BAB I
PEMBAHASAN
Secara
historis NU memiliki kontribusi yang sangat besar dalam perjalanan sejarah
bangsa Indonesia.
Jika dirunut maka akan didapati bagaimana peran NU dalam kehidupan bernegara
bangsa tersebut, meskipun secara akademis sering menjadikan NU dianggap sebagai
organisasi yang akomodatif, fragmatis dan bahkan oportunis.
Labeling
seperti ini memang disandarkan atas realitas bahwa NU sebagai organisasi pernah
melakukan tindakan politik untuk membela Soekarno dalam menggoalkan konsep
Nasionalisme, Agama dan Komunis (Nasakom), yang saat itu dianggap sebagai
sebuah konsepsi yang salah oleh organisasi sosial keagamaan lainnya, sebab
menempatkan agama dan komunis dalam satu bangunan konsep. Selain itu NU juga
pernah mengangkat Soekarno sebagai Waliy al-amri dharury bi al-syaukah, yang
dianggap oleh lainnya sebagai langkah oportunisme politik.
Kemudian, di
era Orde Baru NU juga sekali lagi memainkan peran penting di dalam menggoalkan
Pancasila sebagai asas tunggal bagi seluruh organisasi sosial keagamaan dan
lainnya di Indonesia.
Melalui forum Munas Alim Ulama di Pesantren Salafiyah Syafiiyah Situbondo
ditetapkan bahwa Pancasila dapat dijadikan sebagai asas bagi seluruh organisasi
di Indonesia.
Terlepas dari
berbagai macam simbol yang diatribusikan kepada NU tetapi yang jelas bahwa NU
telah mewarnai sejarah pergerakan bangsa Indonesia
semenjak awal kemerdekaan Indonesia
hingga dekade akhir-akhir ini. Dan salah satu aspek penting dalam kontribusi NU
tersebut adalah bagaimana NU dengan konsepsi tentang Pancasila, UUD 1945 dan
NKRI sebagai sesuatu yang final bagi bangsa Indonesia. Dan yang lebih penting
adalah NU dengan konsepsinya tentang Pancasila telah mengarahkan
pergerakannya untuk menjadi civil religion atau masyarakat madani.
Agama sipil
semula diungkapkan oleh intelektual Perancis bernama J.J. Rousseau
melalui konsep ‘kontrak sosial’. Di dalamnya terdapat agenda pencerahan
yang berdasar atas keagungan logika. Yang terpenting adalah logika untuk
melibatkan rakyat di dalam sistem kenegaraan. Rakyat mempercayakan kepada para
elit untuk memerintah sesuai dengan keinginan rakyat. Maka tujuan terpenting
dalam sistem kenegaraan adalah menyejahterakan rakyat. Melalui konsep kontrak
sosial tersebut, maka sesungguhnya posisi masyarakat sebagai bagian penting dari
negara telah menjadi kenyataan. Masyarakat memiliki daya tawar untuk memasuki
ranah pemberdayaan.
Civil
religion (agama sipil) adalah sebuah agama yang menyadari bahwa tampilan di
wilayah publik hanyalah sebatas nilai dan semangatnya, bukan pada bentuk-bentuk
formalnya. Karena itu pada dasarnya, agama adalah hakikat sejarah.
Ia bukan kumpulan dogma, ajaran kaku, maupun etika eksklusif, melainkan
proses-proses historis yang selalu bergerak menuju yang lebih baik. Sebuah
proses verifikasi secara terus-menerus untuk menemukan unlimited kebenaran yang
bermanfaat bagi manusia dan alam semesta. Ia mereformasi dan tak jarang
merevolusi diri secara elaboratif dan berkelanjutan terhadap seluruh dogma lama
agar lebih civilian. Oleh karenanya, pemerdekaan manusia untuk melakukan
tindakan-tindakan sosial yang selalu tersublimasi nilai transendennya, harus
menjadi paradigma di dalam pergerakannya.
Masyarakat
Sipil adalah terjemahan dari istilah Inggris Civil Society yang mengambil dari
bahasa Latin civilas societas. Secara historis karya Adam Ferguson merupakan
salah satu titik asal penggunaan ungkapan masyarakat sipil (civil society),
yang kemudian diterjemahkan sebagai Masyarakat Madani. Masyarakat sipil
menampilkan dirinya sebagai daerah kepentingan diri individual dan pemenuhan
maksud-maksud pribadi secara bebas, namun merupakan bagian dari
masyarakat yang menentang struktur politik (dalam konteks tatanan sosial) atau
berbeda dari negara. Masyarakat sipil, memiliki dua bidang yang berlainan yaitu
bidang politik (juga moral) dan bidang sosial ekonomi yang secara bersamaan
diperjuangkan untuk kepentingan masyarakat.
Demokratisasi
seringkali memunculkan suasana konfliktual antara masyarakat, agama dan negara.
Sebagai negara yang menggunakan pilar agama sebagai landasan perjuangan dan
cita-cita bangsa sebagaimana tertuang di dalam pembukaan UUD 45 yaitu ”atas
berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”, maka sesungguhnya agama dan negara
memiliki relasi dalam coraknya yang simbiosis. Tujuannya tak lain untuk
melindungi dan menjamin warga negara dapat menjalankan ibadah agamanya
masing-masing dengan baik.
Sebagian
masyarakat Islam bahkan meyakini bahwa Pembukaan UUD 45 dijiwai oleh Piagam
Jakarta. Dan meskipun sudah kembali ke UUD 1945, tetapi hakikatnya
sebagaimana disebutkan juga dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 bahwa
keyakinan agama merupakan ruh bagi setiap masyarakat Indonesia dalam
membangun bangsa dan negara ini.
Civil
religion berkembang seiring dengan keinginan sekelompok masyarakat yang
memposisikan agama di tengah perubahan sosial, dengan mengadopsi konsep civil
religion bangsa Amerika, yaitu agama dalam masyarakat modern adalah sebagai
sandaran transendental. Kehidupan beragama berjalan bersama proses transformasi
sosial. Dalam masyarakatnya yang majemuk, maka agama mendapat tempat untuk
diekspresikan dalam bentuk simbol-simbol yang tidak formal. Ia
diekspressikan dalam wujudnya yang substansial.
Garis
perjuangan Islam kultural adalah welfare religion (agama kesejahteraan) yang
beradab dalam pencapaian welfare civil (masyarakat kesejahteraan). Tuhan dalam
civil religion mengajarkan bahwa kesadaran diri dan rumusan cita-cita manusia
harus diperoleh dengan cara yang beradab, inklusif, dan pluralis, bukan
komunal, sektarian dan eksklusif. Politik dan kekuasaan dalam civil religion
berada posisi yang harus terberi nilai dan semangat agama, bukan sebaliknya,
mengatur dan memaksa agama untuk mengikuti alurnya. Karenanya, Islam
kultural dengan kerangka civil religion harus senantiasa berakar dari teologi
pembebasan dan berjiwa kerakyatan. Islam kultural jikalau ingin tetap berkiprah
harus selalu memegang teguh visi universal dan transformatif dalam pengupayaan
kesejahteraan masyarakat dalam kerangka civil society yang kedap intervensi
politik. Dengan demikian, Islam kultural pada dasarnya bergerak dalam
wilayah yang sejalan dengan proses demokratisasi dalam seluruh bidang
kehidupan. Kekhawatiran terkoyak-koyaknya bangsa sama sekali bukan hal
mengada-ada. Fenomena yang berkembang memperlihatkan secara telanjang kemungkinan
tersebut. Jika kita mau jujur, sangat mungkin bahwa salah satu faktor utamanya
adalah keberagamaan (sekali lagi bukan agama) formalistik kaku yang mengabaikan
nilai-nilai moral agama.
Peran sentral NU dalam peristiwa 10 Nopember
cendrung tidak mendapat ruang dalam buku-buku sejarah pergerakan Indonesia.
Berbagai kajian pada tingkat lokal dan regional mengenai perjuangan kemerdekaan
yang muncul belakangan ini tidak banyak menyebut NU, dan sebagian bahkan
mengabaikan sama sekali. Martin menunjuk karya Andrey R. Kahin (1985), William
H Fredrick (1989), Anton Lucas (1991) dan Robert Cribb (1991).
Sepenggal
sejarah penting yang terlupakan oleh banyak sejarawan, boleh jadi tidak
mendapat legitimasi dalam sejarah resmi penguasa, baik di era orde lama apalagi
di era orde baru. Istilah Mohammad Fajrul Falaakh karena sejarah sering tak
bertutur sesungguhnya sebagaimana diinginkan, karena sejarah kadang tertindas
dan sejarawan hanya mampu menggali bekas (traces).
Hairus Salim HS mencatat paling tidak terdapat dua hal penting mendasari pengabaian tersebut; pertama, para ilmuwan nampaknya lebih memusatkan perhatian kepada gerakan-gerakan yang paling radikal dalam perang kemerdekaan. Alasan ini secara implisit dibantah Martin, bahwa justru dengan “Resolusi Jihad” yang mendorong banyak warganya untuk langsung bertempur, NU tampil sebagai kelompok radikal, yang mungkin sulit dicocokkan dengan reputasi NU yang moderat dan kompromistis.
Hairus Salim HS mencatat paling tidak terdapat dua hal penting mendasari pengabaian tersebut; pertama, para ilmuwan nampaknya lebih memusatkan perhatian kepada gerakan-gerakan yang paling radikal dalam perang kemerdekaan. Alasan ini secara implisit dibantah Martin, bahwa justru dengan “Resolusi Jihad” yang mendorong banyak warganya untuk langsung bertempur, NU tampil sebagai kelompok radikal, yang mungkin sulit dicocokkan dengan reputasi NU yang moderat dan kompromistis.
Kedua,
penelantaran terhadap NU itu terjadi karena adanya, apa yang disebut oleh Ben
Anderson sebagai prasangka-prasangka ilmiah (scholarly prejudices). Bias
modernisme dalam kajian-kajian Indonesia
tahun 60-an dan 70-an telah menyingkirkan NU, yang dipersepsikan tradisional
dan konservatif. Pengabaian NU dan pesantren dalam perjuangan kemerdekaan itu
adalah bagian dan sisa-sisa dari masih bertahannya bias tersebut. Sedangkan
Hermawan Sulstityo lebih melihat upaya meminimlasir peran penting NU dalam
resolusi jihad tersebut karena dipengaruhi oleh lemahnya posisi politik NU
dalam dokumentasi sejarah yang menyebabkan berkurang nya kans mereka sebagai sumber dan pelaku
sejarah. Bagi warga nahdliyyin, peringatan Resolusi Jihad yang diadakan setiap
tahun adalah upaya kongkrit untuk menegaskan kembali posisi NU sebagai warga
yang harus tetap perduli terhadap nasib bangsanya. NU harus terus berikhtiar
bekerja yang terbaik dalam mengawal bangsa ini.
Khittah 1926
NU harus terus menjadi sumber inspirasi gerakan sosial, penguatan demokrasi,
dan mediator atas aspirasi publik. NU juga harus lebih perduli terhadap nasib
masyarakat miskin dengan berbagai agenda kongkrit, agenda pemberantasan
korupsi, dan keharusan menjaga eksistensi NKRI. Bagi publik sendiri, adalah
upaya merubah nasibnya dari belenggu kemiskinan dan kebodohan adalah pilihan
tepat yang harus diakukan. Sebagian bentuk jihad tersebut harus mewarnai
paradigma jihad masyarakat yang selama ini dipahami secara sempit. Jihad harus
diarahkan pada perjuangan mempertahankan eksistensi diri sebagai umat dan
sebagai bangsa.
Berjihad
untuk memperbaiki nasib masyarakat Indonesia dan kondisi kehidupan
kebangsaan bukan hanya untuk membangun bangsa dan upaya mensejahterahkan
masyarakat. Lebih dari itu ikhtiar tersebut sebagai upaya mengangkat harkat dan
martabat bangsa di dunia internasional. Bangsa ini harus diselamatkan dari
segala predikat yang buruk, seperti, negara terkorup, miskin, instabilitas,
teroris dan segudang predikat lainnya yang memarginalkan posisi Indonesia
di dunia internasional semoga.
NU beberapa
kali terlibat dan menjadi peserta pemilihan umum (pemilu), namun kemudian
menegaskan diri kembali ke khitah 1926 pada tahun 1984.
Nahdlatul Ulama (NU),memiliki peran penting dalam membangun bangsa ini. Sejak berdiri pada 31 Januari 1926 atau (16 Rajab 1344 H), sejumlah tokoh NU telah terlibat dalam perjuangan pergerakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Beberapa tahun sebelum berdirinya, para ulama yang mendirikan NU, seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, dan KH Mustafa Bisri, terlibat aktif dalam berbagai forum dialog ulama di Indonesia ataupun menyikapi sejumlah kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Arab Saudi.
Sesungguhnya, banyak hal yang menyebabkan perlunya didirikan organisasi ini. Satu hal penting adalah keprihatinan ulama terhadap kondisi masyarakat Indonesia yang terbelakang, baik secara mental maupun sosial ekonomi hingga persoalan kebangsaan dan keagamaan.
Nahdlatul Ulama (NU),memiliki peran penting dalam membangun bangsa ini. Sejak berdiri pada 31 Januari 1926 atau (16 Rajab 1344 H), sejumlah tokoh NU telah terlibat dalam perjuangan pergerakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Beberapa tahun sebelum berdirinya, para ulama yang mendirikan NU, seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, dan KH Mustafa Bisri, terlibat aktif dalam berbagai forum dialog ulama di Indonesia ataupun menyikapi sejumlah kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Arab Saudi.
Sesungguhnya, banyak hal yang menyebabkan perlunya didirikan organisasi ini. Satu hal penting adalah keprihatinan ulama terhadap kondisi masyarakat Indonesia yang terbelakang, baik secara mental maupun sosial ekonomi hingga persoalan kebangsaan dan keagamaan.
Sebagai
sebuah bangsa yang masih terjajah saat itu, bangsa Indonesia mengalami kondisi yang
sangat memprihatinkan.. Anak-anak petani, nelayan, dan masyarakat kecil lainnya
tak bisa mengenyam pendidikan formal sebagaimana layaknya anak pejabat dan
priyayi. Mereka menjadi `miskin’ secara intelektual dan ekonomi. Dengan kondisi
yang serbamiskin itu, semangat persatuan dan kesatuan untuk merebut kemerdekaan
dari tangan penjajah Belanda laksana pungguk merindukan bulan.
Berbagai hal
itulah yang akhirnya mendorong para cendekiawan dan kaum terpelajar Indonesia
untuk bangkit dan memperjuangkan martabat bangsa Indonesia.Gerakan kebangkitan
bangsa ini muncul pertama kali tahun 1908 dengan berdirinya Budi Utomo dan
dikenal dengan sebutan gerakan Kebangkitan Nasional. Setelah itu, semangat
kebangkitan semakin membara, bahkan menular ke sejumlah daerah di Indonesia.
Semua gerakan itu dilatarbelakangi oleh kesadaran bersama untuk memperbaiki
kehidupan masyarakat Indonesia
dan lepas dari segala bentuk penjajahan serta ketertinggalan dalam berbagai
bidang.
Perjuangan
untuk merebut kemerdekaan ini didukung penuh oleh kalangan tokoh-tokoh
pesantren yang notabene sejak lama gigih melawan kolonialisme. Berbagai
organisasi baru dibentuk, seperti Nahdlatul Wathan (kebangkitan tanah air)
tahun 1916.
Setelah itu,
organisasi serupa terus bermunculan, mulai dari Tashwirul Afkar atau dikenal
juga dengan Nahdlatul Fikri yang artinya kebangkitan pemikiran tahun 1918.
Organisasi ini menjadi wahana pendidikan sosial, politik, dan keagamaan kaum
santri.
Tak lama
kemudian, muncul Nahdlatut Tujjar (pergerakan atau kebangkitan para
saudagar/pengusaha). Organisasi ini berfungsi sebagai basis untuk memperbaiki
perekonomian rakyat. Alhasil, dengan adanya organisasi tersebut, Taswirul
Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi, juga menjadi lembaga pendidikan
yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Organisasi
keagamaan inilah yang akhirnya melahirkan organisasi ulama yang bernama
Nahdlatul Ulama (NU). Satu hal lain yang turut mendasari berdirinya NU adalah
upaya dari kalangan pesantren untuk menjaga dan memelihara
peninggalan-peninggalan sejarah Islam ataupun pra-Islam.
Sebuah paham
dan gerakan keagamaan di Timur Tengah (Makkah), yaitu Wahabi, berkembang pesat
dan mulai memasuki paham keagamaan di Indonesia. Saat itu, Raja Ibnu Saud
hendak menerapkan asas tunggal, yakni Mazhab Wahabi di Makkah. Paham Wahabi
bermaksud menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam ataupun pra-Islam yang
selama ini banyak diziarahi masyarakat Muslim. Ziarah terhadap hal-hal berbau
mistik itu dianggap sebagai sesuatu yang baru dan dapat merusak Islam (bid’ah).
Gagasan Raja
Ibnu Saud ini menimbulkan polemik di masyarakat Indonesia. Kalangan pesantren yang
selama ini banyak membela semangat keragaman dan pelestarian nilainilai sejarah
menolak pembatasan bermazhab, apalagi penghancuran terhadap warisan peradaban.
Karena itu, tokoh-tokoh pesantren keluar dari keanggotaan Kongres Al-Islam di
Yogyakarta tahun 1925. Mereka kemudian membentuk delegasi baru bernama Komite
Hijaz yang dikomandoi oleh KH Wahab Hasbullah. Komite Hijaz ini dengan gigih
bertekad menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian
warisan peradaban. Mereka menentang secara terang-terangan gagasan tersebut.
Gagasan ini bahkan didukung oleh umat Islam hampir seluruh penjuru di dunia.
Karena upaya ini, akhirnya Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya.
Itulah awal
mula upaya yang dilakukan kalangan pesantren yang dalam hal ini diwakili oleh
Komite Hijaz untuk memperjuangkan kebebasan dalam bermazhab dan melestarikan
warisan peradaban itu. Kini, seluruh umat Islam di dunia turut menikmati dan
menyaksikan warisan peradaban Islam. Dan, masyarakat Muslim kini pun bebas
melaksanakan ibadah di Tanah Suci (Makkah) sesuai dengan mazhab masing-masing.
Dari
pengalaman tersebut, kaum terpelajar Indonesia yang berasal dari
pesantren merasa perlu membentuk sebuah organisasi yang lebih sistematis dan
terstruktur. Organisasi tersebut dibentuk untuk mengantisipasi perkembangan
zaman. Kemudian, dilakukanlah koordinasi dengan sejumlah kiai sehingga
menghasilkan kesepakatan dengan membentuk organisasi Nahdlatul Ulama (NU) pada
31 Januari 1926.
KH Hasyim
Asy’ari sebagai rais akbar memberikan ketegasan prisip dasar organisasi ini
dalam sebuah kitab Qanun Asasi (prinsip dasar) yang dilanjutkan dengan kitab
I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Pada akhirnya, kedua kitab tersebut
diejawantahkan dalam Khitah NU. Dan, hingga kini menjadi dasar dan rujukan
warga NU dalam berpikir dan bertindak pada bidang sosial, keagamaan, dan
politik.
Sejak kitab
tersebut dikeluarkan, NU menganut paham Ahlussunah Wal Jamaah. Paham tersebut
mengajarkan pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli
(rasionalis) dan kaum ekstrem naqli (skripturalis).
BAB
II
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa :NU
memiliki kontribusi yang sangat besar dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Jika
dirunut maka akan didapati bagaimana peran NU dalam kehidupan bernegara bangsa
tersebut, meskipun secara akademis sering menjadikan NU dianggap sebagai
organisasi yang akomodatif, fragmatis dan bahkan oportunis.
bahwa NU sebagai organisasi pernah melakukan tindakan politik untuk
membela Soekarno dalam menggoalkan konsep Nasionalisme, Agama dan Komunis
(Nasakom), yang saat itu dianggap sebagai sebuah konsepsi yang salah oleh
organisasi sosial keagamaan lainnya, sebab menempatkan agama dan komunis dalam
satu bangunan konsep.
NU telah mewarnai sejarah pergerakan bangsa Indonesia
semenjak awal kemerdekaan Indonesia
hingga dekade akhir-akhir ini. Dan salah satu aspek penting dalam kontribusi NU
tersebut adalah bagaimana NU dengan konsepsi tentang Pancasila, UUD 1945 dan
NKRI sebagai sesuatu yang final bagi bangsa Indonesia.
Peran sentral NU dalam peristiwa 10 Nopember cendrung tidak mendapat
ruang dalam buku-buku sejarah pergerakan Indonesia. Berbagai kajian pada
tingkat lokal dan regional mengenai perjuangan kemerdekaan yang muncul
belakangan ini tidak banyak menyebut NU, dan sebagian bahkan mengabaikan sama
sekali.
DAFTAR
PUSTAKA
http://kavrella.wordpress.com/2010/03/21/peran-nu-membangun-bangsa/
http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=21670
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !