Headlines News :

Lomba Blog BPJS Ketenagakerjaan

Home » » sistem peradilan dalam islam

sistem peradilan dalam islam

BAB I 
PENDAHULUAN 

Pada 1400 terakhir sejarah negara Islam, dikenal dengan administrasi peradilannya, dan kemampuannya melindungi hak-hak rakyat dan hal inilah yang sangat berbeda dengan seluruh aspek kehidupan bangsa lainnya baik secara pribadi maupun politik. Ada 2 orang yang bertanggung jawab dalam mengimplementasikan Islam dalam berbagai hal yakni: Khalifah dan Qadhi (hakim). Khalifah menjalankan hukum-hukum Islam dan menerapkannya kepada seluruh rakyat, sedangkan hakim mengambil putusan-putusan secara Islami untuk kondisi-kondisi yang berbeda berdasarkan sumber-sumber (seperti Al-Qur`an, As Sunnah dan segala sesuatu yang berasal dari keduannya) dan menggunakannya. Karena itu peradilan merupakan salah satu pilar yang fundamental dalam negara Islam dan diatas hal inilah sistem pemerintahan disandarkan sebagai bagian Implementasi Islam dalam kehidupan politik. Dalam negara Islam telah ada sebuah peradilan yang senantiasa menjalankan keadilan dan menghukum siapa saja yang patut dihukum ditengah-tengah masyarakat untuk memastikan bahwa Islam telah ditaati secara terus-menerus. Sistem peradilan ini tidak ada yang bertentangan dengan Islam malah ia berasal dari aqidah Islam dan membentuk satu kesatuan yang padu dalam pandangan hidup Islam, ditambah dengan Sistem Islam yang lain seperti Sistem Ekonomi (Iqtisad), dan ritual (ibadah) yang saling menyempurnakan satu sama lain.

BAB II 
PERKEMBANGAN PERADILAN INDONESIA SEJAK TAHUN 1950-1970 

A. Tujuan Peradilan Dasar dibentuknya Peradilan memiliki 3 prinsip yaitu: 1. Bahwa penerapan hukum-hukum Islam dalam setiap kondisi adalah wajib. 2. Bahwa dilarang mengikuti syari’ah lain selain Islam. 3. Syari’ah selain Islam adalah kufur dan batil (taghut). Dengan kerangka seperti ini, sistem Peradilan Negara Islam dijalankan dan Berdasarkan pemahaman ini maka definisi Peradilan dibangun berdasarkan syari’ah sehingga definisi dan tujuan Peradilan adalah memberikan putusan-putusan yang sah untuk menetapkan berbagai pendapat yang muncul terhadap hukum Allah dalam berbagai situasi, dengan kewenangan untuk memaksa mereka. B. Bukti keabsahan Peradilan Landasan Sistem Peradilan dan hukum-hukumnya berasal dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Mengenai Al-Qur`an, Allah SWT Berfirman dalam beberapa surat , diantaranya dalam QS. 4:105 dan QS. 5:48. Ayat-ayat ini dengan jelas menyatakan bahwa adalah sah untuk menghukumi antar manusia dan bahkan wajib melaksanakan hal tersebut, yaitu dengan hanya merujuk kepada sistem Allah SWT. Mengenai As-Sunnah, Rosululloh SAW sendiri memimpin Sistem Peradilan ini dan beliaulah yang menghukumi umat. Muslim menceritakan hal yang disampaikan Aisyah (ra), istri Rosululloh SAW bahwa beliau berkata, Sa’ad Ibn Abi Waqqash dan Abd Zama’a berselisih satu sama lain mengenai seorang anak laki-laki. Sa’ad berkata: “Rosululloh SAW, adalah anak dari saudaraku Utbah Ibn Abi Waqqash yang secara implisit dia menganggap sebagai anaknya. Lihatlah kemiripan wajahnya.”. Abd Ibn Zama’a berkata: “Rosululloh, dia adalah saudaraku karena dia lahir diatas tempat tidur ayahku dari hamba sahayanya. Rosululloh lalu melihat persamaan itu dan beliau mendapati kemiripan yang jelas dengan Utbah. Tapi beliau bersabda, “Dia adalah milikmu wahai Abd Ibn Zama’a, karena seorang anak akan dihubungkan dengan seseorang yang pada tempat tidurnya ia dilahirkan, dan hukum rajam itu adalah untuk pezina.” Hal ini membuktikan bahwa Rosululloh SAW menghukumi umat dan bahwa keputusannya memiliki otoritas untuk dilaksanakan. Bukti-bukti lain tentang Peradilan dalam As Sunnah, adalah : 1. Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibn Majah meriwayatkan: Buraidah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Hakim itu ada 3, 2 diantaranya akan masuk api neraka dan satu akan masuk surga. Seseorang yang mengetahui kebenaran dan menghakiminya dengan kebenaran itu ?dialah yang akan masuk surga, seseorang yang mengetahui kebenaran namun tidak memutuskan berdasarkan kebenaran itu, dia akan masuk neraka. Yang lain tidak mengetahui kebenaran dan memutuskan sesuatu dengan kebodohannya, dan dia akan masuk neraka”. 2. Ahmad dan Abu Daud mengisahkan: Ali ra. Berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Ali, jika 2 orang datang kepadamu untuk meminta keadilan bagi keduanya, janganlah kamu memutuskan sesuatu dari orang yang pertama hingga kamu mendengarkan perkataan dari orang kedua agar kamu tahu bagaimana cara memutuskannya (menghakiminya).” 3. Bukhori, Muslim dan Ahmad meriwayatkan Ummu Salamah berkata: “Dua laki-laki telah berselisih tentang warisan dan mengdatangi Rasulullah SAW, tanpa membawa bukti. Beliau saw bersabda: kalian berdua membawa perselisihan kalian kepadaku, sedang aku adalah seseorang yang seperti kalian dan salah seorang diantara kalian mungkin berbicara lebih fasih, sehingga aku mungkin menghakimi berdasarkan keinginannya. Dan jika aku menghukumnya dengan sesuatu yang bukan menjadi miliknya dan aku mengambilnya sebagai hak saudaranya maka ia tidak boleh mengambilnya karena apapun yang aku berikan padanya akan menjadi serpihan api neraka dalam perutnya dan dia akan datang dengan menundukkan lehernya dihari pembalasan. Kedua orang itu menangis dan salah satu dari mereka berkata, aku berikan bagianku pada saudaraku. Rasulullah SAW bersabda: “Pergilah kalian bersama-sama dan bagilah warisan itu diantara kalian dan dapatkan hak kalian berdua serta masing-masing dari kalian saling mengatakan, “Semoga Alloh mengampunimu dan mengikhlaskan apa yang dia ambil agar kalian berdua mengdapat pahala”. 4. Baihaqi, Darqutni dan Thabrani berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang diuji Alloh dengan membiarkannya menjadi seorang hakim, maka janganlah dia membiarkan satu pihak yang berselisih itu duduk didekatnya tanpa membawa pihak lainnya untuk duduk didekatnya. Dan dia harus takut pada Alloh atas persidangannya, pandangannya terhadap keduannya dan keputusannya pada keduanya. Dia harus berhati-hati agar tidak merendahkan yang satu seolah-olah yang lain lebih tinggi, dia harus berhati-hati untuk tidak menghardik yang satu dan tidak kepada yang lain dan diapun harus berhati-hati terhadap keduanya.” 5. Muslim, Abu Daud dan An Nasa’i berkata: Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah SAW mengadili manusia dengan sumpah dan para saksi.” 6. Imam Mawardi dalam etika Peradilan Vol.1.p.123, “Rasulullah SAW menunjuk hakim dalam Negara Islam, diantaranya adalah Imam Ali, Mu’adz bi Jabal dan Abu Musa Al Ash’ari”. 7. Muslim mengabarkan Abu Hurairah berkata: “Rasulullah SAW sedang melewati pasar dan beliau melihat seseorang sedang menjual makanan. Dia meletakkan tangannya diatas sepiring kurma dan ditemukan kurma-kurmanya basah dibagian bawahnya. Beliau bertanya, apa ini” Dia menjawab, hujan dari surga Ya Rasululloh. Rasulullah SAW bersabda, “Kamu harus meletakkannya diatas, barangsiapa mencuri timbangan bukan dari golongan kami”. Semua hadist diatas secara jelas menyatakan kebenaran Pengadilan dan menjelaskan dari berbagai sudut pandang, dasar-dasar Sistem Peradilan dalam Negara Islam antara lain: 1. Hadist-hadist tersebut menyatakan bahwa seseorang termotivasi menjadi hakim dikarenakan pahala terhadap hakim tersebut. 2. Hadist-hadist diatas membuat takut terhadap orang-oarng yang ingin menjadi hakim apabila mereka tidak mampu. 3. Hadist-hadist diatas menunjukkan kepada kita sumber perselisihan dan sumber Peradilannya misalnya Rasulullah SAW mengatakan kepada Ali untuk tidak mengadili siapapun hingga ia mendengarkan pernyataan dari kedua belah pihak. Hal itu menunjukkan bahwa kita harus memiliki sebuah pengadilan dimana kedua pihak duduk bersama dan bahwa seorang hakim harus mendengarkan keduanya. Beliau menyatakan bahwa takutlah kepada Alloh pada saat engkau melihat mereka, berbicara pada mereka dan pada saat engkau menghukum mereka. 4. Hadist-hadist tersebut menunjukkan adanya dasar penunjukkan seorang wakil. Dikarenakan pernyataan, “Hati-hatilah terhadap mereka yang memiliki lidah yang fasih, sehingga ia boleh jadi menunjuk seseorang untuk berbicara atas namamu”. 5. Hadist-hadist tersebut juga membuktikan bahwa Rasulullah SAW mengambil sumpah-sumpah dan saksi-saksi, bahwa hal tersebut dapat digunakan pembuktian berbagai kasus. 6. Mereka (hadist-hadist itu) menyatakan macam-macam hakim, misalnya Qadhi Muhtasid yang menegakkan keadilan dan kebenaran yang terjadi dipasar. 7. Hadist-hadist diatas juga menyatakan kebenaran cara penunjukkkan para hakim seperti pernyataan Imam Mawardi, Imam Ali dan Mu’adz bin Jabal. C. Sistem Peradilan Islam I Fakta Tentang Sistem Peradilan Dalam peradilan Hukum Islam, hanya ada satu hakim yangbertanggung jawab terhadap berbagai kasus pengadilan. Dia memiliki otoritas untuk menjatuhkan keputusan berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Keputusan-keputusan lain mungkin hanya bersifat menyarankan atau membantu jika diperlukan (yang dilakukan oleh hakim ketua). Tidak ada sistem dewan juri dalam Islam. Nasib seorang tidak diserahkan kepada tindakan dan prasangka ke-12 orang yang bisa saja keliru karena bukan saksi dalam kasus tersebut dan bahkan mungkin pelaku kriminal itu sendiri!.Hukumanhukuman dalam Islam hanya bisa dilakukan apabila perbuatantersebut terbukti 100% secara pasti dan kondisi yang relevan dapatditemukan (misal ada 4 saksi untuk membuktikan perzinahan) jika masih adakeraguan tentang peristiwa-peristiwa tersebut maka seluruh kasus akan dibuang. Ada 3 macam hakim dalam Islam, yaitu: 1. Qodli ‘Aam: bertanggung jawab untuk menyelesaikan perselisihan ditengah-tengah masyarakat, misalnya masalah sehari-hari yang terjadi didarat, tabrakan mobil, kecelakaan-kecelakaan, dsb. 2. Qodli Muhtasib: bertanggung jawab menyelesaikan perselisihan yang timbul diantara ummat dan beberapa orang, yang menggangu masyarakat luas, misalnya berteriak dijalanan, mencuri di pasar, dsb. 3. Qodli Madzaalim: yang mengurusi permasalahan antara masyarakat dengan pejabat negara. Dia dapat memecat para penguasa atau pegawai pemerintah termasuk khalifah. Khalifah kedua yaitu Umar Ibnu Al Khattab (Amir kaum muslimin antara tahun 634-644 M) adalah orang pertama yang membuat penjara dan rumah tahanan di Mekkah. Dibawah sistem peradilan (Islam), setiap orang, muslim atau non muslim, laki-laki atau perempuan, terdakwa dan orang yang dituduh memiliki hak menunjuk seorang wakil (proxy). Tidak ada perbedaan antara pengadilan perdata dengan kriminal seperti yang kita lihat sekarang di negeri-negeri Islam seperti di Pakistan dimana sebagian hokum Islam dan sebagian hokum kufur keduanya diterapkan. Negara Islam hanya akan menggunakan sumber-sumber hukum Islam yakni, Al-Qur`an dan As-Sunnah (dan segala sesuatu yang berasal dari keduanya) sebagai rujukannya. Hukuman-hukuman Islami akan dilaksanakan tanpa penundaan dan keraguan. Tidak seorangpun akan di hukum kecuali oleh peraturan pengadilan. Selain itu, sarana (alat-alat) penyiksaan tidak diperbolehkan.Dibawah sistem Islam, seseorang yang dirugikan dalam suatu kejahatan mempunyai hak untuk memaafkan terdakwa atau menuntut ganti rugi (misal qishas) untuk suatu tindak kejahatan. Khusus untuk hukum hudud, merupakan hak Allah.Hukum potong tangan dalam Islam hanya akan diterapkan apabila memenuhi 7 persyaratan, yaitu: 1. Ada saksi (yang tidak kontradiksi atau salah dalam kesaksiannya) 2. Nilai barang yang dicuri harus mencapai 0,25 dinar atau senilai 4,25 gr emas. 3. Bukan berupa makanan (jika pencuri itu lapar) 4. Barang yang dicuri tidak berasal dari keluarga pencuri tersebut. 5. Barangnya halal secara alami (misal: bukan alkohol) 6. Dipastikan dicuri dari tempat yang aman (terkunci) 7. Tidak diragukan dari segi barangnya (artinya pencuri tersebut tidak berhak mengambil misalnya uang dari harta milik umum). Di sepanjang 1300 tahun aturan Islam diterapkan, hanya ada sekitar 200 orang yang tangannya dipotong karena mencuri namun kejadin-kejadian pencurian sangat jarang terjadi. Setiap orang berhak menempatkan pemimpinnya di pengadilan, berbicara mengkritiknya jika pengadilan telah melakukan sejumlah pelanggaran terhadapnya. Sebagaimana ketika seorang wanita pada masa khalifah Umar Ibnu Al Khattab mengoreksi kesalahan yang dilakukan Umar tentang nilai mahar . Kehormatan seorang warga negara dipercayakan kepada Majlis Ummah. Hukuman atas tuduhan kepada muslim lain yang belum tentu berdosa dengan tanpa menghadirkan 4 orang saksi yang memperkuat pernyataan tersebut adalah berupa 80 kali cambukan.

BAB III 
KESIMPULAN 

Dari pembahasan makalah tersebut diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa, Dalam peradilan Hukum Islam, hanya ada satu hakim yangbertanggung jawab terhadap berbagai kasus pengadilan. Dia memiliki otoritas untuk menjatuhkan keputusan berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Keputusan-keputusan lain mungkin hanya bersifat menyarankan atau membantu jika diperlukan (yang dilakukan oleh hakim ketua). Tidak ada sistem dewan juri dalam Islam. Nasib seorang tidak diserahkan kepada tindakan dan prasangka ke-12 orang yang bisa saja keliru karena bukan saksi dalam kasus tersebut dan bahkan mungkin pelaku kriminal itu sendiri!.Hukumanhukuman dalam Islam hanya bisa dilakukan apabila perbuatantersebut terbukti 100% secara pasti dan kondisi yang relevan dapatditemukan (misal ada 4 saksi untuk membuktikan perzinahan) jika masih adakeraguan tentang peristiwa-peristiwa tersebut maka seluruh kasus akan dibuang.

 DAFTAR PUSTAKA 

Prof. Dr. Alaiddin Koto, MA. Sejarah Peradilan Islam. Rajawali Pers. Jakarta. 2011
Share this article :

Blog Archive

Followers

Search This Blog

Blogger Themes

Random Post

Bagaimana Pendapat Anda dengan Blog ini?

Trending Topik

EnglishFrenchGermanSpainItalianDutch

RussianPortugueseJapaneseKoreanArabic Chinese Simplified
SELAMAT DATANG
script>
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Berbagai Kumpulan Makalah - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template