Headlines News :

Lomba Blog BPJS Ketenagakerjaan

Home » » Khittah NU

Khittah NU


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
NU mencakup tujuan pendirian NU, gerakan-gerakan NU dan lain-lain. Ada Perbincangan Khittah NU sering dikaitkan dengan urusan politik. Sementara, cakupan Khittah NU 1926 pada dasarnya tidak hanya menerangkan ihwal hubungan organisasi NU dengan politik, tetapi juga hal-hal mendasar terkait soal ibadah kepada Allah Swt dan kemasyarakatan. Khittah anggapan, hal ini sudah mulai dilupakan banyak orang. Seringkali, bicara Khittah NU 1926 hanya dikaitkan hubungan NU dengan PKB, PKNU, PPP dan partai politik lain. Padahal khittah bukan sebatas itu, dan mencakup tema-tema yang luas seluas wilayah kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Menurut Kyai Muchit, Khittah NU 1926 merupakan dasar agama warga NU, akidahnya, syariatnya, tasawufnya, faham kenegaraannya, dan lain-lain.
Pada Muktamar Ke-27 NU di Situbondo, Jawa Timur, pada pasal pengertian khittah menyebutkan, Khitthah NU 1926 merupakan landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga NU yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perseorangan maupun organisasi. Dalam hal ini penulis akan membahas tentang khittah NU dan sejarah gerakan NU.

B.      Rumusan Masalah
1.       Bagaimanakah Latar Belakang kembali Ke Khittah?
2.       Apakah Mabadi Khaira Ummah Itu ?
3.       Bagaimana Gerakan Politik NU Setelah Khittah?
4.       Bagaimana Gerakan Kultur NU?

BAB II
PEMBAHASAN
KHITTAH NU 1926

A.     Latar Belakang Kembali Ke khittah
Pada Muktamar Ke-27 tahun 1984 secara resmi NU kembali ke Khittah NU 1926. Ini ditandai keluarnya NU dari PPP. Dan kembali menjadi organisasi sosial keagamaan sebagaimana saat didirikan, 31 Januari 1926.
NU mencakup tujuan pendirian NU, gerakan-gerakan NU dan lain-lain. Ada Perbincangan Khittah NU sering dikaitkan dengan urusan politik. Sementara, cakupan Khittah NU 1926 pada dasarnya tidak hanya menerangkan ihwal hubungan organisasi NU dengan politik, tetapi juga hal-hal mendasar terkait soal ibadah kepada Allah Swt dan kemasyarakatan. Khittah anggapan, hal ini sudah mulai dilupakan banyak orang. Seringkali, bicara Khittah NU 1926 hanya dikaitkan hubungan NU dengan PKB, PKNU, PPP dan partai politik lain. Padahal khittah bukan sebatas itu, dan mencakup tema-tema yang luas seluas wilayah kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Menurut Kyai Muchit, Khittah NU 1926 merupakan dasar agama warga NU, akidahnya, syariatnya, tasawufnya, faham kenegaraannya, dan lain-lain.
Pada Muktamar Ke-27 NU di Situbondo, Jawa Timur, pada pasal pengertian khittah menyebutkan, Khitthah NU 1926 merupakan landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga NU yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perseorangan maupun organisasi. Juga daIam setiap proses pengambilan keputusan. Landasan tersebut ialah faham Islam Ahlussunnah wal Jama'ah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia. Ini meliputi dasar-dasar amal keagamaan maupun kemasyarakatan. Khitthah NU 1926 yang digali dari intisari perjalanan sejarah khidmahnya dari masa ke masa.
Dalam praksisnya, Khittah NU 1926, misal, terkait dengan persoalan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam pandangan Khittah NU 1926, NKRI sudah final. NU tidak sepakat dengan pemberlakukan hukum Islam secara legal formal. Selain itu, menurut keputusan Muktamar Ke-27 juga disebutkan, NU sebagai organisasi keagamaan, merupakan bagian tak terpisahkan dari umat Islam Indonesia.
Khittah NU 1926 juga melandasi praksis hubungan kemasyarakatan yang senantiasa memegang teguh prinsip persaudaraan, toleransi, kebersamaan dan hidup berdampingan baik dengan sesama warga negara dengan keyakinan atau agama lain untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh dan dinamis.
Kini, banyak orang memunculkan gagasan, perlunya membumikan Khittah NU 1926 dalam tatara yang lebih praktis, lebih konteks, dan lebih memberi daya dorong dalam beragam persoalan. Khittah NU 1926 dirasakan masih ”abstrak” dan ”imajiner” dibandingkan dengan sebagai ruh yang mampu memberi daya dorong dalam segala lini kehidupan berbangsa dan bernegara.
B.      Mabadi Khaira Ummah
a.       Pengertian mabadi khaira ummah
Mabadi Khaira Ummah merupakan langkah awal pembentukan umat terbaik. Gerakan Mabadi Khaira Ummah merupakan langkah awal pembentukan “umat terbaik” (Khaira Ummah) yaitu suatu umat yang mampu melaksanakan tugas-tugas amar makruf nahi mungkar yang merupakan bagian terpenting dari kiprah NU karena kedua sendi mutlak diperlukan untuk menopang terwujudnya tata kehidupan yang diridlai Allah SWT.
Sesuai dengan cita-cita NU, Amar ma’ruf adalah mengajak dan mendorong perbuatan baik yang bermanfaat bagi kehidupan duniawi dan ukhrawi, sedangkan nahi mungkar adalah menolak dan mencegah segala hal yang dapat merugikan, merusak dan merendahkan, nilai-nilai kehidupan dan hanya dengan kedua sendi tersebut kebahagiaan lahiriah dan bathiniyah dapat tercapai. Prinsip dasar yang melandasinya disebut “Mabadi Khaira Ummah”. Kalimat Khaira Ummah diambil dari kandungan Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 110 yang artinya:
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.(QS. Ali Imran [3]:110).
b.       Tujuan Mabadi Khaira Ummah
Sebagaimana dijelaskan di atas, gerakan Mabadi Khaira Ummah yang pertama dahulu diarahkan kepada penggalangan warga untuk mendukung program pembangunan ekonomi NU. Program ini telah menjadi perhatian serius pula saat ini, sebagaimana hasil Kongres NU ke-28.
Sementara itu kebutuhan strategis NU dewasa ini pun semakin berkembang. NU telah tumbuh menjadi satu organisasi massa besar. Tetapi, meskipun tingkat kohesi kultural di antara warga tinggi, kita tidak dapat mengingkari kenyataan, betapa lamban proses pengembangan tata organisasinya. Di hampir semua tingkat kepengurusan dan realisasi program masih terlihat kelemahan manajemen sebagai problem serius. Menyongsong tugas-tugas berat di massa datang, persoalan pembinaan tata organisasi ini perlu segera ditangani. Jika ditelaah lebih mendalam, nyatalah bahwa prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam Mabadi Khaira Ummah tersebut memang amat relevan dengan dimensi personal dalam pembinaan manejemen organisasi, baik organisasi usaha (bisnis) maupun organisasi sosial. Manajemen organisasi yang baik membutuhkan sumber daya manusia yang tidak saja terampil, tetapi juga berkarakter terpuji dan bertanggung jawab. Dalam pembinaan organisasi NU, kualitas sumber daya manusia semacam ini jelas dibutuhkan.
Dengan demikian, gerakan Mabadi Khaira Ummah tidak saja relevan dengan program pengembangan ekonomi, tetapi juga pembinaan organisasi pada umumnya. Kedua hal ini yang akan menjadi arah strategis pembangkitan kembali gerakan Mabadi Khaira Ummah kita nantinya, di samping bahwa sumber daya manusia yang dapat dikembangkan melalui gerakan ini pun akan menjadi kader-kader unggul yang siap berkiprah aktif dalam mengikhtiyarkan kemashlahatan umat, bangsa dan negara pada umumnya.
c.        Butir-Butir Mabadi Khaira Ummah Dan Pengertiannya
Yang perlu dicermati selanjutnya dalah perbedaan konteks zaman antara massa gerakan Mabadi Khaira Ummah pertama kali dicetuskan dan masa kini. Melihat besar dan mendasarnya perubahan sosial yang terjadi dalam kurun sejarah tersebut, tentulah perbedaan konteks itu membawa konsekuensi yang tidak kecil. Demikian pula halnya dengan perkembangan kebutuhan-kebutuhan internal NU sendiri. Oleh karenanya perlu dilakukan beberapa penyesuaian dan pengembangan dari gerakan Mabadi Khaira Ummah yang pertama agar lebih jumbuh dengan konteks kekinian.
Konsekuensi-konsekuensi dari berbagai perkembangan itu akan menyentuh persoalan arah dan titik tolak gerakan serta strategi pelaksanaannya. Di atas telah dijelaskan pengembangan kerangka tujuan bagi gerakan ini. Berkaitan dengan itu pula, diperlukan penyesuaian dan pengembangan yang menyangkut butir-butir yang dimasukkan dalam Mabadi khaira Ummah dan spesifikasi pengertiannya.
Jika semula Mabadi Khaira Ummah hanya memuat tiga butir nilai seperti telah disebut di atas, dua butir lagi perlu ditambahkan untuk mengantisipasi persoalan dan kebutuhan kontemporer. Kedua butir itu adalah al-‘Adalah dan al-Istiqamah. Dengan demikian, gerakan Mabadi Khaira Ummah kita ini akan membawa lima butir nilai yang dapat pula disebut sebagai “Al-Mabadi Al-Khamsah”. Berikut ini adalah uraian pengertian yang telah dikembangkan dari kelima butir “Al-Mabadi Al-Khamsahtersebut disertai kaitan dengan orientasi-orientasi spesifiknya, sesuai dengan kerangka tujuan yang telah dijelaskan di atas:
1. As-Shidqu
Butir ini mengandung arti kejujuran/kebenaran, kesungguhan dan keterbukaan. Kejujuran/kebenaran adalah satunya kata dengan perbuatan, ucapan dengan pikiran. Apa yang diucapkan sama dengan yang di bathin. Jujur dalam hal ini berarti tidak plin-plan dan tidak dengan sengaja memutarbalikkan fakta atau memberikan informasi yang menyesatkan. Dan tentu saja jujur pada diri sendiri.
Termasuk dalam pengertian ini adalah jujur dalam bertransaksi dan jujur dalam bertukar pikiran. Jujur dalam bertransaksi artinya menjauhi segala bentuk penipuan demi mengejar keuntungan. Jujur dalam bertukar pikiran artinya mencari mashlahat dan kebenaran serta bersedia mengakui dan menerima pendapat yang lebih baik. Dalil-dalil yang berkaitan dengan hal ini adalah:
“Dusta itu bukanlah yang memperbaiki di kalangan manusia, lalu menumbuhkan kebaikan atau berbicara baik” (Muttafaq ‘alaih)
2. Al-Amanah wal-Wafa bil ‘ahd
Butir ini memuat dua istilah yang saling terkait, yakni al-amanah dan al-wafa’ bil ’ahdi. Yang pertama secara lebih umum maliputi semua beban yang harus dilaksanakan, baik ada perjanjian maupun tidak, sedang yang disebut belakangan hanya berkaitan dengan perjanjian. Kedua istilah ini digambungkan untuk memperoleh satu kesatuan pengertian yang meliputi: dapat dipercaya, setia dan tepat janji. Dapat dipercaya adalah sifat yang diletakkan pada seseorang yang dapat melaksanakan semua tugas yang dipikulnya, baik yang bersifat diniyah maupun ijtima’iyyah. Dengan sifat ini orang menghindar dari segala bentuk pembekalaian dan manipulasi tugas atau jabatan.
3. Al-‘Adalah
Bersikap adil (al’adalah) mengandung pengertian obyektif, proposional dan taat asas. Bitir ini mengharuskan orang berpegang kepad kebenaran obyektif dan memnempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Distorsi penilaian sangat mungkin terjadi akibat pengaruh emosi, sentimen pribadi atu kepentingan egoistic. Distorsi semacam ini dapat menjeruamuskan orang kedalam kesalahan fatal dalam mengambil sikap terhadap suatu persolan. Buntutnya suadah tentu adalah kekeliruan bertindak yang bukan saja tidak menyelesaikan masalah, tetapi bahkan menambah-nambah keruwetan. Lebih-lebih jika persolan menyangkut perselisihan atau pertentangan diantara berbagai pihak. Dengan sikap obyektif dan pro[osional distorsi semacam ini dapat dihindarkan.
4. At-Ta'awun
At-ta’awun merupakan sendi utama dalam tata kehidupan masyarakat : manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan pihak lain. Pengertia ta'awun meliputi tolong menolong, setia kawan dan gotong royong dalam kebaikan dan taqwa. Imam al-Mawardi mengaitkan pengertia al-birr (kebaikan) dengan kerelaan manusia dan taqwa dengan ridla Allah SWT.
Memperoleh keduanya berarti memperoleh kebahagiaan yang sempurna. Ta'awun juga mengandung pengertian timbal balik dari masing-masing pihak untuk memberi dan menerima. Oleh karena itu, sikap ta'awun mendorong setiap orang untuk berusaha dan bersikap kreatif agar dapat memiliki sesuatu yang dapat disumbangkan kepada orang lain dan kepada kepentingan bersama. Mengembangkan sikap ta'awun berarti juga mengupayakan konsolidasi.
5. Istiqamah
Istiqamah mengandung pengertian ajeg-jejeg, berkesinambungan, dan berkelanjutan. Ajeg-jejeg artinya tetap dan tidak bergeser dari jalur (thariqah) sesuai dengan ketentuan Allah SWT dan rasul-Nya, tuntunan yang diberikan oleh salafus shalih dan aturan main serta rencana-rencana yang disepakati bersama. Kesinambungan artinya keterkaitan antara satu kegiatan dengan kegaiatan yang lain dan antara satu periode dengan periode yang lain sehingga kesemuanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dan saling menopang seperti sebuah bangunan.
Sedangkan makna berkelanjutan adalah bahwa pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut merupakan proses yang berlangsung terus menerus tanpa mengalami kemandekan, merupakan suatu proses maju (progressing) bukannya berjalan di tempat (stagnant).
C.     Gerakan Politik NU Setelah Khittah
Nahdlatul Ulama (NU) berdiri 1926 adalah sebagai organisasi kemasyarakatan atau jam’iyah, bukan  partai politik, bukan institusi politik, tapi tak bisa dipungkiri dan dihindarai bahwa sejak kelahirannya NU telah bersinggungan dengan ruang politik.
Pada tahun 1940-1943 NU masuk MIAI yang kemudian menjadi Masyumi. Masyumi dibentuk dimaksudkan untuk menciptakan kekuatan besar bagi umat Islam. Tahun 1945 Raisul Akbar Hadrotussyaikh KH Hasyim As’ary mengeluarkan fatwa resolusi jihad untuk menghadapi tentara nicca belanda. Dan pada tahun-tahun berikutnya NU juga tak tinggal diam menghadapi PKI.
Ada satu hal yang perlu dicatat bahwa, kelahiran NU itu sendiri sebagai respon atas munculnya Islam wahabisme atau Islam reformis yang menyatakan dirinya sebagai kaum pambaharu Islam. Melihat sisi historis demikian maka boleh dikata  semenjak kelahirannya NU telah berpolitik, barulah pada tahun 1952 Muktamar NU ke 19 di palembang, NU resmi menyatakan diri sebagai partai politik setelah keluar dari Masyumi.
Dari pemilu 1955 sampai pemilu 1971 NU berhasil meraih suara cukup menggembirakan, NU benar-benar bermain di arena politik, NU punya bargaining  cukup tinggi, NU punya banyak wakil di DPR, para ulama  sepuh NU juga masih banyak. sampai disini NU masih berjaya. Barulah pada tahun 1973 NU mulai melewati masa awal perpecahan. Semua partai Islam termasuk NU harus fusi dalam satu partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan(PPP).  PPP tak ubahnya seperti Masyumi dulu, perselisihan antar kelompok dalam tubuh PPP terus terjadi tak kunjung usai. Kasus yang terjadi di PPP serupa dengan yang terjadi di Masyumi – NU selalu dimarjinalkan.
NU  dalam posisi rumit, bikin partai tak boleh, memperbaiki PPP juga suatu hal yang sangat sulit karena PPP dan PDI saat itu merupakan boneka orde baru.  Disinilah titik awal dimulainya perpecahan warga NU, dimana pemerintah Orba salah satu factor utama dalam penghancuran NU. NU selanjutnya hanya berpolitik secara moral yang sulit dipertanggungjawabkan hasilnya. NU kemudian hanya menitipkan para kadernya di PPP, sedang NU sendiri hanya bisa bermain diluar arena.
Pola dukung mendukung oleh NU mulai dijalankan. NU terkadang bermetamorfosa dari hijau menjadi merah ketika Gus Dur mendekati Mega yang waktu itu kita kenal dengan istilah Mega-Gus Dur untuk menandingi PDI Suryadi. Atau terkadang NU berubah ujud dari hijau ke kuning ketika Gus Dur mengajak warganya untuk mengikuti Istighotsah NU-Golkar di berbagai daerah beberapa tahun silam sebelum reformasi.
Setelah reformasi bergulir, sepertinya ada harapan besar bagi NU untukmengembalikan kejayaan NU dimasa silam. Toh demikian masih terlalu berat jika NU menjelma menjadi partai. NU akhirnya mendirikan PKB dimana PKB diharapkan menjadi satu-satunya partai NU yang berakses ke PBNU. NU sendiri bukanlah partai tapi NU punya sayap politik yaitu PKB. Betapa hebat respon masyarakat terhadap lahirnya PKB, Ini wajar saja karena warga NU benar-benar haus dengan partai NU setelah 32 tahun NU dipinggirkan.
Namun tampaknya harapan hanya tinggal harapan, PKB yang diharapkan menjadi sayap politik NU justeru berjalan sendiri bahkan senantiasa berseberangan dengan NU structural. Antara PKB dan NU mulai ada tanda-tanda kurang serasi, PKB memecat ketuanya yaitu Matori Abdul jalil yang sebenarnya NU tidak menghendaki. Ketidak serasian NU-PKB ini diperuncing lagi ketika NU punya gawe mencalonkan Hasyim Muzadi menjadi cawapres Mega. Dengan susah payah NU menggerakkan warganya dari tingkat PW-PC-MWC bahkan sampai ketingkat ranting untuk mengegolkan jagonya yaitu Hasyim Muzadi menjadi Cawapres, tapi PKB saat itu justeru mendukung Wiranto-Wahid dari Golkar, diteruskan pada  pilpres putaran kedua PKB mendukung SBY-JK. Cukup sudah PKB menyodok NU saat itu.  Mulai dari itu PKB dianggap bukan lagi partai sayap politik NU karena PKB  terlalu jauh meninggalkan NU.
Carut-marut perpolitikan NU saat ini sudah sangat rumit. Musuh sudah pakai senjata api kita masih berebut senjata bambu. Sederet pertanyaan inilah yang mungkin akan terjawab dalam muktamar NU mendatang.
D.     Gerakan Kultur NU
NU sebagai organisasi masa Islam, sampai sekarang masih menjadi bahasan yang menarik di dunia akademik. Banyak peneliti asing yang tertarik dengan NU, di antaranya Martin van Bruinessen, Greg Barton, Greg Fealy, Ben Anderson, Mitsuo Nakamura dan lain sebagainya. Mereka tertarik kultur NU dengan ketradisionalannya yang dianggap eksotik.
Berbeda dengan aliran Islam lainnya, NU sangat menghargai tradisi dan kebudayaan setempat. Para peneliti ini mengikuti penelitian Antropologis yang sebelumnya pernah dilakukan. Mereka adalah Clifford Gertz, Andrew Beautty, Mark R. Woodward, Robert Hefner dan antropolog lainya yang memfokuskan pada agama Jawa. Karya-karya yang dihasilkan oleh para peneliti ini hingga sekarang cukup populer dan selalu menjadi rujukan di dunia akademis baik di Indonesia maupun di luar negeri.
Dalam konteks seperti ini, NU menjadi obyek penelitian. Para peneliti inilah yang memiliki otoritas untuk merepresentasikan NU, baik itu berupa sejarah, komunitas, perilaku, dan masa depan NU. Sebagai obyek penelitian, tentunya NU sama sekali tidak memiliki otoritas dalam merepresentasikan dirinya. Hasil-hasil penelitian beberapa peneliti ini, bukan tidak berdampak pada perkembangan Islam di Indonesia. Kita perlu menyadari bersama bahwa peneliti Barat bukan hanya sekedar meneliti atas nama pengetahuan belaka. Mereka datang untuk meneliti sekaligus membuat bangunan epistemologi gerakan Islam. Sehingga wajar jika gerakan Islam di Indonesia semakin bias kepentingan.

BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian diatas maka penulis dapat menyimpulkan tentang Khittah NU yaitu :
1.      Pada Muktamar Ke-27 tahun 1984 secara resmi NU kembali ke Khittah NU 1926. Ini ditandai keluarnya NU dari PPP. Dan kembali menjadi organisasi sosial keagamaan sebagaimana saat didirikan, 31 Januari 1926.
2.      Mabadi Khaira Ummah merupakan langkah awal pembentukan umat terbaik. Gerakan Mabadi Khaira Ummah merupakan langkah awal pembentukan “umat terbaik” (Khaira Ummah) yaitu suatu umat yang mampu melaksanakan tugas-tugas amar makruf nahi mungkar yang merupakan bagian terpenting dari kiprah NU karena kedua sendi mutlak diperlukan untuk menopang terwujudnya tata kehidupan yang diridlai Allah SWT.
3.      Setelah Khittah NU tidak lagi ikut secara aktif dalam politik praktis tetapi lebih kepada politik taktis.
4.      gerakan kultur NU lebih kepada upaya pemertahanan tradisi atau budaya.

DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Teologi Islam, Modul Penyetaraan Universitas Terbuka, Departemaen Agama 1997.

AD dan ART Nahdlatul Ulama

Hasanuddin, Dkk, Pendidikan  ke-NU-an (ASWAJA), CV Al-Ihsan, Surabaya 1992.

Pustaka Ma’arif  NU, Islam Ahlussunnah Wal Jamaah Di Indonesia, Jakarta, 2007.


Share this article :

2 comments:

kirimkan komentar anda di sini

Blog Archive

Followers

Search This Blog

Blogger Themes

Random Post

Bagaimana Pendapat Anda dengan Blog ini?

Trending Topik

EnglishFrenchGermanSpainItalianDutch

RussianPortugueseJapaneseKoreanArabic Chinese Simplified
SELAMAT DATANG
script>
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Berbagai Kumpulan Makalah - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template