BAB I
PEMBAHASAN
A.
Nahdlatul Ulama (NU)
a.
Sekitar Berdirinya
NU didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926 M
bertepatan dengan tanggal 16 Rajab 1444 H oleh kalangan ulama penganut madzhab
yang sering menyebut dirinya sebagai golongan Ahlussunnah Waljama’ah dipelopori
oleh K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Gerakan NU berusaha
mempertahankan salah satu dari empat madzhab dalam masalah yang berhubungan
dengan fiqih, madzhab Hanafi, madzhab Maliki, madzhab Syafi’i, dan madzhab
Hambali. Dalam hal i’tiqad, NU berpegang pada aliran Ahlussunnah Waljama’ah.
Dalam konteks ini, NU memahami hakikat Ahlussunnah Waljama’ah sebagai ajaran
Islam yang murni sebagaimana diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah SAW
bersama para sahabatnya (Chairul Anam, 1985: 135).
Motivasi utama berdirinya NU adalah mengorganisasikan potensi
dan peranan ulama pesantren yang sudah ada, untuk ditingkatkan dan dikembangkan
secara luas, yang bagi NU digunakan sebagai wadah untuk mempersatukan dan
menyatukan langkah para ulama pesantren dan menyatukan langkah para ulama
pesantren di dalam tugas pengabdian yang tidak terbatas pada masalah kepesantrenan
dan kegiatan ritual Islam saja, tetapi lebih ditingkatkan lagi agar para ulama
lebih peka terhadap masalah-masalah sosial, ekonomi dan masalah kemasyarakatan
pada umumnya.
b.
Tujuan dan Usaha
NU Sebelum menjadi partai politik, NU bertujuan memegang teguh
salah satu madzhab imam yang empat, yaitu: Syafi’i, Maliki, Hambali dan Hanafi,
dan mengajarkan apa-apa yang menjadi kemaslahatan untuk agama Islam (AD NU
tahun 1926). Untuk mencapai tujuan tersebut, diusahakan hal-hal sebagai
berikut:
1.
Mengadakan hubungan antara ulama-ulama yang bermadzhab tersebut diatas
2.
Memeriksa kitab-kitab sebelum dipakai utnuk mengajar, supaya diketahui apakah
kitab itu termasuk kitab-kitab Ahlussunnah Waljama’ah atau kitab-kitab ahli
bid’ah.
3.
Menyiarkan agama Islam berasaskan pada madzhab-madzhab tersebut di atas dengan
jalan apa saja yang baik.
4.
Berikhtiar memperbanyak madrasah-madrasah yang berdasarkan agama Islam.
5.
Memerhatikan hal-hal yang berhubungan dengan masjid-masjid, surau-surau dan
pondok-pondok begitu juga dengan hal ihwal anak-anak yatim dan orang-orang
fakir miskin.
6.
Mendirikan badan-badan untuk memajukan urusan pertanian, perniagaan, dan
perusahaan yang tidak dilarang oleh syara agama Islam.
Setelah
menjadi partai politik pada bulan Mei 1952 yang dituangkan ke dalam anggaran
dasarnya yang baru, NU bertujuan:
1.
Menegakkan syariat Islam dengan berhaluan pada salah satu dari empat madzhab
Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hambali.
2.
Melaksanakan berlakunya hukum-hukum Islam dalam masyarakat (lebih bersifat
politis)
Untuk
pencapaian tersebut diadakanlah usaha-usaha antara lain dengan jalan:
1.
Menyiarkan agama Islam melalui tabliq-tabliq, kursus-kursus dan
penerbitan-penerbitan.
2.
Mempertinggi mutu pendidikan dan pengajaran Islam (I. Djumhur, 1979: 186)
B.
Pondok Pesantren
a.
Asal-Usul Pondok Pesantren dan Sejarah Perkembangannya
Pesantren dilahirkan atas dasar kewajiban dakwah Islamiyah,
yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam, sekaligus mencetak
kader-kader ulama atau da’i. Pesantren sendiri menurut pengertian dasarnya
adalah “tempat belajar para santri”, sedangkan pondok berarti rumah atau tempat
tinggal sederhana yang terbuat dari bambu. Disamping itu, kata “pondok” juga
berasal dari bahasa Arab “Funduq” yang berarti hotel atau asrama (Zamakhsyari,
1983: 18) Pembangunan suatu pesantren didorong oleh kebutuhan masyarakat akan
adanya lembaga pendidikan lanjutan. Namun demikian, faktor guru yang memenuhi
persyarakatan keilmuan yang diperlukan sangat menentukan tumbuhnya suatu
pesantren.
Pada umumnya, berdirinya suatu pesantren ini diawali dari
pengakuan masyarakat akan keunggulan dan ketinggian ilmu seorang guru atau
kiai. Sementara itu, yang menjadi ciri khas pesantren dan sekaligus menunjukkan
unsur-unsur pokoknya, yang membedakannya dengan lembaga pendidikan lainnya,
yaitu:
1.
Pondok Merupakan tempat tinggal kiai bersama para santri dan bekerja sama untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, merupakan pembeda dengan lembaga
pendidikan yang berlangsung di masjid atau langgar. Dalam perkembangan
berikutnya, pondok lebih menonjol fungsinya sebagai tempat pemondokan atau
asrama, dan setiap santri dikenakan semacam sewa atau iuran untuk pemeliharaan
pondok tersebut.
2.
Masjid Sebagai suatu kegiatan ibadah dan belajar. Masjid yang merupakan suatu
pokok kedua dari pesantren, di samping berfungsi sebagai tempat melakukan
shalat berjamaah setiap waktu shalat, juga berfungsi sebagai tempat belajar
mengajar. Pada sebagian pesantren, masjid juga berfungsi sebagai tempat i’tikaf
dan melaksanakan latihan-latihan atau suluk dan zikir, maupun amalan-amalan
lainnya dalam kehidupan tarekat dan sufi (Zamakhsyari 1982: 136)
3.
Santri Santri merupakan unsur pokok dari sautu pesantren, biasanya terdiri dari
dua kelompok yaitu: a) Santri mukim ialah santri yang berasal dari daerah yang
jauh dan menetap dalam pondok pesantren. b) Santri kalong yaitu santri-santri
yang berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren dan biasanya mereka tidak
menetap dalam pesantren. Mereka pulang ke rumah masing-masing setiap selesai
mengikuti suatu pelajaran di pesantren.
4.
Kiai Merupakan tokoh sentral dalam pesantren yang memberikan pengajaran. Karena
itu, kiai merupakan salah satu unsur yang paling dominan dalam kehidupan suatu
pesantren. Gelar kiai diberikan oleh masyarakat kepada orang yang mempunyai
ilmu pengetahuan mendalam tentang agama Islam dan memiliki serta memimpin
pondok pesantren, serta mengajarkan kitab-kitab klasik kepada para santri.
Dalam perkembangannya, kadang-kadang sebutan kiai juga diberikan kepada mereka
yang mempunyai keahlian yang mendalam di bidang agama Islam, dan tokoh
masyarakat, walaupun tidak memiliki atau memimpin serta memberikan pelajaran di
pesantren. Umumnya, tokoh-tokoh tersebut adalah alumni dari pesantren.
5.
Kitab-Kitab Islam Klasik Unsur pokok lain yang cukup membedakan pesantren
dengan lembaga pendidikan lainnya adalah bahwa pada pesantren diajarkan
kitab-kitab klasik yang dikarang para ulama terdahulu, mengenai berbagai macam
ilmu pengetahuan agama Islam dan bahasa Arab. Pelajaran dimulai dengan
kitab-kitab tentang berbagai macam ilmu yang mendalam. Tingkatan suatu
pesantren dan pengajarannya, biasanya diketahui dari jenis kitab-kitab yang
diajarkan.
C.
Hubungan antara NU dan Pondok Pesantren
Nahdlatul Ulama (NU) memang memiliki hubungan erat dengan
pesantren. Begitu banyaknya pesantren hingga merambah ke pelosok-pelosok daerah
yang berafiliasi dengan organisasi NU. Seperti umumnya pesantren-pesantren
berdiri adalah karena pengaruh dan kredibilitas kekiaian seseorang, hingga
dilanjutkan oleh anak dan cucu pendidinya. NU tanpa adanya pesantren maka
ajarannya sulit untuk dikembangkan. NU diawali dari pendidikan, karena
pendidikan merupakan lahan untuk menyelamatkan generasi penerus. Organisasi
sosial keagamaan Islam (Jami’iyyah Diniyyah Islamiyyah) NU yang didirikan oleh
Hadhratus Syekh K.H.M. Hasyim Asy’ari dan para ulama pesantren ini ibarat
mewadahi suatu barang yang sudah ada, dengan kata lain NU didirikan untuk
menjadi wadah bagi usaha mempersatukand an menyatukan langkah para ulama dan
kiai pesantren untuk mengabdikan yang tidak lagi terbatas pada soal
kepesantrenan dan kegiatan ritual keagamaan semata, menurut Chorul Anam (1999:
19) bahwa pada saat itu, NU juga memperhatikan pada masalah-masalah sosial,
ekonomi, perdagangan dan sebagainya dalam rangka pengabdian kepada bangsa,
negara dan umat manusia.
Pesantren dilahirkan atas dasar kesadaran kewajiban dakwah
Islamiyah, yakni kewajiban menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam,
sekaligus sebagai tempat untuk mencetak kader-kader ulama atau mubaligh. Ketika
zaman kolonial Belanda, pesantren didirikan sebagai counter terhadap ekspansi
Belanda terhadap pendidikan di Tanah Air, yang pada saat itu pendidikan
diperbolehkan hanya untuk kalangan priyayi. Sehingga diharapkan pesantren dapat
dijadikan jalan untuk mencetak santri pelopor pembaruan (agent of changes) yang
mempunyai dasar pada kemampuan spriritual dan berpegang tegung dalam pada
nilai-nilai etika dan moralitas universal yang tercatat dalam Al-Qur’an dan
Hadits, yang kemudian tersirat dalam kajian kitab-kitab seperti Ihya
Ulumuddin-nya Imam Ghazali, Tafsir Al-Jalalain, Fathul Qorib, Ta’limul
Muta’alim, Nahwu, Shorof, Balaghah, dan kitab kuning klasik lainnya. Jika
meminjam istilah Kuntowijoyo, humanisme-teosentrik, yakni pesantren merupakan
jalan pengabdian secara total kepada Allah SWT, tetapi manfaatnya ditujukan
bagi kesejahteraan alam semesta. Jika melihat kepemimpinan pondok pesantren
sebagian besar menggunakan pola wilayatul imam, yakni kepemimpinan tidak hanya
dilandasi kemampuan manajerial, akan tetapi diperlukan kemampuan spritual
leader yang memiliki otoritas keimanan yang diikuti oleh masyarakat. Sehingga
para kiai pengasuh pondok pesantren dapat meneruskan tradisi Nabi Muhammad SAW,
sebagai absolute frame of reference. Namun, melihat perkembangan pondok
pesatren saat ini, secara struktural dan kultural sedang mengalami degradasi
tingkat tinggi. Beberapa kiai pimpinan pondok pesantren kini malah sibuk di
dunia politik ketimbang mengurus umatnya. Hal ini berbalik arah dengan
perjuangan NU untuk kembali ke khitah yang diputuskan saat Muktamar ke-27 di
Situbondo pada 1984, yakni perjuangan NU lebih difokuskan pada peningkatan
kualitas pendidikan, ekonomi dan dakwah. Kemudian, masalah komunikasi yang
dibangun baik pengurus dan warga NU kini sudah bisa dan tak kenal arah, dapat
diartikan mereka tersesat dalam kegelapan. Jika diambil benar merahnya, peran
kiai dan pondok pesantren merupakan tempat untuk mengembangkan NU baik
struktural dan kultural, sehingga pola pengembangan dan pemberdayaan NU
ditingkat masyarakat bahwa (grass root) lebih maksimal. Hal ini semestinya
sejalan dengan resolusi yang dikeluarkan pada Muktamar NU ke-13 tahun 1935,
yaitu mabadi khayr al-ummah (prinsip-prinsip membangun masyarakat yang unggul),
yakni nilai kejujuran, akuntabilitas publik, kerja sama dan ketika Munas Alim
Ulama di Bandar Lampung ditambah dengan keadilan dan konsisten. Kesepakatan
para ulama tersebut merupakan tonggak gerakan kultural NU untuk meletakkan
dirinya sebagai jamiyyah dinniyah yang bertujuan untuk memakmurkan dan
membangkitkan umatnya. Pondok pesantren telah mampu merekonstruksi nilai-nilai
keislaman yang dinamis dan sejalan dengan nafas keindonesiaan, sehingga
pesantren kini menjadi bagian dari masyarakat yang tak bisa terlepas dari
realita kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemudian, peran Nahdlatul Ulama
dalam mempertahankan tradisi yang lama dan mengakomodasi tradisi baru yang
lebih baik (al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid
al-ashlah) telah berhasil menjaga kemoderatan NU sehingga dapat diterima semua
kalangan di seluruh penjuru dunia. Pondok pesantren identik dengan NU karena
kebanyakan milik orang NU. Maka dari itu konsepnya pun sama dengan konsep dari
ke-NU-an yaitu: 1. Memperdalam syariah Islam 2. I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah
3. Melestarikan yang sudah ada serta mengambil sesuatu yang baru, yang dianggap
pantas untuk diambil D. Kiprah para Ulama 1. K.H. Hasyim Asy’ari Kiprahnya: a)
Pendiri NU sekaligus menjabat sebagai Rais Akbar yang pertama b) Ketua MIAI c)
Pendiri pesantren Tebu Ireng 2. K.H. Wahab Chasbullah Kiprahnya: a) Sebagai
ketua cabang SI Mekkah b) Pemimpin majalah Soera Nahdlatul Oelama c) Menjabat
Katib Aom PBNU saat NU Rais Akbarnya 3. K.H.M Dahlan Kiprahnya: a) Menjadi
ketua NU cabang Bangil b) Menjadi ketua NU cabang Pasuruan (1935) c) 1936,
dipercaya menjadi Konsul NU daerah Jawa Timur yang berkedudukan di Pasuruan 4.
K.H. Ridwan Abdullah Kiprahnya: a) Pendamping K.H. A. Wahab Chasbullah,
sekaligus mengajar di Madrasah Nahdlatul Wathan yang didirikan di Surabaya. b)
Terlibat aktif dalam kelompok diskusi Taswirul Afkar yang didirikan kiai Wahab,
K.H. Dahlan Ahyad dan K.H. Mas Mansur.
BAB II
KESIMPULAN
Dari
pembahasan tersebut diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa, Nahdlatul
Ulama (NU) memang memiliki hubungan erat dengan pesantren. NU tanpa adanya
pesantren maka ajarannya sulit untuk dikembangkan. NU diawali dari pendidikan,
karena pendidikan merupakan lahan untuk menyelamatkan generasi penerus. Pondok
pesantren telah mampu merekonstruksi nilai-nilai keislaman yang dinamis dan
sejalan dengan nafas keindonesiaan, sehingga pesantren kini menjadi bagian dari
masyarakat yang tak bisa terlepas dari realita kehidupan berbangsa dan
bernegara. Kemudian, peran Nahdlatul Ulama dalam mempertahankan tradisi yang
lama dan mengakomodasi tradisi baru yang lebih baik (al-muhafadzah ‘ala
al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah) telah berhasil menjaga
kemoderatan NU sehingga dapat diterima semua kalangan di seluruh penjuru dunia.
Pondok pesantren identik dengan NU karena kebanyakan milik orang NU. Maka dari
itu konsepnya pun sama dengan konsep dari ke-NU-an yaitu: 1. Memperdalam
syariah Islam 2. I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah 3. Melestarikan yang sudah ada
serta mengambil sesuatu yang baru, yang dianggap pantas untuk diambil
DAFTAR PUSTAKA
Dr.
Zakiah Daradjat, dkk. Ilmu Pendidikan Islam. Bumi Aksara, Jakarta. 2009 Prof. H. Muhammad Daud Ali,
S.H. Materi Pendidikan Agama Islam. Raja Grafindo Persada : Jakarta, 1998.