BAB I
PENDAHULUAN
Barangkali
kita sependapat bahwa kaki dan tangan merupakan organ tubuh yang memiliki
peranan sangat penting untuk mobilitas. Hal ini disebabkan dengan memanfaatkan
kedua jenis organ tubuh tersebut, manusia dapat melengkapi dan merealisasikan
segala keinginan untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lain, baik yang
dilakukan secara parsial maupun integral, bersama organ sensoris pendukung
lainnya. Atas dasar itulah, apabila fungsi kedua anggota tubuh tersebutmengalami
gangguan, baik sebagian atau keseluruhan, yang disebabkan oleh luka pada bagian
saraf otak (cerebral palsy), kelainan pertumbuhan, ataupun amputasi, akan
memengaruhi mobilitas hidup yang bersangkutan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Anak Tunadaksa
Secara
etimologis, gambaran seseorang yang diidentifikasikan mengalami ketunadaksaan,
yaitu seseorang yang mengalami kesulitan mengoptimalkan fungsi anggota tubuh
sebagai akibat dari luka, penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk, dan
akibatnya kemampuan untuk melakukan gerakan-gerakan tubuh tertentu mengalami
penurunan. Secara definitive pengertian kelainan fungsi anggota tubuh
(tunadaksa) adalah ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya
disebabkan oleh berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi
secara normal … akibat luka, penyakit, atau pertumbuhan yang tidak sempurna
(Suroyo, 1977) sehingga untuk kepentingan pembelajarannya perlu layanan secara
khusus (Kneedler, 1984).
B.
Klasifikasi Anak Tunadaksa
Secara
umum karakteristik kelainan anak yang dikategorikan sebagai pneyandang
tunadaksa dapat dikelompokkan menjadi anak tunadaksa ortopedi dan anak
tunadaksa saraf. 1. Anak tunadaksa ortopedi ialah anak tunadaksa yang mengalami
kelainan, kecacatan, ketunaan pada bagian tulang, otot tubuh, ataupun daerah
persendian (Heward & Orlansky, 1988), baik yang dibawa sejak lahir
(congenital) maupun yang diperoleh kemudian (karena penyakit atau kecelakaan)
sehingga mengakibatkan terganggunya fungsi tubuh secara normal. Dalam ilmu kedokteran
diterangkan, bahwa kelainan pada tubuh yang sifatnya menerapkan dan tidak akan
berubah dalam waktu enam bulan. Contoh lain yang termasuk dalam kategori
tunadaksa ortopedi ini diantaranya poliomyelitis, tuberculosis tulang, kelainan
pertumbuhan anggota badan yang tidak sempurna, cacat punggung, amputasi tangan,
lengan, kaki dan lain-lain. Berdasarkan insiden terjadinya ketunadaksaan
ortopedi, dasar pemberian pertolongan rehabilitasi, dan usaha penempatan kerja,
penderita tunadaksa dapat diklasifikasikan menjadi ketunadaksaan karena suatu
peperangan, ketunadaksaan karena kecelakaan dalam suatu pekerjaan,
ketunadaksaan karena kecelakaan lalu lintas, ketunadaksaan karena penyakit
serta ketunadaksaan yang didapat sejak lahir (Suroyo, 1977). 2. Anak tunadaksa
saraf (neurologically bandicapped), yaitu anak tunadaksa yang mengalami
kelainan akibat gangguan pada susunan saraf di otak (Heward & Orlansky,
1991). Luka pada bagian otak tertentu, efeknya penderita akan mengalami
gangguan dalam perkembangan, mungkin akan berakibat ketidakmampuan dalam
melaksanakan berbagai bentuk kegiatan. Salah satu bentuk kelainan yang terjadi
pada fungsi otak dapat dilihat pada anak cerebral palsy (CP), yaitu gangguan
aspek motorik yang disebabkan oleh disfungsinya otak. Keadaan anak yang
dikategorikan cerebral palsy dapat digambarkan sebagai kondisi semenjak
kanak-kanak dengan kondisi nyata, seperti lumpuh, lemah, tidak adanya
koordinasi atau penyimpangan fungsi gerak yang disebabkan oleh patologi pusat
control gerak di otak. Dengan terganggunya fungsi motorik, sebagaimana yang
diamali anak penderita cerebral palsy, rentetan kesulitan berikutnya
kemungkinan dapat memengaruhi kesulitan belajar, masalah-masalah kejiwaan,
kelainan sensoris, kejang-kejang, maupun penyimpangan perilaku yang bersumber
pada fungsi organ tubuhnya. Luka atau gangguan yang terjadi pada otak atau
bagian-bagiannya, baik yang didapat sebelum, selama, maupun sesudah kelahiran
dapat menyebabkan gangguan pada mental, kekacauan bahasa (aphasia),
ketidakmampuan membaca (disleksia), ketidakmampuan menulis (agrafia),
ketidakmampuan memahami kata-kata (word deafness), ketidakmampuan berbicara
(speech defect), ketidakmampuan berhitung (akalkuli). Perlu dipahami bahwa
cerebral palsy bukan suatu penyakit, melainkan suatu kondisi yang ditandai oleh
sejumlah gejala yang muncul bersamaan. Cerebral palsy merupakan suatu sindrom
dan mempunyai gambaran yang jelas.
C.
Etiologi Anak Tunadaksa
Seperti
juga kondisi ketuntasan yang lain, kondisi kelainan pada fungsi anggota tubuh
atau tunadaksa dapat terjadi pada saat sebelum anak lahir (prenatal), saat
lahir (neonatal), dan setelah anak lahir (postnatal). Insiden kelainan fungsi
anggota tubuh atau ketunadaksaan yang terjadi sebelum bayi lahir atua ketika
dalam kandungan, diantaranya dikarenakan factor genetic dan kerusakan pada
system saraf pusat. Factor lain yang menyebabkan kelainan pada bayi selama
dalam kandungan ialah: (1) Anoxia prenatal, hal ini disebabkan pemisahan bayi
dari placena, penyakit anemia, kondisi jantung yang gawat, shock, percobaan
abortus (pengguguran kandungan. (2) Kondisi ketunadaksaan yang terjadi pada
masa kelahiran bayi diantaranya: a. Kesulitan saat bersalin karena letak bayi
sungsang atau pinggul ibu terlalu kecil b. Pendarahan pada otak pada saat
kelahiran c. Kkkelahiran premature d. Gangguan pada placenta yang dapat
mengurangi oksigen sehingga mengakibatkan terjadinya anoxia. (3) Adapun
kelainan fungsi anggota tubuh atau ketunadaksaan yang terjadi pada masa setelah
anak lahir diantaranya: a. Faktor penyakit, seperti meningitis (radang selaput
otak), encephalitis (radang otak), influenza, diphtheria, partusis, dan
lain-lain b. Factor kecelakaan, misalnya kecelakaan lalu lintas, terkena
benturan benda keras, terjatuh dari tempat yang berbahaya bagi tubuhnya,
khususnya bagian kepala yang melindungi otak. c. Pertumbuhan tubuh/tulang yang
tidak sempurna.
D.
Ketuntasan dan Dampaknya
Sama
seperti bentuk kelainan atau ketuntasan yang lain, kelainan fungsi anggota
tubuh atau tunadaksa yang dialami seseorang memiliki konsekuensi atau akibat
yang hamper serupa, terutama pada aspek kejiwaan penderita, baik berefek
langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, dengan terganggunya fungsi
motorik sebagai akibat dari penyakit, kecelakaan atau bawaan sejak lahir, akan
berpengaruh terhadap keharmonisan indera yang lain dan pada gilirannya akan
berpengaruh pada fungsi kejiwaannya.
E.
Fungsi Kognitif Anak Tunadaksa
Dalam
konteks perkembangan kognitif menurut Gunarsa (1985) paling tidak ada empat
aspek yang turut mewarnai, yaitu sebagai berikut: 1. Kematangan 2. Pengalaman
3. Transmisi social 4. Ekuilibrasi Untuk mengembangkan fungsi kognitif sebagai
alat adaptasi terhadap lingkungan, dapat dilakukan melalui dua proses yang
memengaruhi yakni asimilasi dan akomodasi. Kondisi ketunadaksaan pada anak
sebagian besar menimbulkan kesulitan belajar dan perkembangan kognitifnya.
Khusus anak cerebral palsy, selain mengalami kesulitan dalam belajar dan
perkembangan fungsi kognitifnya, mereka pun seringkali mengalami kesulitan
dalam komunikasi, persepsi, maupun control geraknya, bahkan beberapa penelitian
sebagian besar diketahui terbelakang mental (tunagrahita).
F.
Penyesuaian Sosial Anak Tunadaksa
Ragam
karakteristik ketunadaksaan yang dialami oleh seseorang menyebabkan tumbuhnya
berbagai kondisi kepribadian dan emosi. Meskipun demikian, kelainan kepribadian
dan emosi tidak secara langsung diakibatkan karena ketunaannya, melainkan
ditentukan oleh bagaimana seseorang itu berinteraksi dengan lingkungannya.
Sehubungan dengan itu, ada beberapa hal yang tidak menguntungkan bagi
perkembangan kepribadian anak tunadaksa, antara lain sebagai berikut: 1)
Terhambatnya aktivitas normal sehingga menimbulkan perasaan frustasi 2)
Timbulnya kekhawatiran orang tua yang berlebihan yang justru akan menghambat
terhadap perkembangan kepribadian anak karena orang tua biasanya cenderung over
protection 3) Perlakuan orang sekitar yang membedakan terhadap anak tunadaksa
menyebabkan anak merasa bahwa dirinya berbeda dengan yang lain. Hal-hal
sebagaimana dijelaskan di atas, efek tidak langsung akibat ketunadaksaan yang
dialami seseorang dapat menimbulkan sifat harga diri rendah, kurang percaya
diri, kurang memiliki inisiatif atau mematikan kreativitasnya. Beberapa ahli
yang mengadakan penelitian terhadap anak polio menyimpulkan, bahwa hal yang
seringkali tampak pada anak polio adalah impulsive, cepal lelah, gelisah dan
cepat marah. Ada
dugaan kondisi tersebut bias jadi akibat dari ketuntasan atau ketegangan yang
dialami anak polio karena dihindari oleh orang-orang di sekitarnya. Factor
dominant yang memengaruhi perkembangan kepribadian atau emosi anak adalah
lingkungan. Bahkan beberapa ahli dalam referensinya menyebutkan bahwa secara
spesifik factor yang memengaruhi perkembangan kepribadian anak tunadaksa adalah
tingkat kesulitan akibat kelainan, kapan kecacatan itu terjadi, keadaan
keluarga dan dorongan social, status social dalam kelompoknya, sikap orang lain
terhadap anak dan tampak atau tidaknya kecacatan yang diderita. Hal lain yang
menjadi problem penyesuaian anak tunadaksa adalah perasaan bahwa orang lain
terlalu membesarkan ketidakmampuannya. Persepsi yang slaah tentang kemampuan
anak tunadaksa dapat mengurangi kesempatan bagi anak tunadaksa untuk
berpartisipasi dalam aktivitas social di lingkungannya. Ketiadaan kesempatan untuk
berpartisipasi praktis menyebabkan anak tunadaksa sukar untuk mengadakan
penyesuaian social yang baik. Demikian juga sikap masyarakat, secara langsung
atau tidak langsung memiliki pengaruh yang besar terhadap penyesuaian anak
tunadaksa. Sikap masyarakat terhadap anak kondisi ketunaan yang dialami anak
dunadaksa seringkali bertentangan dengan penilaian penderita sendiri.
Konfrontasi antara sikap masyarakat dengan penilaian anak sendiri terhadap
ketunaan, dalam mencari penyelesaiannya terdapat kemungkinan-kemungkinan
sebagai berikut; 1) Anak tunadaksa mungkin sekali menolak respons lingkungna
terhadap dirinya 2) Mungkin pula anak tunadaksa meninggalkan sama sekali
penilaian terhadap dirinya, dan menganggap bahwa respons lingkungan itu benar
3) Atau mungkin pula anak tunadaksa mencari jalan tengah antara kedua respons
diatas
G.
Rehabilitasi Anak Tunadaksa
Maksud
rehabilitasi di sini adlaah suatu upaya yang dilakukan pada penyandnag kelainan
fungsi tubuh atau tunadaksa, agar memiliki kesanggupan untuk berbuat sesuatu
yang berguna baik bagi dirinya maupun orang lain. Jenis rehabilitasi bagi
penyandang tunadaksa menurut kebutuhannya antara lain: 1) Rehabilitasi medis
Rehabilitasi medis adalah pemberian pertolongan kedokteran dan bantuan
alat-alat anggota tubuh tiruan (prothese), alat-alat penguat anggota tubuh. 2)
Rehabilitasi vokasional Reahbilitasi vokasional atau karya adalah rehabilitasi
penderita kelainan fungsi tubuh bertujuan memberi kesempatan anak tunadaksa
untuk bekerja. 3) Rehabilitasi psikososial (Suroyo, 1977) Rehabilitasi
psikososial adalah rehabilitasi yang dilakukan dengan harapan mereka dapat
mengurangi dampak psikososial yang kurang menguntungkan bagi perkembangan
dirinya.
BAB III
KESIMPULAN
Dari
pembahasan makalah tersebut diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa,
Secara definitive pengertian kelainan fungsi anggota tubuh (tunadaksa) adalah
ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya disebabkan oleh
berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi secara normal … akibat
luka, penyakit, atau pertumbuhan yang tidak sempurna (Suroyo, 1977) sehingga
untuk kepentingan pembelajarannya perlu layanan secara khusus (Kneedler, 1984).
Seperti juga kondisi ketuntasan yang lain, kondisi kelainan pada fungsi anggota
tubuh atau tunadaksa dapat terjadi pada saat sebelum anak lahir (prenatal),
saat lahir (neonatal), dan setelah anak lahir (postnatal). Insiden kelainan
fungsi anggota tubuh atau ketunadaksaan yang terjadi sebelum bayi lahir atua
ketika dalam kandungan, diantaranya dikarenakan factor genetic dan kerusakan
pada system saraf pusat Sama seperti bentuk kelainan atau ketuntasan yang lain,
kelainan fungsi anggota tubuh atau tunadaksa yang dialami seseorang memiliki
konsekuensi atau akibat yang hamper serupa, terutama pada aspek kejiwaan
penderita, baik berefek langsung maupun tidak langsung. Dalam konteks
perkembangan kognitif menurut Gunarsa (1985) paling tidak ada empat aspek yang
turut mewarnai, yaitu sebagai berikut: Kematangan, Pengalaman, Transmisi social
dan Ekuilibrasi
DAFTAR PUSTAKA
Effendi
Muhammad, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan, PT. Bumi Aksara, Jakarta. 2008