BAB
III
LANDASAN
MORAL DALAM BELAJAR MENGAJAR MENURUT
KH
HASYIM ASY’ARI STUDI KITAB
ADAB
AL-‘ALIM WA AL-MUTA’ALLIM
A.
Sejarah Singkat KH.Hasyim Asy’ari
Beliau bernama Muhammad Hasyim Asy’ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim
yang dijuluki dengan pengeran Benawa bin Abdur-Rohman yang dijuluki dengan Joko
Tingkir Sultan Hadi Wijaya bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fattah bin
Maulana Ishaq ayah dari Raden Ainul Yaqin yng terkenal dengan Sunan Giri.[70]
Beliau di lahirkan di daerah Gedang. Sekitar dua kilo meter sebelah timur
kota jombang
pada hari selasa 24 Dzul Qo’dah 1287
Hijrah atau bertepatan dengan 14 Februari 1871 Masehi. [71]
Kiai Hasyim Asy’ari adalah sosok
yang tumbuh dewasa dan menghabiskan masa hidupnya di pesantren. Pendidikan
pesantren yang begitu khas telah membesarkannya menjadi sosok yang alim dalam
hal keagamaan, juga mempunyai kontribusi besar terhadap pemberdayaan umat.
Saat masih dalam kandungan, Nyai Halimah, ibu kiai Hasyim asy’ari,
melihat tanda-tanda yang luar biasa. Pada suatu malam, ia bermimpi bulan jatuh
dari langit dan hingga di kandungannya.
Tentu mimpi itu merupakan sebuah pertanda yang sangat baik, bahwa anak
yang akan lahir merupakan sosok istimewa di kemudian hari, yang mempunyai
kecerdasan, talenta, dan bimbingan berada di kandungan ibunya lebih kurang 14
bulan, yang juga di tafsirkan oleh banyak orang sebaghai sebuah keistimewaan,
kiai hasyim Asy’ari di ramalkan akan menjadi tokoh besar, dan ramalan itu
terbukti benar di kemudian hari,[72]
KH. Hasyim Asy’ari pada usia muda merupakana sosok yang sangat sederhana
dan gemar bergaul. Teristimewa, jiwa kepamimpinanananya dan kebriliannya sudah
bisa dilihat pada masa kecilnya. Diantara teman-temannya, ia di kenal sebagai teladan
yang baik ia suka menegur teman-temannya apabila ada sebuah kejanggalan, tetapi
tetapi hal itu tidak membuat mereka tersinggung. Disampingitu ia juga di kenal
suka melindungi, menolong dan membangun kebersamaan.[73]
Solihin Salam sebagaimana di kutip oleh Zulhairin Misrawi menggambarkan
tentang KH. Hasyim Asy’ari muda di
pesantren keras. Ia adalah seorang murid yang rajin, ulet dan sungguh-sungguh
dalam belajar untuk menggapai cita-cita. Semua pelajaran dapat di tangkap
dengan mudah, baik dan sempurna. Hal tersebut menimbulkan kekaguman banyak
orang. Satu hal yang juga merupakan keistimewaannya sejak muda adalah
kemandirian. Tidak seperti putra kiai lain, ia adalah sosok yang mempunyai
etoskerja yang tinggi. [74]
Kiai usman, sang kakek kerap
mendidiknya agar mandiri dan tidak mudah bergantung pada orang lain. Karena
itu, KH. Hasyim Asyari sejak kecil terbiasa mencari nafkah sendiri dengan cara
bertani dan berdagang. Hasil yang di terimanya digunakan untuk menuntut
ilmu. [75]
Meskipun sudah di tunjuk sebagai pengajar di pesantren dalam usia yang
sangat muda, ia tidak pernah mengurungkan niatnya untuk mengurangi lautan ilmu,
pada usia 15 tahun, ia berinisiatif menimba dan menambah ilmu di pesantren
lain. Mula-mula menjadi santri di pesantren wonorejo, jombang. Lalu, ia
melanjutkan perjalanan ilmidinya ke pesantren wono kayo, Probolinggo. Kemudian,
langitan, tuban, hingga ahirnya ia mendalami ilmu keagamaan di pesantren
kademangan, bangkalan, madura. Pesantren ini menjadi salah satu pesantren sangat popular di kalangan muslim tradisional
karena pendirinya adalah KH. Kholil bin Abdul Latif, seorang kiai yang pertama kali
mempopulerkan kitab babon Bahasa Arab, yaitu Alfiyah Ibnu Malik, dan juga di
anggap sebagai waliyullah. [76]
Pada tahun 1891, KH. Hasyim Asyari melanjutkan petualangan ilmiahnya di
jawa setelah 3 tahun belajar di “pulau garami, bangkalan, madura”. Kini
pilihannya adalah pesantren siwalan, panji, sidoarjo, di bawah asuhan kiai
yo’kub. Sebagaimana di madura, kiai Hasyim belajar agak lama di pesantren ini
selama lebih kurang 5 tahun. Hingga akhirnya kiai yo’kub menyampaikan proposal
untuk menikahkan putrinya, khadijah, dengankiah Hasyim.[77]
KH. Hasyim Asyari kemudian pergi ke hijaz untuk melanjutkan pelajarannya.
Beliau tinggal di sana selama berapa tahun dan beliau mendapatkan bimbingan
dari pembesar-pembesar ulama makkah. Di antaranya beliau belajar kepada syekh Muhammad Nawawi Banten, Syekh
Khotib al minangkabauwi, syekh Suiaib bin Abdurrohman dalam berbagai disiplin
ilmu. Kemudian kitab hadits nabawi, lalu belajar kepada syekh Muhammad mahfudz
at turmusi tentang ilmu-ilmu syariat, ilmu-ilmu alat, sastra arab dan ilmu-ilmu
baru hingga beliau maupun menemukan banyak sekali hal-halyang ma’qul dan
mongul. Setelah itu beliau kembali ke tanah air untuk menyebarkan ilmunya,
mengajar, mengarang, dan mengembangkan misi perjuangannya yang penuh kebaikan.[78]
Setelah beliau kembali dari tanah haramMakkah, beliau membangun pesantren
Tebu Ireng, Jombang. Yakni pada tanggal 26 Robiul Awal 1317H/1899M. selanjutnya
beliau membuat madrasah solafiyah syafi’iyah. Beliau membimbing dan mengajar di
sana, maka, banyak sekali manusia-manusia dengan berbondong-bondong menimba
ilmu dari beliau dan 16 rojab H/31Januari 1926 M, beliau bersama teman-temannya
di antaranya pada tanggal wahab Hasbullah, KH. Bishri sansuri dan ulama-ulama
besar jawa lainnya merintis jam’iyah
Nahdotul Ulama (NU), sebuah organisasi islam yang menyerukan kaum
muslimin untuk selalu berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as sunnah, menjauhi
kesesatan dan bid’ah dan menyemangati
mereka untuk berjuang demi meninggikan kalimat Allah.[79]
KH. Hasyim Asy’ari wafat tanggal 7 Romadhon 1366 mijriah atau 25 juli
1947 masehi, di tebu ireng, jombang dan di makam di sana. Semoga Allah menempatkan beliau dalam surganya yang
terbaik yaitu surga Firdaus. Amin. [80]
B.
Riwayat Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari
Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari sama dengan yang di alami oleh kebanyakan
santri muslim seusianya. Kita telah mendengar
bahawa pendidikan awal beliau,
sampai berumur 15 tahun, di peroleh dengan bimbingan ayahnya. Ia mendapat
pelajaran dasar-dasar tauhid. Fiqih, tafsir dan hadits. KH. Hasyim Asy’ari
kemudian meneruskan studi ke beberapa pesantren di jawa dan madura, yaitu pesantren wonokoyo
(Probolinggo), Pesantren langitan (tuban), Pesantren Trenggilis, pesantren
kademangan (Bangkalan, Madura), dan pesantren siwalan panji (Sidoarjo) [81]
KH. Hasyim Asy’ari kemudian pergi ke hijaz (makkah) untuk melanjutkan
pelajarannya. Selama di makkah, ia waktu sebaik mungkin untuk beribadah dan
menambah ilmu sebelum akhirnya kemblai ke Tanah Air. Sederetan syaikh ternama
pernah menjadi gurunya, yaitu syekh syu’aib lain Abdurrohman, syekh nahfudz al
turmusi, syekh khotib al minangkabowi, syekh amin al aththar, syekh ibrahi
arab, syekh said al yamani, syekh rahmatullah, syekh bafadhol. [82]
Di samping itu, ada juga sejumlah syaaid yang menjadi gurunya, antara
lain sayyid abbas al maliki, sayyid sulthan hasyim al Daghistani, sayyid
Abdullah al zamawi, sayyid ahmad bin hasan al athos, sayyid alwi as segaf,
sayid abu baker syatha al dimyati, dan sayyid husain al habysi yang pada waktu
itu di kenal sebagai juru fatwa (mufti) di makkah [83]
Kegemaran dan kesungguhan KH. Hasyim Asy’ari dalam menuntut ilmu
membuahkan hasil yang manis. Ia di tuntut sebagai salah satu guru di masjidil
Haram bersama para ulama asal Indonesia.
Diantara nama-nama ulama itu adalah syekh nawawi albantani dan sekhkhotib
al minangkabowi. Selama mengajar di masjidil harom, KH. Hasyim Asy’ari
mempunyai sejumlah murid, antara lain syeikh sa’dullah al maimoni (Mufti India), syeikh umar hamdan
(ahli hadits di makkah) al syihab Ahmad bin Abdullah (Suriah), KH. Wahab
Hasbullah (Jombang), KH.R.Asnawi (Kudu), KH.Dahlan (Kudus), KH.Bisri Syansuri
(Jombang), dan KH.Sholeh (Tayu).[84]
C.
Tinjauan Karya-Karyanya
KH. Hasyim Asy’ari telah membuktikan dirinya sebagai sosok ulama yang
mampu mewariskan ilmu dan amal. Karya-karyanya telah membentuk sebuah karakter
keberagamaan yang khas keindonesiaan, yang mampu beradaptasi dengan kebudayaan
local dan tradisi-tradisi yang berkembang, khususnya tradisi jawa.
Adapun karya-karya KH. Hasyim Asy’ari yang berhasil di dokumentasikan,
terutama oleh cucunya, almarhum ishom hadziq, adalah sebagai berikut:
- Adab al ‘Alim wa al muto’allim fima yahtaju ilaihil muta’allim fi ahwali ta’limihi wa ma yatawaqqafu ‘alaihi al mu’allim fi maqomati ta’limihi. Kitab ini berisi hal-hal yang dipedomani oleh seorang pelajar dan pengajar sehingga proses belajar mengajar berlangsung dengan bik dan mencapai tujuan pendidikan yang di inginkan.
- Ziyadatu ta’liqot, raddun fiha mandzumah syeik Abdullah bin yasin al fasuruani. Kitab ini berisi perdebatan antara KH. Hasyim Asy’ari dan Syeikh Abdullah bin yasin
- Al-Tanbihat al wajibat liman yashna’ al mauled bi al munkarot. Kitab ini berisi peringatan tentang hal-hal yang harus di perhatikan saat merayakan mauled nabi Muhammad SAW.
- Al Risalah al jami’ah. Kitab ini menjelaskan tentang kondisi orang-orang mati dan tanda-tanda kiamat serta menjelaskan tentang mafhum sunnah dan bid’ah
- AlNur almubin fi mahabbati sayyidi al mursalin. Kitab ini menjelaskan tentang makna cinta kepada Rasulullah Muhammad SAW. Dan hal-hal yang berkaitan dengannya yaitu dari mengikuti dan menjalankan sunnah-sunah nabi.
- Hasyiah ‘Ala Fathi Al Rohman bi Syarhi Risalah al Wali Ruslan Li Syaikh Al Islam Zakaria al Anshori.
- Al Duror Al Muntatsiroh Fi Al Masail Al Tis’a Asyaroh. Kitab ini berisi 19 masalah tentang kajian thoriqih dan wali
- Al Tibyan Fi Al Nahy an Muqotho’at al Ikhwan. Secara umum kitab ini berisi pentingnya membangun persaudaraan di tengah perbedaan serta bahaya memutus tali persaudaraan
- AlRisalah Al Tauhidiyah, kitab kecil yang berisi tentang aqidah ahlus sunnnah wa al jama’ah
- Al Qolaid Fi Bayani Ma Yajibu Min Al ‘Aqoid. Kitab yang berisikan tentang aqidah-aqidah yang wajib di ketahui. Dan masih banyak lagi kitab-kitab yang lainnya. [85]
D.
Landasan Moral Dalam Belajar
Mengajar Menurut KH. Hasyim Asy’ari Studi Atos Kitab Adab Al ‘Alim Wa Al Muta’allim
1.
Landasan Moral Belajar
Dalam kitabnya adab al’Alim wa al muta’allim, KH.
Hasyim Asy’ari mengklasifikasikan konsep landasan moral belajar dalam 3 sub bahasan
yaitu:
a.
Bentuk nilai moral pelajar terhadap
dirinya sendiri
Dalam sub pembahasan tentang nilai moral pelajar
terhadap diri sendiri ini KH. Hasyim Asy’ari memasukkan 10 kategori nilai
moral, yaitu: pertama, hendaknya seorang pelajar itu selalu membersihkan
hatinya dari segala bentuk kelalaian, kotoran-kotoran, keinginan-keinginan
jelek, dengki, akidah yang menyimpang dan ahlak yang buruk. Semua itu di
lakukan agar mampu menerima ilmu dengna biak, mudah menghafalkan, dan mampu
menyelami kerumitan-kerumitan makna serta kefahaman-kefahaman yang dalam. [86]
Kedua, memurnikan niat semata-mata hanya karena Allah
SWT, niat mengamalkan ilmu, menghidupkan syari’ah menyinari hati membersihkan
bathin dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tidak mencari ilmu dengan tujuan
dunyawiah seperti agar di jadikan pemimpin. Mendapatkan jabatan, harta, agar di
anggap lebih hebat dari orang lain, mencari popularitas, atau yang lainnya. [87]
Ketiga, Segera mencari ilmu di masa muda dan seluruh
umurnya, tidak menunda-nundanya serta tertipu dengan harapan-harapan kosong,
karena waktu yang telah lewat tidak akan kembali lagi, kesempatan yang
tertinggalkan tidak akan datang kedua kalinya. Demikian juga bagi pelajar hendaknya
memutuskan diri dari tali kaitan yang menyibukkan dan hal-hal yang dapat
menghalangi dari mendapatkan kesempurnaan ilmu. Begitu pula harus mengerahkan
seluruh jerih payahnya, kesungguhannya untuk menghasilkan ilmu. Karena
keterkaitan-keterkaitan seperti itulah yang mampu menggagalkan proses belajar.[88]
Ke empat, mau menerima apa adanya dalam hal makanan
dan pakaian, karena bersikap qona’ah dalam hal ini akan mampu mencapai keluasan
ilmu, mampu menyatukan hati dari berbagai macam angan dan mampu menumbuhkan
ilmu hikmah. [89]
Kaitannya dalam hal ini Imam Syafi’I berkata : “Tidak akan bahagia orang yang
mencari ilmu denganketinggian hati dan kemewahan, namun kebahagiaan itu akan
muncul bagi orang-orang yang mencarinya dengan kerendahan hati, kekurangan dari
segi ma’isyah (pencaharian), dan melayani (khidmah) para ulama’. [90]
Kelima, membagi waktu dengan baik, tidak menyisakan waktu kecuali untuk
kebaikan, karena sisa-sisa waktu itu tidak akan pernah ternilai. Adapun waktu
yang paling baik untuk menghafal adalah waktu sahur dan untuk membahas pelajaran
adalah waktu pagi waktu yang tepat menulis adalah pertengahan siang danwkatu
yang tepat untuk muthola’ah (mempelajari ulang) dan mudzakaroh (diskusi) adalah
malam hari. Adapun tempat yang paling biak untuk menghafal adalah kamar-kamar
atau tempat-tempat yang jauh dari keramaian. Tidak baik menghafal di sekitar pepohonan,
tanaman-tanaman, sungai-sungai, atau tempat-tempat yang penuh kegaduhan. [91]
Ke enam, menyedikitkan makan dan minum, karena kenyang
itu akan memberaktkan dalam ibadah dan memberatkan badan. Termasuk faidah dari
sedikit makan adalah kesehatan badan, menolah penyakit-penyakit tubuh (anti
body). Karena sebab timbulnya penyakit dalam tubuh adalah banyaknya makanan dan
minuman yang di konsumsi dalam tubuh. Para auliya dan ulama-ulama pilihan tidak
pernah menganggap bahwa banyak makan adalah hal yang baik bahkan mereka
menyamakannya dengan binatang yang tak berakal yang di siapkan untuk bekerja. [92]
Ke tujuh, bersikap wira’I (menghindari hal-hal yang di
haramkan), berhati-hati dalam setiap tingkahlakunya, bersungguh-sungguh dalam
mengupayakan yang halal dalam makanan, minuman, pakaian, tempat, dan lainnya.
Demikian itu agar hati bercahaya dan bisa menerima ilmu yang bermanfaat [93]
Ke delapan, mengurangi makanan-makanan yang ringan
yang menyebabkan kelambatan dalam berfikir dan kelemahan panca indra. Seperti
apel yang asam, kacang-kacangan, cuka. Begitu pula yang menyebabkan banyaknya
lender yang bisa menutupi akal dan memberatkan badan seperti banyak
menghkonsumsi susu dan ikan atau yang sejenis. Dan juga bagi pelajar hendaknya
menjuuhi hal-hal yang menyebabkan kelupaan, seperti memakan bekas makanan yang
di makan tikus, membaca papan nisan, dan membuang kutu hidup-hidup. [94]
Ke seimbilan, menyedikitkan tidur, tidak melebihi
waktu 8 jam dalam sehari semalam. Begitu pula di perbolehkan sesekali mengistirahatkan diri
dan hati atau fikiran dengan mengunjungi tempat-tempat yang menyenangkan
(rekreasi) agar fikiran tidak terlalu lelah danjenuh. [95]
Kesepuluh, menjauhi pergaulan yang tidak berguna,
khususnya pergaulan lain jenis dan pergaulan-pergaulan yang penuh permainan dan
kelalaian. Karena hal itu akan menyia-nyiakan umur tanpa faidah. Jikalaupun
harus bergaul, maka bergaullah denganorang yang solih, yang kuat agamnaya,
bertaqwa, wira’I, bersih hati, penuh kebaikan, jauh dari keburukan dan orang
yang memiliki sifat muru’ah (harga diri). Orang-orang seperti itulah yang akan
mengingatkan kita ketika lupa dan menolong kita ketika kita dalam kebenaran. [96]
b.
Bentuk Nilai Moral pelajar Terhadap Guru
Dalam sub bagian ini KH. Hasyim Asy’ari telah membaginya
kedalam 12 katagori yaitu:
Pertama, seorang pelajar sebelum memulai pencariannya,
hendaknya memikirkan terlebih dahulu, meminta petunjuk sebagai guru, begitu
pula hendaknya seorang pelajar mencari guru yang benar-benar ahli dalam
bidangnya, penuh kasih saying, memiliki harga diri dan sudah di kenal tentang
keterjagaannya dari maksiat. Begitu pula memilih guru yang memiliki pengajaran
dengan baik dan kefahaman yang mudah. [97]
Kedua, benar-benar memilih guru yang memiliki
kompetensi sempurna dalam ilmu syariat melalui guru-guru sebelumnya. Bukan
hanya orang-orang yang mengambil ilmu dari buku-buku atau kitab-kitab. Imam
syafi’I berkata “Barang siapa yang mendalami agama hanya dari buku-buku maka
dia akan menyia-nyiakan hokum”. [98]
Ketiga, patuh kepada guru tentang apa yang harus di
kerjakan oleh pelajaran atau dengan kata lain memposisikan diri seperti seorang
pasien di tangan dokter yang ahli. Selalu meminta bimbingan kepada guru tentang
apa harus di lakukan, selalu mencari ridho guru, menghormatinya serta
mendekatkan diri kepada Allah dengan khidmah (melayani) guru. Karena
sesungguhnya merendahkan diri dihadapan guru adalah kemulyaan, tunduk kepada
guru adalah kebanggan dan tawadlu kepada guru adalah keluluhuran. [99]
Keempat, memandang guru dengan pandangan mengagumkan
dan meyakini kesempurnaan dalam diri guru. Syekh Abu Yusuf berkata “siapa yang
tidak meyakini keagungan guru dengan cara yang tidak sopan, memanggil dengan
namanya (jambal : bahasa jawa), namun harus dengan panggilan seperti tuanku,
guruku, atau udztadku.[100]
Kelima, mengetahui hak-hak guru dan tidak meluapakan
keutamannya, selalu mengingatnya selama-lamanya, baik ketika ia masih hidup
atau sudah wafat. Begitu pula selalu menjaga hubungan dengan kuluarga gurudan
orang-orang terkasihnya, menziarahi makamnya, meminta ampun atau sedekah untuk
guru dan selalu meneladani sikap dan kepribadian guru.[101]
Keenam, selalu bersifat sabar menghadapi watak guru
yang keras dan tidak menjadikan hal itu sebagai absan kita untuk tidak
mengikutinya dan meyakini kesempurnaannya.[102]
Ketujuh, ketika hendak menamui guru diselain majelis
umum maka harus meminta izin dahulu hingga mendapatkan izin dari beliau. Begitu
pula bertemu dengan guru dalam kondisi yang bersih dan baik.[103]
Kedelapan, duduk didepan guru dengan penuh adab, tidak
menengok kecuali jika dibutuhkan, bahkan menghadap dengan keseluruhan dan
memperhatikan perkataannya.[104]
Kesembilan, bersikap baik dan sopam saat berkomunikasi
dengan guru dan sekedarnya saja. Tidak membantah ucapannya dan tidak
menyinggung perasaannya.[105]
Kesepuluh, ketika guru menyampaikan suatu hukum
tentang suatu masalah atau faidah ataupun juga sedang menceritakan suatu
hikayat dan kita ternyata sudah pernah menhetahuinya atau mendengarkan
sebelumnya, maka hendaklah kita tetap memperhatikan dengan seksama seakan-akan
kita belum pernah mengetahuinya. Syekh ‘Atho’ r.a. berkata “suatu saat saya
pernah mendengarkan suatu hadis dari seseorang dan saya lebih tahu tentang
hadis itu, namun saya berusaha menampakkan pada orang itu bahwa saya tidak
begitu faham tentang hadis itu.[106]
Ke sebelas , tidak mendahului guru dalam menjelaskan
masalah atau menjawab soal, tidak di erkenankan pula menampakkan pengetahuannya
tentang masalah itu. Begitu pula tidak di perkenankan memotong pembicaraan
guru, mendahului ataupun membarenginya. Namun seorang pelajar harus bersabar
hingga guru selesai berbicara.[107]
Keduabelas, ketika guru memberikan sesuatu , maka
hendaklah di terima dengan tangan kanan, juga ketika murid ingin memberikan
kitab atau buku maka hendaklah dalam kondisi terbuka dan siap di baca .[108]
dalam sebuah majalah di katakan : “empat yang tidak boleh di remehkan oleh
siapapun juga, meski dia adalah seorang pemimpin, yaitu : berdiri dari majlis
untuk orang tuanya, berkhidmad kepada orang alim yang telah mengajarinya, bertanya
tentang hal yang tidak di ketahui, dan melayani tamunya”. [109]
Adapun ketika seorang pelajar bertemu dengan gurunya
di jalan,maka hendaklah terlebih dahulu ia memulain salam. Namun tidak memberi salam dalam jarak yang
jauh atau memanggilnya. Bahkan hendaklah ia mendekati gurunya lalu mengucapkan
salam kepadanya, dan tidakl di perkenankan pula bertanya di jalan.[110]
c.
Bentuk Nilai Moral Pelajar Terhadap
Pelajaran Dan Interaksinya Dengan Guru Dan Teman.
Dalam kitabnya adab al-alim
wa al- muta’alim , KH. Hasyim asy’ari telah menuangkan bentuk-bentuk moral
pelajar terhadap pelajaran dan interaksinya dengan guru dan teman. Beliau
membaginya dalam 13 poin penting yaitu :
1.
Memulai dari ilmu-ilmu yang bersifat
fardhu ‘ain . maka hendaklah pelajar itu memulainya dari enpat macam ilmu,
yaitu: ilmu dzat, secara umum yaitu meyakini bahwa allah itu maujud (ada),
dahulu dan abadi, allah lepas dari semua sifat kurang dan memiliki semua sifat
sempurna , seperti qirodah,irodah, ilmu, hayat, sama’, bashor, dan kalam. Ilmu
fiqh, seperti mempelajari thoharoh, sholat, puasa, haji,zakat, dan lain-lain.
Ilmu ahwal, yaitu mempelajari kondisi-kondisi hati, tipu daya setan dan segala
yang mengantarkannya.[111]
2.
Menguatkan fardu ‘ainnya dengan
mempelajari kitab-kitab allah, mempelajari tafsir-tafsirnya berikut ilmu-ilmu
yang terkait dengan al-qur’an. Begitu pula selalu melanggengakan tadarus
al-qur’an tiap hari dan tidan melupakan ayat-ayat yang telah di hafal.[112]
3.
Pada permulaan belajar hendaklah pelajar
tidak tersibukkan dengan mempelajari perbedaan-perbedaan para ulama tentang
suatu pembahasan. Namun hendaklah memilih satu kitab atau satu pemdahasan dan
mempelajarinya secara sempurna . begitu pula dalam satu pembahasan pilihlah
yang paling penting dan selalu berusaha
untuk mengamalkannya, karna itu adalah tujuan utama ilmu.[113]
4.
Mentashihkan ilmu yang telah di baca
dengan benar sebelum melafalkannya, baik kepada gurunya mauun kepada orang yang
telah di percaya. Setelah itu lantas menghafalkannya dan terus mengulangnya.[114]
5.
Selalu bergegas untuk mendengarkan ilmu,
terlebuh mendengarkan hadits, serta ilmu-ilmu yang terkait dengannya. Imam
syafi’i berkata: “ barang siapa yang mempelajari hadits ,maka kuatlah
hujjahnya”.[115]
6.
Ketika terjadi kemusykilan atau
kejanggalan dalam memahami materi pelajaran, maka hendaklah beranjak mencari
refrensi dari buku atau kitab yang lebih luas pembahasannya, sekaligus menulis
mencatatan-catatan penting tentang suatu masalah agar tidak terlupakan .
seorang pelajar juga harus memiliki semangat
yang tinggi dalam mencari ilmu, berusaha meraih sebanyak mungkin warisan para
nabi dan tidak menunda kesempatan yang ada.[116]
7.
Sesering mungkin halaqoh pembelajaran
guru, karna hal itu akan menambah kebaikan,kesuksesan,etika dan keutamaan.
Selalu berusaha untuk melayani guru , karna itu akan menambah kemulyaan bagi
pelajat,[117]
Kedelapan, ketika menghadiri majlis guru hendaklah
menyampaikan salam kepada para hadirin dengan suara yang lantang, terlebih
kepada guru dengan penuh kehormatan, dan juga tidak melangkahi para hadirin
yang datang sebelumnya, namun duduk di tenpat yang ia dapatkan.[118]
Kesembilan, tidak malu untuk menanyankan hal-hal yang
belum di mengerti dengan penuh kelembutan dan kesopan santunan, di katakan : “
barang siapa yang malu untuk bertanya, maka kebodohannya akan tampak ketika berkumpul
dengan orang lain.[119]
Kesepuluh, membudayakan antri dalam mengambil jatah
maju di hadapan guru, tidak menyerobot orang sebelumnya.[120]
Kesebelas, duduk di hadapan guru dengan penuh adap,
dan tidak membaca sebelum mendapatkan intruksi atau izin untuk membaca. Ketika
membaca, hendaklah di awali dengan membaca ta’awudz,dan basmalah, sholawat
nabi, serta mendoakan gurunya, keluarga,dan seluruh orang muslim.[121]
Keduabelas, selaalu menekuni pelajarannya sehingga
tidak meninggalkannya dalam keadaan sia-sia, tidak beranjak ke Bab setelahnya
sebelum memahami sebelumnya dan tidak pindah dari satu daerah kedaerah lain
tanpa ada alasan yang dibenarkan, karena hal itu akan membuat tidak fokus dan
menyia-nyiakan waktu.[122]
Ketigabelas memberikan motivasi kepada teman-teman
lainnya untuk selalu bersungguh-sungguh dalam mencari, memberikan pemahaman
kepada mereka tentangnya ilmu dan memalingkan diri dari segala hal yang
menyibukkan serta rasa kawatir. Begitupula tiak bersikap sombong dan ujub
dengan kepandaian yang dimiliki, memulyakan mereka dengan tegur sapa, menjalin
cinta dan kebersamaan dalam agama, memaafkan kesalahan mereka menutupi aib
mereka dan membalas budi baik mereka.[123]
Dari kutipan di atas tentang landasan moral belajar,
bahwa KH,HASYIM ASYARI membagi nya menjadi 3 pokok bahasa, yaitu:
A.Bentuk nilai moral terhadap diri nya, meliputi:
1.
Membersihkan hati
2.
Memurni kan niat
3.
Bergegas dalam mencari
ilmu
4.
Bersikap qona’ah
5.
Membagi waktu dengan
baik
6.
Menyedikit kan makan dan
minum
7.
Waro (menghindari hal
hal yang di haramkan)
8.
Mengurangi mengkomsumsi
makanan makanan yang menimbulkan dampak negatif pada tubuh
9.
Menyedikitkan tidur,
maksimal 8 jam dalam sehari semalam
10.
Menjauhi pergaulan yang
tidak berfaidah.
B. Bentuk nilai moral pelajaran terhadap guru, meliputi:
1.
Meminta pertolongan
kepada allah sebelum mencari guru
2.
Memilih guru yang
memiliki keluasan ilmu syari’at, thariqoh, dan hakikat.
3.
Patuh terhadap guru
4.
Memandang guru dengan
penuh keagungan.
5.
Mengenali hak-hak guru
dan memulyakannya.
6.
Sabar atas sikap kera
guru
7.
Meminta izin sebelum
memasuki majlis guru
8.
Duduk dengan penuh adab
9.
Berkomunikasi dengan
gratis
10.
Mendengarkan dengan
seksama penjelasan guru
11.
Tidak berbicara tanpa
izin
12.
Menerima pemberian guru,
C. Bentuk nilai moral elajar terhadap terhadap pelajaran dan interaksinya
dengan guru, teman, meliputi :
1.
Memulai ilmu dari yang
fardu ‘Ain
2.
Melandasi ilmunya dengan
Al-Qur’an, Al-Hadis, serta ilmu-ilmu yang terkait dengannya.
3.
Tidak sibuk dengan
perbedaan para ulama dalam permulaan belajar.
4.
Mentashihkan ilmu kepada
guru atau orang yang sudah dipercaya.
5.
Semangat untuk
mendengarkan ilmu khususnya tentang hadis.
6.
Mempelajari kitab atau
buku yang labih luas penjabarannya.
7.
Istiqomah mendatangi
halaqoh guru
8.
Menyampaikan salam untuk
guru dan para hadirin
9.
Tidak malu bertanya
10.
Menbudidayakan atri dalam
belajar
11.
Duduk dengan penuh adab
12.
Mengulang-ulang
pelajaran agar tidak mudah lupa
13.
Memberi motivasi belajar
kepada teman-teman.
2. Landasan Moral Mengajar
Seperti halnya dalam pembahasan landasan moral belajar, KH. Hasyim
‘Asy’ari dalam kitabnya Adab al-Alim-wa al-Muta’alim tentang landasan moral
mengajar juga membaginya dalam 3 sub pembahasan pokok yaitu :
a.
Bentuk nilai moral
pengajar terhadap dirinya sendiri
Dalam kaitannya dengan pembahasan ini KH. Hasyim
‘Asy’ari dalam adab al-alim wa al-muta’alimnya, membaginya dalam 20 kategori,
yaitu :
Petama : selalu merasa di awasi oleh Allah
diwaktu sepi dan terang-terangan.
Kedua : selalu merasa takut kepada Allah dalam
setiap gerak dan diam, ucaapan dan perbuatan.
Ketiga : selalu bersikap tenang
Keempat : selalu bersikap waro’ (menjauhi
hal-hal yang diharamkan).
Kelima : selalu bersikap tawadhu’.
Keenam : selalu bersikap Khusu’ (tenang) karena
Allah.[124]
Ketujuh : selalu bersikap tawakal kepada
Allahdalam semua hal.
Kedelapan : tidak menjadikan ilmunya sebagai sarana
meraup keuntungan
Kesembilan : tidak mengagungkan para pencinta
dunia dengan datang kepada mereka untuk kepentingan selain kemaslahatan.[125]
Kesepuluh : berahlak dengan zuhut (tidak terbuai
dengan dunia) dan membatasinya sedekadar mencukupi dirinya dan keluarganya
secara seimbang dan bersifat qona’ah.[126]
Kesebelas :
menghindari pekerjaan-pekerjaan yang di pandang rendah oleh watak
manusia maupun secara syara’ umumnya manusia, seperti tukang bekam, menyamak,
menukar uang, dan sejenisnya.[127]
Keduabelas : menjauhi hal-hal yang mengundang
persangkaan buruk meski jauh, maka hendaknya seorang pengajar itu tidak
melakukan sesuatu yang bisa merendahkan hargadirinya atau hal-hal yang secara
lahirnya diingkari meski secara batin dibenarkan.[128]
Ketiga belas : selalu manjaga dan melakukan
sy’iar-syi’ar islam dan hukum-hukum yang tampak seperti mendirikan solat
dimasjid secara jama’ah, menyebarkan salam, amar ma’ruf nahi munkar dengan
penuh kesabaran terhadap resiko-resiko dan selalu menyerahkan diri hanya kepada
Allah SWT.[129]
Keempatbelas : selalu tampil untuk menegakkan
sunnah dan mengalahkan bid’ah, begitu juga menjaga perkara-perkara agama dan
kemaslahatan kaum muslimin dengan cara yang baik dan benar.[130]
Kelimabelas : menjaga hal-hal yang dianjurkan
oleh syara’ baik yang bersifat qauli maupun fi’li seperti membaca Qur’an,
dzikir, kepada Allah dan juga yang berbentuk do’a-do’a ataupun wirid-wirid
malam dan siang memperbanyak membaca sholawat kepada Nabi Muhammad SAW ,
mencintai, mengagungkan, dan sopan santun ketika mendengarkan namanya maupun
mendengarkan sunnha-sunnahnya.[131]
Keenambelas : berinteraksi dengan manusia dengan
ahlak yang mulia wajah yang berseri, menyebarkan salam, memberikan makan,
manahan marah serta kebaikan-kebaikan lainnya. [132]
Ketujuhbelas : membersihkan batin dan lahirnya
dari ahlak-ahlak tercela seperti berprasangka buruk dengki, pemarah, takabur,
riya’, ujub, suka memperdengarkan kebaikkannya keada orang lain dan lain
sebagainya, setelah itu meramaikannya dengan ahalak-ahalak terpuji.[133]
Kedelapanbelas : selalu semangat untuk menambah
ilmu dan amal dengan penuh kesungguhan, melanggengkan wirid-wirid iabadah,
membaca, mempelajari, mengingat-ingat, mengahafal dan membahas ilmu secara
rutin.[134]
Kesembilan
belas : tidak malu atau gengsi untuk mencari tahu apa yang belum diketahui
meski dari orang yang dibawahnya secara kedudukan, nasab maupun umur, karean
sesungguhnya hikmah adalah barang temuan orang mukmin yanga akan diambilnya
dimanasaja ia temukan.[135]
Kedua
puluh : menyibukkan diri dengan mengarang, mengumpulkan nmembuat
catatan-catatan penting ketika memiliki kapasitas tentang itu, karena hal itu
sebagaimana dikatakan oleh syaikh khotib al baghdadi dapat menguatkan hafalan,
menajamkan hati dan fikiran, memperjelas keterangan serta pahala yang besar dan
akan selalu ada sampai akhir zaman.[136]
b.
Bentuk nilai moral mengajar
terhadap pelajaran
Dalam pembahasan ini KH. Hasyim asy’ari dalam
kitabnya adab al-amir wa al-muta’alim mengemukakan secara panjang lebar tentang
nilai moral pengajar terhadap pelajaran ini, mulai dari awal keberangkatan
hingga akhir pembelajaran. Yaitu sebagai berikut :
“Ketika seorang alim hendak menghadiri majlis
elajarannya, hendaklah dia bersuci dari hadats dan najis, membersihkan
dirinya,memakai wangi-wangian, serta berpakaian yang baik dan layak. Kesemuanya
itu di niatkan untuk mengagungkan ilmu dan menghormati syari’at , serta
meniatkan mengajar hanya untuk taqorrup kepada allah, menyebarkan ilmu,
menghidukan syari’at, dan menyampaikan hukum-hukum allah.
Setelah itu, ketika hendak keluar rumah lalu
berdo’a sebagaimana yang di ajarkan oleh nabi muhammad SAW. Yaitu:
Artinya
: “ya allah, aku menta perlindumgan padamu dari menyesatkan atau di
sesatkan,terpeleset atau di pelesetkan, berbuat dholim atau di dholimi, bodoh
atau di bodohi, sungguh mulia pertolonganmu dan agung pujian bagimu, serta
tiada tuhan selainmu.”
Setelah
itu membaca :
Artinya
: “Dengan menyebut nama allah, saya berpegang kepada allah , saya pasrah kepada
allah dan tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan allah. Ya allah,
tetapkan hatiku, dan letakkanlah kebenaran pada lisanku.”
Setelah itu
ketika sampai di tempat, hendaklah memberi salam keada hadirin, dan duduk
menghadap kiblat (ketika memungkinkan) dengan khusyuk dan tenang.menjaga
tubuhnya dari gerakan-gerakan yang tidak di perlukan. Selanjutnya,
seorang alim memulai pelajarannya dengan membaca ayat al-qur’an serta mendoakan
kebaikan untuk dirinya,hadirin dan seluruh umat islam. Lalu membaca ta’awudz,
basmalah fan hamdallah, serta besholawat keada nabi dan para keluarga, dan para
shohabat-shohabat beliau.
Adapun
ketika mata pelajarannya itu bermacam-macam, maka hendaklah di mulai dari
pelajaran yang paling mulia, dan lebih penting. Yaitu memulainya dari pelajaran
tafsir al-qur’an, hadits nabi, ushuluddin, ushul fiqh, kitab-kitab madzhab,
nahwu shorof dengan berurutan. Dan mengakhiri dengan kitab-kitab tentang
pembersihan hati. Dalam penyampaian hendaklah tidak terlalu panjang yang
membosankan, tidak perlu terlalu ringkas, namun di sesuaikan dengan kondisi
pendengarannya.
Selanjutnya
bagi pelajar hendaklah tidakl mengeraskan suaranya lebih dari kebutuhan, dan
tidak pula memelankannya hingga tidak terdengar oleh para hadirin, agar mereka
semua bisa menyimaknya. Dan juga menjaga dan mengkondisikan majlis dari
kegaduhan, dan ketidak fokusan pembahasan. Mengingatkan mereka tentang di
bencinya berbantah-bantah setelah tampak kebenaran dan memahamkan mereka bahwa
tujuan utamanya adalah menjelaskan kebenaran, menjernihkan hati serta mengambil
faidah.
Dan
ketika pengajar di tanya tentang apa yang tidak di ketahui maka katakanlah
“saya tidah tahu”, karna ucapan itu adalah bagian dari ilmu. Dan setahuilah
bahwa ucapan “saya tidak tahu” tidak akan mengurangi derakat seorang alim
ketika di tanya sebagaimana disangka oleh orang-orang bodoh. Bahkan
sesungguhnya ucapan itu menunjukkan akan keluasan pengetahuannya dan kekuatan
agamanya, serta ketakutannya kepada allah dari mengatakan apa yang tidak di
ketahui.
Dan di
akhir pengajarannya hendaklah mengucapkan kata “wallahhu a’lam”, karena ucapan
itu menunjukkan pada ketulusan mengingit allah, sebagaimana di awal pelajaran
terdahulu mengucapkan basmallah, agar di awal dan diakhir pelajaran syarat
dengan muatan dzikir kepada allah. Dan setelah semuanya selesai hendaklah di
akhiri dengan membaca do’a kafarot majlis yaitu :
Artinya : maha suci engkau ya allah, segala puji
bagimu. Saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain engkau , saya mohon amun serta
bertaubat kepada engkau.[137]
C. Bentuk Nilai
Moral Pengajar Terhadap Murid-Muridnya
Ada empat belas nilai moral pengajar terhadap
murid-muridnya yang dicantumkan K.H. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Adab al Alim
wa al Muta’alim yaitu :
Pertama, melaksanakan pengajaran dan
binbingan dengan niat hanya karena Allah SWT, menyebarkan ilmu, ikut
menyemarakkan syari’at dan ikut menampakkan kebenaran dan menghilangkan
kebatilan.[138]
Kedua,
selalu member mereka bimbingan meski niat mereka belum lurus. Karena keikhlasan
niat dalam belajar dari mereka yang masih pertama belajar tidaklah mudah.[139]
Ketiga,
mencintai murid-muridnya sebagaimana mencintai dirisendiri dan membenci sesuatu
keburukan yang akan menimpa murid-muridnya sama dengan ia membenci suatu
keburukan yang akan menimpa dirinya.[140]
Keempat,
memberikan kemudahan pada mereka dalam penyampaian materi berbicara dengan baik
agar mereka mudah memahami.[141]
Kelima,
berusaha semaksimalmungkin untuk memahamkan meraka, memberikan makna-makan yang
mudah dicerna serta memberikan pemahaman
bagi mereka yang belum faham.[142]
Keenam,
menyuruh murid-muridnya dalam beberapa waktu untuk mengulangi hafalan mereka
yang belum faham.[143]
Ketujuh,
memberi arahan keapada anak didik agar tidak mempelajari suatu ilmu yang belum dia mampu untuk menerimanya atau belum
tingkatannya.[144]
Kedelapan,
tidak menampakkan rasa pilih kasih terhadap mereka dalam mencintai maupun dalam
memberikan perhatian terhadap mereka, karena hal itu akan membuat mereka.[145]
Kesembilan,
menyayangi mereka dan menyebut mereka dengan baik dan penuh pujian dan
hendaknya seorang pengajar harus mengenal mereka, baik nama, nasab, tempat
tinggal mereka serta selalu mendo’akan mereka dengan kebaikan. Begitu pula
seorang pengajar harus selalu mengawasi tingkah laku murid-muridnya, baik dari
sisi adab, pendidikan, maupun ahlak mereka lahir dan batin.[146]
Kesepuluh
selalu membimbing mereka dalam interaksinya dengan teman-teman yang lain,
seperti membiasakan salam, berkomunikasi dengan baik, saling mengasihi, dan
saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan.[147]
Kesebelas,
berusaha untuk memberikan hal-hal yang terkaitdengan kemaslahatan anak didik
dan menolong mereka sesuai dengan kemampuan guru, karean sesungguhnya Allah
selalu menolong orang hambanya selama hamba itu mau menolong saudaranya.[148]
Keduabelas,
menanyakan kepada mereka ketika tidak hadir dalam majlis ilmu, serta mencari
tahu alas an ketidak hadirannya, dan tidak ketika salah seorang dari mereka
sakit maka hendaklah seorang guru itu menjenguknyabegitu pula ketika mereka
dalam kesulitan hendaklah seorang guru itu meringankan bebean mereka.[149]
Ketiga belas,
bersikap rendah diri kepada anak didik dan setiap orang yang membutuhkan
petunjuk darinya serta selalu bersikap sopan santun kepada mereka, karena
sesunggunya sikap tawadhu’ itu akan mengangkat drajat seseorang.[150]
Keempatbelas,
berbicara ataupun berkomunikasidengan mereka secara baik, mengagungkan mereka,
memanggil mereka dengan panggilan yang baik, menyambut mereka dengan hangat
serta wajah yang berseri penuh kasih saying karena secara umum mereka adalah
wasiat Rasulallah SAW.[151]
Dari keterangan kutipan diatas tentang landasan moral
mengajar, KH. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya adab al Alim wa al muta’alim
membaginya kedalam 3 point dasar dengan kesimpulan sebagai berikut :
a. Bentuk nilai moral pengajar terhadap dirinya sendiri
meliputi :
1. Selalu merasa diawasi Allah SWT.
2. Selalu bertaqwa kepada Allah SWT.
3. Selalu bersikap tenang.
4. Selalu menjauhi hal-hal yang diharamkan.
5. Rendah hati.
6. Bersikap khusyu’.
7. Selalu bertawakal kepada Allah.
8. Tidak menjadikan ilmunya sebagai barang dagangan.
9. Tidak mengagungkan para pecinta dunia.
10. Tidak terbuai dengan dunia (zuhut).
11. Menghindari pekerjaan-pekerjaan rendah secara umum.
12. Menjauhi hal-hal yang mengundang prasangka buruk.
13. Selalu menjaga dan melestarikan syi’ar-syi’ar agama islam.
14. Selalu istiqomah dalam mengarjakan sunnah.
15. Menjaga hal-hal yang
dianjurkan oleh syara’.
16. Berinteraksi dengan ahlak yang mulia.
17. Membersihkan hatinya dari ahlak-ahlak tercela.
18. Semangat untuk menambah ilmu dan amal.
19. Tidak malu untuk bertanya
20. Mamberi kontribusi kepada islam dengan mengarang buku atau
kitab.
b. Bentuk nilai moral pengajar terhadap pelajaran meliputi :
1. Bersuci dari hadast dan najis sebelum berangkat mengajar.
2. Berpakaian rapid an memakai wangi-wangian.
3. Membaca dan keluar rumah.
4. Duduk dengan tenang ketika mengajar.
5. Berdo’a sebelum belajar/mengajar.
6. Memulai dari pelajaran yang paling mulia dan penting.
7. Mengkondisikan suasana belajar yang tenang.
8. Tidak malu untuk mengatakan “Saya Tidak Tahu”.
9. Membaca do’a akhir majlis setelah selesai mengajar.
c. Bentuk nilai moral pengajar terhadap murid, meliputi :
1. Niat mengajar hanya karena Allah SWT.
2. Selalu siap membimbing murid
3. Mencintai murid-muridnya
4. Memberikan kemudahan dalam menyampaikan materi.
5. Berusaha keras memahamkan murid
6. Member motivasi untuk menghafalkan pelajaran.
7. Mengarahkan murid untuk tidak mempelajari ilmu yang belum
tingkatannya.
8. Tidak pilih kasih.
9. Menyayangi mereka.
10. Membimbing mereka pada interaksi yang baik.
11. Memberikan kemaslahatan kepada mereka.
12. Menanyakan mereka ketika berhalangan hadir.
13. Bersikap tawadhu’.
14. Berkomunikasi dengan mereka secara baik dan sopan.
3.
Tujuan Landasan Moral Dalam Belajar Mengajar
Pada dasarnya tujuan landasan moral adalah upaya
penanaman dan bimbingan kepada setiap guru dan murid agar dalam proses kegiatan
belajar mengajar tercapai suatu transformasi ilmu pengetahuan yang bermanfaat
dan tepat guna.
Adapun tujuan dari landasan moral dalam belajar
mengajar itu sendiri, menurut KH. Hasyim Asy’ari adalah :
a. Sebagian ulama berkata bahwa tauhid itu akan manumbuhkan
iman dan barangsiapa yang tidak mamiliki iman, maka dia juga tidak bertauhid.
Begitu pula iman akan memunculkan syari’at, maka barang siapa yang tidak
bersyari’at maka dia tidak akan beriaman. Sedangakan syari’at juga akan
menumbuhkan adab (nilai moral), maka barang siapa yang tidak beradab maka sama
dengan tidak memiliki syari’at, iman dan tauhid pada dirinya.
b. Ini adalah Nash yang sangat jelas dan ucapan yang sangat
gamblang dan menguatkan ketinggian posisi adab, dan menjelaskan bahwa
sesungguhnya semua amal-amal yang bersifat agamis, baik sebangsa hatiatau
badan, ucapan maupun perbuatan itu tidak akan dianggap sama sekali tanpa
dihiasi dengan kebaikan-kebaikan moral, sifat-sifat terpuji dan ahalak yang
mulia.
c. Sesunggguhnya menghiasi amal dengan nilai moral pada
permulaannya itu adalah sesuatu tanda akan diterimanya amal di akhirnya.
d. Dan sesunguhnya nilai moral (adab) sebagaimana dibutuhkan
oleh pelajar dalam proses belajarnya itu juga dibutuhkan oleh pengajar dalm
posisi mengajarnya.[152]
Berdasarkan pengertian diatas tentang tujuan landasan
moral dalam belajar mengajar ini dapat disimpulkan bahwasanya landasan moral
ini bertujuan :
a. Agar mendapatkan ridho dari Allah dengan kesemupurnaan
menjalankan tauhid, iman, dan syari’at.
b. Sebagai bukti bahwa pemiliknya adalah orang-orang yang telah
mencapai tingkatan tauhid, iman, dan syari’at.
c. Meningkatkan kualitas amal manusia, bahwa amal apapun bentuk
dan caranya tidak akan dianggap bila tidak di landasi dengan nilai moral yang
baik dan sifat-sifat yang mulia.
d. Agar amal yang kita lakukan benar-benar diterima di sisi
Allah SWT.
e. Dengan nilai yang bermuara pada ahlakul karimah agar
mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan barokah baik bagi pelajar maupun
penmgajar.
f. Agar terbiasa dengan nilai-nilai Moralyang bermuara pada
ahlak. Mengamalkannya dengan sungguh-sungguh agar tercapai kebaikan dan
kebahagiaan didunia dan akherat.
[70]
Muhammad Isham Hadziq, Muqoddimah Adobal ‘Alim Wa al Muta’allim, Maktabah At-Turats
Al-Islami, Tebu Ireng, Jombang, 1415 H, hal3
[71] Ibid,
Hal 3
[72]
Zuhoirini Misrawi, Hadra Tussyekh Hasyim Asy’ari, kompas. Jakarta. 2010,
hal 35
[73] Ibid,
Hal 38
[74] Ibid,
Hal 40
[75] Ibid,
Hal 41
[76] Ibid,
hal 41
[77] Ibid,
Hal 42
[78]
Muhammad Isham Hadziq, Op.Cit, Hal4
[79] Ibid,
Hal 4-5
[80] Ibid,
Hal 7
[81]
Lathiful Khuluq, Fajar kebangunan Ulama, Biografi KH. Hasyim Asy’ari.
Lkis, Bantul, Yogyakarta, 2000, hal 28
[82]
Zuhairini Misrawi, OP, Cit, Hal 46
[83] Ibid,
Hal 47
[84] Ibid,
Hal 49
[85]
Muhammad Ishom Hadziq, Op,Cit, hal6-7
[86]
Hasyim Asy’ari, Adab Al ‘Alim Wa Al Muta’allim, Maktabah Taurats Al Islami,
Tebu Ireng, Jombang, 1415 H, Hal 24
[87] Ibid,
Hal 25
[88] Ibid,
Hal 25
[89] Ibid,
Hal 25
[90] Ibid,
hal 26
[91] Ibid,
hal 26
[92] Ibid,
Hal 26-227
[93] Ibid,
Hal 27
[94] Ibid,
Hal 27
[95] Ibid,
Hal 28
[96] Ibid,
Hal 28
[97] Ibid,
Hal 29
[98] Ibid,
Hal 29
[99] Ibid,
hal 30
[100] Ibid,
Hal 30
[101] Ibid,
hal 31
[102] Ibid,
hal 31
[103] Ibid,
Hal 32-33
[104] Ibid,
Hal 34
[105] Ibid, hal 36
[106] Ibid,
hal 37
[107] Ibid,hal
38
[108] Ibid
, hal 39
[109] Ibid,
hal 40-41
[110] Ibid,
hal 42
[111] Ibid,
hal 43
[112] Ibid,
hal 44
[113] Ibid,
hal 45-46
[114] Ibid,
hal 46
[115] Ibid,
hal 46-47
[116] Ibid,
hal 47
[117] Ibid,
hal 48
[118] Ibid,
hal 49
[119] Ibid,
hal 50
[120] Ibid,
hal 51
[121] Ibid,
hal 52
[122] Ibid,
hal 53
[123] Ibid,
hal 54
[124] Ibid,
hal 55
[125] Ibid,
hal 56
[126] Ibid,
hal 58
[127] Ibid,
hal 59
[128] Ibid,
hal 59
[129] Ibid,
hal 60
[130] Ibid,
hal 62
[131] Ibid
Hal 62
[132] Ibid,
hal 63
[133] Ibid,
hal 63
[134] Ibid,
hal 67
[135] Ibid,
hal 68
[136] Ibid,
hal 70
[137] Ibid,
hal 71-79
[138] Ibid,
hal 81
[139] Ibid, hal
81-82
[140] Ibid,
hal 83
[141] Ibid,
hal 84
[142] Ibid,
hal 85
[143] Ibid,
hal 88
[144] Ibid,
hal 88
[145] Ibid,
hal 90
[146] Ibid,
hal 90-91
[147] Ibid,
hal 91-92
[148] Ibid,
hal 92
[149] Ibid,
hal 92-93
[150] Ibid,
hal 94
[151] Ibid,
hal 94-95
[152] KH.
Hasyim Asy’ari, Adab al-alim wa al-muta’alim, Maktabah Taurats al islami, tabu
ireng, Jombang, 1415 H, hal 11
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !