BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penyusunan
Bertambah masa, bertambah
berkembanglah pemikiran manusia. Begitu pula dengan perkembangan filsafat
Islam. Pada abad ke-5, filsafat Islam mengalami perkembangan yang dapat
dikatakan merubah pola filsafat Islam yang banyak dipertentangkan. Ini
dibuktikan dengan pemikiran-pemikiran Imam Al Ghazali sebagai pionir
filsafatnya yang dominan relevan dengan konsep Islam.
Berdasarkan latar belakang
tersebut, maka kami menyusun makalah yang berjudul Filsafat Al Ghazali sebagai
kontribusi kecil kami dalam menambah khazanah keilmuan. Selain itu, ini juga
sebagai bentuk tanggung jawab kami dalam memenuhi tugas terstruktur pada mata
kuliah Filsafat Islam.
B. Rumusan Masalah
Masalah yang kami angkat dalam
makalah ini sebagai berikut:
1. Bagaimana Riwayat Hidup Al Ghazali?
2. Apa Saja Karya-karya yang
pernah Ditorehkan oleh Al Ghazali?
3. Bagaimanakah Filsafat Al
Ghazali?
4. Apakah Pemikiran-pemikiran Al
Ghazali Berpengaruh terhadap Masa dan Generasi Sesudahnya? Jika ya, seperti
Apakah Pengaruhnya?
C. Tujuan Pembahasan Masalah
Adapun tujuan dari pembahasan
masalah di atas adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui Riwayat Hidup Al
Ghazali.
2. Mengetahui Karya-karya yang
pernah Ditorehkan oleh Al Ghazali.
3. Mengetahui Pemikiran-pemikiran
Al Ghazali.
4. Mengetahui Pengaruh
Pemikiran-pemikiran Al Ghazali terhadap Masa dan Generasi Sesudahnya.
D. Metode Penyusunan
Metode yang kami gunakan dalam
penyusunan makalah ini adalah metode Kaji Pustaka.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup Al Ghazali
Nama lengkapnya Abu Hamid Ibn
Muhammad Ibn Ahmad Al Ghazali, lebih dikenal dengan Al Ghazali. Dia lahir di
kota kecil yang terletak di dekat Thus, Provinsi Khurasan, Republik Islam Irak
pada tahun 450 H (1058 M). Nama Al Ghazali ini berasal dari ghazzal, yang
berarti tukang pintal benang, karena pekerjaan ayahnya adalah memintal benang
wol. Sedangkan Ghazali juga diambil dari kata ghazalah, yaitu nama kampung
kelahiran Al Ghazali dan inilah yang banyak dipakai, sehingga namanya pun
dinisbatkan oleh orang-orang kepada pekerjaan ayahnya atau kepada tempat
lahirnya.
Orang tuanya gemar mempelajari
ilmu tasawuf, karena orang tuanya hanya mau makan dari hasil usaha tangannya
sendiri dari menenun wol. Ia juga terkenal pecinta ilmu dan selalu berdo’a agar
anaknya kelak menjadi seorang ulama. Amat disayangkan ajalnya tidak memberikan
kesempatan padanya untuk menyaksikan keberhasilan anaknya sesuai do’anya.
Awal mula Al Ghazali mengenal
tashawuf adalah ketika sebelum ayahnya meninggal, namun dalam hal ini ada dua
versi:
1. Ayahnya sempat menitipkan Al
Ghazali kepada saudaranya yang bernama Ahmad. Ia adalah seorang sufi, dengan
bertujuan untuk dididik dan dibimbingnya dengan baik.
2. Ayahnya menitipkan Al Ghazali
bersama saudaranya Ahmad kepada seorang sufi, untuk didik dan dibimbing dengan
baik.
Sejak kecil, Al Ghazali dikenal
sebagai anak yang senang menuntut ilmu. Karenanya, tidak heran sejak masa
kanak-kanak, ia telah belajar dengan sejumlah guru di kota kelahirannya.
Diantara guru-gurunya pada waktu itu adalah Ahmad Ibn Muhammad Al Radzikani.
Kemudian pada masa mudanya ia belajar di Nisyapur juga di Khurasan, yang pada
saat itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang penting di dunia
Islam. Ia kemudian menjadi murid Imam Al Haramaîn Al Juwaini yang merupakan
guru besar di Madrasah An Nizhâmiyah Nisyapur. Al Ghazali belajar teologi,
hukum Islam, filsafat, logika, sufisme dan ilmu-ilmu alam.
Berdasarkan kecerdasan dan
kemauannya yang luar biasa, Al Juwaini kemudian memberinya gelar Bahrûm Mughrîq
(laut yang menenggelamkan). Al Ghazali kemudian meninggalkan Naisabur setelah
Imam Al Juwaini meninggal dunia pada tahun 478 H (1085 M). Kemudian ia
berkunjung kepada Nizhâm Al Mâlik di kota Mu’askar. Ia mendapat penghormatan
dan penghargaan yang besar, sehingga ia tinggal di kota itu selama 6 tahun.
Pada tahun 1090 M ia diangkat menjadi guru di sebuah Nizhâmiyah, Baghdad.
Pekerjaan itu dilakukan dengan sangat berhasil. Selama di Baghdad, selain
mengajar, ia juga memberikan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan
bathiniyyah, ismâiliyyah, golongan filsafat dan lain-lain. Setelah mengajar di
berbagai tempat, seperti di Baghdad, Syam dan Naisabur, akhirnya ia kembali ke
kota kelahirannya di Thus pada tahun 1105 M.
Empat tahun lamanya Al Ghazali
memangku jabatan tersebut, bergelimang ilmu pengetahuan dan kemewahan duniawi.
Di masa inilah dia banyak menulis buku-buku ilmiah dan filsafat. Tetapi keadaan
yang demikian tidak selamanya mententramkan hatinya. Di dalam hatinya mulai
timbul keraguan, pertanyaan-pertanyaan batinnya mulai muncul, ‘inikah ilmu
pengetahuan yang sebenarnya?’, ‘Inikah kehidupan yang dikasihi Allah?’, ‘Inikah
cara hidup yang diridhai Tuhan?’, dengan mereguk madu dunia sampai ke dasar
gelasnya. Bermacam-macam pertanyaan timbul dari hati sanubarinya. Keraguan
terhadap daya serap indera dan olahan akal benar-benar menyelimuti dirinya.
Akhirnya dia menyingkir dari kursi kebesaran ilmiahnya di Baghdad menuju
Mekkah, kemudian ke Damaskus dan tinggal disana sambil mengisolir diri untuk
beribadah.
Ia mulai tentram dengan jalannya
di Damaskus, yakni jalan sufi. Ia tidak lagi mengandalkan akal semata-mata,
tetapi juga kekuatan nûr yang dilimpahkan Tuhan kepada para hamba-Nya yang
bersungguh-sumgguh menuntut kebenaran. Dari Damaskus ia kembali ke Baghdad dan
kembali ke kampungnya di Thus. Di sini ia menghabiskan hari-harinya dengan
mengajar dan beribadah sampai ia dipanggil Tuhan ke hadirat-Nya pada tanggal 14
Jumâdil Akhir tahun 505 H (1111 M) dalam usia 55 tahun dengan meninggalkan
beberapa anak perempuan. Dan ada juga yang mengatakan bahwa beliau meninggal
usia 54 tahun.
B. Karya-karya Imam Al Ghazali
Rampung dari mempelajari beberapa
filsafat, baik Yunani maupun dari pendapat-pendapat filosof Islam, Al Ghazali
mendapatkan argumen-argumen yang tidak kuat, bahkan banyak yang bertentangan
dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, Al Ghazali menyerang argumen filosof
Yunani dan Islam dalam beberapa persoalan. Di antaranya, Al Ghazali menyerang
dalil Aristoteles tentang azalinya alam dan pendapat para filosof yang
mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian alam dan hanya mengetahui
soal-soal yang besar saja. Ia pun menentang argumen para filosof yang
mengatakan kepastian hukum sebab akibat semata-mata, mustahil adanya
penyelewengan.
Al Ghazali mendapat gelar
kehormatan Hujjatul Islâm atas pembelaannya yang mengagumkan terhadap agama
Islam, terutama terhadap kaum bâthiniyyah dan kaum filosof. Sosok Al Ghazali
mempunyai keistimewaan yang luar biasa. Dia seorang ulama, pendidik, ahli pikir
dalam ilmunya dan pengarang produktif.
Karya-karya tulisnya meliputi
berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Berikut beberapa warisan dari karya ilmiah
yang paling besar pengaruhnya terhadap pemikiran umat Islam
1. Maqâshid Al Falâsifah
(tujuan-tujuan para filosof), karangan pertama yang berisi masalah-masalah
filsafat.
2. Tahâfut Al Falâsifah
(kekacauan pikiran para filosof) yang dikarang ketika jiwanya dilanda
keragu-raguan di Baghdad dan Al Ghazali mengecam filsafat para filosof dengan
keras.
3. Mi’yâr Al ‘Ilm (kriteria ilmu-ilmu).
4. Ihyâ` ‘Ulûm Ad Dîn
(menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama), merupakan karya terbesarnya selama
beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara damaskus,Yerussalem,
Hijjâz dan Thus yang berisi panduan antara fiqih, tasawuf dan filsafat.
5. Al Munqidz Min Adl Dlalâl
(penyelamat dari kesatuan), merupakan sejarah perkembangan alam pikiran Al
Ghazali dan merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan
mencapai Tuhan.
6. Al Ma’ârif Al ‘Aqliyyah
(pengetahuan yang rasional).
7. Misykat Al Anwâr (lampu yang
bersinar banyak), pembahasan akhlâq tashawuf.
8. Minhaj Al ‘Âbidîn (jalan
mengabdikan diri pada Tuhan).
9. Al Iqtishâd fî Al I’tiqâd (moderasi dalam
akidah).
10. Ayyuhâ Al Walad (wahai anak).
11. Al Mustasyfa (yang terpilih).
12. Iljam Al ‘Awwâm ‘an ‘Ilm Al
Kalâm.
13. Mizan Al ‘Amal (timbangan
amal).
C. Filsafat Imam Al Ghazali
1. Filsafat Ketuhanan Al Ghazali
Al Ghazali memandang metafisika
(ketuhanan) dengan memberi reaksi keras terhadap Neoplatonisme Islam.
Menurutnya, banyak kesalahan para filosof, karena mereka tidak teliti dalam
lapangan logika dan matematika. Untuk itu, Al Ghazali mengecam secara langsung
dua tokoh Neoplatonisme muslim (Al Farabi dan Ibn Sina) serta secara tidak
langsung terhadap Aristoteles, guru mereka. Menurut Al Ghazali, dalam Tahâfut
Al Falâsifah, para pemikir bebas tersebut ingin meninggalkan
keyakinan-keyakinan Islam dan mengabaikan dasar-dasar pemujaan ritual dengan
menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak berguna bagi pencapaian intelektual
mereka.
Pandangan Al Ghazali tentang
filsafat ketuhanan terdiri dari tiga masalah pokok, yaitu:
a. Masalah Wujud
Al Ghazali mengikuti tradisi
ulama kalam Al Asy’ari, dalam menetapkan wujud Tuhan. Beliau menggunakan dalil
wujud Tuhan atas dua bentuk, yaitu dalil naqli dan dalil aqli. Penggunaan dalil
naqli yakni melalui perenungan terhadap ayat-ayat Al Qur`ân sambil
memperhatikan alam semesta sebagai ciptaan Tuhan bahwa dengan perenungan ayat
dan fenomena alam yang serba teratur, manusia akan sampai pada pengakuan
terhadap wujud Tuhan.
Ia menunjukkan wujud Tuhan
melalui dalil aqli dan ia mempertentangkan wujud Allah dengan wujud makhluk.
Wujud Allah adalah qadîm, sedangkan wujud makhluk adalah hadîts (baru). Wujud
hadîts menghendaki sebab gerak yang mendahuluinya sebagai penggerak yang
mengadakannya. Sebab musabab ini tidak akan berakhir sebelum sampai kepada Yang
Qadîm yang tidak dicipta dan digerakkan. Sedangkan jika wujud Allah hadîts,
tentu akan menghendaki sebab musabab seperti itu juga, yang sudah pasti tak
akan ada pangkal pokok geraknya. Hal demikian adalah suatu hal yang mustahil
dan tak akan menghasilkan apa-apa.
b. Masalah Dzat dan Sifat
Al Ghazali membatasi diri dari
pembahasan tentang Dzat Tuhan dengan mengemukakan hadits Nabi Muhammad saw.
yang melarang manusia memikirkan dzat Allah SWT. Dari itu, beliau menegaskan
bahwa akal menusia tidak akan sampai mencapai dzat itu. Cukup bagi manusia
hanya mengetahui sifat af’âlnya saja. Sedangkan dalam membahas sifat Tuhan, Al
Ghazali cenderung mengikuti para mutakallimîn dari madzhab Asy’ari. Beliau
menetapkan adanya sifat dzat yang diistilahkan dengan sifat salbiyyah (sifat
yang menafikan sesuatu yang tidak sesuai dengan kesempurnaan dzat Allah SWT).
Sifat salbiyyah ini ada lima, yaitu: Qidâm (tidak berpemulaan), Baqâ` (kekal),
Mukhâlafah li Al Hawâdits (berlainan dengan yang baru), Qiyâmuh Bi Nafsih
(berdiri sendiri) dan Wahdâniyyah (esa).
Sifat-sifat ini menafikan
kesempurnaan makhluk dan menetapkan kesempurnaan Allah SWT. Selain sifat
salbiyyah, adapula sifat ma’âni (sifat-sifat yang melekat pada dzat Allah SWT.)
Dia bukanlah dzatnya dan adanya sifat ini bersamaan dengan adanya Allah SWT.
dan tidak dapat dipisahkan dari dzatnya. Sifat ma’âni ada tujuh yaitu: Qudrah
(Maha Kuasa), Iradah (Maha Berkehendak), ‘Ilmu (Maha Mengetahui), Sama’ (Maha
Mendengar), Bashar (Maha Melihat), Kalam (Maha Berbicara) dan Hayat (Maha
Hidup).
c. Masalah Af’al
Al Ghazali berpendapat bahwa
perbuatan Allah SWT. tidak terbatas dalam menciptakan alam saja, tetapi Allah
SWT. juga menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiarnya. Perbuatan manusia
tidaklah terlepas dari kehendak Allah SWT. Manusia hanya diberi kekuasaan dalam
lingkungan kehendak Tuhan. Jadi pebuatan dan ikhtiar manusia adalah terbatas
dan tidak akan melampaui garis-garis qadar. Dalam menguraikan af’al ini, Al
Ghazali mengembalikan permasalahan kepada firman Allah SWT dalam Q.S. Fâthir
ayat 8.
2. Tashawuf Al Ghazali
Al Ghazali dengan sifat kritisnya
kadang tidak percaya pada kebenaran semua (oxioma atau sangat mendasar) yang
akhirnya melahirkan skeptik. Dia pernah mengutarakan pendapatnya terkait
cahaya, sebagai berikut:
“Cahaya itu adalah kunci dari
kebanyakan pengetahuan, dan siap yang menyangka bahwa kasyf (pembukaan tabir)
bergantung pada argumen-argumen, sebenarnya telah mempersempit rahmat Tuhan
yang demikian luas… Cahaya yang dimaksud adalah cahaya yang disinarkan Tuhan
dalam hati sanubari seseorang.”
Berdasarkan ungkapan dia
tersebut, dapat disimpulkan bahwa satu-satunya pengetahuan yang menimbulkan
keyakinan akan kebenarannya bagi Al Ghazali adalah pengetahuan yang diperoleh
secara langsung dari Tuhan dengan Tashawuf. Ungkapan ini ada setelah dia tidak
merasa puas dengan ilmu kalam dan filsafat serta meninggalkan kedudukannya yang
tinggi di Madrasah Nizhamiyah, Baghdad tahun 1095 M dan pergi bertapa di salah
satu menara Mesjid Umawi di Damaskus.
Tashawuf Al Ghazali berbeda
dengan tashawuf yang berkembang saat itu. Ia tidak melibatkan diri dalam aliran
tashawuf inkarnasi (pantheisme) dan karya-karyanya tidak keluar dari sunnah
Islam yang benar. Pengetahuannya tidak berdasarkan hasil-hasil argumen Ilmu
Kalam. Sehingga dari saat tersebut, tashawuf mulai digandrungi masyarakat lagi.
3. Filsafat Etika/ Akhlâq Al
Ghazali
Tujuan dari butir-butir nilai
akhlâq yang dikemukakannya adalah sebagai sarana mencapai ma’rifatullah
(mengenal Allah SWT) dengan arti membuka hijab-hijab yang membatasi diri manusia
dengan Tuhannya, karena menurutnya, akhlâq sangat terkait erat dengan filsafat
ketuhanannya.
Menurut Al Ghazali, akhlâq adalah
sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dan
tindak-tanduk dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan. Dalam hal ini, terdapat persamaan antara Imam Al Ghazali, Ibn
Maskawaih dan Tusi, bahwa akhlâq harus dimulai dengan pengetahuan tentang jiwa,
kekuatan dan sifat-sifatnya. Karena ia merupakan sumber kebaikan, kebahagiaan
dan sebaliknya.
Berbicara masalah jiwa,
sebagaimana Tusi dan filosof lainnya, Al Ghazali membagi jiwa menjadi tiga
bagian, yaitu: jiwa bernafsu (an nafs al bahîmiyyah) yang berasal dari materi,
jiwa berani (an nafs as sabû’iyyah) dan jiwa berfikir (an nafs an nâthiqah)
yang berasal dari ruh Tuhan yang tidak akan hancur. Al Ghazali juga membuat
tabulasi kebaikan pokok, yang terdiri dari empat hal, yaitu kebijaksanaan,
keberanian, menjaga kesucian dan keadilan. Empat hal ini merupakan jalan tengah
dari ketiga jenis jiwa tadi. Dan untuk mencapai jalan tengah ini, diperlukan
akal yang berfungsi efektif bagi terciptanya posisi tengah jiwa berpikir dan
syari’at berfungsi efektif untuk terciptanya posisi tengah jiwa bernafsu dan
berani.
Al Ghazali mengenalkan konsep jalan
lurus (ash shirât al mustaqîm) yang dinyatakan lebih halus daripada sehelai
rambut dan lebih tajam daripada mata pisau. Kesempurnaan jalan ini akan dapat
dicapai dengan penggabungan antara akal dan wahyu.
Ihyâ` ‘Ulûm Ad Dîn merupakan
salahsatu karya Al Ghazali yang mengupas tentang pemikiran filsafat etikanya.
Maka, dapat dikatakan bahwa filsafat etika Al Ghazali adalah Tashawuf Al
Ghazal, yang bertujuan pokok:
التخلّق
بالأخلاق الله على طاقة
البشرية atau الصفات
الرحمن على طاقة البشطي
Maksudnya bahwa manusia
semampunya meniru keteladanan sifat-sifat ketuhanan, seperti pengasih,
penyayang, pengampun (pemaaf), serta sifat-sifat yang disukai Tuhan, seperti
sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas, beragama dan lainnya.
Akhlâq merupakan keseimbangan
antara daya ilmu dan daya pengendalian amarah. Dan jalan untuk mencapai akhlâq
ialah dengan naluri insani serta latihan-latihan. Latihan ini dilakukan dengan
amal-amal. Adapun tujuan dari akhlâq luhur adalah menahan diri dari mencintai
dunia wujud dan mengalihkannya kepada nikmatnya mencintai Allah SWT.
Al Ghazali berpendapat bahwa
watak manusia pada dasarnya adalah seimbang, dan lingkungan dan pendidikanlah
yang memperburuknya. Sebagaimana prinsip Islam, Al Ghazali menganggap Tuhan
sebagai pencipta yang berkuasa dan sangat memelihara dan menjadi rahmatan lil
‘âlamîn. Untuk taqarrub pada Allah, yang terpenting adalah muqârabah dan
muhâsabah. Adapun kesenangan menurut Al Ghazali ada dua, yaitu kepuasan
(ladzdzât) ketika mengetahui kebenaran sesuatu dan kebahagiaan (sa’âdah) ketika
mengetahui kebenaran sumber dari segala kebahagiaan itu sendiri (ma’rifatullâh
disertai musyâhadah al qalb).
D. Pengaruh Pemikiran-pemikiran
Imam Al Ghazali terhadap Masa dan Generasi Sesudahnya
Pemikiran Al Ghazali banyak mempengaruhi
pada masa setelahnya, karena sesuai dengan ajaran Islam. Ia mendapat gelar
Hujjatul Islâm karena jasanya dalam mengomentari dan melakukan pembelaan
terhadap berbagai serangan dari pihak luar, baik Islam maupun orientalis Barat.
Pemikiran Al Ghazali dan Ibn
Rusyd pada dasarnya memiliki satu garis kesamaan, yaitu sebuah garis yang
berangkat dari titik pemikiran Ibn Sina dengan aliran filsafat yang memiliki
bangun dasar wahdatul wujûd. Al Ghazali mengemukakan bahwa para filosof yang
mengajarkan tiga hal (keabadian alam, pengetahuan Tuhan yang universal dan
menolak bangkitnya jasad setelah mati) adalah kafir, termasuk yang
mengikutinya.
Beberapa filosof yang
terpengaruhi pemikiran-pemikiran Al Ghazali dari karya-karyanya, yaitu
1. B Mic Donal menerjemahkan
beberapa pasal dari Ihyâ` ‘Ulûmuddîn.
2. H Baeur yang menterjemahkan
Qawâ’id Al ‘Aqâ`id ditransfer ke dalam bahasanya, yaitu Dogmatic Al Ghazali’s.
3. Carra De Vaux yang
menterjemahkan buku Tahâfut Al Falâsifah.
4. De Boer dan Asin Palacois yang
masing-masing menterjemahkan Tahâfut Al Falâsifah.
5. Barbier De Minard yang
menterjemahkan Al Munqizhu min Adl Dlalâl.
6. WHT. Craidner, London yang
menterjemahkan buku Miskat Al Anwâr.
BAB III
KESIMPULAN
Nama lengkap Al Ghazali adalah
Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn Ahmad Al Ghazali, lebih dikenal dengan Al Ghazali.
Lahir di Provinsi Khurasan, Republik Islam Irak, tahun 450 H (1058 M). Ayahnya
adalah memintal benang wol.
Awal mula Al Ghazali mengenal
tashawuf adalah ketika sebelum ayahnya meninggal, namun dalam hal ini ada dua
versi: ayahnya sempat menitipkan Al Ghazali kepada saudaranya, Ahmad seorang
sufi. Sejak kecil, Al Ghazali dikenal sebagai anak yang senang menuntut ilmu.
Al Juwaini kemudian memberinya gelar Bahrûm Mughrîq (laut yang menenggelamkan).
Dan empat tahun Al Ghazali bergelimang ilmu pengetahuan dan kemewahan duniawi.
Di masa inilah dia banyak menulis buku-buku ilmiah dan filsafat. Bermacam-macam
pertanyaan timbul dari hati sanubarinya. Dia menyingkir dari kursi kebesaran
ilmiahnya di Baghdad menuju Mekkah, kemudian ke Damaskus dan tinggal disana
sambil mengisolir diri untuk beribadah dan mengambil jalan sufi. Ia wafat pada
tanggal 14 Jumâdil Akhir tahun 505 H (1111 M) dalam usia 55 tahun.
Al Ghazali mendapat gelar
kehormatan Hujjatul Islâm atas pembelaannya yang mengagumkan terhadap agama
Islam, terutama terhadap kaum bâthiniyyah dan kaum filosof. Dia seorang ulama,
pendidik, ahli pikir dalam ilmunya dan pengarang produktif.
Karya-karya tulisnya meliputi:
Maqâshid Al Falâsifah, Tahâfut Al Falâsifah, Mi’yâr Al ‘Ilm, Ihyâ` ‘Ulûm Ad
Dîn, Al Munqidz Min Adl Dlalâl, Al Ma’ârif Al ‘Aqliyyah, Misykat Al Anwâr,
Minhaj Al ‘Âbidîn, Al Iqtishâd fî Al I’tiqâd, Ayyuhâ Al Walad, Al Mustasyfa,
Iljam Al ‘Awwâm ‘an ‘Ilm Al Kalâm dan Mizan Al ‘Amal.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Yunasril. 1991. Perkembangan
Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Hanafi, Ahmad. 1990. Pengantar
Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hermawan, A. Heris dan Yaya
Sunarya. 2011. Filsafat. Bandung: CV Insan Mandiri.
Madkur, Ibrahim. 1968. Fî Al
Falsafah Al Islâmiyyât wan Manhaj wa Tathbiquh. Kairo: Dâr Al Ma’ârif.
Mustofa, A. 2007. Filsafat Islam.
Bandung: CV Pustaka Setia.
Nasution, Harun. 1978. Filsafat
dan Mistisme. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Hasyim Syah. 1999.
Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Sirajuddin. 2007. Filsafat Islam.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Suseno, Magniz Franz. 2000. Dua
Belas Tokoh Etika Abad Ke-20. Yogyakarta: Kanisius.
Syadali, Ahmad Mudzakir, dkk.
1997. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia.