berupa ucapan,
perbuatan atau pengakuan selain dari Allah SWT. As-Sunnah menempati urutan
kedua setelah Al-Qur’an karena ia akan menjadi penguat, penjelas, penafsiran,
penambahan terhadap hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an. As-Sunnah juga datang
sebagai penegas terhadap hukum yang ada dalam Al-Qur’an seperti haramnya
mencuri, riba, dan menemukan harta orang lain dengan cara batil.
3. Ijtihad
Bagaimana jika
wahyu tidak turun? maka Rasulullah SAW berijtihad untuk menetapkan hukum suatu
masalah, atau jawaban suatu pertanyaan atau memenuhi permintaan fatwa hukum.
Hasil ijtihad Rasulullah SAW ini menjadi hukum dan undang-undang yang wajib
diikuti. Cara ijtihad yaitu dengan tidak turunnya ayat al-Qur’an, Nabi
berkeyakinan bahwa pemecahan hukum peristiwa itu diserahkan/diwakilkan
kepadanya. Maka beliau segera berijtihad berdasarkan undang-undang Ilahi,
kemaslahatan atau bermusyawarah dengan para sahabat.
Hukum-hukum yang
bersifat ijtihadiyah tersebut sebagai hasil pengilhaman Allah SWT kepadanya.
Rasul tidak mempunyai otoritas di dalamnya, melainkan hanya pengungkapan saja
baginya dalam bentuk sabda atau perbuatan (qauliyah atau fi’liyah).
Sedangkan hukum-hukum yang bersifat ijtihadiyah yang bukan hasil pengilhaman
Allah kepadanya, melainkan semata-mata timbul dari hasil daya analisa dan daya
nalar pemikiran beliau itu dinamai ahkam Nabawi (hukum-hukum Nabawi).[5][5]
Para ulama
berkhtilaf tentang ijtihad Nabi Muhammad SAW terhadap sesuatu yang tidak ada nash
hukumnya dari Allah SWT. Sebagian ulama Asy’ariyah dan kebanyakan ulama
Mu’tazilah berpendapat bahwa Nabi Muahammad SAW tidak boleh melakukan ijtihad
terhadap sesuatu yang tidak ada ketentuan nash, yang berhubungan tentang
amaliah halal dan haram, sedangkan ulama ushul seperti Abu Yusuf
al-Hanafi dan al-Syafi’i membolehkannya. Sebagian sahabat, al-Syafi’i, al-Qadhi
‘Abd al-Jabar, dan Abu Hasan al-Bashri berpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW
melakukan ijtihad dalam perang bukan dalam bidang hukum .
Menurut sebagian
ulama, Nabi Muhammad SAW tidak berijtihad sebab perkataan, perbuatan, dan
ketetapannya adalah Al-Sunnah karena ini sumber hukum Islam kedua setelah
Alqur’an dan juga berdasarkan firman Allah swt :
$tBur
ß,ÏÜZtƒ
Ç`tã
#“uqolù;$#
ÇÌÈ
÷bÎ)
uqèd
žwÎ)
ÖÓórur
4Óyrqãƒ
ÇÍÈ
Artinya : “Dan tiadalah
yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. al-Najm : 3 – 4)
Ikhtilaf di atas tersebut
menimbulkan berbagai komentar antara lain dari ulama Mesir, Muhammad Salam
Madkur mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan ijtihad dalam urusan
keduniaan seperti ijtihad beliau dalam mengatur strategi perang. Sedangkan
menurut Ibn Taimiyah dan Ibn Hazm, Ibn Khaldun dan al-Kamal ibn al-Hamam
berpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan ijtihad menyangkut shalat. Salah
satu contohnya adalah ijtihad beliau tentang panggilan dan pemberitahuan untuk
melaksanakan shalat. Sebagian sahabat menganjurkan bahwa sebaiknya menggunakan
lonceng seperti lonceng Nashara, sebagian lagi menganjurkan menggunakan terompet
seperti terompet Yahudi. Kemudian Umar bertanya kepada Rasulullah SAW, “mengapa
Tuan tidak mengutus seseorang untuk mengajak shalat..?” Nabi Muahammad saw
bersabda: “hai Bilal, berdirilah dan ajaklah shalat”.
C.
Asas-Asas Tasyri’
Dalam Al-Qur’an
Asas berarti dasar
(sesuatu yang menjadi tumpuan
berpikir atau berpendapat.[6][6] Asas-asas tasyrik
yang terdapat dalam Al-qur’an antara lain :
1. Bersifat Universal
Dalam Al-qur’an penetapan hukumnya bersifat universal dan menyeluruh kepada
seluruh umat manusia. Meskipun disebutkan untuk golongan tertentu seperti orang
yang beriman contohnya, tetapi tidak disebutkan secara khusus orangnya yang
mana hanya secara umum/universal kepada orang yang beriman.
2. Bersifat umum
Umum disini maksudnya adalah bahwa di dalam Al-qur’an penetapan hukumnya
sebagaian besar masih secara umum tanpa terperinci aturan di dalamnya. Perlu
adanya penafsiran kembali dan pemahaman kembali untuk megetahui hukum yang
pasti dari sebuah dalil Al-Qur’an. Pada masa Rosul maka Rosulullah adalah orang
yang memiliki tugas memberikan penjelasan dari ayat Al-qur’an yang belum jelas
tersebut.
3. Tidak Memberatkan
Dalam penetapan hukum, Al-qur’an tidak pernah memberatkan dan menyusahkan
umt manusia, oleh karena itu hukum tidak membebankan di luar kemampuan manusia.
Semua penetapan hukum sudah dirancang oleh Allah agar manusia tidak keberatan
terhadap hukum yang diberikan Allah kepada umat manusia.
4. Tidak memperbanyak Tuntutan
Di dalam al-qur’an azas penentuan hukum dalam urusan syar’i tidak
memperbanyak tuntutan itu dapat dibuktikan bahwa dari beribu-ribu ayat dalam
Al-qur’an, ayat-ayat yang membahas masalah hukum hanya sekitar 200 ayat saja.
5. Berangsur-angsur
Azas yang diberikan oleh Al-qur’an dalam penetapan hukum adalah berangsur-angsur
dalam penetapan hukumnya. Itu dimaksudkan agar umat manusia tidak merasa
keberatan dalam pelaksanaannya, juga dimaksudkan agar penetapan hukum tersebut
lebih mengena terhadap sasaran yang akan tercapai.
6. Bersifat Elastis
Penetapan hukum Islam bermaksud agar penetpan hukum disesuaikan dengan
perkembangan zaman. Jadi Hukum Islam akan senantiasa sesuai dengan perkembangan
zaman. Menurut Abdul Wahhab Khallaf yang ditulis kembali oleh KH. Khalil Munawwar dalam
bukunya Kembali Kepada Alquran Dan Sunnah [7][7] menjelaskan bahwa “ahkam” yang
terkandung dalam Al-quran adalah sebagai berikut:
a.
Hukum Keyakinan (ahkam al-i’tiqodiyyah),
yaitu kewajiban bagi mukallaf untuk percaya kepada Allah SWT, malaikat,
kitab-kitab-Nya, para Rosul-Nya, dan hari kiamat.
b.
Hukum Akhlak (ahkam al
khuluqiyyah), yaitu kewajiban bagi mukallaf untuk berbuat kebaikan
sebanyak-banyaknya dan menjauhkan diri dari kejelekan.
c.
Hukum Amaliah (ahkam
al-‘amaliyyah), yaitu kewajiban bagi mukllaf baik dalam perkataan,
perbuatan maupun dalam tasharrufat. Inilah menurut Abdul Wahhab Khallaf, yang
disebut Fiqih Al-quran.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masa pembentukan
undang-undang/hukum yang sempurna. Periode rasul yang berlangsung kurang 23
tahun terbagi menjadi dua periode yaitu:
1.
Periode Makkah, Periode
Makkah berlangsung selama 12 tahun lima bulan tiga puluh hari terhitung mulai
dari 17 Ramadhan tahun 41 sampai bulan Rabiul Awal tahun 45 dari tahun
kelahiran Nabi. Semenjak beliau diangkat
sebagai Rasul sampai waktu hijrahnya ke Madinah.
2.
Periode Medinah, terhitung waktunya mulai dari Nabi
hijrah ke Madinah sampai wafatnya
Pada periode Rasulullah SAW
hanya ada 2 sumber hukum (perundang-undangan) yaitu wahyu Ilahi (al-Qur’an),
dan Sunnah Rasulullah serta ditambah
dengan ijtihad Rasulullah SAW sendiri.
Asas-asas tasyri’ yang terdapat dalam Al-qur’an antara lain :
1)
Bersifat Universal
2)
Bersifat umum
3)
Tidak Memberatkan
4)
Tidak memperbanyak Tuntutan
5)
Berangsur-angsur
6)
Bersifat Elastis
B. Saran
Dalam mempelajari tentang penetapan hukum pada masa Nabi ini kita lebih
ditekankan untuk menyembah Allah dengan memantapkan rasa ketauhidan, serta
menanamkan akhlak-akhlak mulia agar memudahkan jiwa untuk dapat menerima segala
bentuk pelaksanaan syariat Islam sebaik-baiknya dan mengamalkan isi Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Wahab Khallaf, 2002, Sejarah
Pembentukan & Perkembangan Hukum
Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Pesada.
Ebta Setiawan, 2010, Kamus Besar Bahasa
Indonesia offline, versi. 1.1, Pusat Bahasa.
Khalil
Munawwar, 1998, Kembali
Kepada Alquran dan Sunnah, cet.V.
Jakarta: Bulan Bintang.
Rasyad Hasan Khalil, 2009, TARIKH
TASYRI’ Sejarah Legislasi Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Yayan
Sopyan, 2010, TARIKH TASYRI’ (Sejarah Pembentukan Hukum Islam), Depok:
Gramata Publising.
[1][1]Rasyad Hasan Khalil, TARIKH
TASYRI’ Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika Offset,
2009), hlm. 46-47
[2][2]Prof. Dr. Abdul Wahab
Khallaf, Sejarah Pembentukan &
Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Pesada, 2002), hlm. 17
[5][5]Dr. Yayan Sopyan, M.Ag., TARIKH
TASYRI’ (Sejarah Pembentukan Hukum Islam), (Depok: Gramata Publising,
2010), hlm. 54
[7][7]Khalil Munawwar. Kembali
Kepada Alquran dan Sunnah,
cet.V. (Jakarta: Bulan Bintang, 1998). hlm. 57.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !