Headlines News :

Lomba Blog BPJS Ketenagakerjaan

Home » » ijtihad

ijtihad

BAB I PEMBAHASAN A. Ijtihad Secara etimologi ijtihad berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih (pakar fikih) untueh pengetahuan tetnang hukum sesuatu melalui dalil syara' (agama).dalam istilah inilah, ijtihad lebih banyak dikenal dan diguankan bahkan banyak para fuqaha yang menegaskan bahwa ijtihad itu bisa dilakukan dibidang fiqih. Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hukum Islam. Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali, baik kenyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat, diantaranya : اِÙ†َّا اَÙ†ْزَÙ„ْÙ†َا اِÙ„َÙŠْÙƒَ الْÙƒِتَابَ بِالْØ­َÙ‚ِّ Ù„ِتَØ­ْÙƒُÙ…َ بَÙŠْÙ†َ النَّاسِ بِÙ…َااَرَاكَ اللهُ Artinya : "Sesungguhnya kami turunkan kitab kepadamu secara hak, agar dapat menghukumi diantara manusia dengan apa yang Allah mengetahui kepadamu". (Q.S. An-Nisaa' : 105). Ulama ushul berbeda pendapat dalam menetapkan syarat-syarat ijtihad atau syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid. Secara umum, pendapat mereka tentang persyaratan seorang mujtahid dapat disimpulkan sebagai berikut : a. Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam al-Qur'an, baik menurut bahasa maupun syari'at. b. Menguasai dan mengetahui hadis-hadis tentang hukum, baik menurut bahasa ataupun syari'at. c. Mengetahui nasakh dan mansukh dari al-Qur'an dan sunnah. d. Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma' ulama, sehingga ijtihadnya tidak bertentangan dengan ijma' e. Mengetahui qiyas dan berbagai persyaratannya f. Mengetahui bahasa arab dan berbagai ilmu yang berkaitan dengan bahasa. g. Mengetahui ilmu Ushul Fiqih h. Mengetahui maqashidu asy-Syari'ah B. Istishab Istishab secara bahasa artinya mengakui adanya hubungan perkawinan. Sedangkan menurut UlamaUshul adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai terdapat dalil-dalil yang menunjukkan perubahan keadaan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukkan perubahannya. Istishab adalah akhir dalil syara' yang dijadikan tempat kembali bagi para mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapinya. Ulama ushul berkata "Sesungguhnya istishab adalah akhir tempat beredarnya fatwa, yaitu mengetahui sesuatu menurut hukum yangtelah ditetapkan baginya selama tidak terdapat dalil yang mengubahnya. Ulama Hanafiyah menetapkan bahwa istishab merupakan hujjah untuk mempertahankan dan bukan untuk menetapkan apa-apa yang dimaksud oleh mereka. Dengan pertanyaan tersebut jelaslah bahwa istishab merupakan ketetapan sesuatu, yang telah ada menurut keadaan semula dan juga mempertahankan sesuatu yang berbeda sampai ada dalil yang menetapkan atas perbedaannya. C. Syar'u Manqoblana (Syari'at Sebelum Kita) Jika al-Qur'an atau sunnah yang sahih mengisahkan suatu hukum yang telah disyari'atkan pada umat yang dahulu melalui para Rasul, kemudian nash tersebut diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka, maka tidak diragukan lagi bahwa syari'at tersebut ditujukan juga kepada kita. Tentang diterangkan diatas bahwa syari'at terdahulu yang jelas dalilnya, baik berupa penetapan atau penghapusan telah disepakati para ulama. Namun yang diperselisihkan adalah apabila pada syari'at terdahulu tidak terdapatdalil yang menunjukkan bahwa hal itu diwajibkan pada kita sebagaimana diwajibkan pada mereka. Jumhur Ulama Hanafiyah, sebagian Ulama Malikiyah, dan Syafi'iyah berpendapat bahwa hukum tersebut disyari'atkan juga pada kita dan kita berkewajiban mengikuti dan menetapkannya selama hukum tersebut telah diceritakan kepada kita serta tidak terdapat hukum yang menasakhnya. D. Urf Arti 'urf secara harfiyah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melakukannya atau meninggalkannya. Di kalangan masyarakat ur' ini sering disebut sebagai adat. Pengertian di atas, juga sama dengan pengertian menurut istilah ahli syara'. Diantara contoh 'urf yang bersifat perbuatan adalah adanya saling pengertian di antara manusia tentang jual beli tanpa mengucapkan shigat. Sedangkan contoh 'urf yang bersifat ucapan adalah adanya pengertian tentang kemutlakan lafal al-walad atas anak laki-laki bukan perempuan, dan juga tentang meng-itlka-kan lafazh al-lahm yang bermakna daging atas as-samak yang bermakna ikan tawar. Dengan demikian, 'urf itu mencakup sikap saling pengertian di antara manusia atas perbedaan tingkatan di antara mereka, baik keumumannya ataupun kekhususannya. Maka 'urf berbeda dengan ijma' karena ijma' merupakan tradisi dari kesepakatan para mujtahidin secara khusus. 1. Macam-Macam 'Urf a. 'Urf shahih 'Urf shahih adalah sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan dalil syara', tidak menghalalkan yang haram dan juga tidak membatalkan yang wajib. Seperti adanya saling pengertian di antara manusia tentang kontrak borongan, pembagian maskawin (mahar) yang didahulukan dan yang diakhirkan. b. 'Urf fasid 'Urf fasid adalah sesuatu yang telah saling dikenal manusia, tetapi bertentangan dengan syara', atau menghalalkan yang haram dan membatalkan yang wajib. Seperti adanya saling pengertian di antara manusia tentang beberapa perbuatan munkar dalam upacara kelahiran anak, juga tentang memakan barang riba dan kontrak judi. 2. Hukum 'Urf a. 'Urf shahih dan pandangan para ulama Telah disepakati bahwa 'urf shahih itu harus dipelihara dalam pembentukan hokum dan pengadilan. Maka seorang mujtahid diharuskan untuk memeliharanya ketika ia menetapkan hokum. Begitu juga seorang Qadhi (hakim) harus memeliharanya ketika sedang mengadili. Sesuatu yang telah saling dikenal manusia meskipun tidak menjadi adat kebiasaan, tetapi telah disepakati dan dianggap mendatangkan kemaslahatan bagi manusia serta sealma hal itu tidak bertentangan dengan syara' harus dipelihara. Dan syar'I pun telah memelihara 'urf bangsa Arab yang sahih dalam membentuk hokum, maka difardukanlah diat (denda) atas perempuan yang berakal, disyaratkan kafa'ah (keseuaian) dalam hal perkawinan, dan diperhitungkan pula adanya 'ashabah (ahli waris yang bukan penerima pembagian pasti dalam hal kematian dan pembagian harta pusaka). b. Hukum 'Urf fasid Adapun 'urf yang rusak, tidak diharuskan untuk memeliharanya karena memeliharanya itu berarti menentang dalil syara' atau membatalkan dalil syara'. Adapun manusia telah saling mengerti akad-akad yang rusak, seperti akad riba atau akad gharar atau khathar (tipuan dan membahayakan), maka bagi 'urf ini tidak mempunyai pengaruh dalam membolehkannya. Hokum-hukum yang didasarkan 'urf itu dapat berubah menurut perubahan zaman dan perubahan asalnya. Karena itu, para fuqaha berkata, "Perselisihan itu adalah perselisihan masa dan zaman, bukan perselisihan hujjah dan bukti." 3. Kehujahan 'urf 'Urf menurut penyelidikan bukan merupakan dalil syara' tersendiri. Pada umumnya, 'urf ditujukan untuk memelihara kemaslahatan umat serta menunjang pembentukan hokum dan penafsiran beberapa nash. Dengan 'urf dikhususkan lafal yang 'amm (umum) dan dibatasi yang mutlak. Karena 'urf pula terkadang qiyas itu ditinggalkan. Karena itu, sah mengadakan kontrak borongan apabila 'urf sudah terbiasa dalam hal ini, sekalipun tidak sah menurut qiyas, karena kontrak tersebut adalah kontrak atas perkara yang ma'dum (tiada). E. Illat 1. Pengertian ‘illat Secara etimologi ‘illat berarti nama bagi sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain dengan keberadaannya. Misalnya penyakit itu dikatakan ‘illat, karena dengan adanya penyakit tersebut tubuh manusia berubah dari sehat menjadi sakit. Secara termenologi, terdapat beberapa definisi ‘illat yang dikemukakan ulama ushul fiqh. Akan tetapi pada makalah ini akan kami sebutkan definisi ‘illat menurut imam al-Ghozali, yaitu: Sifat yang berpengaruh terhadap hukum, bukan karena dzatnya, melainkan karena perbuatan syar’i. Menurutnya, ‘illat itu bukanlah hukum, tetapi merupakan penyebab munculnya hukum, dalam arti: adanya suatu ‘illat menyebabkan munculnya hukum. Al-Ghozali berpendapat bahwa pengaruh ‘illat terhadap hukum bukan dengan sendirinya, melainkan harus karena adanya izin Allah. Maksudnya, Allah-lah yang menjadikan ‘illat itu berpengaruh terhadap hukum. Misalnya seorang pembunuh terhalang mendapatkan warisan dari harta orang yang ia bunuh, disebabkan pembunuhan yang ia lakukan. Dalam kasus ini bukan karena membunuh semata-mata yang menjadi ‘illat yang menyebabkan ia tidak mendapat warisan, tetapi atas perbuatan dari kehendak Allah. Dengan demikian, ‘illat ini hanya merupakan indikasi, penyebab dan motif dalam suatu hukum, yang dijadikan ukuran untuk mengetahui suatu hukum. 2. Bentuk-bentuk ‘illat ‘Illat adalah sifat yang menjadi kaitan bagi adanya suatu hukum. Ada beberapa bentuk sifat yang munkin menjadi ‘illat bagi hukum bila telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Di antara bentuk sifat itu adalah: a) Sifat haqiqi, yaitu yang dapat dicapai oleh akal dengan sendirinya, tanpa tergantung kepada ‘urf (kebiasaan) atau lainnya. Contohnya: sifat memabukkan pada minuman keras. b) Sifat hissi, yaitu sifat atau sesuatu yang dapat diamati dengan alat indera. Contohnya: pembunuhan yang menjadi penyebab terhindarnya seseorang dari hak warisan, pencurian yang menyebabkan hukum potong tangan, atau sesuatu yang dapat dirasakan, seperti senang atau benci. c) Sifat ‘urfi, yaitu sifat yang tidak dapat diukur, namun dapat dirasakan bersama. Contohnya: buruk dan baik, mulia dan hina. d) Sifat lughowi, yaitu sifat yang dapat diketahui dalam penamaannya dalam artian bahasa. Contohnya: diharamkannya nabiz karena ia bernama khomr. e) Sifat syar’i, yaitu sifat yang keadaannya sebagai hukum syar’i dijadikan alasan untuk menetapkan sesuatu hukum. Contohnya: menetapkan bolehnya mengagungkan barang milik bersama dengan alasan bolehnya barang itu dijual. f) Sifat murakkab, yaitu bergabungnya beberapa sifat yang menjadi alasan adanya suatu hukum. Contohnya: sifat pembunuhan secara sengaja, dan dalam bentuk permusuhan, semuanya dijadikan alasan berlakunya hukum qishos. Semua sifat tersebut dapat menjadi ‘illat. Tetapi mengenai kemungkinannya untuk menjadi ‘illat bagi suatu hukum, para ulama berbeda pendapat. Bagi ulama yang dapat menerima sifat tersebut sebagai ‘illat, masih diperlukan beberapa syarat yang akan dijelakan di bawah ini. 3. Syarat-syarat ‘illat ‘Illat itu mengandung motivasi hukum, bukan sekedar tanda-tanda atau indikasi hukum. Maksudnya, fungsi ‘illat adalah bagian dari tujuan disyari’atkannya hukum, yaitu untuk kemashlahatan umat manusia. Contohnya: sifat “menjaga diri” merupakan hikmah diwajibkannya qishosh. Maksudnya, bila seseorang pembunuh diqishosh, maka orang akan menjauhi pembunuhan, sehingga diri (jiwa) manusia akan terpelihara dari pembunuhan. ‘Illat itu jelas, nyata, dan bisa ditangkap indera manusia, karena ‘illat merupakan pertanda adanya hukum. Misalnya sifat memabukkan dalam khamr. Apabila ‘illat itu tidak nyata, tidak jelas, dan tidak bisa ditangkap indera manusia, maka sifat seperti itu tidak bisa dijadikan ‘illat. Contoh sifat yang tidak nyata, adalah sifat “sukarela” dalam jual beli. Sifat “sukarela” ini tidak bisa dijadikan ‘illat yang menyebabkan pemindahan hak milik dalam jual beli, karena “sukarela’ itu masalah batin yang sulit diindera. Itulah sebabnya para ahli fiqh menyatakan bahwa “sukarela” itu harus diwujudkan dalam bentuk perkataan “ijab” dan ”qobul”. Dalam literature lain ditambahkan bahwa syarat ‘illat itu antara lain: ‘illat itu harus dalam bentuk sifat yang terukur (منضبطه), keadaannya jelas dan terbatas, sehingga tidak bercampur dengan yang lainnya. Contohnya: keadaan dalam perjalanan menjadi ‘illat untuk bolehnya mengqashar sholat. Qashar sholat diperbolehkan bagi orang yang melakukan perjalanan, karena keadaan dalam perjalanan itu menyulitkan (masyaqqah), namun masyaqqah itu sendiri tidak dapat diukur dan ditentukan secara pasti, karena berbeda antara seseorang dengan lainnya, antara satu situasi dan situasi lainnya. Karenanya, masyaqqah itu tidak dapat dijadikan ‘illat hukum. Sifatnya sama dengan sifat yang batin (tidak dhahir), sehingga harus diambil sifat lain yang dhahir sebagai patokan yang alasan di dalamnya terdapat alasan yang sebenarnya, yaitu “keberadaan dalam perjalanan” yang sifatnya jelas dan terukur. Harus ada hubungan kesesuaian dan kelayakan antara hukum dengan sifat yang akan menjadi ‘illat. Adanya kesesuaian hubungan antara sifat dengan hukum itu menjadikannya rasional, diterima semua pihak, dan mendorong seseorang untuk lebih yakin dalam berbuat. Contohnya: sakit menjadi ‘illat bolehnya seseorang membatalkan puasa, karena sakit itu menyulitkan seseorang untuk berpuasa. Seandainya dilakukan juga, malah akan merusak dirinya, padahal syara’ melarang merusak dan melarang mencelakakan diri. Sifat yang tidak ada hubungan kesesuaian dengan hukum tidak dapat dijadikan ‘illat bagi bolehnya berbuka puasa, karena antara mengantuk dan puasa tidak mempunyai hubungan kesesuaian apa-apa. 4. Fungsi ‘illat Pada dasanya setiap ‘illat menimbulkan hukum. Antara ‘illat dan hukum mempunyai kaitan yang erat. Dalam kaitan itulah terlihat fungsi tertentu dari ‘illat, yaitu sebagai: Penyebab/penetap yaitu ‘illat yang dalam hubungannya dengan hukum merupakan penyebab atau penetap (yang menetapkan) adanya hukum, baik dengan nama mu’arrif, mu’assir, atau ba’its. Contohnya ‘illat memabukkan menyebabkan berlakunya hukum haram pada makanan dan minuman yang memabukkan. Penolak yaitu ‘illat yang keberadaannya menghalangi hukum yang akan terjadi, tetapi tidak mencabut hukum itu seandainya ‘illat tersebut terdapat pada saat hukum tengah berlaku. Contohnya dalam masalah iddah. Adanya iddah menolak dan menghalangi terjadinya perkawinan dengan laki-laki yang lain, tetapi iddah itu tidak mencabut kelangsungan perkawinan bila iddah itu terjadi dalam perkawinan. Iddah dalam hal ini adalah iddah syubhat. Pencabut yaitu ‘illat yang mencabut kelangsungan suatu hukum bila ‘illat itu terjadi dalam masa tersebut, tetapi ‘illat itu tidak menolak terjadinya suatu hukum. Contohnya: sifat thalaq dalam hubungannya dengan kebolehan bergaul. Adanya thalaq itu mencabut haq bergaul suami istri (jika mereka telah menikah atau rujuk), karena memang mereka boleh menikah lagi sesudah adanya thalaq itu. Penolak dan pencabut yaitu ‘illat yang dalam hubungannya dengan hukum dapat mencegah terjadinya suatu hukum dan sekaligus dapat mencabutnya bila hukum itu telah berlangsung. Contohnya sifat radha’ (hubungan persusuan) berkaitan dengan hubungan perwakinan. Adanya hubungan susuan mencegah terjadinya hubungan perkawinan antara orang yang sepersusuan dan sekaligus mencabut atau membatalkan hubungan perkawinan yang sedang berlangsung, bila hubungan susunan itu terjadi (diketahui) waktu berlangsungnya perkawinan. BAB II KESIMPULAN Dari pembahasan makalah diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa : Ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih (pakar fikih) untueh pengetahuan tetnang hukum sesuatu melalui dalil syara' (agama).dalam istilah inilah, ijtihad lebih banyak dikenal dan diguankan bahkan banyak para fuqaha yang menegaskan bahwa ijtihad itu bisa dilakukan dibidang fiqih. Istishab secara bahasa artinya mengakui adanya hubungan perkawinan. Sedangkan menurut UlamaUshul adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai terdapat dalil-dalil yang menunjukkan perubahan keadaan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukkan perubahannya. Jika al-Qur'an atau sunnah yang sahih mengisahkan suatu hukum yang telah disyari'atkan pada umat yang dahulu melalui para Rasul, kemudian nash tersebut diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka, maka tidak diragukan lagi bahwa syari'at tersebut ditujukan juga kepada kita. Pengertian di atas, juga sama dengan pengertian menurut istilah ahli syara'. Diantara contoh 'urf yang bersifat perbuatan adalah adanya saling pengertian di antara manusia tentang jual beli tanpa mengucapkan shigat. Sedangkan contoh 'urf yang bersifat ucapan adalah adanya pengertian tentang kemutlakan lafal al-walad atas anak laki-laki bukan perempuan, dan juga tentang meng-itlka-kan lafazh al-lahm yang bermakna daging atas as-samak yang bermakna ikan tawar. ‘illat itu bukanlah hukum, tetapi merupakan penyebab munculnya hukum, dalam arti: adanya suatu ‘illat menyebabkan munculnya hukum. Al-Ghozali berpendapat bahwa pengaruh ‘illat terhadap hukum bukan dengan sendirinya, melainkan harus karena adanya izin Allah. Maksudnya, Allah-lah yang menjadikan ‘illat itu berpengaruh terhadap hukum. Pada dasanya setiap ‘illat menimbulkan hukum. Antara ‘illat dan hukum mempunyai kaitan yang erat. DAFTAR PUSTAKA Djazuli dkk. X. Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000. Rachmat Syafi'I, Ilmu Ushul Fiqih. Pustaka Setia. Bandung. 2008.
Share this article :

Blog Archive

Followers

Search This Blog

Blogger Themes

Random Post

Bagaimana Pendapat Anda dengan Blog ini?

Trending Topik

EnglishFrenchGermanSpainItalianDutch

RussianPortugueseJapaneseKoreanArabic Chinese Simplified
SELAMAT DATANG
script>
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Berbagai Kumpulan Makalah - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template