BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan kunci untuk menapaki masa depan. Pendidikan menjadi
penting artinya karena melalui pendidikanlah yang menentukan arah kehidupan
melalui proses pembelajaran antar generasi. Melaui proses sosialisasi,
enkulturasi di dalam institusi primer yaitu dalam keluarga. Dari situlah proses
pewarisan unsur budaya dalam hal ini adalah pembelajaran dilakukan pertamakali.
Di dalam literature ilmu sosial disebutkan bahwa kebudayaan didefinisikan
sebagai suatu keseluruhan sistem ide, sistem sosial, dan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang dimiliki manusia melalui proses belajar.
Ini berarti kunci pokok dari kehidupan manusia itu terletak dari adanya proses
belajar.
Sedemikian pentingnya pendidikan ini dalam hidup, maka pendidikan selalu
menjadi ranah selalu hangat untuk diperbincangkan.Hal yang menarik lagi dalam
diskursus mengenai tema besar ini adalah pijakan akar budaya dan historisitas
dari perkembangan pendidikan di Indonesia.Suatu kondisi yang tidak boleh tidak
ada seandainya kita mau meneliti tentang perkembangan pendidikan di negeri kita
ini adalah faktor kesejarahan.Bagaimanapun juga sejarah warisan kolonial
Belanda turut membentuk wajah pendidikan Indonesia.
Kalau kita perhatikan, dari jaman kolonial sampai sekarang ada tendensi
yang mengarah pada pola akibat bentukan budaya yang mengakar kuat.Fenomena
pembagian menjadi dua bagian antara negeri dan swasta, umum dan agama,
sentralistik dan desentralisasi, menejemen berbasis sekolahan dan menejemen
berbasis pusat, kurikulum berbasis kompetensi dan kurikulum berbasis
pengetahuan, kesemuanya itu lebih kita tempatkan sebagai fakta sejarah.
Fonemena dikotomi ilmu yang sekarang melanda umat Islam itu relative baru
(kira-kira awal abad 19 M, ketika bangsa Islam mulai dijajah). Dikotomi lembaga
pendidikan sekarang ini ada yang disebut sekolah umum dan ada diistilahkan
sekolah agama, dimana terciptalah sarjana agama yang begitu pintar ilmu
syariah, tapi tidak tahu menahu-tahu tentang ilmu umum. Begitu sebaliknya
seorang profesor kimia, misalnya pintar sekali dibidangnya, tapi selalu
mengatakan ,saya ini orang awam untuk urusan agama.
Pendidikan agama di sekolah menurut Zakiah Darajat sangat penting untuk
pembinaan dan penyempurnaan pertumbuhan kepribadian anak didik karena mempunyai
aspek jiwa atau pembentukan kepribadian dengan memberikan kesadaran dan
pembiasaan melakukan perintah Tuhan dan meninggalkan larangan-laranganNya,
melakukan praktek ibadah, sopan santuan dalam pergaulan sesamanya sesuai dengan
ajaran akhlak agamanya akan menjadi bagian integral dari kepribadiannya ketika
dewasa nanti dan aspek-aspek pendidikan agama yang ditujukan kepada pikiran dan
kepercayaan.
Adanya pendidikan agama di sekolah-sekolah di Indonesia sudah tidak bisa
dinafikan lagi, akan tetapi kenapa pada faktanya pendidikan di Indonesia
mengalami keterpurukan baik dari sisi output pendidikan yang masih rendah bila
dibandingkan negara-negara yang baru merdeka seperti Vietnam. Begitupula
tentang kenakalan remaja yang terjerumus ke dalam korban narkoba semakin meningkat
dari tahun ke tahun, serta tindakan korupsi yang sudah mengakar di negeri ini.
Kondisi ini tidak mungkin dibiarkan berlarut-larut paling tidak ada peningkatan
kualitas pendidikan dan penyelewengan pendidikan dapat diminimalisir.
B. Identifikasi Masalah
- Pengertian Dikotomi Ilmu
- Sejarah Dikotomi Ilmu di Indonesia
- Faktor Dikotomi Ilmu
- Dampak Dikotomi Ilmu
- Solusi Dalam Menghadapi Dikotomi Ilmu
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Dikotomi
Dikotomi adalah pembagian dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua bagian.
Adajuga yang mendefinisikan dikotomi sebagai pembagian di dua kelompok yang
saling bertentangan. Secara terminologis, dikotomi dipahami sebagai pemisahan
antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena
dikotomik-dikotomik lainnya, seperti dikotomi dualisme sistem pendidikan antara
pendidikan agama Islam dan pendidikan umum yang memisahkan kesadaran keagamaan
dan ilmu pengetahuan. Dualisme ini, bukan hanya pada dataran pemilahan tetapi
masuk pada wilayah pemisahan. Sistem pendidikan yang dikotomik pada pendidikan
Islam akan menyebabkan pecahnya peradaban Islam dan akan menafikan peradaban Islam
yang kqffah (menyeluruh).
Meskipun dikotomi ini adalah problem kontemporer namun keberadaannya tentu
tidak lepas dari proses historisitas yang panjang sehingga bisa muncul sekarang
ini. Tulisan berikut berupaya menyelidiki proses sejarah tersebut; dengan
diawali perkembangan awal dari pertemuan Islam-Arab dengan budaya lainnya, yang
kemudian dilanjutkan dengan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan dalam Islam
serta diakhiri dengan pertentangan dua cara berpikir yang cukup berpengamh
dalam pembentukan dikotomi ilmu dalam sejarah peradaban Islam.
Dengan pemaknaan dikotomi di atas, maka dikotomi pendidikan Islam adalah
dulaisme sistem pendidikan antara pendidikan agama Islam dan pendidikan ulama
dan intelektual, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam dan bahkan dikotomi
dalam diri muslim itu sendiri (split personality) Bagi al-Faruqi, dikotomi
adalah dualisme religius dan kultural. Dengan pemaknaan dikotomi di atas, maka
dikotomi pendidikan Islam adalah umum yang memisahkan kesadaran keagamaan dan
ilmu pengetahuan.Dulaisme ini, bukan hanya pada dataran pemilahan tetapi masuk
pada wilayah pemisahan, dalam operasionalnya pemisahan mata pelajaran umum
dengan mata pelajaran agama, sekolah umum dan madrasah, yang pengelolaannya
memiliki kebijakan masing-masing. Sistem pendidikan yang dikotomik pada
pendidikan Islam akan menyebabkan pecahnya peradaban Islam dan akan menafikan
peradaban Islam yang kqffah (menyeluruh).
B. Sejarah Dikotomi Ilmu di Indonesia
Sejarah di Indonesia, membuktikan terwujudnya komunitas haji, ulama, santri
dan pedagang membuat anti terhadap imperialisme Belanda, seperti yang dilansir
Clifford, pertumbuhan pesantren yang anti imperialism Belanda membangkitkan
Santri Insureaction atau pemberontakan santri seperti yang terjadi pada tahun
1820-1880 terjadi paling tidak lima kali pemberontakan santri seperti perang
Paderi ( 1821-1828), Perang Dipenogoro, Perang Banjarmasin, Perang Aceh dan
perang Banten dan masih banyak perang lainnya dimotori oleh gerakan santri,
kiayai, ulama yang berbasis Islam. Hal ini menimbulkan kecurigaan Pemerintah
Belanda terhadap Islam.
Sekolah pendidikan dasar telah diperkenalkan oleh Belanda di Indonesia.Sekolah
yang tadinya hanya untuk kalangan keturunan Belanda, dengan etische politiek
(kepotangan budi) di negara jajahan Belanda (1870) mulai membuka sekolahan bagi
kaum bumi putera (SR).Hal tersebut nampaknya juga akibat pengaruh faham
humanisme dan kelahiran baru yang melanda negeri Belanda.
Program utamannya saat itu mungkin hanya untuk kepentingan Belanda juga
(untuk meningkatkan produktivitas di tanah jajahannya).Untuk Perguruan tinggi
dimulai dengan berdirinya sekolah-sekolah kejuruan. Misal STOVIA(1902) yang
kemudia berubah jadi NIAS(1913) dan GHS adalah cikal bakal dari fakultas
kedokterannya UI. Lalu juga Rechts School (1922) dan Rechthoogen School (1924)
kemudian melebur jadi fakultas hukumnya UI.Juga disusul beberapa fakultas
lainya.
Zakiah Darajat mengungkapkan pada masa pemerintahan Belanda, pendidikan
agama tidak diberikan di sekolah-sekolah negeri dengan alasan pemerintah
bersikap netral untuk tidak mencampuri masalah pendidikan agama, karena
pendidikan agama merupakan tanggung jawab keluarga, sehingga setiap usulan
wakil-wakil rakyat pribumi di Volksraad agar memasukan pelajaran agama Islam di
di Perguruan Umum selalu ditolaknya, yang dibolehkan hanya di sekolah-sekolah
partikulir (swasta) yang berdasarkan keagamaan.
Pemerintah Belanda menerapkan pengawasan dan kontrol yang sangat ketat dan
kaku, kontrol yang ketat ini dijadikan alat politik untuk menghambat dan bahkan
menghalang-halangi pelaksanaan pendidikan Islam, dengan membentuk suatu badan
yang khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam
yang disebut Priesnterraden.
Ordonansi guru dikenal pada masa pemerintah Belanda dengan mengeluarkan
peraturan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak
ada izinnya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah yang
disebut Ordonansi Sekolah Liar (Wilde School Ordonantie).
Selain itu untuk lingkungan kehidupan agama Kristen di Indonesia yang
selalu menghadapi reaksi dari rakyat, dan untuk menjaga sekolah umum yang
kebanyakan muridnya beragama Islam, maka pemerintah mengeluarkan peraturan yang
disebut netral agama. Seperti yang dinyatakan pada Indische Staatsregeling
bahwa pendidikan umum adalah netral, yang berarti pengajaran diberikan dengan
menghormati keyakinan masing-masing. Namun disekolah umum untuk kalangan
pribumi, pada HIS dan MULO diberikan pelajaran agama Islam, secara sukarela
sekali dalam seminggu bagi murid-murid yang berminat atas persetujuan orang
tuanya.
Pemerintah Belanda sendiri yang melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
pendidikan bagi pribumi, membentuk dua lembaga, yaitu Departemen van Onderwijst
en Eerendinst untuk mengawasi pengajaran agama di sekolah umum dan Departemen
van Binnenlandsche Zaken untuk pendidikan Islam dilembaga pendidikan
Islam.Kebijakan pemerintah kolonial yang memarjinalkan aspirasi dan kepentingan
kalangan muslim menjadi cikal bakal terciptanya dualitas pengaturan negara
terhadap berbagai masalah yang berhubungan dengan kepentingan kalangan muslim.
Dalam konteks Indonesia, dikotomi dimulai semenjak Indonesia mengenal
sistem pendidikan modern. Ilmu-ilmu Islam, misalnya, ia berada di bawah Depag
(Departemen Agama). Sementara ilmu-ilmu umum (sekuler) berada di bawah
Depdiknas (Departemen Pendidikan Nasional). Repotnya hal ini sangat berpengaruh
pada fasilitas dan anggaran dana. Kalau kita perhatikan APBN 2006, misalnya,
ternyata yang terakhir ini anggarannya relatif lebih subur (Rp. 36.755,9
milyar) daripada yang pertama (hanyasebesar Rp. 9.720,9 milyar: berbanding
79,1% : 21,9%.
Ketika undang-undang pendidikan nasional pertama yaitu, UU No. 4 Tahun 1950
(tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah) diundangkan,
madrasah dan pesantren sebagai pendidikan Islam tidak dimasukan sama sekali ke
dalam sistem pendidikan nasional, yang ada hanya masalah pendidikan agama yang
diajarkan di sekolah (umum), pada tahap ini madrasah belum dipandang sebagai
bagian dari sistem dari sistem pendidikan nasional, tetapi merupakan lembaga
pendidikan di bawah Menteri Agama. Menurut pemerintah hal ini disebabkan karena
sistem pendidikan Islam lebih didominasi oleh muatan-muatan agama, yang
menggunakan kurikulum belum terstandarkan, memiliki struktur yang tidak
seragam, dan memberlakukan manajemen yang kurang dapat dikontrol oleh
pemerintah.
Pada tahun 1974, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 34 Tahun
1972 tentang kewenangan penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan di bawah satu
pintu, yaitu oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, termasuk di dalamnya
penyelenggaraan pendidikan agama. Keputusan itu diikuti oleh Inpres No. 15
Tahun 1974 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden tersebut.Ternyata keputusan
ini mendapat tantangan keras dari kalangan Islam. Alasannya bahwa dengan
menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional memang madrasah akan mendapat
status yang sama dengan sekolah, tetapi dengan status ini terdapat kongkurensi
bahwa madrasah harus dikelola oleh Depdikbud sebagai satu-satunya departemen
yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan nasional. Mereka
lebih menghendaki madrasah tetap berada di bawah Departemen Agama.
Bahkan sebagian umat Islam memandang Kepres dan Inpres tersebut sebagai
manuver untuk mengabaikan peranan dan manfaat madrasah, juga dipandang sebagai
langkah untuk mengebiri tugas dan peranan Departemen Agama dan bagian dari
upaya sekulerisasi yang dilakukan pemerintah Orde Baru. Hal ini cukup beralasan
dikaitkan dengan setting sosial politik yang berlangsung pada awal pemerintah
Orde Baru yang menerapkan kebijakan politik yang memarjinalkan politik Islam
melalui pengebirian partai politik Islam.
Setelah Indonesia merdeka, para pemimpin dan perintis kemerdekaan menyadari
betapa pentingnya pendidikan agama.Kihajar Dewantoro selaku Menteri pendidikan
Pengajaran dan Kebudayaan pada kabinet pertama menyatakan pendidikan agama
perlu diajarkan di sekoklah-sekolah negeri. Kemudian pada 3 Januari 1946
didirikanlah Kementerian Agama yang bertugas beberapa diantaranya melaksanakan
kewajiban-kewajibannya antara lain urusan pelajaran dan pendidikan agama Islam
dan Kristen, mengangkat guru agama dan mengadakan pengawasan pelajaran agama.
Ilmu-ilmu pengetahuan modern yang banyak berdasar kepada hukum alam
(natural laws=sunnatullah) tidak bertentangan dengan Islam yang sebenarnya.
Hukum alam dan wahyu berasal dari Tuhan, maka antara keduanya tidak mungkin
bertentangan dan ilmu pengetahuan mesti sesuai dengan Islam.Islam di masa
lampau mengalami kemajuan yang disebabkan oleh salah satunya yaitu kemajuan
ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat itu,maka untuk mencapai kemajuan yang
hilang umat Islam harus kembali mempelajari dan mementingkan ilmu pengetahuan.
Untuk merealisasikan hasil di bidang pendidikan agama, maka diterbitkan
peraturan Bersama Menteri PP&K dan Menteri Agama No. 1142/Bhg A (
Pengajaran)/No.1285/KJ Agama tanggal 2-12-1946 yang menentukan pelajaran agama
di Sekolah Rakyat sejak kelas IV dan mulai berlaku 1-1-1947. Kemudian lahir
UU.No. 4 /1950 Jo.No.12/1954 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di
sekolah. Salah satunya pasal 20 Bab 12 yang menyatakan bahwa dalam
sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran, orang tua murid menetapkan apakah
anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut.
Pelajaran agama kemudian ditetapkan dengan TAP MPRS No.II/MPRS/1960 dengan
menjadikan pendidikan agama menjadi pelajaran di sekolah-sekolah sejak Sekolah
Dasar (SD) sampai dengan Universitas Negeri hingga saat ini.
Abuddin Nata membagi kebijakan pemerintahan Indonesia secara umum dalam
bidang pendidikan ke dalam empat periode sebagai berikut:
1. Masa pra kemerdekaan, yaitu masa
penjajah Belanda yang menerapkan diskriminatif terhadap rakyat jajahannya dan
termasuk pelit dalam memberikan pendidikan bagi rakyatnya.Belanda membiarkan
kebodohan agar mudah ditindas, dijajah dan diadudomba. Kemudian sedikit ada
perubahan setelah ada tekanan internasional yang dikenal dengan politik etis,
salah satunya menyedikan pendidikan kepada rakyat secara terbatas dalam rangka
mempersiapkan tenaga kerja yang dipekerjakan di beberapa perusahaan milik
Belanda. Belanda tidak suka terhadap keberadaan pendidikan Islam yang
diselenggarakan di Pesantren, madrasah dan sebagainya karena dianggap sebagai
sarang pemberontak, dan pembangkang yang dikenal sebagai konsep jihad dan
menganggap Belanda sebagai orang kafir yang harus diperangi, sehingga umat
Islam bersikap non-kooperatif, tidak mau bekerjasama dengan pemerintah Belanda.
2. Masa pasca kemerdekaan yang dikenal
masa orde lama. Pada masa ini terjadi upaya pembaharuan dan memperbanyak
lembaga pendidikan Islam yang lebih bermutu sejalan dengan tuntutan zaman, namun
suhu politik pada saat itu sedang mengalami pancaroba dan mencari bentuknya.
3. Masa Orde Baru,pendidikan pada masa
ini bersifat sentralistik,refresif dandepolitisasi masyarakat yang harus
berorientasi kepada loyalitas terhadap pemerintahan. Anggaran alokasi untuk
pendidikan sangat minim bila dibandingkan dengan Negara-negara berkembang
lainnya yang tidak pernah mencapai 10% dari APBN.
4. Masa orde reformasi, dimana semakin
berkembangnya wacana demokrasi, sehingga menghasiulkan Undang-Undang sistem
Pendidikan Nasional.
Kondisi demikian pada akhirnya pemerintah terlibat untuk menyelesaikan
persoalan ini dengan mengembangkan beberapa madrasah menjadi madrasah
negeri.Alasannya ialah karena situasi dan kondisi sosio-kultural-politik sudah
berubah.Kalau kekuatan sosio politik pada awal kemerdekaan terbelah tajam
secara ideologis menjadi nasionalis sekuler dan nasionalis Islam yang keduanya
terlibat dalam pergumulan politik ideologis sedemikian keras, maka sekarang
sudah berubah.Kalau para tokoh nasionalis Islam di awal kemerdekaan
memperjuangkan masuknya pendidikan Islam (keagamaan) dalam pengelolaan
Departemen Agama merupakan keharusan sejarah, maka tidak demikian halnya di
waktu sekarang.
Ada dua ancaman dari dulaisme pendidikan yang harus diwaspadai menurut Ahmad
Tafsir, pertama, subjek-subjek baru yang diambil dari sekolah modern akan
mengambil waktu yang lebih lama dalam kurikulum yang akan mengurangi
subjek-subjek esensial mengakibatkan semangat keislaman semakin melemah, kedua
kekurangwaspadaan menyebabkan masuknya sekularisme ke dalam pemikiran Islam.
Agama dibatasi dalam beberapa jam pelajaran agama yang pada akhirnya akan
mengeluarkan agama dari aspek-aspek tertentu kehidupan manusia terutama sains.
C. Faktor-Faktor Terjadinya Dikotomi
Ilmu
Dikotomi dalam pendidikan Islam timbul akibat dari beberapa hal yaitu
sebagai berikut:
Pertama, faktor perkembangan pembidangan ilmu itu sendiri, yang bergerak
demikian pesat sehinggga membentuk berbagai cabang disiplin ilmu, bahkan anak
cabangnya. Hal ini menyebabkan jarak ilmu dengan induknya, filsafat, dan antara
ilmu agama dengan ilmu umum, kian jauh. Epistemologi merupakan salah satu
wilayah kajian filsafat yang disebut juga dengan filsafat ilmu (philosophy of
knowledge). Epistemologi membahas tentang apa itu “tahu”, bagaimana cara
mengetahui, untuk apa mengetahui, juga tentang dasar-dasar, sumber, tujuan dan
klasifikasi pengetahuan. Dari epistemologi, muncullah struktur ilmu pengetahuan
sampai ke anak cabang. Sebagai contoh, ketika filsafat sebagai induk segala ilmu
(mother off all sciences) mengalami pembidangan dalam struktur ilmu, anggap
saja ilmu pendidikan, maka disiplin ilmu pendidikan pun pecah menjadi cabang
ilmu yang makin spesifik: teknolgi pendidikan, psikologi pendidikan, sosiologi
pendidikan, dan seterusnya. Kemudian, cabang ilmu pendidikan tersebut pecah
lagi menjadi anak cabang, semisal perencanaan pendidikan, perencanaan
kurikulum, strategi belajar mengajr, dan seterusnya. Tak pelak lagi hal ini
menyebabkan jarak antar filsafat sebagai induk menjadi kian jauh dengan anak
cabang ilmu.Hal ini menyebabkan munculnya spesialisasi keilmuan, di mana
pelakunya menjadi ahli atau profesioanl di bidangnya masing-masing.
Kedua, faktor historis perkembangan umat Islam ketika mengalami masa
stagnan atau kemunduran sejak Abad Pertengahan (tahun 1250-1800 M), yang
pengaruhnya bahkan masih terasa sampai kini atau meminjam istilah Azra hal ini
disebabkan karena kesalahan sejarah (historical accident). Pada masa ini,
dominasi fuqaha dalam pendidikan Islam sangatlah kuat, sehingga terjadi
kristalisasi anggapan bahwa ilmu agama tergolong fardlu ‘ain atau kewajiban
individu, sedangkan ilmu umum termasuk fardlu kifayah atau kewajiban kolektif.
Akibat faktor ini, umat dan negara yang berpenduduk mayoritas Islam saat ini
tertinggal jauh dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi (IPTEK) bila
dibandingkan dengan umat dan negara lain.
Ketiga, faktor internal kelembagaan pendidikan Islam yang kurang mampu
melakukan upaya pembenahan dan pembaruan akibat kompleksnya problematika
ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya yang dihadapi umat dan negara yang
berpenduduk mayoritas Islam. Sehinggga, dalam lembaga pendidikan Islam tidak
terjadi dikotomi ilmu agama dan ilmu umum. Sebenarnya, asumsi mengenai
dikotomik ini, bukanlah monopoli lembaga pendidikan. Bagaikan sebuah wabah,
symptom dikotomi ini menyerang ke seluruh penjuru kehidupan umat Islam, seperti
terjadinya polarisai Sunni-Syi’ah, bahkan faksi-faksi dalam Sunni sendiri,
ekstremitas dan fanatisme mazhab dan aliran teologi. Adapun dalam pendidikan
Islam itu sendiri, masih menghadapi pola pikir dikotomik, yakni dikotomisme
antara urusan duniawi-ukhrawi, akal-wahyu, iman-ilmu, Allah-manusia-alam, dan
antara ilmu agama dengan ilmu umum.Sehinggga mau tidak mau paradigma masyarakat
kita sudah terjadi dikotomi tersebut.Bahkan hal ini diperparah lagi kondisi
pendidikan kita yang dipengaruhi oleh sistem politik, budaya, hukum, dan
seterusnya yang melanda umat Islam, sebagai krisis yang dialami pendidikan
Islam.
Sedangkan secara gamblang Azyumardi Azra menyebutkan bahwa permasalahan
dikotomi pendidikan (ilmu) pertama berkaitan dengan situasi objektif pendidikan
Islam, yaitu adanya krisis konseptual baik itu pada tataran epistemologisnya.
Krisis konseptual tentang defenisi atau terjadinya pembatasan ilmu-ilmu dalam
sistem pendidikan Islam itu sendiri, atau melihat konteks Indonesia adalah
Sistem Pendidikan Nasional.
Pada prinsipnya dikotomi keilmuan (pendidikan) dan akhirnya sampai pada tingkat kelembagaan, disebabkan ketiadaan pembedaan antara pendidikan Islam sebagai ilmu dengan Pendidikan Islam sebagi Lembaga Pendidikan. Ketidak jelasan ini terlihat dengan ketidakmampuan membedakan antara pendidikan Islam dengan pendidikan agama Islam.
Pada prinsipnya dikotomi keilmuan (pendidikan) dan akhirnya sampai pada tingkat kelembagaan, disebabkan ketiadaan pembedaan antara pendidikan Islam sebagai ilmu dengan Pendidikan Islam sebagi Lembaga Pendidikan. Ketidak jelasan ini terlihat dengan ketidakmampuan membedakan antara pendidikan Islam dengan pendidikan agama Islam.
Krisis kelembagaan ini adalah adanya dikotomisasi antara lembaga-lembaga
pendidikan yang menekankan pada salah satu aspek dari ilmu-ilmu yang ada,
apakah ilmu-ilmu agama ataukah ilmu-ilmu umum. Ini jelas sekali terefleksi di
Indonesia; misalnya dengan adanya dulaisme sistem pendidikan, pendidikan agama
yang diwakili madrasah dan pesantren dengan pendidikan umum; di tingkat
pendidikan tinggi terdapat IAIN (sekarang UIN) dan perguruan tinggi umum. Hal
ini dapat pula berimpilkasi mulai dari segi pendanaan pendidikan yang dibawah
naungan Diknas dan Depag sangat jauh berbeda, sehingga hal ini pula dapat
berimplikasi pada penunjang sarana dan prasarana. Akan tetapi seiring waktu UIN
dengan segala perkembangannya membuka Fakultas Tadris yang membuka
jurusan-jurusan ilmu-ilmu umum. Hal ini menjadi babak baru buat memecahkan
masalah dikotomi pendidikan di Indonesia.
D. Dampak Dikotomi Ilmu
Zakiah Darajat menuliskan dengan gamblang tentang tragedy dunia modern yang
disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi pola pikir manusia modern
antara lain kebutuhan hidup yang meningkat, rasa individualistis dan egois,
persaingan dalam hidup, keadaan yang tidak stabil yang disebabkan akibat
perkembangan ilmu pengetahuan yang berjalan cepat tetapi tidak disertai oleh
agama yang pada akhirnya membawa lengahnya orang kepada kepercayaan agama yang
dahulu dijadikan sebagai pengendali tingkah laku dan sikap dalam hidup, logika
dan cara-cara ilmiah menonjol, sedangkan segi-segi perasaan dan emosi kurang
mendapat perhatian bahkan tidak dihiraukan sama sekali.
Gambaran sejarah pendidikan di Indonesia saat ini bisa dialami bersama.Dari gambaran di atas ternyata masalah pendidikan bukan sekedar tergantung pada teory dan ilmu pendidikan itu saja, tapi juga iklim sosial budaya dan politik ikut berperan.Namun bukan alasan untuk tidak memperbaharui kehidupan melalui pembaharuan konsep pendidikan itu sendiri. Jadi reformasi pendidikan adalah mutlak perlu dilakukan terus menerus sesuai perubahan pemahaman umat akan kehidupan itu sendiri.
Gambaran sejarah pendidikan di Indonesia saat ini bisa dialami bersama.Dari gambaran di atas ternyata masalah pendidikan bukan sekedar tergantung pada teory dan ilmu pendidikan itu saja, tapi juga iklim sosial budaya dan politik ikut berperan.Namun bukan alasan untuk tidak memperbaharui kehidupan melalui pembaharuan konsep pendidikan itu sendiri. Jadi reformasi pendidikan adalah mutlak perlu dilakukan terus menerus sesuai perubahan pemahaman umat akan kehidupan itu sendiri.
Dengan munculnya dikotomi (dulaisme) pendidikan merupakan pukulan besar
yang sudah lama menghinggapi pendidikan di Indonesia, sehingga hal ini mempunyai
dampak negatif yaitu:
- Anti agama telah dipersempit yaitu sejauh yang berkaitan dengan aspek teologi Islam yang diajarkan disekolah-sekolah agama selama ini.
- Sekolah agama telah terkotak dalam kubu tersendiri
- Sumber masukan sekolah agama dan perguruan tinggi Agama Islam rata¬-rata ber IQ rendah, maka mutu tamatannya adalah tergolong kelas dua
- Kegiatan keagamaan dan api keislaman di IAIN dan perguruan Agama Islam kurang menonjol dan kurang dirasakan dibandingkan dengan perguruan tinggi umum.
Adanya dikotomi dalam pendidikan yakni ilmu umum dan ilmu agama dengan
memotong hubungan kedua ilmu tersebut, itulah yang diakomodir undang-undang
Pendidikan, melihat UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab VI, pasal 15 yang
berbunyi: “Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik,
profesi, vokasi, keagamaan”. Dari pasal tersebut tampak jelas terjadinya dikotomi
dalam pendidikan agama dan pendidikan umum, di tingkat kelembagaan pun
dipisahkan antara perguruan tinggi agama seperti UIN Syarif Hidayatullah dan
perguruan tinggi umum seperti ITB, UI dan lain-lain.
E. Solusi Dalam Menangani Dikotomi Ilmu
Mengenai persoalam dikotomi, tawaran Fazlur Rahman, salah satu
pendekatannya adalah dengan menerima pendidikan sekuler modern sebagaimana
telah berkembang secara umumnya di dunia Barat dan mencoba untuk
“mengislamkan”nya yakni mengisinya dengan konsep-konsep kunci tertentu dari
Islam. Lebih lanjut persoalannya adalah bagaimana melakukan modernisasi
pendidikan Islam, yakni membuatnya mampu untuk produktivitas intelektual Islam
yang kreatif dalam semua bidang usaha intelektual bersama-sama dengan
keterkaiatan yang serius kepada Islam. A.Syafi’i Ma’arif mengatakan bila konsep
dulaisme dikotomik berhasil ditumbangkan, maka dalam jangka panjang sistem
pendidikan Islam juga akan berubah secara keseluruhan, mulai dari tingkat dasar
sampai ke perguruan tinggi.
Menurut Ramayulis, solusi mengurangi atau mentiadakan dikotomi dalam
pendidikan dengan berpedoman kepada prinsip-prinsip keseimbangan yang mendasari
pendidikan Islam yaitu keseimbangan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi, keseimbangan
antara jasmani dan rohani serta keseimbangan antara individu dan masyarakat.
Menurut Kamal Muhamad Isa, kesalahan utama manusia yang selama ini
berlangsung terus menerus adalah adanya pemisahan antara ilmu dan agama, bahkan
agama dianggap sebagai musuh ilmu, penghalang ilmu, atau paling banter hanya
dianggap sebagai pengganti ilmu. Padahal agama merupakan kerangka dasar dari
setiap ilmu pengetahuan dan kebudayaan, yang menjadi sumber bagi pertumbuhan
ilmu pengetahuan dan kebudayaan itu sendiri. Agama merupakan satu-satu dasar
dan sumber yang mengatur seluruh permasalahan kehidupan manusia. Orang yang
belajar al-Quran dengan cermat dan teliti akan menemukan sebagian ayatnya yang
disebut berbagai fakta dan peristiwa sebagai muqaddimah yang kemudian sampai
kepada Allah sebagai suatu keputusan yang disebut ilmu teory, sementara
ayat-ayat yang menyatakan kehidupan merupakan topik dari ilmu pengetahuan
dinamakan ilmu praktis.
Solusi berikutnya adalah peintegrasian ilmu, sebelumnya marila kita melihat
dalam Al-quran kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali. Kata ini
digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan. ‘Ilm
dari segi bahsa berarti kejelasan, karena itu segala yang berbentuk dari akar
katanya mempunyai arti kejelasan.Perhatikan misalnya kata ‘alam (bendera),
‘ulmat (bibir sumbing), ‘a’lam (gunung-gunung), ‘alamat (alamat), dan
sebagainya.Ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Sekalipun
demikian, kata ini berbeda dengan ‘arafa (mengetahui), a’rif (yang maha
mengetahui) , dan ma’rifah (pengetahuan). Sehingga wajarlah Islam sebagai agama
yang rahmat untuk seluruh alam tidak pernah membedakan ilmu-ilmu agama dan
ilmu-ilmu umum.
Al-Faruqi menawarkan Islamisasi ilmu dalam pendidikan Islam, yakni dengan melebur
dua sistem pendidikan; tradisional dan modern, menjadi sistem pendidikan yang
berwawasan Islam.Ini dimaksudkan untuk menghilangkan problem dikotomi sistem
pendidikan yang selama ini terjadi di kalangan umat.Ide ”Islamisasi Ilmu” dalam
pendidikan Islam berisikan suatu prinsip; bahwa keilmuan Barat tidak harus
ditolak, artinya perlu diterima, tetapi harus melalui proses filterisasi yang
disejalankan dengan nafas Islami agar tidak bertentangan dengan pesan al-Quran
dan al-Hadits.
Peran islamisasi ilmu dalam pemecahan problem dikotomi pendidikan
islamadalah spirit yang ditawarkan al-Faruqi dalam rangka memecahkan problem
dikotomi pendidikan Islam adalah Islamisasi Ilmu dalam pendidikan Islam.
Menurut al-Faruqi, para akademikus muslim harus menguasai semua disiplin ilmu
modern, memahami disiplin tersebut dengan sempurna, dan merasakan itu sebagai
perintah agama. Setelah itu mereka harus mengintegrasikan pengetahuan baru
tersebut ke dalam keutuhan warisan Islam dengan melakukan eliminasi, perubahan,
penafsiran kembali, dan penyesuaian terhadap komponen-komponennya sebagai world
view Islam dan menetapkan nilai-nilainya.
DAFTAR
PUSTAKA
http://jorjoran.wordpress.com/2011/06/19/makalah-dikotomi-dan-dualisme-pendidikan-di-indonesia/, Diakses pada tanggal 21 Mei 2012
http://lubisgroup.blogspot.com/2010/03/bahaya-dikotomi-ilmu.html, Diakses pada tanggal 21 Mei 2012
http://pustaka.abatasa.com/pustaka/detail/telaah/allsub/253/apakah-ulama-klasik-mengenal-dikotomi-ilmu.html, Diakses pada tanggal 21 Mei 2012
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !