A. ASAL USUL ANAK
Asal usul anak adalah dasar untuk menunjukkan
adanya hubungan nasab (kekerabatan) degnan ayahnya. Kebanyakan ulama berpedapat
bahwa anak yang lahir sebagai akibat zina dan/atau li'an, hanya mempunyai
hubungan kekerabatan dnegan ibu yang melahirkannya menurut pemahaman kaum
sunni. Lain halnya pemahaman kaum syi'ah, anak tidak mempunyai hubungan
kekerabatan baik ayah maupun ibu yang melahirkannya, sehingga tidak dapat
menjadi ahli waris dari kedua orang tuanya. Namun demikian, di negara Republik
Indonesia tampak pemberlakuan berbagai sistem hukum dalam masyarakat muslim
seperti yang disinggung pada awal tulisan ini, sehingga perilaku masyarakat
mencerminkan ketiga sistem hukum dimaksud.
Penduduk yang mayoritas mendiami negara RI
beragama Islam yang bermadzab imam Syafi'I, sehingga Pasal 42, 43 dan 44 UU No.
1 Tahun 1974 mengatur asal usul anak berdasarkan hukum Islam Mazhab Syafi'I.
hal ini dijadikan dasar pada Pasal 42: Anak yang sah adlaah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Selain itu Pasal
43 berbunyi:
(1) Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
(2) Kedudukan anak tersebut ayat 1
diatas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah
Pasal 44
(1) Seorang suami dapat menyangkal
sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa
istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut.
(2) Pengadilan memberikan keputusan
tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang bersangkutan.
Kalau memperhatikan pasal-pasal di atas, dapat
dipahami bahwa anak yang lahir dari ikatan perkawinan yang sah maka anak itu
adalah anak yang sah. Namun, tidak dijelaskan mengenai status bayi yang
dikandung dari akibat perzinaan atau akad nikah dilaksanakan pada saat calon
mempelai wanita itu hamil. Anak yang lahir sesudah dilangsungkan akad nikah
maka status anak itu adalah anak yang sah. Demikian juga halnya pengaturan
status anak berdasarkan KHI.
Pasal 99 KHI
Anak yang sah adalah
(a) Anak yang dilahirkan dalam atau
akibat perkawinan yang sah
(b) Hasil pembuahan suami istri yang
sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut
Pasal 100 KHI
Anak yang lahir di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya
Pasal 101 KHI
Seorang suami yang mengingkari
sahnya anak, sedang istri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya
dengan Li'an.
Mengenai anak li'an, firman Allah swt
menjelaskan dalam surat an-Nur (24) ayat 6 dan 7. Demikian juga bila si istri
menolak tuduhan dari suaminya dijelaskan oleh Allah tata cara penolakan tuduhan
di dalam Surat an-Nur (24) ayat 8 dan 9. Hal inilah yang dijadikan dasar Pasal
125, 126, 127, 128 KHI.
Pasal 125 KHI
Li'an menyebabkan putusnya
perkawinan atnara suami istri untuk selama-lamanya
Pasal 126 KHI
Li'an terjadi karena suami menuduh
istri berbuat zina dan/atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah
lahir dari istrinya, sedangkan istri menolak tuduhan dan/atau pengingkaran
tersebut
Pasal 127 KHI
Tata cara lian diatur sebagai
berikut:
a.
Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan/atau
pengingkaran anak tersebut, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata "laknat
atas dirinya apabila tuduhan dan/atau pengingkaran tersebut dusta"
b. Istri menolak tuduhan dan/atau
pengingkaran tersebut dengan sumpah empat kali dengan kata "tuduhan
dan/atau pengingkaran tersebut tidak benar", diikuti sumpah kelima dengan
kata-kata murka Allah atas dirinya bila tuduhan dan/atau pengingkaran tersebut
benar.
c.
Tata cara pada huruf a dan b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak
terputuskan
d. Apabila tata cara huruf a tidak
diikuti tata cara huruf b, maka dianggap tidak terjadi li'an.
Pasal 128 KHI
Li'an hanya sah apabila dilakukan
dihadapan sidang Pengadilan Agama
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !