BAB
I
PEMBAHASAN
Ijtihad berasal dari kata “jahda” artinya “al-mayaqqah’ (sulit atau
berat, susah atau sukar). Di dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 38, Allah
berfirman;
(#qßJ|¡ø%r&ur «!$$Î/ yôgy_ öNÎgÏZ»yJ÷r&
w ß]yèö7t ª!$# `tB ßNqßJt 4
4n?t/ #´ôãur Ïmøn=tã $y)ym £`Å3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Z9$# w cqßJn=ôèt ÇÌÑÈ
Artinya: “Mereka bersumpah dengan nama Allah
dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh: "Allah tidak akan akan
membangkitkan orang yang mati". (tidak demikian), bahkan (pasti Allah akan
membangkitnya), sebagai suatu janji yang benar dari Allah, akan tetapi kebanyakan
manusia tiada mengetahui” (QS. An-Nahl: 38)
Menurut Rachmat Syafi’I (1999: 97), secara etimologis, kata ijtihad
artinya kesulitan dan kesusahan (al-masyaqqah), juga diartikan dengan
kesanggupan dan kemampuan (ath-thaqat). Di dalam Al-Qur’an surat
At-Taubah ayat 79, Allah berfirman:
úïÏ%©!$# crâÏJù=t úüÏãÈhq©ÜßJø9$# z`ÏB tûüÏZÏB÷sßJø9$# Îû ÏM»s%y¢Á9$# úïÏ%©!$#ur w tbrßÅgs wÎ) óOèdyôgã_ tbrãyó¡tsù öNåk÷]ÏB
tÏy ª!$# öNåk÷]ÏB öNçlm;ur ë>#xtã îLìÏ9r& ÇÐÒÈ
Artinya: ‘(orang-orang munafik itu) Yaitu
orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan
sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan)
selain sekedar kesanggupannya, Maka orang-orang munafik itu menghina mereka.
Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih.”
(QS. At-Taubah: 79)
Perkataan ijtihad tidak digunakan untuk semua bentuk perbuatan yang
sulit, jika dilihat dari asal katanya, ijtahada-yajtahidu-ijtihadan, artinya
sungguh-sungguh, seperti dalam kalimat ijtahada fi al-amar, ia telah
bersungguh-sungguh dalam suatu urusan. Sebagaimana dikatakan dalam peribahasa
Arab, man ijtihada hashal, artinya barang siapa bersungguh-sungguh, ia
berhasil (Moencawar Chalil, 1977: 388).
Menurut istilah, ijtihad ialah menggunakan seluruh kesanggupan untuk
menetapkan hokum-hukum syariat. Dengan jalan mengeluarkannya dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah atau menghabiskan kesanggupan seorang fuqaha untuk menghabiskan zhan
(sangkaan) dengan menetapkan suatu hokum syara’. Orang yang melakukannya
disebut mujtahid.
Abdul Wahab Khalaf (1978: 216) mendefinisikan ijtihad menurut ulama
ushul, yaitu:
بَدْلُ
الْجُهْدِ لِلْوُصُوْلِ اِلَى الْحُكْمِ الشَّرْعِىِّ مِنْ دَلِيْلِ
التَّفْصِيْلِيِّ مِنَ اْلاَدِلَّةِ الشَّرْعِيَّةِ
Artinya: “Mengerahkan daya atau kemampuan untuk
menghasilkan hokum syara’ dari dalil-dalil syara’ yang terperinci”.
Dari semua definisi tentang ijtihad di atas, dapat disimpulkan bahwa
ijtihad itu adalah:
1.
Pengerahan akal pikiran para fuqaha atau
ushuliyyin
2.
Menggunakan akalnya dengan
sungguh-sungguh karena adanya dalil-dalil yang zhanni dari Al-Qur’an dan
Al-Hadits.
3.
Berkaitan dengan hokum syar’I yang
amaliyah
4.
Menggali kandungan hokum syar’i dengan
berbagai usaha dan pendekatan
5.
Dalil-dalil yang ada dirinci sedemikian
rupa sehingga hilang kezhanniyannya.
6.
Hasil ijtihad berbentuk fiqh sehingga
mudah diamalkan
Enam cirri ijtihad tersebut memberikan gambaran bahwa ijtihad adalah
salah satu metode penggalian hokum dengan menggunakan akal atau ra’yu, dan alam
ulama ijtihad adalah akal. Karena alat utamanya akal, patut dipertanyakan
sejauh mana batasan penggunaan akal dalam ijtihad?
Ra’yu secara harfiyah berarti pendapat atau pertimbangan, tetapi
orang-orang Arab menggunakan kata ra’yu dalam arti berpendapat dan menanggapi
urusan yang dihadapi (A. Hasan, 1984; 104). Abdul Wahab Khalaf (1978: 7) mengatakan
bahwa ar-ra’yu ialah berpikir keras dengan menggunakan perantara berbagai jalan
yang telah dijelaskan syara’ sebagai petunjuk dalam menggali hokum suatu
permasalahan yang tidak didapat nash hukumnya.
Mahmud Syaltut, sebagaimana dikatakan oleh Burhanuddin Salam, (1998: 155)
mengartikan ra’yu dengan rincian sebagai berikut;
1.
Pemikiran arti yang dikandung oleh
al-Qur’an dan Sunnah
2.
Mendapatkan ketentuan hokum tentang
sesuatu yang tidak ditunjuk oleh nash dengan suatu masalah yang hukumnya
ditetapkan oleh nash.
Menurut Ibrahim Hosen (1988; 27) ra’yu digunakan sepenuhnya ketika
berijtihad, sedangkan porsi ijtihad sebagai metode istinbath hokum dan
penerapannya terdapat dalam dua masalah, yaitu: (1) masalah yang ditentukan
dalil-dalilnya dari al-Qur’an atau Sunnah, tetapi keadaannya zhanni dilalah;
(2) masalah yang sama sekali tidak terdapat dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah dan
Ijma’. Dua masalah yang dihadapi jalan
keluarnya menggunakan ra’yu, karena harus
memakai metode ijtihad dalam menetapkan hukumnya. Ulama fiqh dituntut
berpikir kuat dan sungguh-sungguh untuk mengeluarkan kandungan hokum dari
dalil-dalil yang zhanni tersebut. Adapun untuk masalah yang sama sekali tidak
ada dalilnya, digunakan berbagai pendekatan, misalnya analogi (qiyas)
dan sebagainya.
Dengan penjelasan di atas, konsep ijtihad dapat dibatasi pada cara kerja
akal atau ra’yu dalam menggali Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk dikeluarkan makna,
maksud dan ketetapan hokum yang ada di dalamnya. Ijtihad dengan sepenuhnya
menggunakan ra’yu, kebenarannya sangat personal dan tidak mengikat pada yang
lain (Amiur Nuruddin, 1991: 51-53). Oleh karena itu, dalam ijtihad terdapat
berbagai pendekatan rasional, sebagaimana qiyas yang merupakan salah satu
pendekatan paling popular di kalangan ulama ahli ushul.
Disebabkan peran ra’yu penting dalam ijtihad, ulama ahli ushul dan fuqaha
sepakat untuk menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan
berijtihad. Adapun syarat-syaratnya adalah;
1.
Mengetahui isi Al-Qur’an dengan segala
seluk-beluknya (ulum Al-Qur’an), baik dari sisi pengetahuan bahasanya atau
makna-maknanya yang terkandung di dalamnya (Yusuf Qardhawi, 1987: 6) terutama
mujtahid harus mengenal bahasa Arab dan pengetahuan syariat yang dikandung
Al-Qur’an dan As-Sunnah (Ibrahim Hosen, 1988: 29).
2.
Mengetahui As-Sunnah, mujtahid harus
mengetahui pengetahuan tentang hadits, sanad, rawi, matan dan sebab-sebab
munculnya hadits (asbab al-wurud).
3.
Mengetahui seluruh masalah yang hukumnya
telah ditetapkan oleh ijma’
4.
Memahami dan mampu menerapkan metode
istinbath hokum
5.
Mengetahui ilmu bahasa Arab dan
seluk-beluknya.
6.
Mengetahui kaidah-kaidah hokum Islam dan
memiliki kemampuan mengolah dan menganalisis dalil-dalil hokum untuk
menghasilkan ketentuan hokum yang dimaksudkan
7.
Mengetahui maqasid syariat,
prinsip-prinsip umum dan semangat ajaran Islam.
8.
Memiliki akhlak yang terpuji dan niat
yang ikhlas dalam berijtihad (A, Djazuli, 1987: 66).
Syarat-syarat di atas dibuat agar para mujtahid tidak gegabah dalam
melakukan penggalian hokum Islam, terutama untuk masalah-masalah baru yang
dalil-dalilnya tidak terdapat dalam al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’.
Kedudukan ijtihad sangat pentind dalma dunia Islam, terlebih jika
berhubungan dengan hokum syariat amaliyah yang membutuhkan dalil-dalil yang
pasti. Al-Qur’an menyuruh kepada orang-orang yang beriman agar menggunakan
akalnya dengan baik, sebagaimana terdapat dalam surat An-Nisa’ ayat 105:
!$¯RÎ) !$uZø9tRr& y7øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ zNä3óstGÏ9 tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# !$oÿÏ3 y71ur& ª!$# 4
wur `ä3s? tûüÏZͬ!$yù=Ïj9 $VJÅÁyz ÇÊÉÎÈ
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab
kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan
apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang
(orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat”
(QS. An-Nisa’: 105)
Ayat diatas mengatakan bahwa al-Qur’an adalah sumber hokum Islam yang
salah satu fungsinya menetapkan hokum di antara manusia. Hokum-hukum yang
dikandung Al-Qur’an, Al-Qashimi (t.t.: 1539) mengatakan bahwa seluruh pemahaman
terhadap ayat-ayat Al-Qur’an akan menciptakan suatu syariat bagi semua kaum
muslimin.
Dasar hokum adanya ijtihad dalam menggali hokum Islam, atau ijtihad
sebagai metode istinbath hokum, bukan hanya dari al-Qur’an. Ada beberapa hadits
yang menjadi dalil kebolehan berijtihad, yaitu sebagai berikut:
عَنْ
مُعَاذِبْنِ جَبَلٍ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّااَرَادَ اَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا اِلَى
الْيَمَنِ قَالَ: كَيْفَ تَقْضِيْ اِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟ قَالَ: اَقْضِيْ بِكِتَابِ
اللهِ. قَالَ: فَاِنْ لَمْ تَجِدْ فِى كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَ: فَاِنْ لَمْ تَجِدْ فِى سُنَّةِ رَسُوْلِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلاَفِى كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ: اَجْتَهِدُ
رَاْيِيْ وَلاَالُوْ. فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ.
وَقَالَ: اَلْحَمْدُللهِ الَّذِى وَفَقَ رَسُوْلِ اللهِ لِمَا يُرْضِىْ رَسُوْلَ
اللهِ.
Artinya: “Dari Mu’adz bin Jabal bahwa Rasulullah
SAW, ketika hendak mengutusnya (jadi hakim) ke Yaman, beliau bertanya
kepadanya, “Bagaimana kamu memutuskan suatu hokum ketika kamu diminta untuk
memutuskan suatu keputusan?” Mu’adz menjawab, “Aku akan memutuskan dengan
Kitabullah”. Rasulullah bertanya lagi, “Jika tidak terdapat ketentuannya dari
Kitabullah?” Mu’adz menjawab, “Aku akan memutuskan dengan ketentuan yang
terdapat dalam Sunnah Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi, “Jika kamu tidak
menemukan di dalam Sunnah Rasulullah?” Mu’adz menjawab lagi, “Aku akan
melakukan ijtihad dengan pendapatku (dengan pikiranku), dan aku tidak akan
menyempitkan ijtihadku”. Kemudian Rasulullah berkata, “Segala puji bagi Allah
yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah karena sesuatu yang
memuaskan Rasulullah.” (HR. Dawud, 1952: 272).
Hadits diatas menjadi dalil adanya ijtihad dalam menetapkan hokum,
terutama jika dalam masalah yang dihadapi, ketentuan hukumnya tidak terdapat
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ijtihad dapat dilakukan bukan hanya oleh fuqaha
atau ushuliyyin. Seorang hakim di pengadilan pun, jika menemukan masalah yang
membutuhkan pemikiran mendalam, dapat melakukan ijtihad dalam memutuskan
perkara yang dihadapi. Bahkan , hadits tersebut cenderung membahas tentang
wewenang hakim dalam memutuskan perkara karena pekerjaan utama hakim adalah memeriksa perkara, menyidangkan
perkara, memutuskan dan menetapkannya.
Secara logika, ijtihad itu sendiri menggunakna logika. Oleh karena itu,
dalil aqli yang menetapkan bahwa ijtihad sebagai metode dalam menggali hokum
syara dengan cara merinci dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah melalui
pemikiran kontemplatif, adalah sesuatu yang logis. Hal tersebut karena dengan
apa lagi para ulama menemukan ketentuan hokum syara’ apabila dalam Al-Qur’an
dan Sunnah tidak terdapat nash yang menunjukkannya? Maka hanya dengan
ra’yu-lah, jawabannya akan ditemukan. Dengan demikian, ijtihad menjadi wajib
jika wahyu Allah SWT yang diturunkan untuk manusia belum memberikan “hidayah”.
Sementara semua firman Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW adalah agar
manusia memahami isinya dan menjadikan petunjuk untuk kehidupan, terutam dalam
menjalankan semua syariah yang termuat di dalamnya.
Seseorang yang akan berijtihad harus memiliki berbagai persyaratan,
sebagaimana persyaratan yang telah disepakati oleh jumhur ulama. persyaratan
utama bagi mujtahid adalah memiliki keimanan yang kuat kepada Allah dan
Rasul-Nya, kepada kitab-kitab Allah dan melaksanakan ajaran-ajaran yang
tersirat maupun tersurat dari wahyu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu,
seorang mujtahid harus mengetahui Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam kaitannya
dengan Al-Qur’an, mujtahid harus dibekali dengan ‘Ulum Al-Qur’an, ilmu
kebahasaan yang berkaitan dengannya. Adapun dalam aspek As-Sunnah, mujtahid
harus memahami ‘Ulum Al-Hadits dengan segala seluk-beluknya. Menurut Nurol Aen
(2002; 8) tanpa dibarengi oleh adanya keimanan dan pengetahuan kedua ajaran
dengan benar, seseorang tidak berhak untuk berijtihad. Mujtahid yang beriman
adalah mujtahid yang menjalankan kewajiban perintah-perintah Tuhan, baik
perintah wajib maupun perintah sunnah, dan menjauhi dosa-dosa besar dan
dosa-dosa kecil, serta mengetahui Tuhan, tetapi tidak melawan kepada
kehendak-Nya.
Menurut Muhammad Ma’ruf Ad-Dawabili (1959: 75), ijtihad adalah bayan atau
penjelasan atau tafsir terhadap teks Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena
itu, penafsiran Al-Qur’an dan As-Sunnah
termasuk ke dalam ijtihad, yang disebutnya sebagai ijtihad bayani.
Dalam ijtihad bayani, penonjolan ilmu tafsir sangat kuat karena tqarget
yang diharapkan dalam ijtihad bayani adalah istihraj al-ma’ani wa al-maqasid
wa al-ahkam fi al-Qur’an wa as-sunnah. Yang pertama dilakukan adalah
pemahaman kebahasaan terhadap kata-kata yang digunakan ayat al-Qur’an yang oleh
mufassir dikatakan sebagai tafsir al-mufradah. Kemudian, dilakukan
penafsiran ayat per ayat dengan pendekatan tafsir ijmaly dan tahlili.
Jika penafsiran secara analitis dipandang telah selesai, mufassir menyimpulkan
penafsirannya dengan menyebutnya sebagai hikmah at-tafsir.
Sebenarnya, ijtihad bayani dalam cara kerjanya banyak melibatkan pendapat
dari berbagai aliran, sehingga pengungkapan makna ayat-ayat Al-Qur’an ditunjang
oleh beberapa pendapat mufassir, dan hal tersebut sangat bergantung pada aliran
tafsir yang dianut serta corak-coraknya. Sebagaimana tealh dijelaskan
sebelumnya, bahwa penafsiran Al-Qur’an adalah salah satu metode dalam istinbath
hokum, bahkan secara praktis, penafsiran Al-Qur’an lebih reduktif, karena di
kalangan mufassir, ada yang menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan
ilmu bahasa, sastra, dan ilmu makna kata sehingga dalam mengungkap semua makna
ayat, diperlukan ilmu lain, misalnya ilmu fiqh, ilmu ushul fiqh berikut
kaidah-kaidahnya, ilmu hadits, ilmu manthiq (logika) dan sebagainya.
BAB
II
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah tersebut diatas maka penulis dapat menyimpulkan
bahwa, Menurut istilah, ijtihad ialah menggunakan seluruh kesanggupan untuk
menetapkan hokum-hukum syariat. Dengan jalan mengeluarkannya dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah atau menghabiskan kesanggupan seorang fuqaha untuk menghabiskan zhan
(sangkaan) dengan menetapkan suatu hokum syara’. Orang yang melakukannya
disebut mujtahid.
Disebabkan peran ra’yu penting dalam ijtihad, ulama ahli ushul dan fuqaha
sepakat untuk menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan
berijtihad. Adapun syarat-syaratnya adalah;
a.
Mengetahui isi Al-Qur’an dengan segala
seluk-beluknya
b.
Mengetahui As-Sunnah
c.
Mengetahui seluruh masalah yang hukumnya
telah ditetapkan oleh ijma’
d.
Memahami dan mampu menerapkan metode
istinbath hokum
e.
Mengetahui ilmu bahasa Arab dan
seluk-beluknya.
f.
Mengetahui kaidah-kaidah hokum Islam dan
memiliki kemampuan mengolah dan menganalisis dalil-dalil hokum untuk
menghasilkan ketentuan hokum yang dimaksudkan
g.
Mengetahui maqasid syariat,
prinsip-prinsip umum dan semangat ajaran Islam.
h.
Memiliki akhlak yang terpuji dan niat
yang ikhlas dalam berijtihad
DAFTAR
PUSTAKA
Drs. Beni Ahmad Saebani, M. Si. Filsafat Hukum
Islam, Pustaka Setia, Bandung. 2008
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !