Headlines News :

Lomba Blog BPJS Ketenagakerjaan

Home » » Konsep Aswaja Menurut NU

Konsep Aswaja Menurut NU


BAB I
PEMBAHASAN

Menurut sejarah, dinyatakan bahwa, aswaja NU pertama kali dicetuskan oleh kelompok Taswirul Afkar (potret pemikiran) pimpinan KH. Wahab Hasbullah, cikal bakal NU di Surabaya. Dalam Qanun Asasi NU sendiri, KH. Hasyim Asy’ari tidak mengemukakan secara eksplisit definisi ‘aswaja’ sebagaimana difahami selama ini. Melainkan hanya menekankan mengenai keharusan warga ‘aswaja’ untuk berpegang teguh kepada madzhab fiqih yang empat. Sedangkan rumusan ‘aswaja’ sebagai faham yang mengikuti Al-Asy’ari dan Al-Maturidi (Aqidah), empat madzhab dalam bidang fiqih, dan mengikuti Imam Ghazali dan Imam Junaid, baru dikemukakan oleh KH. Bisri Musthafa (Rembang-Jateng). Dan Konsep aswaja ini diambil dari kitab Al-Kawakib Al-Lama’ah, karya KH. Abu Fadhal, Senori,Tuban, yang kemudian disahkan dalam Muktamar NU, di Solo tahun 1962, dan difinalkan oleh para kyai besar NU yang saat itu dengan tim editornya antara lain, KH. Bisri Sansuri (Denanyar, Jombang), dan KH. Turaichan Adjhuri (Kudus).[1]                   
Sebagaimana diketahui, bahwa NU adalah sebuah organisasi yang bergerak di bidang keagamaan, dakwah, sosial yang berhaluan Ahlusunnah wa al- Jama’ah dengan mengikuti:
1.      Di bidang Ilmu Aqidah (Kalam), mengikuti faham Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi.
2.      Di bidang Fiqih, mengikuti salah satu dari madzhab empat yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali.
3.      Di bidang tasawuf, mengikuti faham Imam Ghazali, Imam Junaid al-Baghdadi dan lain-lain.

1.      Bidang Aqidah (Kalam)
Umat Islam di Indonesia yang merupakan penduduk muslim terbesar di dunia, di bidang aqidah, pada umumnya  menganut ajaran Imam Al-Asy’ari, kemudian Imam Al-Maturidi. Kedua tokoh ini terkenal dengan pemikirannya yang moderat, menengahi aliran Jabariyyah yang berfaham fatalis dan qadari yang berfaham free will-free act seperti Mu’tazilah dan Syi’ah.
Memang dalam perjalanannya, Muktazilah telah mendapatkan tantangan besar dalam mengembangkan pemikiran teologinya. Sehingga dalam dekade berikutnya telah mengalami penurunan. Tantangan tersebut berasal dari tokoh ‘aswaja’ yaitu Imam Asy’ari di Baghdad,  dan Imam Maturidi di Samarkand. Ini bisa dilihat dari persamaan pemikiran dari kedua tokoh ini, seperti, Tuhan dapat dilihat di akhirat, Kalam Tuhan Qadim,  adanya Sifat Tuhan, Syafa’at, Hukum orang mukmin melakukan dosa besar, adanya siksa kubur, Telaga Kautsar, dan lain-lain, yang semua ini bertentangan dengan paham Mu’tazilah.
Meskipun keduanya adalah tokoh sentral ajaran ahlu sunnah wa al-Jama’ah yang banyak persamaan dalam pemikiran teologi, tetapi juga ada perbedaan antara keduanya. Misalnya, Al-Asy’ari pengikut madzhab Imam Syafi’i, sedangkan Al-Maturidi pengikut Imam Hanafi. Kemudian dalam masalah perbuatan manusia misalnya, Al-asy’ari menyatakan bahwa perbuatan manusia tidaklah diwujudkan oleh manusia saja, tetapi juga diciptakan oleh Alllah. Sementara Al-Maturidi berpandangan sebaliknya, bahwa  manusialah yang mewujudkan perbuatan-perbuatan itu, tetapi hakikatnya tetap dari Allah SWT. Namun demikian, kedua tokoh ini lahir bertujuan untuk membendung paham Mu’tazilah.
Dua Imam yang agung ini (Al-Asy’ari dan Al-Maturidi), telah menjelaskan ajaran ‘aswaja’ yang diyakini para sahabat Nabi SAW dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan mengemukakan dalili-dalil naqli (Al-Qur’an dan Al-Hadits) dan aqli (dalil rasional) dengan bantahan-bantahan terhadap syubhah-syubhah (sesuatu yang dilontarkan untuk mengaburkan hal yang sebenarnya) golongan Muktazilah.  Jalan yang ditempuh oleh Al-Asy’ari dan Al- Maturidi dalam pokok-pokok akidah adalah sama dan satu, sehingga ahlusunnah waljama’ah dinisbatkan terhadap keduanya. Mereka (kelompok ahlusunnah) akhirnya dikenal dengan nama Asy’ariyyah (para pengikut Al-Asy’ari), dan Maturidiyyah (para pengikut Al-Maturidi). Dan mereka adalah ratusan juta umat, golongan mayoritas. Pengikutnya banyak dari kalangan madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan orang-orang utama dari kalangan madzhab Hanbali (Fudhala’ al-Hanabilah). Sementara Rasulullah SAW sendiri telah memberitahukan bahwa mayoritas umatnya tidak akan sesat.
Adapun perbedaan mendasar pemikiran Al-Asy’ari dan Muktazilah adalah terletak pada kekuatan akal. Sebagaimana kita ketahui bahwa Muktazilah sangat mengagung-agungkan akal, dan berpendapat bahwa ‘akal’ manusia dapat sampai kepada dua ajaran dasar dalam agama, yaitu adanya Tuhan dan masalah kebaikan dan kejahatan. Setelah sampai kepada adanya Tuhan, dan apa yang disebut dengan baik dan jahat. ‘Akal’ manusia dapat pula mengetahui kewajibannya terhadap Tuhan, dan kewajibannya untuk berbuat baik dan kewajiban untuk menjahui dari perbuatan jahat. Adapun status wahyu dalam ‘empat’ hal ini hanya untuk memperkuat pendapat ‘akal’ dan untuk memberi perincian tentang apa-apa yang telah diketahuinya itu.
Al-Asy’ari beserta pengikutnya (Asy’ariyyah), berpendapat bahwa ‘akal’ tidak begitu besar daya kekuatannya. Dan dalam ‘empat’ masalah di atas, ‘akal’ hanya sampai kepada adanya Tuhan. Sedangkan masalah kewajiban manusia terhadap Tuhan, perbuatan baik dan jahat, kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjahui perbuatan jahat, itu diketahui manusia dengan melalui ‘wahyu’ yang diturunkan Tuhan melalui para Nabi dan Rasul.
 Sehingga dapat disimpulkan, kalau Muktazilah banyak percaya pada kekuatan akal, sedangkan kaum Asy’ariyyah banyak bergantung pada wahyu. Sikap yang dipakai Muktazilah adalah mempergunakan akal dan kemudian memberi interpretasi pada teks atau nas ‘wahyu’ sesuai dengan pendapat akal. Sedangkan Asy’ariyyah sebaliknya. Mereka lebih mendahulukan ‘wahyu’ dan kemudian membawanya kepada argumen-argumen yang rasional untuk teks wahyu tersebut. 
Di sinilah, di bidang Aqidah (teologi),  NU mengambil jalan untuk memilih faham Imam Al-Asy’ari dan Imam Al-Maturidi beserta pengikut-pengikutnya. Sekalipun dalam realitanya, NU lebih condong kepada Al-Asy’ari. Hal ini tidak bisa dipungkiri, mengingat literatur ajaran al-Maturidi dan Maturidiyyah tidak sebanyak literatur ajaran Al-Asy’ari dan Asy’ariyyah. Di samping pula, tokoh-tokoh penerus Al-Asy’ari seperti, Al-Juwaini (Imam Haramain), Al-Baqillani, Al-Syahrastani, dan terutama Imam Ghazali yang sangat luas pengaruhnya di dunia Islam,  lebih dikenal oleh ulama-ulama NU, dari pada para penerus Al-Maturidi seperti Al-Bazdawi (w. 390 H), Najm Al-Din Al-Nasafi (w. 537 H), Hasan Ali bin Said al-Rasthaghfani, Abu al-Laits al-Bukhari, dan lain-lain.

2.      Bidang Fiqh
Di bidang fiqih, pendiri madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) adalah orang-orang yang berpegang teguh terhadap ajaran Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sebagai tokoh yang hidup lebih dahulu dibanding dengan Al-Asy’ari dan Al-Maturidi; Imam Hanafi (w. 150 H), Imam Maliki (w. 179 H), Imam Syafi’i (w. 204 H), dan Imam Hanbali (w. 241 H) pemikiran-pemikiran teologinya peralel dengan kedua tokoh perumus ajaran ‘aswaja’ di atas. Sebagai bukti Al-Asyari dan Al-Maturidi adalah pengikut dari salah satu empat madzhab tersebut.
Syeikh Ibn ‘Asakir menyatakan, bahwa ajaran Al-Asy’ari tidak jauh berbeda dengan pemikiran ulama-ulama Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyyah. Tidak ada perbedaan di antara mereka (imam madzhab empat) dalam masalah ushuluddin. Mereka justru sepakat untuk beriman kepada sifat-sifat Allah, bahwa Al-Qur’an itu dalam Kalam Allah dan bukan makhluk, Allah dapat dilihat di akhirat, dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran dalan hati dan lisan.[2] Demikian juga pernyataan Syeikh Abi Fadlol di dalam kitabnya al-Kawakib al-Lama’ah, bahwa tokoh-tokoh pengikut madzhab empat, pemikirannya tidak jauh berbeda dengan al-Asy’ari dan al-Maturidi.
            Oleh karenanya, NU di bidang fiqih hanya membatasi empat madzhab meskipun banyak juga ulama-ulama pendiri madzhab selain dari yang empat di atas, seperti, Sufyan al-Tsauri, Daud al-Dzahiri, al- Auza’i, Sufyan bin Uyainah, dan lain-lain. Akan tetapi kekuatannya masih diragukan, karena tidak ada sanad yang kuat dan sampai pada imam madzhab tersebut. Di samping juga mereka tidak membukukan pemikiran-pemikirannya. Padahal pada abad ke-2 hijriyah ada sebelas macam madzhab, tetapi pada 500 Hijriyah, satu persatu telah tereliminasi dengan sendirinya karena pengikutnya terus berkurang. Akhirnya tinggal empat madzhab yang masih eksis sampai sekarang, dan pengikutnya telah tersebar di seluruh dunia.
            Dalam hal banyaknya madzhab fiqih dan dipilihnya empat madzhab, KH Hasyim Asy’ari, salah seorang pendiri NU menjelaskan, bahwa sebenarnya bukan hanya madzhab empat saja yang boleh diikuti oleh umat Islam. Madzhab lain seperti Sufyan Al-Sauri, Sufyan bin Uyainah Ishaq bin Rahawaih, Daud Dzahiri, dan lain-lain, juga boleh diikuti. Hanya saja karena tidak memiliki pengikut setia yang mengembangkan madzhab mereka, dan tidak banyak literatur yang menurut pemikiran mereka, sehingga mata rantai pemikiran mereka terputus.[3] Sehingga kewajiban bermadzhab, cukup pada empat madzhab saja.
            Demikian NU telah memilih madzhab empat, sekalipun dalam realitanya ternyata lebih cenderung, bahkan hampir mendekati seratus persen, memakai dan mengamalkan fiqih madzhab Syafi’i. Hal ini, mengingat latar belakang guru dari tokoh-tokoh NU, seperti guru dari KH. Hasyim Asy’ari yaitu, Syeikh Mahfudz Termas (pengarang kitab Mauhibah dzi Al-Fadlol), Syeikh Nawawi Banten, yang karya-karyanya menyebar di seluruh Indonesia, adalah tokoh-tokoh yang bermadzhab Syafi’i. Di sisi lain kuatnya pengaruh madzhab Syafi’i ini tidak lepas dari peranan pondok pesantren dengan para kyainya dan kitab kuningnya. Seperti kita ketahui, hampir semua kyai-kyai tersebut bermadzhab Syafi’i, dan kitab-kitab yang dikajipun juga kitab-kitab Syafi’iyyah.  
3.      Bidang Tasawuf
Di bidang tasawuf, Imam Ghazali (w. 505 H), Imam Junaid al-Baghdadi (w. 297 H), dan imam-imam lain yang pemikirannya sealiran, menjadi pilihan NU.
Imam Ghazali adalah seorang tokoh pembela paling gigih paham Imam Al-Asy’ari di bidang teologi. Sedangkan di bidang fiqih, ia mengikuti madzhab Imam Syafi’i. Imam Ghazali  menjadikan ajaran tasawuf harus berada dalam garis syari’at. Demikian juga Imam Junaid. Menurutnya, tasawuf harus menempel pada ketentuan syari’at atau tasawuf merupakan tahap lanjut kehidupan orang-orang yang telah mantap syari’atnya.
 Imam Ghazali, dipandang oleh kalangan tokoh Islam, sebagai salah satu tokoh yang telah berhasil mengkompromikan  ajaran tasawuf dengan ajaran fiqih, yang sebelumnya sebagian dari umat Islam pengikut kedua ajaran tersebut saling mengunggulkan ajarannya masing-masing. Di mana para pengikut tasawuf telah lupa dengan ajaran syari’at, sementara pengikut fiqih telah mengabaikan ajaran-ajaran tasawuf. Kemudian Imam Ghazali berusaha menjembataninya dengan cara tasawuf dijadikan bagian dari fiqih. Hal ini dapat dilihat dari karya monumentalnya, Ihya’ Ulumuddin. Akhirnya fiqih yang ‘kosong’ dari pesan-pesan moral, menjadi lebih lengkap dengan diikutkannya tasawuf dalam masalah fiqih.
 Karena seperti halnya Imam Al-Asy’ari, Imam Ghazali adalah seorang penengah. Ia berpendapat bahwa kebenaran terletak antara literalisme kaum Hanbali dan liberalisme kaum failasuf, sebagaimana faham Muktazilah.
Sementara Imam Junaid, yang mempunyai nama lengkap Abu Al-Qasim Al-Junaidi bin Muhammad Ali Khazzaz al-Nahawandi, terkenal dengan julukannya ‘maha guru’ sufi pernah bercerita: “semua jalan (kebenaran) tertutup bagi manusia, kecuali orang yang mengikuti jejak Rasul SAW. Barang siapa tidak menghafal Al-Qur’an dan banyak mencatat banyak hadits, dia tidak boleh diteladani dalam urusan tasawuf, kecuali ilmu yang terkait dengan Al-Kitab dan Al-Sunah.”
Bahkan dalam rumusannya, Imam Junaid menyatakan, bahwa tasawuf tidak harus memberikan syarat seseorang untuk berkhalwat (mengasingkan diri), malah ia menekankan agar para sufi dapat memberikan nasihat dan bimbingan di tengah-tengah masyarakat.
Dari sinilah tasawuf yang tetap berada dalam garis ajaran aswaja menurut mayoritas umat Islam adalah yang dibawa oleh Imam Ghazali, Imam Junaid al-Baghdadi, dan tokoh-tokoh yang sealiran dengan mereka. Dan NU memilih ajaran tasawuf yang seperti ini.     
NU adalah pengikut dan pembela paham aswaja di Indonesia yang paling tegas. NU tidak merasa memonopoli predikat aswaja, tetapi hanya mengambil bagian dari aswaja, bukan satu-satunya. NU tidak gampang menuduh orang lain ajarannya sesat, murtad, apalagi sampai mengkafirkan.            


BAB II
KESIMPULAN

Ahlusunnah wal jamaah sebenarnya sudah didefinisikan oleh Nabi SAW sendiri yaitu, Ma ana alaihi al-Yaum wa Ashabi  yang berisi: Aqidah (doktrin keimanan), Syari’ah (fiqih), dan Akhlaq (tasawuf).
Untuk penghayatan dan pengamalan ketiga-tiganya, Nabi SAW mendapatkan bimbingan wahyu dari Allah SWT. Dan beliau mendapat bimbingan tersebut dengan tulus ikhlas menyampaikan kepada umatnya dengan penuh rasa tanggung jawab. Maka untuk mengatakan bahwa ‘aswaja’ adalah sekedar metode berfikir, rasanya sulit untuk diterima sepenuhnya, sebab ia bukan hanya produk pemikiran belaka, tetapi bagaimana Nabi SAW dengan para sahabatnya telah mensikapi bimbingan tersebut dari Allah SWT. Kemudian ‘aswaja’ dikatakan madzhab (dalam pengertian yang khusus) juga kurang pas, karena madzhab itu pada dasarnya adalah sebuah produk pemahaman seseorang terhadap nash-nash Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sedangan ‘Ma ana alaihi al-Yaum wa Ashabi’    adalah nash itu sendiri. Namun demikian, sebagai suatu sikap yang didasarkan atas norma-norma keimanan tertentu yang dianggap baku ini, tidak menutup kemungkinan untuk disebut sebagai ‘madzhab’ dalam pengertian lebih umum. Dan Imam Asy’ari sendiri menyatakan, apa yang diyakininya itu sebagai ‘diyanah’ yang berarti keagamaan, dalam hal ini adalah Islam itu sendiri.
Oleh karena itu, penulis mohon perkenan menawarkan alternati pengertian apa yang disabdakan oleh Nabi SAW: Ma ana alaihi al-Yaum wa Ashabi,  dapat digambarkan sebagai sebuah prinsip dasar (mabda’) sikap mental dan amaliyah keagamaan Islam yang senantiasa berpegang teguh kepada semua yang dihayati dan diamalkan oleh Rasulullah SAW dengan para sahabatnya berdasarkan nash-nash al-Qur’an dan al-Hadits yang dibawa oleh para penerus yang terpercaya, jujur, dan adil dengan selalu menjaga keseimbangan antara akal fikiran dengan hati dan jiwa.

DAFTAR PUSTAKA

Upaya Membakukan Buku dan Membukukan Baku Aswaja, dalam  Ummu Risalah (laporan utama), AULA 3,th XIX (Maret 1997),
Ibn ‘Asakir, Tabyin Kadzib al-Muftara fi ma Yunsabu Ila al-Imam Abi Hasan al-Asy’ari, Dar al-‘Ilm, Beirut, tt,
Saifullah Maksum (editor), Karisma Ulama, Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU,Bandung, Mizan, 1998,



[1] Upaya Membakukan Buku dan Membukukan Baku Aswaja, dalam  Ummu Risalah (laporan utama), AULA 3,th XIX (Maret 1997), hal. 19-20
[2] Ibn ‘Asakir, Tabyin Kadzib al-Muftara fi ma Yunsabu Ila al-Imam Abi Hasan al-Asy’ari, Dar al-‘Ilm, Beirut, tt, hal. 101
[3] Saifullah Maksum (editor), Karisma Ulama, Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU,Bandung, Mizan, 1998, hal.80

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Blog Archive

Followers

Search This Blog

Blogger Themes

Random Post

Bagaimana Pendapat Anda dengan Blog ini?

Trending Topik

EnglishFrenchGermanSpainItalianDutch

RussianPortugueseJapaneseKoreanArabic Chinese Simplified
SELAMAT DATANG
script>
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Berbagai Kumpulan Makalah - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template