A.
PENGERTIAN WADIAH
Sebelum penulis melanjutkan pembahasan tentang pengertian
wadi’ah, perlu disampaikan bahwa kegiatan penghimpunan dana bank syari’ah
mempunyai beberapa produk, yakni: Wadi’ah dalam bentuk giro maupun tabungan,
Qardh atau pinjaman kebajikan, dan Mudharabah atau bagi hasil dalam bentuk
Deposito. Akan tetapi karena terbatasnya waktu, pada kesempatan ini penulis hanya
mengulas tentang wadi’ah.
Pengertian Wadi`ah menurut bahasa adalah berasal dan akar
kata Wada`a yang berarti meninggalkan atau titip. Sesuatu yang dititip
baik harta, uang maupun pesan atau amanah. Jadi wadi`ah titipan atau
simpanan. Para ulama pikih berbeda
pendapat dalam penyampaian defenisi ini karena ada beberapa hukum yang
berkenaan dengan wadi`ah itu seperti, Apabila sipenerima wadi`ah ini meminta
imbalan maka ia disebut TAWKIL atau hanya sekedar menitip.
Pengertian wadi`ah menurut Syafii Antonio (1999) adalah titipan murni dari satu pihak kepihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja sipenitip mengkehendaki.
Menurut Bank Indonesia (1999) adalah akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunyai barang/uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan serta keutuhan barang/uang.[1]
Pengertian wadi`ah menurut Syafii Antonio (1999) adalah titipan murni dari satu pihak kepihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja sipenitip mengkehendaki.
Menurut Bank Indonesia (1999) adalah akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunyai barang/uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan serta keutuhan barang/uang.[1]
B. DASAR HUKUM
Wadi`ah diterapkan mempunyai landasan hukum yang kuat yaitu
dalam :
Al-Qur`nul Karim Suroh An-Nisa` 58 :
Al-Qur`nul Karim Suroh An-Nisa` 58 :
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù't br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr&
Artinya
: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, …..”
Kemudian
dalam Suroh Al Baqarah : 283 :
( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ Ïjxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,Guø9ur ©!$# ¼çm/u 3
Artinya
: “…………. akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; …”.
Dalam Al-Hadits lebih lanjut yaitu : yang
artinya dari Abu Hurairah, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tunaikanlah amanah (titipan) kepada yang
berhak menerimanya dan janganlah membalasnya khianat kepada orang yang
menghianatimu.” (H.R. ABU DAUD dan TIRMIDZI).
Kemudian, dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “Tiada kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada shalat bagi yang tiada bersuci.” (H.R THABRANI)
Kemudian, dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “Tiada kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada shalat bagi yang tiada bersuci.” (H.R THABRANI)
Dan diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa
beliau mempunyai (tanggung jawab) titipan. Ketika beliau akan berangkat
hijrah, beliau menyerahkannya kepada Ummu `Aiman dan ia (Ummu `Aiman) menyuruh
Ali bin Abi Thalib untuk menyerahkannya kepada yang berhak.”
Dalam dasar hukum yang lain menerangkan
yaitu IJMA` ialah para tokoh ulama Islam sepanjang zaman telah melakukan Ijma`
(konsensus) terhadap legitimasi Al Wadi`ah karena kebutuhan manusia terhadap
hal ini, seperti dikutip oleh:
- Dr. Azzuhaily dalam al-Fiqih al-Islami wa adillatuhu dalam kitab Al-Mughni Wa Syarh Kabir Li Ibni Qudhamah dan Mubsuth Li Imam Sarakhsy.
- Dr. Hasan Abdullah Amin dalam al Wada`i al Masharifah an Maqdiyah wa Istitsmariha fi al Islam hal. 23 – 31
- SYAFII ANTONIO dalam Bank Syariah dari Teori ke Praktek (Jakarta GIP 2001) hal 35.
Kemudian berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No:
01/DSN-MUI/IV/2000, menetapkan bahwa Giro yang dibenarkan secara syari’ah,
yaitu giro yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.
Demikian juga tabungan dengan produk Wadi’ah, dapat dibenarkan berdasarkan Fatwa DSN No: 02//DSN-MUI/IV/2000, menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.[2]
Demikian juga tabungan dengan produk Wadi’ah, dapat dibenarkan berdasarkan Fatwa DSN No: 02//DSN-MUI/IV/2000, menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.[2]
C. RUKUN WADI`AH
Rukun wadi`ah adalah hal-hal yang terkait atau yang harus ada
didalamnya yang menyebabkan terjadinya Akad Wadi`ah yaitu :
- Barang/Uang yang di Wadi`ahkan dalam keadaan jelas dan baik.
- Ada Muwaddi` yang bertindak sebagai pemilik barang/uang sekaligus yang menitipkannya/menyerahkan.
- Ada Mustawda` yang bertindak sebagai penerima simpanan atau yang memberikan pelayanan jasa custodian.
- Kemudian diakhiri dengan Ijab Qabul (Sighat), dalam perbankan biasanya ditandai dengan penanda tanganan surat/buku tanda bukti penyimpanan.
Dalam perbankan Syari`ah tanpa salah satu darinya maka proses
Wadi`ah itu tidak berjalan/terjadi/sah.
D.
SYARAT WADI’AH
1) Orang yang berakad harus :
1. Baligh
2. Berakal
3. Cerdas
2) Barang titipan harus :
1.
Jelas (diketahui jenias / indentitasnya)
2.
Dapat di pegang
3.
Dapat dikuasai untuk di pelihara[3]
E.
BATASAN DAN JENIS
WADI`AH
Transaksi wadi`ah termasuk akad Wakalah (diwakilkan) yaitu
penitip aset (barang/jasa) mewakilkan kepada penerima titipan untuk menjaganya
ia tidak diperbolehkan untuk memanfaatkan barang/uang tersebut untuk keperluan
pribadi baik konsumtif maupun produktif, karena itu adalah pelanggaran sebab
barang/uang itu masih milik mudi` (penitip). Dilihat dari segi prakteknya
ada beberapa bentuk wadi`ah yaitu :
1.
Wadi`Ah Yad Al Amanah
Adalah
akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima tidak diperkenankan
penggunakan barang/uang tersebut dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan
atau kelalaian yang bukan disebabkan atas kelalaian penerima titipan dan
faktor-faktor diluar batas kemampuannya.
Hadis Rasulullah :
Hadis Rasulullah :
“Jaminan pertanggung
jawaban tidak diminta dari peminjam yang tidak menyalah gunakan (pinjaman) dan
penerima titipan yang tidak lalai terhadap titipan tersebut.” Ada lagi dalil yang menegaskan bahwa Wadi`ah
adalah Akad Amanah (tidak ada jaminan) adalah :
- Amr Bin Syua`ib meriwayatkan dari bapaknya, dari kakeknya, bahwa Nabi SAW bersabda: “Penerima titipan itu tidak menjamin”.
- Karena Allah menamakannya amanat, dan jaminan bertentangan dengan amanat.
- Penerima titipan telah menjaga titipan tersebut tanpa ada imbalan (tabarru)
2.
Wadi`Ah Yad Adh-Dhamanah
Adalah
akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan dengan atau tanpa ijin
pemilik barang/uang, dapat memanfaatkannya dan bertanggung jawab terhadap
kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan tersebut.
Sesuai
dengan hadis Rasulullah SAW: “Diriwayatkan dari Abu Rafie bahwa Rasulullah SAW
pernah meminta seseorang untuk meminjamkannya seekor unta. Maka
diberinya unta qurban (berumur sekitar dua tahun), setelah selang beberapa
waktu, Rasulullah SAW memrintahkan Abu Rafie untuk mengembalikan unta tersebut
kepada pemiliknya, tetapi Abu Rafie kembali kepada Rasulullah SAW seraya
berkata,” Ya Rasulullah, unta yang
sepadan tidak kami temukan, yang ada hanya unta yang besar dan berumur empat
tahun. Rasulullah SAW berkata “Berikanlah itu karena sesungguhnya sebaik-baik
kamu adalah yang terbaik ketika membayar.” (H.R MUSLIM)
Wadi`ah
dalam presfektif pelaksanaan perbankan islam hampir bersamaan dengan al-qardh
yaitu pemberian harta atas dasar sosial untuk dimanfaatkan dan harus dibayar
dengan sejenisnya. Juga hampir sama dengan al-iddikhar yakni menyisihkan
sebahagian dari pemasukan untuk disimpan dengan tujuan investasi. Keduanya
sama-sama akad tabarru yang jadi perbedaan terdapat pada orang yang
terlibat didalmnya dimana dalam wadi`ah pemberi jasa adalah mudi`, sedangkan
dalam al-qardh pemberi jasa adalah muqridh (pemberi pinjaman). [4]
F. JENIS BARANG YANG DI WADI`AHKAN
Dalam kehidupan kita masa sekarang ini bahkan mungkin sejak
adanya bank kompensional kita mungkin hanya mengenal tabungan/wadi`ah itu hanya
berbentuk uang, tapi sebenarnya tidak, masih banyak lagi barang yang bisa kita
wadi`ahkan seperti :
- Harta benda, yaitu biasanya harta yang bergerak, dalam bank konvensional tempat penyimpanannya dikenal dengan Safety Box sutu tempat/kotak dimana nasabah bisa menyimpan barang apa saja kedalam kotak tersebut.
- Uang, jelas sebagaimana yang telah kita lakukan pada umumnya.
- Dokumen (Saham, Obligasi, Bilyet giro, Surat perjanjian Mudhorobah dll)
- Barang berharga lainnya (surat tanah, surat wasiat dll yang dianggap berharga mempunyai nilai uang) [5]
G. BATASAN-BATASAN DALAM MENJAGA WADI`AH (TITIPAN)
Standar batasan-batasan dalam menjaga barang titipan biasanya
disesuaikan dengan jenis akadnya dan sebelum akad diikrarkan batasan-batasan
ini harus diperjelas seperti al-wadi`ah bighar al- `ajr (wadi`ah tanpa
jasa) yaitu wadi` tidak bertanggung jawab terhadap kerusakan barang yang yang
bukan karena kelalaiannya dan ia harus menjaga barang tersebut sebagaimana
barangnya sendiri. Al-wadi`ah bi `ajr (wadi`ah dengan jasa)
ialah wadi` hanya menjaga barang titipan sesuai dengan yang diperjanjikan tanpa
harus melakukanseperti halnya tradisi masyarakat.
Kecerobohan/kelalaian (tagshir) dari pihak penerima
titipan itu biasa terjadi dan sering terjadi. Adapun kelalaian itu banyak
ragamnya namun yang biasa terjadi ialah menjaga titipan tidak sesuai
dengan yang diamanatkan oleh mudi`. Ini biasa terjadi pada wadi`ah bi
`ajr, namun bila wadi` lalai dari yang diamanatkan maka wadi` harusbertangggung
jawab terhadap segala kerusakan barang titipan tadi. Kesalahan yang lain
membawa barang titipan bepergian (safar) tanpa ada sebelumnya
pembolehan dari mudi`, maka wadi` harus bertanggung jawab atas kehilangan
barang tersebut, dalam hal ini wadi`sedang tidak bepergian. Apabila wadi`
menerima wadi`ah sedang ia dalam bepergian maka wadi` sudah bertanggung jawab
terhadap barang tersebut selama ia dalam perjalanan sampai ia pulang.
Seterusnya kesalahan yang lain adalah menitipkan wadi`ah kepada orang lain yang
bukan karena udzur, tidak melindungi barang titipan dari hal-hal yang merusak
atau hilang maka penerima titipan harus mengganti dengan yang sejenis atau sama
nilainya (qima)
Ta`adli hampir sama dengan taqshir bedanya
ialah taqshir adalah kelalaian penerima titipan karena ia tidak mematuhi akad
wadi`ah sedangkan ta`addli adalah setiap perilaku yang bertentangan dengan
penjagaan barang, diantara bentuk taqshir ialah menghilangkan barang dengan
sengaja, memanfaatkan barang titipan (mengkonsumsi, menyewakan, meminjamkan dan
menginvestasikan)[6]
H. APLIKASI DALAM PERBANKAN
Keynes mengemukakan bahwa orang membutuhkan uang karena :
Transaksi, Cadangan dan Investasi, sehingga perbankan menyesuaikannya dengan
giro, deposito dan tabungan. Sementara itu pada bank syariah dalam
penghimpunan dananya selain bersumber dari modal dasar juga melalui produk
tunggal yaitu wadi`ah (tabungan) namun dalam prakteknya setiap bank berbeda,
ada yang seperti giro ada yang seperti deposito. Dilihat dari
sunber modal yang terbesar selain modal dasar tadi maka wadi`ah dapat dibagi
kedalam, Wadi`ah Jariyah/Tahta Thalab dan Wadi`ah
Iddikhariyah/Al-Taufir keduanya termasuk kedalam TITIPAN
yang sifatnya biasa.[7]
Menurut Antonio kedua simpanan ini mempunyai karakteristik
yakni harta/uang yang dititipkan boleh dimanfaatkan, pihak bank boleh
memberikan imbalan berdasarkan kewenangan menajemennya tanpa ada perjanjian
sebelumnya dan simpanan ini dalam perbankan dapat disamakan dengan giro dan
tabungan.
Wadi`ah Istitsmariyah (TITIPAN INVESTASI),
seperti halnya wadi`ah yang terbagi atas dua jenis, maka titipan investasi
inipun terbagi atas dua bahagian juga yaitu : General Investment (investasi
umum) dan Special Investment (investasi khusus).
Kedua jenis investasi ini mempunyai perbedaan yang terletak
pada Shahib Al-Malnya dalam praktek penginvestasiannya. Sesuai dengan
pembagian wadi’ah di atas, maka wadi’ah yad al- amanah, pihak yang
menerima titipan tidak boleh mengunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang
ditipkan, tetapi harus benar-benar menjaganya sesuai kelaziman. Pihak penerima
titipan dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan. Dengan
demikian si penitip tidak akan mendapatkan keuntungan dari titipannya, bahkan
dia dibebankan memberikan biaya penitipan, sebagai jasa bagi pihak perbankan.
Adapun wadi’ah dalam bentuk yad adh-dhamanah pihak
bank dapat memanfaatkan danmenggunakan titipan tersebut, sehingga semua
keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank
(demikian juga bank adalah penanggung seluruh kemungkinan kerugian). Sebagai
imbalan bagi si penitip, ia akan mendapatkan jaminan keamanan terhadap
titipannya. Tapi walaupun demikian pihak si penerima titipan yang telah
menggunakan barang titipan tersebut, tidak dilarang untuk memberikan semacam
insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya
tidak ditettapkan dalam nominal persentase secara advance.
Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No:
01/DSN-MUI/IV/2000, yang menyatakan bahwa ketentuan umum Giro berdasarkan
Wadi’ah ialah:
1. Bersifat titipan,
2. Titipan bisa diambil kapan saja (on call), dan
3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athiya)
yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Demikian
juga dalam bentuk tabungan, bahwa ketentuan umum tabungan berdasarkan Wadi’ah
adalah :
1.
Bersifat simpanan,
2.
Simpanan bias diambil kapan saja (on
call) atau berdasarkan kesepakatan,
3.
Tidak ada imbalan yang disyaratkan,
kecuali dalam bentuk pemberian (‘athiya) yang bersifat sukarela dari
pihak bank.(lihat Fatwa DSN No. 02/DSN-MUI/IV/2000.)
Tetapi
dewasa ini, banyak bank Islam yang telah berhasil mengombinasikan prinsip al-wadi’ah
dengan prinsip al-mudharabah. Akibatnya pihak bank dapat menetapkan
besarnya bonus yang diterima oleh penitip dengan menetapkan persentase.[8]
PENUTUP
Dari hasil uraian pemakalah ini pembaca diharapakan dapat
mengerti dan memahami apa itu bank syari`ah, bagaimana proses pelaksanaannya,
produk apa saja yang ditawarkannya dan yang paling terpenting bahwasanya
kehadiran perbankan syariah adalah untuk membersihkan penyimpanan maupun
penginvestasian dana masyarakat sesuai dengan apa yang telah digariskan dalam
Al-Qur`an dan As-Sunnah, sehingga kita dapatkan apa yang telah Allah janjikan
kelak diyaumil akhir dan terlepas dari azab siksa kubur dan api neraka
naujubillahi minzalik.
Memang kita sadari dalam prakteknya sehari-hari
ditengah-tengah masyarakat kita yang selama ini terbiasa dengan yang namanya
royalti sehingga dalam penyimpanan dan penginvestasian selalu memandang besar
kecilnya suku bunga suatu Bank tanpa memperhatikan kemaslahatannya terhadap
diri dan keluarganya. Namun bagi kita yang mempunyai jiwa mujahid dan
mujahidah tidak perlu berkecil hati terus berusaha dan berusaha membertikan
penerangan dan pengertian bagi saudara-saudara kita yang belum mengerti dan
paham setidak-tidaknya kita telah memulainya dari diri kita masing-masing. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Antonio,
Muhammad Syafi’I, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani, 2001.
Firdaus, NH,
Muhammad, dkk., Fatwa-Fatwa Ekonomi Syari’ah Kontemporer, Jakrta: Renaisan,
2005.
____________,
Cara Mudah Memahami Akad-akad Syari’ah, Jakarta:
Renaisan, 2005.
Rivai,
Veithzal, dkk.,Bank and Financial Institution Management Conventional &
Sharia Syistem, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2007.
Shalahuddin
Lc, dkk., Produk-produk Jasa Bank Islam Teori dan Praktek, Jakarta: Pusat Kajian Ekonomi Islam, 2004.
[2] Ibid
[3] ibid
[4] ibid
[5] ibid
[6] Firdaus, NH, Muhammad, dkk Cara Mudah Memahami
Akad-akad Syari’ah, Jakarta: Renaisan, 2005.
[7] Rivai, Veithzal, dkk.,Bank and Financial Institution
Management Conventional & Sharia Syistem, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
[8] Antonio, Muhammad Syafi’I, Bank Syari’ah Dari Teori ke
Praktek, Jakarta: Gema Insani, 2001.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !