Headlines News :

Lomba Blog BPJS Ketenagakerjaan

Home » » Imam bin Anas

Imam bin Anas


BAB I
PEMBAHASAN

A.  Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Malik bin Anas Abi Amir al Ashbahi, dengan julukan Abu Abdillah.
Ia lahir pada tahun 93 H, Ia menyusun kitab Al Muwaththa', dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah.
Kitab tersebut menghimpun 100.000 hadits, dan yang meriwayatkan Al Muwaththa’ lebih dari seribu orang, karena itu naskahnya berbeda beda dan seluruhnya berjumlah 30 naskah, tetapi yang terkenal hanya 20 buah. Dan yang paling masyur adalah riwayat dari Yahya bin Yahyah al Laitsi al Andalusi al Mashmudi.
Sejumlah ‘Ulama berpendapat bahwa sumber sumber hadits itu ada tujuh, yaitu Al Kutub as Sittah ditambah Al Muwaththa’. Ada pula ulama yang menetapkan Sunan ad Darimi sebagai ganti Al Muwaththa’. Ketika melukiskan kitab besar ini, Ibn Hazm berkata,” Al Muwaththa’ adalah kitab tentang fiqh dan hadits, aku belum mnegetahui bandingannya.
Hadits-hadits yang terdapat dalam Al Muwaththa’ tidak semuanya Musnad, ada yang Mursal, mu’dlal dan munqathi. Sebagian ‘Ulama menghitungnya berjumlah 600 hadits musnad, 222 hadits mursal, 613 hadits mauquf, 285 perkataan tabi’in, disamping itu ada 61 hadits tanpa penyandara, hanya dikatakan telah sampai kepadaku” dan “ dari orang kepercayaan”, tetapi hadits hadits tersebut bersanad dari jalur jalur lain yang bukan jalur dari Imam Malik sendiri, karena itu Ibn Abdil Bar an Namiri menentang penyusunan kitab yang berusaha memuttashilkan hadits hadits mursal , munqathi’ dan mu’dhal yang terdapat dalam Al Muwaththa’ Malik.
Imam Malik menerima hadits dari 900 orang (guru), 300 dari golongan Tabi’in dan 600 dari tabi’in tabi’in, ia meriwayatkan hadits bersumber dari Nu’main al Mujmir, Zaib bin Aslam, Nafi’, Syarik bin Abdullah, az Zuhry, Abi az Ziyad, Sa’id al Maqburi dan Humaid ath Thawil, muridnya yang paling akhir adalah Hudzafah as Sahmi al Anshari.
Adapun yang meriwayatkan darinya adalah banyak sekali diantaranya ada yang lebih tua darinya seperti az Zuhry dan Yahya bin Sa’id. Ada yang sebaya seperti al Auza’i., Ats Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Al Laits bin Sa’ad, Ibnu Juraij dan Syu’bah bin Hajjaj. Adapula yang belajar darinya seperti Asy Safi’i, Ibnu Wahb, Ibnu Mahdi, al Qaththan dan Abi Ishaq.
An Nasa’i berkata,” Tidak ada yang saya lihat orang yang pintar, mulia dan jujur, terpercaya periwayatan haditsnya melebihi Malik, kami tidak tahu dia ada meriwayatkan hadits dari rawi matruk, kecuali Abdul Karim”.
(Ket: Abdul Karim bin Abi al Mukharif al Basri yang menetap di Makkah, karena tidak senegeri dengan Malik, keadaanya tidak banyak diketahui, Malik hanya sedikit mentahrijkan haditsnya tentang keutamaan amal atau menambah pada matan).
Sedangkan Ibnu Hayyan berkata,” Malik adalah orang yang pertama menyeleksi para tokoh ahli fiqh di Madinah, dengan fiqh, agama dan keutamaan ibadah”.
Malik bin Anas menyusun kompilasi hadits dan ucapan para sahabat dalam buku yang terkenal hingga kini, Al Muwatta.

B.     Karya-Karyanya
Diantara karya-karya Imam Malik adalah:
(a) al-Muwatta’,
(b) Kitab ‘Aqdiyah,
(c) Kitab Nujum, Hisab Madar al-Zaman, Manazil al-Qamar,
(d) Kitab Manasik
(e) Kitab Tafsir li Gharib al-Qur’an
(f) Ahkam al-Qur’an
(g) Al-Mudawanah al-Kubra
(h) Tafsir al-Qur’an
(i) Kitab Masa’ Islam
(j) Risalah ibn Matruf Gassan
(k) Risalah ila al-Laits
(l) Risalah ila ibn Wahb.
Namun dari beberapa karya tersebut yang sampai kepada kita hanya dua yakni, al-Muwatta’ dan Al-Mudawwanah al-Kubra.

C.    Pokok Pikirannya
a.      Al-Qur’an
Dalam pandangan Malik, A-Qur’an adalah diatas semua dalil-dalil hukum. Ia menggunakan nash sharih (jelas) dan tidak menerima ta’wil. Dzahir Al-Qur’an diambil ketika bersesuaian dengan takwil selama tidak didapati dalil yang mewajibkan takwil. Imam Malik menggunakan mafhum al-Muwafaqat, yaitu fatwa al-Kitab. Contohnya ayat Al-Qur’an :
ﺍﻦ ﺍﻠﺬﻴﻦ ﻴﺄﻜﻠﻮﻥ ﺍﻤﻭﺍﻞ ﺍﻠﻴﺘﻣﻰ ﻆﻠﻤﺎ ﺍﻨﻤﺎ ﻴﺄﻜﻠﻮﻦ ﻔﻰﺒﻄﻮﻨﻬﻢ ﻧﺎﺮﺍ ﻮﺴﻴﺼﻠﻮﻦ ﺴﻌﻴﺮﺍ
Ayat ini dapat dipahami bahwa larangan melebih-lebihkan dan mengurangi dalam mengurusi harta anak yatim. Selain itu, Imam Malik menggunakan mafhum al-Mukhalafah, tanbih atas illat, isyarat (qarinah). Imam Malik mendahulukan Al-Qur’an selama tidak ada dalam As-Sunnah.
b.      As-Sunnah
Mazhab Malik (Imam Malik mengambil sunnah yang mutawatir Mashur (setingkat dibawah mutawatir), dan khabar abad (sebagian besar, mendahulukan hadits ahad dari qiyas). Selain itu, Imam Malik menggunakan hadits munqathi dan mursal selama tidak bertentangan dengan tradisi orang-orang Madinah.
c.       Amalan Ahlu Al-Madinah (Al-U’rf)
Imam Malik memegang tradisi Madinah sebaga Hujjah (dalil) hukum karena amalannya, dinukil langsung dari Nabi SAW. Ia mendahulukan amal Ahlu Al-Madinah ketimbang khabar ahad, sedangkan para fuqaha tidak seperti itu.
d.      Fatwa Sahabat
Fatwa sahabat digunakan oleh Imam Malik karena ia atsar di mana sebagian para sahabat melakukan manasik haji dengan Nabi hadits. Bahkan, Imam Malik mengambil juga fatwa para kibar At-tabiin meskipun derajatnya tidak sampai ke fatwa sahabat, kecuali adanya ijma’ para ahlu Madinah.
e.       Ijma’
Imam Malik paling banyak menyandarkan pendapatnya pada ijma’ seperti tertera dalam kitabnya Al-Muwaththa kata-kata al-Amru al-Mujtama’ alaih dan sebagainya. Ijma’ Ahli Madinah pun dijadikan hujjah, seperti ungkapannya, Hadzi huwa al-Amru al-Mujtama’ alaihi indana. Asal amalan Madinah tersebut berdasarkan Sunnah, bukan hasil ijtihad (fatwa).
f.        Qiyas, Maslahat Mursalat, dan Istihsan
Qiyas yang digunakan Imam Malik adalah Qiyas Isthilahi, sedangkan Istihsan adalah memperkuat hukum maslahat juziyah atas hukum qiyas. Qiyas adalah mengbungkan suatu kasus yang tidak jelas nash dengan suatu perkara yang ada nashnya karena ada kesesuaian antara kedua perkara tersebut pada illat kedua hukum tersebut. Adapun maslahat juziyah tidak seperti itu dalam menetapkan hukum, inilah yang disebut istihsan isthilahi. Menurut kami, istihsan adalah hukum maslahat yang tidak ada nashnya. Sedangkan maslahat mursalat adalah maslahat yang tidak ada nashnya untuk melaksanakan atau tidak. Masalahat mursalah yang kami gunakan dengan syarat bertujuan meniadakan kesukaran. Hal itu merupakan maslahat yang sudah umum dalam hukum Islam meskipun tidak ada nashnya secara tersendiri. Maslahat yang kami gunakan tak lain adalah istihsan, sementara qiyas yang kami pegang adalah qiyas yang tidak ada nashnya tentang kesempatan yang luas. Secara umum, Imam Malik menggunakan maslahat meskipun tidak ada nash atau Hadits Nabi SAW karena tujuan syara’ adalah untuk kemaslahatan umat manusia dan setiap nash pasti mengandung nilai maslahat. Jika tidak ada nash, maslahat hakiki adalah melihat tujuan hukum syara’.
g.      Adz-Dzara’i
Sadz Adz-Dzarai, dasar Istimbat yang sering dipakai oleh Imam Malik, maknanya adalah menyumbat jalan. Wasilahnya haram, haram, wasilahnya halal, halal. Demikian pula dalam maslahat yang harus dicari. Wasilah kepada kemunkaran haram dan harus dicegah.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa Imam Malik Ibn Annas dalam berfatwa, pertama, Al-Qur’an, As-Sunnah (terutama As-Sunah orang-orang Madinah yang setingkat dengan As-Sunnah mutawattir. Pen.), ijma’ dan qiyas. Demikian pula, Asy-Syatibi menyederhanakan dasar-dasar Imam Malik adalah Al-Qur’an, Sunnah, ijma’ dan ra’yu.
Penyederhanaan tersebut tampaknya beralasan, sebab qaul sahabat dan tradisi orang Madinah dalam pandangan Malik adalah bagian dari Sunnah, sedangkan ra’yu meliputi maslahat mursalat, sadd adz-Dzariat, Urf, Istihsan dan Istishab.
Dari berbagai uraian di atas dapat dipahami bahwa Imam Malik adalah seorang yang berfikiran tradisional. Hanya karena kedalaman ilmunya, ia dapat mengimbangi berbagai perkembangan yang terjadi saat itu. Namun, ada beberapa hal yng perlu digarisbawahi dalam manhaj Imam Malik/
Pertama, Imam Malik mendahulukan amalan orang-orang Madinah sebelum qiyas, suatu metode yang tidak dipergunakan fuqaha lainnya. Amalan orang-orang Madinah dalam pandangan Imam Malik, termasuk kategori As-Sunnah mutawatirah karena pewarisannya melalui generasi ke generasi yang dilakukan secara serempak sehingga menutup kemungkinan terjadinya penyimpangan dari As-Sunnah. Hal itu terbukti karena orang-orang Madinah bergaul langsung dengan Nabi SAW dan mengembangkan tradisi hidup Nabi SAW yang di kemudian hari diwariskan kepada tabiin dengan cara yang sama. Pola ini diikuti pula tabi at-tabiin. “Tradisi orang Madinah” lebih jelas diterima oleh Imam Malik dalam penerimaan hadits ahad. Menurutnya, suatu hadits Ahad dapat diterima sepanjang tidak bertentangan dengan tradisi orang-orang Madinah. Kedua, qaul sahabat sebagai dalil syar’i yang di dahulukan daripada qiyas. Pendapat ini ditanggapi keras oleh Imam Syafi’i dengan alasan bahwa dalil hanya dapat diperoleh dari orang-orang ma’sum. Ketiga, Imam Malik menggunakan maslahat al-mursalah. Hal ini menunjukkan bahwa Imam Malik menggunakan rasio ketika tidak ada penjelasan Al-Qur’an dan Al-Hadits tentang kasus  tertentu.
Adapun langkah-langkah dari segi Al-Sunnah ada 10 yaitu :
Ijma’, Qiyas, Amalan penduduk Madinah, Istihsan Sadd  Adz-Dzara’i, al-Mashalib, al-Mursalah, Qaul Ash-Shahabi Mura’at Al-Khilaf, Al-Istihsan dan Syar’u  man Qablana.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Blog Archive

Followers

Search This Blog

Blogger Themes

Random Post

Bagaimana Pendapat Anda dengan Blog ini?

Trending Topik

EnglishFrenchGermanSpainItalianDutch

RussianPortugueseJapaneseKoreanArabic Chinese Simplified
SELAMAT DATANG
script>
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Berbagai Kumpulan Makalah - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template