BAB
I
PENDAHULUAN
Untuk memberikan formulasi
pengertian asuransi syariah, tidak ada salahnya penulis mengemukakan pengertian
asuransi secara umum. Kata asuransi berasal dari bahasa Inggris, insurance.
Insurance mempunyai pengertian: (a)
asuransi, dan (b) jaminan. Kata asuransi dalam bahasa indonesia telah diadopsi
ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan padanan kata pertanggungan.
Asuransi dimaksud, menurut Wirjono Prodjodikoro adalah suatu persetujuan pihak
yang menjamin dan berjanji kepada pihak yang dijamin, untuk menerima sejumlah
uang premi sebagai pengganti kerugian, yang mungkin akan diderita oleh yang
dijamin karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas.
Pengertian asuransi diatas, akan
lebih jelas bila dihubungkan dengan Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(KUHD) yang menjelaskan bahwa asuransi adalah "suatu perjanjian, dengan
mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan
suatu premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian,
kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan
dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu."[1]
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pendapat Ulama Yang
Mengharamkan
Pertama, pendapat Syaikh Ibnu Abidin dari Madzhab
Hanafi:
Orang yang pertama kali berbicara
tentang asuransi di kalangan ahli fiqih Islam adalah Muhammad Amin Ibnu Umar,
yang terkenal dengan sebutan Ibnu Abidin Addimasyqi. Dia adalah tokoh ulama
dari aliran Hanafiyah yang mempunyai banyak karya Ilmiah yang tersebar di Dunia
Islam (1784-1836).
Menurut Syaikh Ibnu Abidin, tidak
boleh (tidak halal) bagi si pedagang itu mengambil uang pengganti dari
barang-barangnya yang telah musnah, karena yang demikian itu iltizamu ma lam
yalzam "mewajibkan sesuatu yang tidak lazim/wajib.". Dengan
ungkapan inilah, sehingga Ibnu Abidin dianggap orang pertama di kalangan fuqaha
yang membaha masalah asuransi.
Kedua, pendapat Syekh Muhammad Bakhit Almuthi'ie,
Mufti Mesir (1854-1935).
Dalam kitabnya Risalah ahkam
as-Sukurtah yang diterbitkan oleh Jami'iyah al-Azhar Al-Ilmiyah, 1310 H.
Syekh Bakhit mengungkapkan bahwa dari sebagian ulama penduduk kota Slanik
(Semenanjung Balkan) menyampaikan kepadanya pertanyaan sekitar penempatan
seorang muslim akan harta bendanya di bawah penjaminan suatu perusahaan yang
bernama Qumbaniyah as-Sukuriyah dengan membayar sejumlah uang kepada
perusahaan itu.
Kemudian ia menjawab,
"Menurut hukum syara', jaminan atas harta benda adakalanya dengan
tanggungan (kafalah) atau dengan jalan ta'addy/itlaf.
Adapun jaminan dengan jalan kafalah dalam persoalan ini tidaklah terjadi. Pasalnya, persyaratan kafalah ialah adanya al-makfulu
bihi, utang yang benar tidak jatuh
disebabkan pelunasan atau pembebasan; atau benda yang dieprtanggungkan dirinya.
Bahkan al-makfulu anhu wajib menyerahkan bendanya itu sendiri untuk
al-makfulu lahu. Kalau benda itu musnah, maka digantinya
dengan benda semacamnya atau dengan harganya. Dan yang menjadi prinsip dalam
hal ini ialah firman Allah surat Yusuf ayat 72: Siapa yang dapat mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan
(seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.
Adapun
penjaminan dengan ta'addy/itlaf suatu tindakan melawan hukum atau perusakan,
maka yang menjadi prinsip dalam hal ini firman Allah surat al-Baqarah ayat 194:
ãök¤¶9$# ãP#tptø:$# Ìök¤¶9$$Î/
ÏQ#tptø:$#
àM»tBãçtø:$#ur ÒÉ$|ÁÏ% 4 Ç`yJsù
3ytGôã$# öNä3øn=tæ (#rßtFôã$$sù Ïmøn=tã
È@÷VÏJÎ/
$tB 3ytGôã$# öNä3øn=tæ 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur
¨br& ©!$# yìtB tûüÉ)FßJø9$# ÇÊÒÍÈ
Artinya: "Bulan
Haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, Berlaku hukum
qishaash. oleh sebab itu Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia,
seimbang dengan serangannya terhadapmu. bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Baqarah:
194)
Perusahaan tidak melakukan ta'addy/itlaf atas harta orang
tersebut. Bahkan, harta benda itu musnah disebabkan takdir semata. Seandainya
ada orang yang merusakkannya, maka penjaminan itu harus dibebankan atas orang
yang berbuat melakukan tindakan melawan hukum atau melakukan perusahaan itu,
bukan kepada orang lain. Maka, dari jalan ini, penjaminan perusahaan itu tidak
tepat.
Ketiga, Syekh Muhammad al-Ghazali, ulama dan tokoh
haraki dari Mesir.
Dalam kitabnya Al-Islam wal Munaahiji
al-Isytiraakiyah (Islam dalam Pokok-Pokok Ajaran Sosialisme) ia menyatakan bahwa
asuransi itu mengandung riba, karena beberapa hal:
1. Apabila
waktu perjanjian telah habis, maka uang premi dikembalikan kepada terjamin
dengan disertai bunganya dan ini adalah riba
2. Ganti
kerugian yang diberikan kepada terjamin pada waktu terjadinya peristiwa yang
disebutkan di dalam polis, juga tidak dapat diterima oleh syara'
3. Maskapai
asuransi dalam kebanyakan usahanya, menjalankan pekerjaan riba (pinjaman
berbunga, dan lain-lainnya)
4. Perusahaan
asuransi di dalam usahanya mendekati pada usaha lotere, di mana hanya
sebagian kecil dari yang membutuhkan dapat mengambil manfaat.
5. Asuransi
dengan arti ini merupakan salah satu alat untuk berbuat dosa.
Keempat, Syekh Muhammad Yusuf al-Qaradhawi, Ulama dan
Dai terkemuka di dunia Islam saat ini, Guru Besar Universitas Qatar.
Al-Qaradhawi dalam kitabnya al-Halal
wal Haram fil Islam (Halal dan Haram Dalam Islam)
mengatakan bahwa asuransi (konvensional) dalam praktik sekarang ini
bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Ia menontohkan dalam
asuransi kecelakaan, yaitu seoarang anggota membayar sejumlah uang (x rupiah
misalnya) setiap tahun. Apabila dia bisa lolos dari kecelakaan, maka uang
jaminan itu hilang (hangus). Sedangkan, si pemilik perusahaan akan menguasai
sejumlah uang tersebut dan sedikit pun ia tidak mengembalikannya kepada anggota
asuransi itu. Tetapi bila terjadi suatu kecelakaan, maka perusahaan akan
membayar sejumlah uang yang telah diperjanjikan bersama.
Dan masih
banyak lagi ulama yang mengatakan bahwa asuransi itu hukumnya haram dan tidak
boleh dilakukan, diantaranya:
1.
Syekh Abu Zahro,
ulama fiqih termasyhur dan banyak menulis karya ilmiah tentang hukum Islam.
2.
Dr. Muhammad
Muslehuddin, Guru Besar Hukum Islam Universitas London
3.
Prof. Dr. Wahbah
az-Zuhaili, ulama ahli fiqih, Guru Besar Universitas Damaskus Syria
4.
Dr. Husain Hamid
Hisan, ulama dan cendekiawan muslim dari
Universitas al-Malik Abdul Aziz Mekah al-Mukarramah
5.
Prof. KH. Ali Yafie,
mantan Ketua MUI, mantan Rais Am NU, Guru Besar Ilmu Fiqih, salah satu ulama
yang sangat independen pendapatnya di Indonesia dan berperan besar dalam proses
pendirian BMI dan Asuransi Takaful, bank dan asuransi syariah pertama di
Indonesia.
6.
Pandangan-Pandangan
ulama yang dituangkan dalam pendapat lembaga Internasional maupun nasional,
muktamar atau fatwa oleh majelis, majma', dan atau ormas Islam.[2]
B. Pendapat Ulama yang
Menghalalkan
Pertama, Syekh Abdur Rahman Isa.
Syekh Abdur Rohman Isa adalah
salah seorang Guru Besar Universitas Al-Azhar. Dengan tegas ia menyatakan bahwa
asuransi merupakan praktek muamalah gaya baru yang belum dijumpai imam-imam
terdahulu, demikian juga para sahabat Nabi. Pekerjaan ini menghasilkan
kemaslahatan ekonomi yang banyak. Ulama telah menetapkan bahwa kepentingan umum
selaras dengan hukum syara' patut diamalkan.
Oleh karena asuransi menyangkut kepentingan umum, maka halal menurut
syara'.
Kedua, Prof. Dr. Muhammad Yusuf Musa (Guru Besar
Universitas Kairo).
Yusuf Musa mengatakan bahwa
asuransi bagaimanapun bentuknya merupakan koperasi yang menguntungkan
masyrakat. Asuransi jiwa menguntungkan nasabah sebagaimana halnya menguntungkan
perusahaan yang mengelola asuransi. Ia mengemukakan pandangan bahwa sepanjang
dilakukan bersih dari riba, maka asuransi hukumnya boleh. Dengan pengertian,
apabila nasabah maih hidup menurut jangka waktu yang ditentukan dalam polis,
maka dia meminta pembayaran kembali, hanya sebesar premi yang pernah
dibayarkan, tanpa ada tambahan. Tetapi manakala sang nasabah meninggal sebelum
batas akhir penyetoran premi, maka ahli warisnya berhak menerima nilai
asuransi, sesuai yang tercantum dalam polis, dan ini halal menurut ukuran
syara'.
Ketiga, Syekh Abdul Wahab Kholaf, Guru Besar Hukum
Islam Universitas Kairo.
Ia mengatakan bahwa asuransi itu
boleh sebab termasuk akad mudharabah. Akad mudharabah dalam syariat Islam ialah
perjanjian persekutuan dalam keuntungan, dengan modal yang diberikan oleh satu
pihak dan dengan tenaga di pihak yang lain. Demikian pula dalam asuransi, orang
yang berkongsi (nasabah), memberikan hartanya dengan jalan membayar premi,
sementara dari pihak lain (perusahaan asuransi) "memutarkan" harta
tadi, sehingga dapat menghasilkan keuntungna timbal balik, baik bagi para
nasabah maupun bagi perusahaan, sesuai dengan perjanjian mereka. Dalam hubungna
ini, ada yang memandang bahwa pembagian keuntungan yang dilakukan oleh
perusahaan asuransi dengan menetapkan (bunga teknik) sebesar misalnya 3% atau
4% (di Indonesia biasanya sekitar 7-9%) adalah mudharabah yang tidak sah.
Keempat, Prof. Dr. Muhammad Al-Bahi, Wakil Rektor
Universitas al-Azhar Mesir.
Dalam kitabnya Nidlomut Ta'min
fi Hadighi Ahkamil Islam wa Dlarurotil
Mujtamil Mu'ashir, ia berpendapat bahwa asuransi itu hukumnya halal
karena beberapa sebab.
1. Asuransi merupakan suatu usaha
yang bersifat tolong menolong
2. Asuransi mirip dengan akad
mudharabah dan untuk mengembangkan harta benda
3. Asuransi tidak mengandung unsur
riba
4. Asuransi tidak mengandung tipu
daya
5. Asuransi tidak mengurangi tawakal
kepada Allah
6. Asuransi suatu usaha untuk
menjamin anggotanya yang jatuh melarat karena suatu musibah
7. Asuransi memperluas lapangan
kerja baru.
Dan masih banyak lagi ulama yang
menjelaskan tentang bolehnya melakukan asuransi, diantaranya;
1. Ustadz Bahjah Ahmad Hilmi,
Penasehat Pengadilan Tinggi Mesir.
2. Syaikh Muhammad Dasuki
3. Dr. Muhammad Najatullah Shiddiq,
berkebangsaan India, Pengajar Universitas King Abdul Aziz
4. Syaikh Muhammad Ahmad, MA, LLB,
Sarjana dna Pakar Ekonomi Pakistan.
5. Syaikh Muhammad al-Madni, seorang
ulama yang cukup dikenal di al-Azhar Kairo.
6. Prof. Mustofa Ahmad az-Zarqa,
Guru Besar Universitas Syiria, cukup produktif dalam menulis seputar ekonomi
Islam.[3]
C. Konsep At-Ta'min (Asuransi)
Dalam Literatur Fiqih
Dalam literatur fiqih klasik
diangkat beberapa konsep yang mengarah kepada konsep At-Ta'min (asuransi)
yang menurut penelitian para pakar perundang-undangan Islam dapat dijadikan
dasar dalam mengakomodir konsep asuransi yang berdasarkan syariah Islam,
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Al-'aqidah, saling memikul atau
bertanggung jawab untuk keluarganya.
2. Al-Muwalat, perjanjian jaminan.
3. Al-qasamah. Konsep perjanjian ini
juga berhubungan dengan jiwa manusia.
4. At-tanahud. Makanan yang
dikumpulkan dari para peserta safar kemudian dicampur jadi satu.
5. Al-'umra
6. Aqd-al-hirasah. Kontrak pengawal
keselamatan.
7. Dhiman khatr tariq, kontrak ini
merupakan jaminan keselamatan lalu lintas.
8. Al-wadi'ah biujrin, dalam kontrak
wadiah ini jika kerusakan pada barang ketika dikembalikan, pihak penerima
wadiah wajib menggantinya, karena ketika menitipkan, pihak penitip telah membayar
sejulah uang kepada tempat penitipan.
9. Nizam at-taqaud. Sistem pensiun
yang sudah lama berjalan di dunia Islam.[4]
D. Dasar Hukum Pendirian Asuransi
1. Perintah Allah untuk
mempersiapkan hari depan
$pkr'¯»t úïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# öÝàZtFø9ur Ó§øÿtR $¨B
ôMtB£s%
7tóÏ9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 ¨bÎ) ©!$# 7Î7yz $yJÎ/
tbqè=yJ÷ès?
ÇÊÑÈ
Artinya: "Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa
yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan."
(QS. Al-Hasyr: 18)
2. Firman Allah tentang
prinsip-prinsip bermuamalah
$ygr'¯»t úïÏ%©!$#
(#þqãYtB#uä
(#qèù÷rr& Ïqà)ãèø9$$Î/ 4 ôM¯=Ïmé& Nä3s9
èpyJÍku5 ÉO»yè÷RF{$# wÎ) $tB 4n=÷Fã öNä3øn=tæ uöxî Ìj?ÏtèC Ïø¢Á9$# öNçFRr&ur
îPããm 3 ¨bÎ) ©!$# ãNä3øts $tB ßÌã ÇÊÈ
Artinya: "Hai orang-orang yang
beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali
yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan
berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan
hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya". (QS. Al-Maidah: 1)
3. Perintah Allah untuk saling
bertanggung jawab
Dalam praktek asuransi syariah
baik yang bersifat mutual maupun bukan, pada prinsipnya para peserta bertujuan
untuk saling bertanggung jawab. Sementara itu, dalam Islam, memikul tanggung
jawab dengan niat baik dan ikhlas adalah suatu ibadah. Hal ini dapat kita lihat
dalam hadits nabi berikut:
"Kedudukan persaudaraan
orang yang beriman satu dengan yang lainnya ibarat satu tubuh. Bila salah satu
anggota tubuh sakit, maka akan dirasakan sakitnya oleh seluruh anggota tubuh
lainnya" (HR Bukhari dan Muslim)
4. Perintah Allah untuk saling
bekerja salam dan bantu-membantu
¢ (#qçRur$yès?ur
n?tã
ÎhÉ9ø9$# 3uqø)G9$#ur ( wur (#qçRur$yès?
n?tã
ÉOøOM}$#
Èbºurôãèø9$#ur
Artinya: "Tolong-menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran."
(QS. Al-Maidah: 2)
5. Perintah Alalh untuk saling
melindungi dalam keadaan susah
üÏ%©!$#
OßgyJyèôÛr&
`ÏiB 8íqã_
NßgoYtB#uäur ô`ÏiB ¤$öqyz ÇÍÈ
Artinya: "Yang telah memberi
makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari
ketakutan." (QS. Al-Quraisy: 4)
6. Hadits Nabi saw tentang prinsip
bermuamalah
'Ada tiga hal yang mengandung
berkah; jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur
gandum dengan jawawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.' (HR.
Ibnu Maajah dari Shuhaib).
7. Kaidah-Kaidah fiqih tentang
muamalah
"Pada dasarnya semua
bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya"
"Menghindarkan mafsadat
(kerusakan/bahaya) harus didahulukan atas mendatangkan kemaslahatan"[5]
E. Fatwa-Fatwa Kontemporer
Tentang Asuransi
Apakah dibolehkan asuransi perdagangan?
Tidak dibolehkan mengikuti
asuransi pada perusahaan asuransi yang tidak islami (perusahaan asuransi
konvensional) setelah semain banyaknya perusahaan asuransi islami dan
perusahaan reinsurance islami yang sudah dibuka dewasa ini. Karena, umat
tidak lagi berkepentingan untuk mengasuransikan usaha mereka kepada perusahaan
asuransi konvensional. Atau dengan kata lain, hilang sudah keadaan darurat atau
kebutuhan mendesak umat untuk bergabung dengan perusahaan asuransi yang tidak
islami. Sumber Fatwa: Seminar "Al-Baqarah" VII (Fatwa no. 3).
Apakah dibolehkan mengasuransikan barang dagang
dengan berbagai macam jenis asuransi yang biasa ditawarkan oleh perusahaan
asuransi konvensional (pada saat tidak ditemukan perusahaan asuransi islami
pada sebuah negara)?
Sebagian ahli fiqih modern
membolehkan mengasuransikan seluruh barang dagang kepada perusahaan
konvensional dari bahaya yang kerap dialami barang tersebut seperti asuransi
bahaya kebakaran, kerusakan, dan pencurian, sampai dibukanya perusahaan
asuransi islami. Dibolehkannya hal ini disebabkan adanya kebutuhan dan
kepentingan yang memaksa untuk melampaui hal yang syubhat dalam perusaaan
asuransi konvensional seperti riba, spekulasi, perjudian dan sebagainya. Sumber
Fatwa: (Dewan Fatwa dan Pengawas Syariah Bank Dubai, Majalah Al-Iqtishad
al-Islami, edisi 151).
Bolehkah asuransi mobil dan barang lainnya yang
biasa dilakukan oleh perusahaan asuransi?
Asuransi mobil, sebagaimana yang
kami ketahui, asuransi ini sangat memperhatikan besar kecilnya uang ganti rugi
yang disesuaikan dengan besar kecilnya bahaya yang akan terjadi. Orang yang
mengasuransikan mobilnya kepada perusahaan asuransi tidak akan mendapatkan uang
ganti rugi keuali sejumlah uang yang kurang dari nilai maksimal perhitungan
bahaya yang terjadi atau sejumlah uang ganti rugi maksimal yang sudah tertera
dalam policy perjanjian transaksi. Dalam bentuk ini, kami tidak
menemukan adanya unsur kecurangan. Wa Allahu A'lam. (Catatan: lihat kembali
pertanyaan no. 1 dan 2). Sumber Fatwa: (Fatwa asy-Syar'iyah fi
Masa'il Al-Iqtishadiyah. Fatwa-fatwa syariah dalam permasalahan ekonomi.
Bait at-Tamwil Kuwait, fatwa no. 256).
Apa sikap syariat terhadap asuransi jiwa?
Bnetuk policy uncoorperative asuransi
jiwa dengan cicilan tetap yang ada pada saat itu, termasuk dalam jenis akad
spekulatif. Akad cacat (fasid) jenis ini tidak dibenarkan oleh hadits
Nabi:
"orang muslim berhak
menentukan sendiri syarat-syarat tertentu dalam berinteraksi, kecuali syarat
yang menghalalkan suatu yang haram atau mengharamkan suatu yang halal?" (HR. Tirmidzi).
Orang Islam tidak dibenarkan
menjalankan transaksi atas dasar akad pernjanjian yang rusak ataupun cacat,
karena setiap penghasilan yang didapat dari jalan yang tidak baik adalah haram.
Sumber Fatwa: Syekh Jadil Haq Ali Jadil Haq-Syaikh besar al-Azhar
University 9majalah al-Iqtishad al-Islami, edisi 171)[6]
BAB
III
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah tersebut
diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa, banyak perbedaan dari para ulama
dalam menentukan hukum asuransi ada yang mengatakan boleh dan ada juga yang
mengatakan haram. Diantara ulama yang mengatakan asuaransi itu haram antara
lain:
- Syaikh Ibnu Abidin dari Madzhab Hanafi
- Syekh Muhammad Bakhit Almuthi'ie, Mufti Mesir (1854-1935).
- Syekh Muhammad al-Ghazali, ulama dan tokoh haraki dari Mesir.
- Syekh Muhammad Yusuf al-Qaradhawi, Ulama dan Dai terkemuka di dunia Islam saat ini, Guru Besar Universitas Qatar.
- Syekh Abu Zahro, ulama fiqih termasyhur dan banyak menulis karya ilmiah tentang hukum Islam.
- Dr. Muhammad Muslehuddin, Guru Besar Hukum Islam Universitas London
7.
Prof. Dr. Wahbah
az-Zuhaili, ulama ahli fiqih, Guru Besar Universitas Damaskus Syria
8.
Dr. Husain Hamid
Hisan, ulama dan cendekiawan muslim dari
Universitas al-Malik Abdul Aziz Mekah al-Mukarramah
9.
Prof. KH. Ali Yafie,
mantan Ketua MUI, mantan Rais Am NU, Guru Besar Ilmu Fiqih, salah satu ulama
yang sangat independen pendapatnya di Indonesia dan berperan besar dalam proses
pendirian BMI dan Asuransi Takaful, bank dan asuransi syariah pertama di
Indonesia.
10. Pandangan-Pandangan ulama yang dituangkan dalam pendapat
lembaga Internasional maupun nasional, muktamar atau fatwa oleh majelis,
majma', dan atau ormas Islam.
Kemudian diantara para ulama yang
mengatakan bahwa asuransi itu halal, diantaranya adalah sebagai berikut:
- Syekh Abdur Rahman Isa
- Prof. Dr. Muhammad Yusuf Musa (Guru Besar Universitas Kairo).
- Syekh Abdul Wahab Kholaf, Guru Besar Hukum Islam Universitas Kairo.
- Prof. Dr. Muhammad Al-Bahi, Wakil Rektor Universitas al-Azhar Mesir.
- Ustadz Bahjah Ahmad Hilmi, Penasehat Pengadilan Tinggi Mesir.
- Syaikh Muhammad Dasuki
7. Dr. Muhammad Najatullah Shiddiq,
berkebangsaan India, Pengajar Universitas King Abdul Aziz
8. Syaikh Muhammad Ahmad, MA, LLB,
Sarjana dna Pakar Ekonomi Pakistan.
9. Syaikh Muhammad al-Madni, seorang
ulama yang cukup dikenal di al-Azhar Kairo.
10. Prof. Mustofa Ahmad az-Zarqa,
Guru Besar Universitas Syiria, cukup produktif dalam menulis seputar ekonomi
Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhammad Syakir Sula,
Asuransi Syariah Konsep dan Sistem Operasional. Gema Insani,
Jakarta. 2004
Zainuddin Ali, Hukum Asuransi Syariah, Sinar Grafika. Jakarta.
2008
terimakasih dah share bang. sangat bermanfaat untuk menambah referensi. salam
ReplyDelete